49 berkumpul di rumah orang tua si bayi setiap malam. Maksudnya adalah agar
selalu ada orang yang tetap menjaga, agar hantu dan roh jahat tidak dapat mengganggu atau mengambil si bayi. Bila hari yang ketujuh telah berlalu, orang
tidak perlu datang lagi tetapi tidak ada larangan untuk tidur di rumah itu pada malam berikutnya.
Apabila si ayah tidak hadir pada saat kelahiran sang bayi, maka pada pertemuan pertama si ayah tidak boleh langsung menggendong atau
memangkunya. Terlebih dahulu si ayah harus memberikan pisau piso kepada bayi laki-laki atau ulos kepada bayi perempuan. Pemberian itu bermakna adanya
hubungan darah dan batin antara anak dengan si ayah, serta memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa bayi itu adalah anaknya darah dagingnya.
d. Martutuaek
Martutuaek berasal dari kata “aek”,’air’. Dalam hal ini martutuaek berarti pergi ke air pemandian mata air atau sungai. Acara ini adalah acara adat yang
penting bagi bayi yang baru lahir. Setelah beberapa hari sang bayi dibawa ke tempat mandi umum. Sebelum pergi ke pancuran terlebih dahulu diadakan
upacara adat di dalam rumah yang dinamakan menjamu raja martonggo raja. Dalam pertemuan itu Suhut memberitahukan secara resmi apa yang akan
dilakukannya, dan kepada raja-raja yang hadir diminta partisipasi, doa restu agar upacara yang bersangkutan berjalan dengan baik. Acara demikian selalu dibuka
dengan makan bersama sebelum acara martutuaek dilaksanakan. Pada acara ini pihak hula-hula membawa ikan mas yang ditaruh di atas
piring istimewa khusus untuk keperluan adat pinggan pasu dan diupahkan
Universitas Sumatera Utara
50 diupahon kepada si bayi. Mereka berdua menyerahkan ulos parompa yaitu ulos
untuk menggendong si bayi, yang diselimutkan langsung ke tubuhnya. Kemudian hula-hula dan semua keturunan nenek moyang yang hadir di situ, mengambil
beras yang disebut dengan “Boras si pir ni tondi” dan meletakkannya di kepala bayi dengan tujuan agar roh si bayi menjadi sekeras beras, tahan melawan hantu
dan roh jahat. Pada acara adat ini dipersiapkan bahan dan peralatan yang terdiri dari tepung beras sebanyak satu setengah liter, sejumlah daun sejenis daun terong
lanteung, satu alat penugal yang dinamakan giringan. Sambil membawa perlengkapan tersebut, semua orang yang hadir berprosesi membawa si bayi ke
tempat permandiannya. Si pembawa daun lanteung tepat di depan sang ibu yang berjalan sambil menggendong bayi, di samping sang ibu terdapat seorang wanita
yang membawa periuk tanah ngarngar yang berisi api api ni anduhur, sedangkan di belakang sang ibu berjalan si pembawa tepung. Setiba di pancuran,
bayi itu dimandikan selanjutnya meninggalkan ngarngar berisi api di tepi pancuran sebagai tanda kepada setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk
pertama kali dimandikan.
e. Mangebang