47 dan memohon doa restu dari Tuhan Yang Maha Esa agar putri mereka dan
kandungannya diberkati dan dilindungi.
c. Mangharoan
Mangharoan adalah kelahiran. Pada saat wanita yang sedang mengandung tadi telah melahirkan, sang suami menjatuhkan sebatang kayu besar dari atas atap
rumah ke halaman, lalu memotong-motongnya menjadi batang-batang kecil dengan kapak. Upacara ini dinamakan “manaha saganon” C.J.Vergouven
1964:225-226 dimana batang kayu tadi kemudian dibakar di atas tungku perapian tataring. Suara kapak yang memotong-motong kayu tersebut merupakan tanda
pengumuman kepada seisi kampung huta bahwa seorang bayi telah lahir. Orang- orang akan bertanya “songon dia?” yang artinya ‘jenis kelaminnya apa?. Maka,
sang suami akan menjawab “si butet” kalau bayinya perempuan dan “si unsok” apabila bayinya laki-laki. “Butet” dan Unsok” merupakan nama panggilan
sementara menunggu adanya nama tetap panggoaran yang akan ditentukan melalui upacara. Kemudian si suami akan mengambil beberapa tangkai daun jeruk
yang disangkutkan di setiap sudut rumah yang didatangi sambil memberitahukan kelahiran sang bayi. Pada saat itu para penghuni rumah juga akan menanyakan
jenis kelamin si bayi. Mereka yang mendengar tentang kelahiran itu segera mengunjungi sang ibu yang baru melahirkan.
Kelahiran anak ditolong oleh seorang bidan tradisional pedesaan yang disebut “sibaso”. Setelah si baso memotong tali pusat dengan kulit bambu
sambilu dan kemudian membersihkan sang ibu dan bayinya, lalu ia membalut sang bayi dengan selimut dan membaringkannya di samping ibunya dekat
Universitas Sumatera Utara
48 perapian tataring parapian. Ibu-ibu yang datang menjenguk segera memotong
seekor ayam dan mencampurnya dengan sejenis sayur yang rasanya asam bernama “bangun-bangun” C.J.Vergouven 1964:225-226. Bila yang lahir
adalah bayi laki-laki, maka ayam yang disembelih adalah ayam betina. Pada saat itu sepotong paha ayam diberikan kepada bidan sibaso sebagai haknya menurut
adat jambar. Ekor ayam diberikan kepada ibu yang melahirkan; hati dan jantung kepada sang bayi untuk dimakan oleh ibunya; kepala diberikan kepada istri kepala
huta yang juga hadir saat itu; paha yang sebuah lagi diberikan kepada istri kakak atau adik paidua ni suhut; pinggang diberikan kepada istri saudara suami dari
nenek yang bersaudara; demikian juga bagian sayap, leher adalah bagian oran yang membagikan jambar bagian tersebut, empedal disimpan bagi orang yang
kemungkinan datang belakangan, kaki adalah bagian para pemuda, sedangkan bagian dada dicampur dengan sayur asam bangun-bangun setelah dipotong
kecil-kecil. Setelah acara makan selesai, salah seorang di antara para tamu terutama
kalau ada laki-laki menyampaikan kata-kata doa restu yang kemudian dijawab oleh ayah sang bayi dengan ucapan terimakasih atas doa restu tersebut. Kemudian
bidan si baso juga menyampaikan kata-kata doa restu yang diikuti dengan pemberian ulos sampe-sampe sebagai tanda terimakasih. Ulos tersebut bermakna
bahwa restu akan sampai kepada sang bayi dari Tuhan Mula Jadi na Bolon agar usia anak panjang, serta selalu sehat sepanjang hidupnya.
Kemudian tibalah masa kritis yang dinamakan “robu-robuan” lamanya tujuh hari tujuh malam. Selama masa itu penduduk huta secara bergantian
Universitas Sumatera Utara
49 berkumpul di rumah orang tua si bayi setiap malam. Maksudnya adalah agar
selalu ada orang yang tetap menjaga, agar hantu dan roh jahat tidak dapat mengganggu atau mengambil si bayi. Bila hari yang ketujuh telah berlalu, orang
tidak perlu datang lagi tetapi tidak ada larangan untuk tidur di rumah itu pada malam berikutnya.
Apabila si ayah tidak hadir pada saat kelahiran sang bayi, maka pada pertemuan pertama si ayah tidak boleh langsung menggendong atau
memangkunya. Terlebih dahulu si ayah harus memberikan pisau piso kepada bayi laki-laki atau ulos kepada bayi perempuan. Pemberian itu bermakna adanya
hubungan darah dan batin antara anak dengan si ayah, serta memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa bayi itu adalah anaknya darah dagingnya.
d. Martutuaek