Makna Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Balige

(1)

MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN BALIGE

SKRIPSI OLEH

ENI EFRIDA SINAGA 050701003

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, April 2010


(3)

MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN BALIGE

Eni Efrida Sinaga

Fakultas Sastra

ABSTRAK

Nama merupakan kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mengindentifikasikan dan menyebutkan nama orang, hewan dan tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yang menyangkut proses pemberian nama, jenis nama orang, dan makna nama orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropoliguistik (liguistik kebudayaan) yang dikemukakan oleh Kridalaksana dan Beratha yang menyatakan bahwa linguistik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosial masyarakat. Penelitian ini juga menggunakan teori onomastik yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Pengumpulan data didukung oleh metode cakap yaitu percakapan dengan penutur sebagai narasumber dan teknik yang digunakan adalah teknik dasar, teknik lanjutan I, teknik lanjutan II, teknik lanjutan III, dan teknik lanjutan IV. Dari hasil pengkajian data dapat disimpulkan bahwa pemberian nama orang pada msyarakat Batak Toba di kecamatan Balige dilakukan dengan cara adat istiadat (proses) berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga pemberian nama. Upacara adat ini harus melalui tahapan dalam upacara khusus yang dilaksanakan oleh pihak hula-hula (pihak pemberi istri) baik itu pemberian nama orang maupun nama sebutan (nama panggilan) yang disandangnya. Jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yaitu: pranama, goar sihadakdanahon, panggoaran goar-goar dan marga. Nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Selanjutnya nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung nilai pragmatis yaitu konotasi formal, konotasi non formal, konotasi kelaki-lakian dan konotasi kewanitaan sejalan dengan pendapat Van Buren.


(4)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Bapa di Surga atas segala kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesikan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat bantuan baik berupa dorongan, perhatian, dan bimbingan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., sebagai ketua Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Mascahaya, M. Hum., sebagai sekretaris Departemen Sastra Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk yang sangat berguna untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum., sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang sangat berguna kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Asrul Siregar, M. Hum., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan sangat berguna untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S., sebagai dosen wali penulis dan seluruh staf pengajar Depatemen Sastra Indonesia yang telah


(5)

memberikan ilmu pengetahuan selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 7. Bapak Eddy M. Sihaloho, S.Sos., sebagai camat di Kecamatan Balige, beserta staf pegawai yang telah membantu penulis mengadakan penelitian ini.

7. Ayahanda J. Sinaga dan Ibunda M. Simbolon yang sangat saya sayangi yang senatiasa memberi kasih sayang, perhatian dan dukungan doa dengan berlinang air mata, semoga Tuhan membalas segala ketulusan kalian. 8. Adik-adikku tersayang Ucok, Riccan, Irwan, Dolas, Lena, Anjur yang selalu memberikan penulis semangat. Semoga kita bisa membahagiakan kedua orangtua kita.

9. Kakak kelompokku (Kak’Zuena dan Kak’Martha), serta teman satu kelompok (Angle Voices) Rapi, Intan, Lilis, Vina yang senantiasa setia menjadi sahabat penulis dalam suka dan duka.Teman satu kos (Ganefo’ers) ada Ipunk, Ocy, Dodo, Vera, Evlin, Nova, Martha,Lyla, Jujur, Marmen, Boy, Andre, Dewi, Popy, terimakasih untuk dukungannya.

10. IMADA (Ikatan Mahasiswa Dairi) sebagai tempat penulis untuk mengisi diri, berbagi keceriaan dan kesedihan Pimpin, Jefry, Hengky, Jacob, Toman, Irvan, Melda, Marta, Kak’Mika, Kak’ida dan masih banyak lagi. Terimakasih untuk dukungan kalian.

11. Teman-teman satu stambuk 2005 ada Zakaria, Daniel, Sabrun, David, July, Lasmaina, Lady, Sandra, Lia, Wika. Adik-adik stambuk 2007(Flora,


(6)

Lela, Pesta), adik-adik stambuk 2008 (Ida, Paidun, Tetty, Dina, Tina, Novi, Febri) terimakasih untuk dukungannya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca khususnya Keluarga Besar Sastra Indonesia.

Medan, Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1Latar Belakang dan Masalah...1

1.1.1 Latar Belakang ...1

1.1.2 Masalah ...6

1.2 Batasan Masalah ...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

1.3.1 Tujuan Penelitian...7

1.3.2 Manfaat Penelitian...7

1.3.2.1 Manfaat Teoritis ...7

1.3.2.2 Manfaat Praktis...8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1 Konsep ...9

2.1.1 Makna ...9

2.1.2 Nama ...10


(8)

2.2 Landasan Teori ...11

2.2.1 Antropolingustik...11

2.2.2 Onomastik ...12

2.2.3 Kategorisasi Nama Orang ...17

2.3 Tinjauan Pustaka...18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...20

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...20

3.1.1 Lokasi Penelitian ...20

3.1.2 Waktu Penelitian ...22

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian...22

3.2.1 Populasi Penelitian ...22

3.2.2 Sampel Penelitian ...23

3.3 Metodologi Penelitian ...24

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...24

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ...26

BAB IV ANALISIS MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN BALIGE ...30

4.1 Proses Pemberian Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige...30

4.1.1 Proses (Upacara) Pemberian Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige...31


(9)

4.2 Jenis Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Balige...43

4.3 Makna Nama Orang Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige ...53

4.3.1 Makna Pengharapan ...55

4.3.1.1 Pengharapan Futuratif ...54

4.3.1.2 Pengharapan Situasional ...61

4.3.2 Makna Kenangan...64

4.4 Kategorisasi Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige ...69

4.4.1 Kategorisasi Nama Orang Berdasarkan Makna Pragmatis ...69

4.4.2 Kategorisasi Nama Orang Berdasarkan Hubungan Kekerabatan (Nama Sapaan) ...81

4.4.3 Kategorisasi Nama Orang Berdasarkan Marga ...90

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...103

5.1 Simpulan ...103

5.2 Saran ...105 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jenis Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Tabel 2 Deskripsi Makna Nama Pengharapan Futuratif pada Masyrakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Tabel 3 Deskripsi Makna Nama Pengharapan Situasional pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Tabel 4 Deskripsi Makna Nama Kenangan pada Masyarkat Batak Toba di Kecamatan Balige

Tabel 5 Kategorisasi Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Tabel 6 Jenis Pertuturan pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige


(11)

MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN BALIGE

Eni Efrida Sinaga

Fakultas Sastra

ABSTRAK

Nama merupakan kata atau kelompok kata yang digunakan untuk mengindentifikasikan dan menyebutkan nama orang, hewan dan tempat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yang menyangkut proses pemberian nama, jenis nama orang, dan makna nama orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropoliguistik (liguistik kebudayaan) yang dikemukakan oleh Kridalaksana dan Beratha yang menyatakan bahwa linguistik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosial masyarakat. Penelitian ini juga menggunakan teori onomastik yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Pengumpulan data didukung oleh metode cakap yaitu percakapan dengan penutur sebagai narasumber dan teknik yang digunakan adalah teknik dasar, teknik lanjutan I, teknik lanjutan II, teknik lanjutan III, dan teknik lanjutan IV. Dari hasil pengkajian data dapat disimpulkan bahwa pemberian nama orang pada msyarakat Batak Toba di kecamatan Balige dilakukan dengan cara adat istiadat (proses) berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga pemberian nama. Upacara adat ini harus melalui tahapan dalam upacara khusus yang dilaksanakan oleh pihak hula-hula (pihak pemberi istri) baik itu pemberian nama orang maupun nama sebutan (nama panggilan) yang disandangnya. Jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige yaitu: pranama, goar sihadakdanahon, panggoaran goar-goar dan marga. Nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Selanjutnya nama-nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung nilai pragmatis yaitu konotasi formal, konotasi non formal, konotasi kelaki-lakian dan konotasi kewanitaan sejalan dengan pendapat Van Buren.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Bahasa adalah alat komunikasi yang sangat penting dalam menyampaikan maksud dan tujuan. Bahasa merupakan ungkapan perasaan maupun pikiran tertentu dalam perwujudan tingkah laku manusia baik lisan atau tulisan sehingga orang dapat mendengar, mengerti, serta merasakan apa yang dimaksud. Sudah sewajarnya bahasa dimiliki oleh setiap manusia di dunia ini yang secara rutin dipergunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk mengadakan hubungan antara sesama manusia (Kridalaksana, 1978:10).

Pada dasarnya pembangunan di Indonesia merupakan usaha peningkatan kesejahteraan yang bersifat material dan spiritual. Dalam hal ini pembangunan yang dimaksud bukan berarti pada sistem teknologi saja, melainkan juga pada pengembangan potensi yang berkaitan dengan kebudayaan nasional, salah satu diantaranya adalah pengembangan di bidang bahasa dan sastra Indonesia. Pembinaan dan pengembangan di bidang bahasa dan sastra Indonesia tidak saja bertujuan untuk menjaga kelestarian bahasa Indonesia tetapi juga bermanfaat bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang erat.

Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku yang mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda, walaupun mungkin masih ada persamaan. Salah satu


(13)

suku yang terdapat di Indonesia khususnya di Sumatera Utara adalah suku Batak. Suku Batak terdiri dari beberapa etnik yaitu:

1. Etnik Toba,

2. Etnik Simalungun, 3. Etnik Karo,

4. Etnik Pak-Pak/Dairi, dan 5. Etnik Angkola/Mandailing.

Batak Toba adalah satu salah satu etnik suku Batak yang pada umumnya mendiami beberapa daerah asal yaitu Kabupaten Tapanuli Utara yang berpusat di Tarutung, Kabupaten Toba Samosir berpusat di Balige, Kabupaten Humbang Hasundutan berpusat di Dolok Sanggul dan Kabupaten Samosir berpusat di Pangururan. Kemudian suku ini menyebar ke daerah-daerah di seluruh Indonesia. Sebagai bahasa komunikasi sehari-hari masyarakat Batak Toba baik di tempat asal maupun di perantauan selalu menggunakan Bahasa Indonesia tetapi masih kental dengan logat Batak. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa penutur bahasa Batak Toba tidak terbatas pada suatu daerah.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis menetapkan daerah yang menjadi wilayah penelitian ini adalah Kabupaten Toba Samosir yang berpusat di Kecamatan Balige. Kabupaten Toba Samosir berada pada 2.003′- 2.040′ Lintang Utara dan 98.056′-99.040′ Bujur Timur. Kabupaten Toba Samosir memiliki luas wilayah 2.021,8 Km². Kabupaten ini berada diantara lima kabupaten yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten


(14)

Tapanuli Utara, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten Toba Samosir ini memiliki enam belas kecamatan, dan 216 desa/kelurahan. Salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten ini adalah Kecamatan Balige. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 91,05 Km². Secara astronomis kecamatan ini berada pada 2.015′- 2.021′ Lintang Utara dan 99.000′- 99.011′ Bujur Timur. Secara geografis kecamatan ini berbatasan dengan Danau Toba di sebelah Utara, sebelah Selatan berbatasan denan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tampahan, serta sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Laguboti.

Selain memiliki ragam budaya suku Batak Toba juga dikenal dengan falsafah kehidupan Batak Toba yaitu Dalihan Natolu (tiga tungku). Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan suku Batak Toba akan terlaksana dan berlangsung dengan damai dan sejahtera apabila berlangsung sesuai dengan Dalihan Natolu. Wujud pancaran kuasa Dalihan Natolu akan dapat terasa dalam bentuk spiritual dan material. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dalihan Natolu mengandung sifat ritual yang berhubungan dengan Tuhan, hubungan kekerabatan, serta materi yang berkaitan misalnya unsur yang terlibat dalam ritual pernikahan, kematian, serta aturan dalam pertuturan. Budaya rasa sangat memegang peranan pada Dalihan Natolu sehingga pada pelaksanaannya dilakukan dengan simbol-simbol spiritual berbentuk material misalnya “mangulosi” (memberi ulos), “pembagian jambar” (pembagian upah) (Raja Marpodang, 1992:55-56).

Pengkajian suatu bahasa dapat mencakup bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan gabungan antara ilmu ligustik dengan ilmu lain seperti


(15)

psikologi, antropologi, sosiolgi, dan lain-lain. Pada penelitian ini penulis akan mengkaji tentang “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige”.

Nama adalah suatu kata atau kelompok kata untuk mengindentifikasi dan menyebut orang, hewan, benda, dan tempat (Robert dan Henry, 1990:8). Memiliki sebuah nama adalah hak istimewa atau kehormatan bagi setiap orang. Odssey (dalam Stephen Ulmann 2007:84-85) menyatakan bahwa:

“Tidak ada seorang pun yang rendah maupun tinggi derajatnya yang hidup tanpa nama begitu dia lahir di dunia; tiap orang diberi nama oleh orang tuanya ketika dia lahir. Nama itu dibuat dan diberikan kepada sesorang untuk membedakannya dengan orang lain untuk anggota keluarga atau masyarakat memanggilnya. Nama itu memiliki peranan penting dalam hubungan antar manusia sehingga nama itu sering digayuti oleh hal magis, gaib, serta tabu, contohnya dalam masyarakat Masau di Afrika, nama orang yang sudah meninggal tidak boleh disebut-sebut lagi dan kalau ada kata-kata sehari-hari yang kebetulan mirip dengan nama itu maka kata itu harus diganti”.

Dengan demikian, setiap orang pasti memiliki setidaknya satu nama yang disandangnya. Nama begitu dekat diidentifikasikan dengan pemiliknya sehingga nama itu menggambarkan reputasi baik atau buruk, cerita baik, sedih, maupun bahagia di balik nama itu. Namun, sebagian orang tidak memiliki pemikiran yang jelas apakah arti nama yang disandangnya bahkan beberapa orang malah tidak memperdulikan itu. Selain itu, Sianipar (dalam http//nama bayi net/arti nama) menyatakan bahwa:

“Sebagian besar orang menganggap nama tidaklah lebih dari sebuah pengenalan untuk membedakan dirinya dengan orang lain, pengenal yang digunakan bagi orang lain untuk memanggil dirinya, pengenal yang digunakan dalam setiap ijazah atau piagam meskipun sebenarnya tidak ada informasi yang jelas mengenai kapan mulainya peradaban manusia menggunakan nama. Walaupun demikian, setiap wilayah dan kebudayaan memiliki ciri tertentu dalam memberikan nama”.


(16)

Selanjutnya, J.C.Vergouven (1998:63-64) mengemukakan pendapatnya mengenai nama yakni:

“Demikian juga halnya pada suku Batak Toba, nama adalah salah satu elemen penting dalam hidup. Dalam pemilihan nama biasanya masyarakat Batak Toba memilih nama nenek moyang yang memunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan atau nama tumbuhan, serta tempat yang berarti sangat baik yang dapat mengangkat si pemilik nama ke derajat yang tinggi, menjadi pembesar, orang terkenal, orang kaya dan orang yang memiliki banyak keturunan (hamoraon. hagabeon, hasangapon). Menurut masyarakat Batak Toba, nama memiliki arti yang menentukan nasib si pemilik nama dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman orang tua nama sering disesuaikan dengan si pemilik nama dengan melihat perangainya sehari-hari”.

Nama pada masyarakat Batak Toba memiliki ciri khas yang menunjukkan identitas pemilik nama itu, misalnya dengan mendengar nama “ Haposan, Anggiat, Pardomuan”, kita dapat mengetahui etnik atau agama apa pemilik nama tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu alasan penulis tertarik mengadakan penelitian terhadap nama yang menggunakan bahasa Batak Toba. Kemudian, dalam upacara pemberian nama pada masyarakat Batak Toba tentunya memiliki tata cara adat berupa ritual yang harus disiapkan dan dilaksanakan menurut falsafah Dalihan Natolu yang sudah dipaparkan sebelumnya. Selanjutnya makna nama orang pada masyarakat Batak Toba memiliki dua ciri khas, yaitu mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Akan tetapi makna pengharapan inilah yang lebih banyak dalam nama yang menggunakan bahasa Batak Toba (Sibarani, 2004:114-115), misalnya nama “Lambok” dan “Haposan” yang berarti ‘lembut’ dan ‘kepercayaan’ bermakna semoga menjadi orang yang lembut dan orang yang dipercayai. Selain itu cara menyebut dan memangil nama


(17)

pada masyarakat Batak Toba juga memiliki tatacara sesuai dengan falsafah Dalihan Natolu. Menyebut dan memanggil nama asli seseorang dalam masyarakat Batak Toba hanya terbatas dari yang mengayomi kepada yang diayomi dan kepada anak yang belum berkeluarga. Menyebut dan memanggil nama orang yang sudah berkeluarga tidak mencerminkan sopan santun, dan orang yang memiliki nama tersebut akan tersinggung dan keluarganya akan merasa terhina karena dianggap masih anak-anak karena hanya anak-anaklah yang diperkenankan memanggil nama asli satu sama lain dan itu pun harus dilihat dari tingkat kekerabatan (Raja Marpodang 1998:116).

Bertitik tolak dari pemaparan di atas, penulis merasa tertarik mengadakan penelitian mengenai “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba” untuk dapat memperkaya khazanah kajian makna nama dalam penelitian sebelumnya sekaligus menjadi inventaris salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini yaitu, bahasa Batak Toba.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pokok masalah penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah proses (upacara) menyambut kelahiran anak sampai proses pemberian nama pada masyarakat Batak Toba?

b. Bagaimanakah jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba di kecamatan Balige?

c. Bagaimanakah jenis dan kategorisasi makna nama orang masyarakat Batak Toba di kecamatan Balige?


(18)

1.2Batasan Masalah

Dengan pembatasan masalah pembaca akan mengetahui apa yang menjadi pokok bahasan dalam sebuah penelitian dan sampai di mana masalah tersebut diuraikan. Sesuai dengan judul “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige”, maka batasan masalah penelitian ini adalah:

a. Penelitian difokuskan pada proses (upacara) menyambut kelahiran sampai proses pemberian nama pada anak dalam masyarakat Batak Toba.

b. Penelitian difokuskan pada jenis nama dalam masyarakat Batak Toba yang terdapat di Kecamatan Balige.

c. Penelitian ini difokuskan pada pembagian dan kategorisasi makna nama orang yang menggunakan bahasa Batak Toba yang terdapat di Kecamatan Balige.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige” ini bertujuan untuk:

a. Untuk menguraikan proses (upacara) menyambut kelahiran seorang anak sampai proses pemberian nama pada anak dalam masyarakat Batak Toba.

b. Untuk menguraikan jenis nama dalam masyarakat Batak Toba yang terdapat di kecamatan Balige.


(19)

c. Untuk menguraikan makna dan kategorisasi makna nama orang dalam masyarakat Batak Toba yang terdapat di kecamatan Balige.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis

a. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat khususnya bagi mahasiswa jurusan Sasatra Indonesia agar berminat mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di nusantara.

b. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan penelitian mengenai makna nama orang pada waktu yang akan datang pada suku-suku yang ada di nusantara.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

a. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu dengan teori yang ada.

b. Sebagai sumber pengetahuan mengenai ragam budaya Batak Toba khususnya mengenai nama sebagai salah satu wujud ragam budaya Batak Toba.


(20)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi dkk, 2005:588)

2.1.1 Makna

Makna adalah arti, maksud pembicara atau penulis, dan pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (Alwi dkk, 2005:703). Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar. Dari pengertian tersebut dapat diketahui adanya unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yaitu:

a. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar,

b. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta c. Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan

informasi sehingga dapat saling mengerti.

Dalam penelitian ini, makna yang menjadi acuan penulis dalam menganalisis makna nama orang ini adalah makna yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi secara langsung kepada orang lain sehingga orang lain dapat mengetahui apa makna nama, serta peristiwa apa yang ada di balik nama tersebut.


(21)

2.1.2 Nama

Nama adalah suatu kata atau kelompok kata untuk mengindentifikasi dan menyebut orang, hewan, benda, tempat (Robert dan Henry, 1990:8). Memiliki sebuah nama adalah hak istimewa atau kehormatan bagi setiap orang. Dalam Odissey (Stephen Ulmann, 2007:84-85) dinyatakan bahwa “Tidak ada seorang pun yang rendah maupun tinggi derajatnya yang hidup tanpa nama begitu dia lahir di dunia; tiap orang diberi nama oleh orang tuanya ketika dia lahir”.

Setiap orang pasti memiliki setidaknya satu nama yang disandangnya. Nama begitu dekat dengan pemiliknya sehingga nama itu menggambarkan reputasi baik atau buruk, cerita baik, sedih, maupun bahagia di balik nama itu.

2.1.3 Masyarakat Batak Toba

Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (Alwi Hasan dkk, 2005:721). Batak Toba adalah salah satu etnik suku Toba yang pada umumnya mendiami beberapa daerah asal yaitu Kabupaten Tapanuli Utara berpusat di Tarutung, Kabupaten Toba Samosir berpusat di Balige, Kabupaten Humbang Hasundutan berpusat di Dolok Sanggul, dan kabupaten Samosir berpusat di Pangururan.

Dalam penelitian ini, penulis menetapkan masyarakat Batak Toba di kabupaten Toba Samosir yang berpusat di Balige sebagai wilayah penelitian.


(22)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Antropolinguistik

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: a)pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas dan b) peran bahasa dalam mngembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial. Dalam hal ini, antropolinguistik memandang bahasa melalui konsep antropologi yang hakiki dan melalui budaya, menemukan makna di balik penggunaannya, serta menemukan bentuk-bentuk bahasa, register, dan gaya. Dalam kaitan bahasa dengan antropologi, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (Halliday, dalam Suryatna, 1996:59). Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat (Sibarani, 2004:50). Selanjutnya, Kridalaksana menggunakan istilah kajian antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan. Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan (Sibarani dan Henry, 1993:128). Linguistik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa di dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosial masyarakat (Beratha 1998:42). Demikian juga halnya pada masyarakat Batak Toba yang identik dengan Dalihan Natolu yang dikatakan mengandung sifat ritual yang berhubungan dengan Tuhan, hubungan kekerabatan, serta adat istiadat yang berkaitan. Proses pemberian nama


(23)

ini dilakukan dengan tatacara adat sesuai dengan daerah masing-masing. Tetapi masyarakat Batak Toba juga dapat mengadakan pesta adat Batak Toba di daerah yang bukan merupakan daerah suku yang bersangkutan tetapi dengan syarat harus meminta izin kepada pengetua adat atau masyarakat setempat.

Dalam hal ini tampak adanya usaha unutk membentuk dan mepertahankan praktik kebudayaan tersebut.

2.2.2 Onomastik

Secara umum kajian mengenai makna adalah semantik. Semantik adalah a) ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya, b ) ilmu tentang makna atau arti (Parera, 1991:25). Namun, semantik telah berkembang lagi menjadi kajian yang lebih khusus. Kajian khusus mengenai nama disebut onomastik. Onomastik dibagi lagi menjadi antroponomastik dan toponimi. Antroponomastik adalah cabang ilmu onomastik yang menyelidiki seluk-beluk nama orang. Sedangkan toponimi adalah cabang ilmu onomastik yang mempelajari nama tempat (Sibarani dan Henry 1993:8).

Dari pengertian tersebut nama itu dibuat dan diberikan kepada seseorang untuk membedakan dengan orang lain, untuk memudahkan anggota keluarga dan masyarakat memanggilnya, menyuruhnya bila perlu.

Menurut (Thatcher, dkk. 1970:332 dalam Sibarani dan Henry 1993:10) ada tujuh persyaratan dalam pemberian nama yaitu:

1. nama harus berharga, bernilai dan berfaedah, 2. nama harus mengandung makna yang baik, 3. nama harus asli,


(24)

4. nama harus mudah dilafalkan, 5. nama harus bersifat membedakan,

6. nama harus menunjukkan nama keluarga, dan 7. nama harus menunjukkan jenis kelamin.

Syarat pertama, menyatakan bahwa pemberian nama harus didasarkan pada pertimbangan kasih sayang dan pertimbangan keindahan bunyi. Dengan demikian orangtua sebaiknya memberi nama yang dapat menimbulkan inspirasi dan kebanggaan kepada anaknya. Bunyi nama yang indah dan asosiasi nama yang baik tentu akan memberikan kesan tersendiri atau kebanggaan pada pemilik nama tersebut. Contoh nama dalam bahasa Batak Toba “Sihol” yang berarti ‘Rindu’. Dari nama tersebut dapat dilihat bahwa orangtuanya sangat rindu akan kehadiran anak tersebut. Nama yang terlalu panjang, bunyi yang aneh, yang berasosiasi buruk tentu tidak sesuai dengan aturan pertama.

Syarat kedua, menyatakan bahwa nama itu harus memiliki makna yang baik, artinya apabila nama itu sesuai pada bahasa aslinya, sebaiknya nama itu memiliki arti yang baik. Hal ini sangat penting karena ada anggapan bahwa nama dapat membawa rejeki dan menandakan nama itu sesuai dengan kepribadian si anak. Contoh nama dalam bahasa Batak Toba “Pistar” artinya ‘pintar’, mengandung makna yang baik agar anak tersebut menjadi anak yang pintar, dan “Ramot” artinya ‘berkat’, mengandung makna agar anak tersebut selalu diberkati Tuhan.

Syarat ketiga, menyatakan nama itu harus asli, keaslian di sini dapat dihubungkan dengan imajinasi dan akal sehat pemberian nama. Menurut aturan


(25)

ini nama seseorang bisa diberi sesuai dengan keadaan atau situasi ketika bayi itu lahir. Misalnya ada satu keluarga yang sudah lima tahun menikah dan belum dikaruniai anak, maka pada suatu ketika Tuhan memberikan berkat dan sang istri melahirkan seorang anak laki-laki, maka nama yang diberikan kepada anak tersebut adalah “Hasiholan” yang artinya ‘Kerinduan’. Nama ini bermakna bahwa anak tersebut adalah anak yang sudah lama dirindukan oleh kedua orangtuanya. Contoh lain, sebuah keluarga yang telah memiliki tiga anak perempuan dan orangtua tersebut sangat menginginkan kehadiran anak laki-laki mengingat sistem patrilineal suku Batak Toba, maka salah satu anak perempuan tersebut diberi nama “Romaito” yang bermakna agar anak perempuannya segera memiliki ‘ito’ (saudara laki-laki).

Syarat keempat, menyatakan agar nama yang diberikan kepada seseorang mudah dilafalkan, oleh karena itu seharusnya dipilih nama yang susunan bunyinya terdapat dalam bahasa yang bersangkutan. Misalnya “Bonar” yang artinya ‘Benar’, “Sahat” yang artinya ‘Sampai’. Nama tersebut mudah dilafalkan dan tidak bermasalah jika dilafalkan dalam kegiatan sehari-hari.

Syarat kelima, menyatakan agar nama yang diberikan memiliki sifat yang membedakan dengan orang lain. Dalam satu keluarga atau kelompok masyarakat, nama-nama angota keluarga atau masyarakat itu harus berbeda meskipun mereka juga mempunyai nama yang sama pertanda ikatan keluarga atau kemasyarakatan. Pada masyarakat tertentu, nama yang dimiliki bersama sebagai pertanda ikatan kelompok kekerabatan baik secara matrilineal dan patrilineal yang disebut dengan marga. Bisa dibayangkan betapa sulitnya menceritakan seseorang seandainya


(26)

tidak memiliki nama. Komunikasi dalam keluarga akan terhambat. Jika dalam sebuah keluarga memiliki nama yang sama, pasti akan membingungkan. Oleh karena itu, nama yang diberikan tidak sama. Contoh nama dalam bahasa Batak Toba “Anggiat, Ramot, Sahat, Lasma”, yang seluruhnya bermarga Sinaga .

Syarat keenam, menyatakan agar nama yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan nama keluarga atau tidak bertentangan dengan nama keluarganya. Nama keluarga sering memberikan kehormatan dan kemashuran kepada seseorang yang kemungkinan akan berpengaruh dalam kehidupan dan tingkah lakunya, atau mengingatkan kehormatan nama nenek moyangnya, sehingga akan berusaha menjaganya dengan baik. Misalnya pada masyarakat Batak Toba, nama keluarga atau marga juga dapat memperlihatkan silsilah pemilik keluarga tersebut.

Syarat ketujuh, menyatakan agar nama yang diberikan kepada seseorang dapat membedakan jenis kelamin. Hal ini sangat penting karena melalui namanya dapat menandakan bahwa seseorang itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Jika nama tidak menunjukkan jenis kelamin, maka akan mengalami kesulitan untuk menyapa seseorang. Contoh nama dalam bahasa Batak Toba “Hotma” yang atinya Teguh, untuk laki-laki biasanya diberikan nama “Hotmarianto” karena “anto” menunjukkan makna pragmatis jenis kelamin laki-laki sedangkan untuk perempuan diberi nama “Hotmarianti” karena “anti” menunjukkan makna pragmatis perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian Robert Sibarani (dalam Antropolinguistik 2004:114) menyatakan bahwa:

“ Makna nama berbahasa Batak Toba mengandung dua makna yaitu: 1) pengharapan dan 2) kenangan. Makna pengharapan terdiri dari dua


(27)

jenis yaitu: 1) makna pengharapan futuratif yang artinya mengandung pengharapan agar kehidupan pemilik nama seperti makna namanya, sedangkan 2) makna pengharapan situsional yang artinya mengandung pemberitahuan situasi sekarang kehidupan keluarga pemilik nama dengan pengharapan agar kehidupannya dan keluarga lebih baik daripada sekarang”.

Selanjutnya, menurut Robert Sibarani (dalam antropolinguistik 2004:109-110) ada lima jenis pemberian nama kepada seorang anak dalam budaya Batak Toba, yaitu:

1. Pranama, yaitu julukan yang diberikan kepada si anak sebelum dia diberi nama sebenarnya. Anak laki-laki diberi nama “si Unsok”, dan anak perempuan diberi nama “si Butet”.

2. Goar Sihadakdanahon, “nama sebenarnya/ sejak lahir”, yaitu nama yang diberikan oleh orang tua kepada si anak sejak kecil seperti “Bonar”, “Togi”, “Parulian”. Inilah yang disebut dengan “proper name” ‘nama pribadi’

3. Panggoaran, “tektonim atau nama dari anak/cucu sulung”, yaitu nama tambahan yang diberikan masyarakat secara langsung kepada orang tua dengan memanggil nama anak atau cucu sulungnya.

4. Goar-goar “ nama julukan”, yaitu nama tambahan yang diberikan orang banyak kepada seseorang yang memiliki pekerjaan, keistimewaan, tabiat atau sifat tertentu. Nama julukan ini terdiri dari nama julukan berdasarkan kehormatan, gelar yang bermakna positif dan nama julukan berdasarkan sifat seseorang yang pada umumnya bermakna negatif atau mengejek. Misalnya, “Datu” ‘Dukun’, “Pandita’ ‘Pendeta’ untuk nama yang bermakna positif sedangkan “si Ganjang” ‘si Panjang’, “si Mokmok” ‘si Gendut’


(28)

5. Marga, “nama keluarga/ kerabat”, yaitu nama yang diberikan kepada seseorang dengan otomatis berdasarkan kekerabatan yang unilinear atau garis keturunan yang patrilineal. Pada mulanya, marga ini berasal dari nama pribadi nenek moyang. Kemudian keturunannya akan menggunakan nama ini sebagai nama keluarga (marga) untuk menandakan bahwa mereka keturunan nenek moyang itu.

2.2.3 Kategorisasi Nama Orang

Van Buren (1997:128, dalam Wierbicka, 1992:225) menyatakan bahwa di berbagai bahasa dunia, misalnya bahasa Inggris, nama-nama orang Amerika dibedakan menjadi khusus nama laki-laki dan nama perempuan,dan dalam kelas-kelas makro dibagi menjadi tiga kategori yaitu 1) nama lengkap, contoh “Thomson”, “Pamela”, 2) nama panggilan, contoh” Thom”, “Pam”, 3) nama panggilan contoh “Thommy”, “Pamela”. Dan untuk menandai ketiga kategori ini digunakan ke dalam arti yang lebih pragmatis seperti formal, non formal, konotasi kelaki-lakian, konotasi kewanitaan, serta konotasi kekanak-kanakan.

Lebih lanjut Van Buren menyatakan bahwa nama-nama singkatan seperti “Bob, Bill, dan Tom” cenderung berkonotasi kelaki-lakian dan hal ini dapat diterima oleh pemakai bahasa. Adapun untuk nama-nama singkatan bagi seorang anak perempuan di akhir kata ditambah dengan –ie/-y seperti “Debby atau Cindy, sedangkan singkatan nama-nama seperti “Pam, Jill, Kate, dan Sue”, sepintas singkatan-singkatan itu cocok untuk panggilan perempuan namun hampir semua


(29)

penutur asli bahasa Inggris setuju bahwa bentuk singkatan tersebut tidak sentimental dan kekanak-kanakan seperti nama “Debby atau Cindy” dan mereka tidak setuju bahwa nama-nama tersebut kedengarannya kelaki-lakian. Nama-nama seperti “Robert, William”, James sangat terkesan tekanan kelaki-lakiannya demikian pula nama-nama seperti “Pamela, Katherine, dan Susan” sangat tinggi penekanan kewanitaannya.

Berdasarkan contoh di atas penambahan –ie/-y dilakukan untuk panggilan kekanak-kanakan seperti contoh singkatan nama laki-laki untuk “Billy, Eddie, atau Frankie”. Hanya saja, pelafalan singkatan singkatan nama anak perempuan biasa menggunakan –ie/-y. hal yang diperhatikan dalam penggunaan nama singkatan adalah aspek pragmatiknya yaitu serasi tidaknya singkatan-singkatan tersebut dipakai pada penutur bahasanya.

Dalam memberikan sebuah nama, masyarakat Batak Toba juga memperhatikan jenis kelamin yang mengandung konsep pragmatis apakah nama itu memiliki konotasi kelaki-lakian atau konotasi kewanitaan. Contoh pada masyarakat Batak Toba sering kita dengar nama “Halomoan, Haposan, Marihot, Duma, Tiorida”. Dari nama-nama tersebut kita dapat mengetahui pemilik nama yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Nama-nama seperti: “Halomoan, Haposan, dan Marihot” sangat kental dengan konotasi kelaki-lakiannya sedangkan nama-nama seperti: “Duma dan Tiorida” sangat kental dengan konotasi kewanitaannya.


(30)

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki (Alwi dkk, 2005:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (Alwi dkk, 2005:912).

Sebelumnya penelitian tentang nama orang sudah dikaji oleh beberapa orang diantaranya oleh Ahmad Husein Harahap (2000). Ia menganalisis nama orang suku Mandailing dengan menggunakan pendekatan linguistik kebudayaan. Diuraikannya bahwa nama masyarakat Mandailing mengandung makna pragmatis seperti formal, non-formal, konotasi kelaki-lakian, konotasi kewanitaan dan konotasi kekanak-kanakan. Dan seluruh konotasi ini tidak menimbulkan perubahan yang mendasar kecuali pada sebagian kecil nama (laki-laki) yang bergeser nilai pragmatisnya karena nama tersebut mempergunakan nama yang lazim digunakan oleh wanita. Selain itu, penelitian makna nama pada masyarakat Batak Karo juga telah dikaji oleh Timanta Hermasani Br Ginting (1996). Ia menguraikan nama pada masyarakat Karo mengandung sejarah dan mengandung nilai spontanitas maksudnya nama seseorang sering dikaitkan dengan kejadian yang terjadi pada saat si bayi lahir. Selanjutnya Muhammad Sofyan (1996) juga telah mengadakan penelitian tentang makna nama pada masyarakat Melayu dengan menggunakan pendekatan linguistik kebudayaan yang menguraikan bahwa nama masyarakat Melayu mengandung nama pengharapan yang dilihat dari kandungan arti nama seseorang, misalnya nama “Abdul Salam” yang berarti ‘hamba selamat’ mengandung suatu pengharapan suatu pengharapan semoga selalu terhindar dari bencana.


(31)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat ( Alwi dkk, 2005:680). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini dilakukan di kabupaten Toba Samosir, kecamatan Balige. Secara administratif kabupaten ini memiliki enam belas kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 216 desa/ kelurahan. Salah satunya adalah Kecamatan Balige yang merupakan ibukota Kabupaten Toba Samosir . Kecamatan ini terdiri dari 34 desa yaitu:

1. Aek Bolon Jae 2. Aek Bolon Julu 3. Pardede Onan 4. Sangkar Nihuta 5. Balige I

6. Balige II 7. Balige III 8. Baruara 9. Bonan Dolok I 10.Bonan Dolok II 11.Bonan Dolok III 12.Hinalang Bagasan


(32)

13.Hutabulu Mejan 14.Hutagaol Petalun 15.Huta Dame 16.Huta Namora 17.Longat

18.Lumban Bulbul 19.Lumban Gorat 20.Lumpan Pea 21.Lumban Pea Timur 22.Limban Silintong 23.Lumban Gaol 24.Matio

25.Paindoan 26.Parsuratan

27.Silalahi Pagarbatu 28.Sibuntuon

29.Sianipar Sihail-hail 30.Siboruon

31.Sibolahotang

32.Saribu Raja Janji Maria 33.Tambunan Sunge 34.Napitupulu Bagasan


(33)

3.1.2 Waktu Penelitian

Penulis melakukan penelitian terhadap “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige” terhitung sejak tanggal 14 Desember-14 Februari 2010.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006:130). Adapun jumlah penduduk di kecamatan ini adalah 43.334 jiwa dengan kepadatan penduduk 475,9 jiwa/km²(www.tobasamosir.bps.blogspot.com) dengan demikian, populasi penelitian ini seluruh masyarakat Batak Toba yang memiliki nama dalam bahasa Batak Toba di kecamatan Balige.

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006:131). Sebagai bahan perhitungan, apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 15% atau 20-25% atau lebih, tergantung setidak-tidaknya dari:

a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.

b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data.

c. Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti

Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan “Simple Random


(34)

dengan cara mencampur subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua subjek dianggap sama. Dengan demikian, peneliti memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh kesempatan (chance) dipilih menjadi sampel (Arikunto, 2006:134).

Dari paparan di atas, maka penulis menentukan jumlah sampel penelitian ini yaitu 15% dari jumlah desa yang terdapat di kecamatan Balige. Dengan demikian didapatkan jumlah sampel penelitian yaitu:

N = 15/ 100 x 34

N = 5,1 N= Jumlah sampel penelitian N = 5

Dari rumus di atas didapatkan jumlah sampel penelitian ini adalah sebanyak lima desa. Maka penulis menetapkan wilayah penelitian yaitu:

1. Balige I

2. Sangkar Nihuta 3. Napitupulu Bagasan 4. Pardede Onan 5. Lumban Bulbul

Dengan demikian, penulis menetapkan sampel penelitian ini secara acak yaitu 30 responden tiap desa, sehingga sampel penelitian ini adalah sebanyak 150 responden.


(35)

3.3. Metodologi Penelitian

Metodologi berasal dari kata metode yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi, metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan. Metodologi ini meruapakan sesuatu yang sangat penting karena berhasl tidaknya dan tinggi rendahnya hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam memilih metodologi yang digunakan.

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan data

Data penelitian ini adalah data lisan yang bersumber dari masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Balige. Data lain yaitu bersumber dari buku-buku yang berkaitan dengan makna nama. Oleh karena itu, metode penelitian data yang relevan dengan peneliian ini adalah metode cakap (Sudaryanto, 1993: 137). Metode ini disebut metode cakap atau percakapan karena metode ini berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti dan penutur sebagai narasumber.

Selanjutnya Sudaryanto (1993:137) mengemukakan bahwa untuk mengembangkan metode cakap digunakan sejumlah teknik sebagai berikut:

1. Teknik Dasar: Teknik Pancing

Percakapan atau metode cakap diwujudkan dengan pemancingan. Dalam teknik ini narasumber dipancing berbicara sesuai dengan konsep nama orang yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.


(36)

Kegiatan memancing berbicara itu dilakukan dengan percakapan langsung, tatap muka, atau bersuara. Dalam hal ini percakapan itu dikendalikan dan diarahkan oleh peneliti sesuai dengan kepentingan untuk memperoleh data selengkap-lengkapnya sebanyak data yang diharapkan, dari data itu akan diperolah makna nama orang yang digunakan oleh masyarakat Batak Toba tersebut.

3. Teknik Lanjutan II: Teknik Cakap Tan Semuka

Teknik tan semuka ini dipergunakan dengan menyebar instrumen berupa daftar pertanyaan (kuesioner) sebagai imbangan teknik cakap semuka.

4. Teknik Lanjutan III dan IV: Teknik Rekam dan Catat

Ketika teknik pertama dilakukan yaitu teknik cakap semuka dapat dilakukan pula perekaman kemudian diikuti dengan pencatatan pada kartu (teknik catat) dengan mencatat data yang berasal dari teknik cakap semuka dan dari teknik cakap tan semuka. Pentingnya data kebahasaan yang diperoleh dari setiap daerah pengamatan dalam penelitian ini mengimplikasikan peran yang penting pula dari informan.

Agar keterangan dan data terkumpul, kita harus memilih informan yang baik untuk mendapatkan hasil yang baik pula. Adapun syarat-syarat sebagai informan menurut Mahsun, (1995:166) adalah:

a. Berjenis kelamin pria atau wanita. b. Berusia antara 25-65 tahun (tidak pikun).

c. Orang tua, istri, dan suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak memiliki mobilitas yang tinggi.


(37)

d. Berstatus sosial menengah ke atas. e. Dapat berbahasa Indonesia.

f. Sehat jasmani dan rohani.

g. Berpendidikan minimal tamat SD atau sederajat. h. Pekerjaannya bertani atau buruh.

i. Menguasai dialek atau bahasa yang diteliti dan mampu mempergunakannya dengan baik.

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode dalam pengkajian data dalam penelitian “Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige” ini adalah metode padan. Disebut metode padan karena metode ini menggunakan alat penentu referen bahasa, organ wicara, bahasa, dan mitra wicara (Sudaryanto,1993:13). Alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Metode padan ini dapat dilakukan dengan metode pilah. Makna nama orang pada masyarakat Batak Toba akan diketahui berkat daya pilah yang digunakan oleh peneliti.

Sub jenis metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode referensial dengan alat penentunya bahasa dan metode pragmatis dengan alat penentunya adalah mitra wicara. Bila tercapai suatu penentuan bahwa suatu nama mengandung makna tambahan dari unsur subjektif pemakainya, nama itu termasuk sub jenis referensial atau dilihat dari hubungannya dengan dunia luar.

Sesuai dengan teori antropolinguistik yang menyatakan kedudukan dan fungsi bahasa dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas memiliki peran


(38)

dan struktur sosial masyarakat, maka Batak Toba juga memiliki adanya upaya tersebut. Salah satunya adalah proses (upacara ) menyambut kelahiran hingga pemberian nama anak pada masyarakat Batak Toba. Adapun proses (upacara) tersebut adalah:

a. Manghare/ Mangganje (memberi makanan yang khusus) b . Pabosurhon (memberi makan hingga kenyang)

c. Mangharoan (kelahiran) d. Martutuaek (pergi ke air) e. Mangebang (berjalan-jalan) f. Mampe Goar (memberi nama)

Selanjutnya berdasarkan jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba, didapatkan data seorang anak laki-laki yang baru lahir dalam sebuah keluarga langsung diberi nama “si Unsok”, kemudian setelah beberapa hari keluarga tersebut mengadakan acara adat pemberian nama kepada anak laki-laki tersebut. Berdasarkan acara adat yang telah dilaksanakan, maka anak laki-laki tersebut diberi nama “Togar” dan diikuti dengan pemberian marga secara patrilineal (garis keturunan ayah) yaitu bermarga “Simbolon”. Dengan demikian nama lengkap anak tersebut adalah “Togar Simbolon”. Kemudian anak tersebut menikah dan mempunyai anak, maka dia dan istrinya diberi nama baru yang diambil dari nama anak sulungnya dengan ditambah kata yang dapat menunjuk pada kata yang bermakna “ayah”, dan “ibu”. Misalnya, anak sulungnya bernama “Horas”, maka dia akan diberi nama “Ama ni Horas” ‘Bapak si Horas’ dan istrinya diberi nama “Nai Horas” ‘Ibu si Horas’. Nama tersebut akan berubah


(39)

juga apabila si anak tersebut telah memiliki cucu. Hal demikian disebut jenis nama “panggoaran”. Tetapi pada pelaksanaannya nama yang telah diberi kepada seorang anak dapat diganti atau diubah dengan alasan tertentu, misalnya jika anak tersebut sering sakit, karena ada mitos pada masyarakat Batak Toba bahwa nama itu tidak cocok disandang si anak. Maka, untuk mengatasinya dapat dilakukan acara untuk mengganti nama anak tersebut.

Demikian juga dengan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba memiliki ciri khas sebagai penanda kebudayaan tersebut. Berikut adalah contoh data nama dalam bahasa Batak Toba. Misalnya, 1) “Horas” ‘Selamat’,2) “Togar” ‘Tegar’, 3) “Lasma” ‘Bahagia’, 4) “Lambok” ‘Lembut’. Dari data tersebut dapat dilakukan analisis makna berdasarkan mkana-makna nama berdasarkan Robert Sibarani. Dari teori makna, data tersebut dapat dianalisis berdasarkan jenis makna. 1) “Horas” yang berarti ‘Selamat’ bermakna agar anak tersebut senantiasa selamat, 2) “Tegar” yang berarti ‘Tegar’ bermakna agar anak tersebut selalu tegar, 3) “Lasma” yang berarti ‘Bahagia’ bermakna anak tersebut menjadi pembawa kebahagiaan, 4) “Lambok” yang berarti ‘Lembut’ bermakna agar anak tersebut menjadi anak yang lembut. Dari analisis tersebut dapat simpulkan bahwa semua data tersebut dikelompokkan ke dalam makna nama jenis pengharapan.

Selanjutnya, berdasarkan kategorisasi nama dikenal makna pragmatis yang terdiri dari konotasi formal (nama lengkap), konotasi non formal (nama kecil) konotasi kelaki-lakian, dan konotasi kewanitaan.


(40)

Dalam hal ini dilakukan pemilahan nama untuk membedakan keempat konotasi tersebut. Misalnya, 1) “Hamonangan” ‘ Kemenangan’, 2) “Hatorangan” ‘Terang’, 3) “Lasmaria” ‘Kesenangan’ 4) “Romauli” .

Dari contoh nama-nama di atas, konotasi formalnya akan sangat kental apabila ditambahkan dengan nama keluarga yang sering disebut dengan ‘marga’ menjadi “Hamonangan Pardede, Hatorangan Siahaan, Lasmaria Simagunsong, dan Romauli Tambunan”. Namun, pada konteks non formal atau dalam kehidupan sehari-hari nama lengkap tersebut jarang digunakan. Dengan demikian, digunakanlah nama kecil yang mengacu kepada konotasi non formal menjadi“Monang, Torang, Lasma, dan Roma”. Sedangkan untuk membedakan konotasi kelaki-lakian dengan konotasi kewanitaan dapat dilihat dari nama orang tersebut. Nama “Hamonangan dan Hatorangan” sangat kental dengan konotasi laki-lakinya, sedangkam nama “Lasmaria dan Romauli” sangat kental dengan konotasi kewanitaannya.

Contoh lain, 1) “Torang” ‘Terang’, 2) “Tiar” ‘Terang’. Berdasarkan makna kedua nama di atas memiliki arti dan makna yang sama yaitu bermakna semoga menjadi terang bagi orang lain. Namun secara pragmatis kedua nama tersebut sangat berbeda. 1) “Torang” ‘Terang’ sangat kental dengan konotasi kelaki-lakiannya, sedangkan 2) “Tiar” ‘Terang’ sangat kental dengan konotasi kewanitaannya.


(41)

BAB IV

ANALISIS MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

DI KECAMATAN BALIGE

4.1 Proses Pemberian Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba

Kebiasaan pada setiap suku yang ada di Indonesia memiliki corak tersendiri. Kebiasaan yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh kaum/ suku dinamakan adat peri kehidupan masyarakat pada suku yang diikat oleh adanya suatu peraturan baik secara tertulis (UU) maupun konvensional yang diyakini dan dilaksanakan oleh suku tersebut dalam kesehariannya dinamakan adat-istiadat setempat. Salah satu dari sekian banyak suku di Indonesia yang memandang adat-istiadat merupakan suatu yang penting adalah Batak Toba. Adat-adat-istiadat yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba sangatlah kompleks karena mencakup seluruh aspek kehidupan mulai dari proses kelahiran, pemberian nama, perkawinan, hingga kematian.

Kemampuan untuk melaksanakan segala adat-istiadat bagi suku Batak Toba merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Masyarakat Batak Toba akan merasa dirinya sebagai orang Batak Toba yang baik jika ia mampu melaksanakan adat istiadat yang berlaku atau sekurang-kurangnya dapat mengetahui adat-istiadat yang berlaku dalam sukunya tersebut. Pada dasarnya setiap manusia ingin mulia dan dianggap baik oleh orang lain. Cara yang ditempuh setiap orang untuk menjadikan dirinya mulia dan dianggap baik oleh orang lain tidaklah sama. Dalam


(42)

masyarakat Batak Toba, adat-istiadat dilaksanakan dengan tata cara yang menyangkut jati diri (marwah). Salah satu adat-istiadat suku Batak Toba yang menyangkut jati diri tersebut adalah adalah nama. Nama merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Batak. Pada umumnya Batak Toba memiliki tatacara (proses) pemberian nama pada seorang anak. Misalnya suku Karo memberi nama dengan spesifik. Mereka memberi nama kepada anak-anaknya sesuai dengan kondisi atau keadaan saat anak lahir. Hal lahiriah (benda-benda) yang terdapat di sekitar mereka ikut menjadi pertimbangan untuk memberi nama kepada anak tersebut. Dengan demikian dalam suku Karo sering ditemukan nama “Siang, Tomat, Bengkel, dan Malam”. Semua itu mengandung makna yang luhur untuk menghargai dan mencintai manusia yang baru lahir sebagaimana dekatnya dengan benda dan keadaan tersebut dengan hidup manusia. Benda dan dan keadaan itu menjadi bagian dari hidup dan anak yang memiliki nama itu pun akan menjadi bagian dari kehidupan keluarga.

Demikian juga dengan Batak Toba. Batak Toba memiliki tatacara dan ciri khas dalam hal memberikan nama kepada seorang anak. “Ise goarmu?” ‘siapa namamu?’, pertanyaan ini muncul dalam bahasa Batak Toba. Itu menandakan agar nama yang ditanya tersebut diketahui.

4.1.1 Proses (Upacara) Menyambut Kelahiran sampai Proses Pemberian Nama Anak pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Nilai budaya Batak Toba menjadi sumber perilaku sehari-hari dalam kehidupannya yang terikat pada sistem kekerabatan Batak Toba itu sendiri dan hal ini sudah tertuang dalam Dalihan Natolu seperti yang telah dipaparkan


(43)

sebelumnya. Kekerabatan tersebut sangat erat dengan kelahiran karena kelahiran itu menumbuhkan kekerabatan baik secara vertikal maupun horizontal. Selain itu, kelahiran juga sangat menentukan kedudukan seseorang pada sistem kemasyarakatan Batak Toba. Dalam perilaku sehari-hari pada masyarakat Batak Toba sangat erat kaitannya dengan kelahiran seseorang. Seorang anak sulung yang lahir dipandang keluarga memiliki hikmat kebijaksanaan karena kelahirannya pertama. Dengan demikian kelahiran anak pertama selalu disambut dengan bahagia melalui proses (upacara) adat-istiadat yang berlaku pada masyarakat Batak Toba.

Dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige dikenal beberapa upacara adat secara bertahap untuk menyambut seorang bayi yang akan lahir sampai pada tahap kelahiran hingga memberikan sebuah nama. Adapun tahapan upacara tersebut adalah:

a. Manghare (Mangganje)

Upacara ini dilakukan pada saat seorang wanita Batak Toba telah hamil tua. Istilah Manghare berasal dari “mang” dan “hare” yang artinya sejenis bubur yang dibuat ramuan semangka (gundur), mentimun (ansimun), pisang (gaol), tebu (tobu), nangka (pinasa), kencur (hasihor), jahe (pege), telur ayam (pira ni manuk), tepung beras (itak), susu kerbau (bagot ni horbo), kunyit (hunik), sera daging ayam (jagal manuk). Ramuan tersebut dibuat menjadi halus, disaring lalu diaduk menjadi satu. Proses pencampuran itu dilakukan dalam satu periuk yang terbuat dari tanah liat (hudon tano) yang diletakkan di atas api yang menyala kecil. Bubur yang dinamakan “hare” atau “ganje” tersebut kental dan berwarna kecoklatan.


(44)

Makanan demikian dihidangkan oleh ibu dari seorang wanita yang sedang mengandung anak pertama.

Setiap unsur ramuan bubur tersebut memiliki arti tertentu, misalnya semangka, mentimun, pisang, tebu, dan nangka bermakna hati damai dan seluruh ramuan menurut suku Batak Toba bertujuan agar semua orang “huta” (kampung) dan mahluk halus berhati damai, serta memberi restu kepada calon ibu dan sang bayi yang akan lahir. Unsur jahe, kunyit, kencur, kelapa bermakna penjagaan dan bertujuan agar mahluk halus dan roh jahat tidak mengganggu keselamatan sang ibu dan bayi dalam kandungan. Unsur telur ayam bermakna agar kandungan sang ibu tetap utuh (seperti utuhnya telur) dan tidak cacat. Sedangkan daging ayam bertujuan agar memberikan kekuatan kepada si bayi.

Menurut adat, suami calon ibu harus berkunjung ke kampung (huta) kerabatnya (hula-hula) untuk meminta “hare”. Dengan disaksikan oleh semua kerabat pihak istri, ayah, dan ibu dari si wanita calon ibu terlebih dahulu memberkati dengan doa selamat (mangupa) anak dan menantunya itu, sambil memberikan tiga ekor ikan lele (sibahut) yang sudah matang dan diletakkan di atas nasi dalam pinggan. Pada saat itu kedua orang tua mengucapkan kata-kata berikut:

“On ma hare silas niroha hipas ma ho manganhon

hipas na didapothon hipas na naeng ro Tumpahon ni amanta pardenggan basai”


(45)

artinya

“Inilah hare pemberi kebahagiaan selamatlah engkau memakannya selamatlah orang yang akan datangi selamatlah anak yang akan datang”.

berkat anugrah Tuhan Yang Maha Pengasih”.

Acara tersebut ditutup dengan suatu pemberian (pasu-pasu) oleh pihak hula-hula kepada suami dan calon ibu. Kemudian mereka pulang ke rumah dan di kampung (huta) pihak kerabat suami telah berkumpul di halaman tengah untuk menyambut mereka. Orang tua dari calon ibu juga telah mengirimkan “hare” untuk dibagi-bagikan kepada keluarga pihak suami, tetapi apabila tidak cukup, maka hanya dikirimkan tanda bahwa kerabat menantunya telah menerima “hare” dari hula-hula.

b. Pabosurhon

Arti pabosurhon adalah memberi makanan hingga kenyang (bosur

=kenyang). Dalam hal ini pihak hula-hula dan pihak paranak (orang tua suami)

memberi makanan yang bernilai religi dan bersifat keramat kepada calon ibu serta berkat (pasu-pasu). Arti sederhana dari adat ini adalah memberi calon ibu makan sampai kenyang supaya kuat dan tahan menghadapi masa bersalin yang waktunya sudah dekat. Pada kesempatan seperti ini, pemberian makanan dari orang tua perempuan (calon ibu) menjadi inti utama upacara.

Pelaksanaan adat pabosurhon dilakukan apabila usia kehamilan telah memasuki usia tujuh atau delapan bulan. Dengan demikian, maka orang tua


(46)

perempuan (calon ibu) meminta kepada anaknya dan menantunya agar pergi ke hula-hula dan meminta doa restu selamat dengan melaksanakan upacara pabosurhon.

Dengan petunjuk seorang datu, sang suami akan mempersiapkan makanan adat berupa seekor babi (30-40 kg) untuk disembelih dan akan dibawa ke kampung (huta) mertuanya (hula-hula). Setelah makanan adat tersebut selesai dimasak, sang suami akan mengundang beberapa kerabat terdekat untuk bersama-sama dengan dia serta calon ibu berangkat ke kampung (huta) hula-hula dan biasanya pada waktu menjelang pukul 12.00 siang (parnakkok ni mataniari). Pada saat yang sama, pihak hula-hula juga telah mengindang kerabat dekat untuk bersama-sama menerima kedatangan tamu-tamu dari pihak boru (calon ibu) dan melaksanakan adat pabosurhon.

Di hadapan hula-hulanya sang suami mempersembahkan kepada ayah dan ibu mertuanya, bagian dari daging babi yang telah menjadi hak mereka menurut kedudukan mereka dalam adat (tudu-tudu ni sipanganon) dengan cara meletakkan potongan-potongan daging yang telah tersusun rapi di atas sebuah piring, tepat di depan mereka. Pada saat itu si suami memohon kepada seluruh hula-hulanya agar bersedia memberi berkat dan restu kepadanya terutama calon ibu yang sedang mengandung termasuk bayi mereka selamat dan tidak terganggu dari roh jahat. Karena masa menjelang kelahiran adalah masa yang kritis demikian juga masa melahirkan. Oleh karena itu, ia mohon agar roh hula-hula melindungi sang istri dari segala bahaya.


(47)

Sebagai pengganti pemberian daging babi yang mengandung lambang status, hula-hula memberikan ikan batak (ihan) yaitu ikan mas yang diletakkan di dalam piring (pinggan pasu) ke hadapan suami dan sang ibu yang sedang mengandung. Pada saat penyerahan itu, ayah mertua menyampaikan kata-kata restu yang memohon kepada Tuhan (Mula Jadi na Bolon) agar putrinya yang sedang mengandung anak pertama itu dilindungi dari bahaya, roh halus yang jahat, serta dari pekerjaan jahat orang lain (guna-guna, tenung, racun) dan roh supaya anak dalam kandungan tetap sehat dan lahir tepat waktunya tanpa kurang suatu apapun.

Setelah pengucapan kata-kata doa tadi, ayah dan ibu dari wanita yang sedang mengandung memberikan jiwa dan roh (ulos tondi) kepada anak dan menantunya dengan cara menyelimutkannya ke sekitar pundak kedua orang tua itu. Lambang dari pemberian itu adalah bahwa ulos itu akan melindungi putri dan menantunya serta roh kandungan dari pengaruh roh-roh jahat. Ulos itu selanjutnya akan dipakai oleh wanita yang sedang mengandung tadi agar badan dan jiwanya tetap hangat, kuat, dan penuh semangat dan menghadapi bahaya pada saat kelahiran bayinya.

Kemudian ikan yang diberikan kepada suami istri tadi, terlebih dahulu dimakan oleh mereka kemudian dihidangkan kepada para tamu. Apabila acara makan telah selesai, maka diadakan acara berbicara secara adat (marhata). Dalam pembicaraan yang sambut menyambut ini, pihak hula-hula menyampaikan kata-kata hiburan dan memberi semangat kepada sang ibu yang sedang mengandung


(48)

dan memohon doa restu dari Tuhan Yang Maha Esa agar putri mereka dan kandungannya diberkati dan dilindungi.

c. Mangharoan

Mangharoan adalah kelahiran. Pada saat wanita yang sedang mengandung tadi telah melahirkan, sang suami menjatuhkan sebatang kayu besar dari atas atap rumah ke halaman, lalu memotong-motongnya menjadi batang-batang kecil dengan kapak. Upacara ini dinamakan “manaha saganon” (C.J.Vergouven 1964:225-226) dimana batang kayu tadi kemudian dibakar di atas tungku perapian (tataring). Suara kapak yang memotong-motong kayu tersebut merupakan tanda pengumuman kepada seisi kampung (huta) bahwa seorang bayi telah lahir. Orang-orang akan bertanya “songon dia?” yang artinya ‘jenis kelaminnya apa?. Maka, sang suami akan menjawab “si butet” kalau bayinya perempuan dan “si unsok” apabila bayinya laki-laki. “Butet” dan Unsok” merupakan nama panggilan sementara menunggu adanya nama tetap (panggoaran) yang akan ditentukan melalui upacara. Kemudian si suami akan mengambil beberapa tangkai daun jeruk yang disangkutkan di setiap sudut rumah yang didatangi sambil memberitahukan kelahiran sang bayi. Pada saat itu para penghuni rumah juga akan menanyakan jenis kelamin si bayi. Mereka yang mendengar tentang kelahiran itu segera mengunjungi sang ibu yang baru melahirkan.

Kelahiran anak ditolong oleh seorang bidan tradisional pedesaan yang disebut “sibaso”. Setelah si baso memotong tali pusat dengan kulit bambu (sambilu) dan kemudian membersihkan sang ibu dan bayinya, lalu ia membalut sang bayi dengan selimut dan membaringkannya di samping ibunya dekat


(49)

perapian (tataring parapian). Ibu-ibu yang datang menjenguk segera memotong seekor ayam dan mencampurnya dengan sejenis sayur yang rasanya asam bernama “bangun-bangun” (C.J.Vergouven 1964:225-226). Bila yang lahir adalah bayi laki-laki, maka ayam yang disembelih adalah ayam betina. Pada saat itu sepotong paha ayam diberikan kepada bidan (sibaso) sebagai haknya menurut adat (jambar). Ekor ayam diberikan kepada ibu yang melahirkan; hati dan jantung kepada sang bayi untuk dimakan oleh ibunya; kepala diberikan kepada istri kepala huta yang juga hadir saat itu; paha yang sebuah lagi diberikan kepada istri kakak atau adik (paidua ni suhut); pinggang diberikan kepada istri saudara suami dari nenek yang bersaudara; demikian juga bagian sayap, leher adalah bagian oran yang membagikan jambar (bagian) tersebut, empedal disimpan bagi orang yang kemungkinan datang belakangan, kaki adalah bagian para pemuda, sedangkan bagian dada dicampur dengan sayur asam (bangun-bangun) setelah dipotong kecil-kecil.

Setelah acara makan selesai, salah seorang di antara para tamu (terutama kalau ada laki-laki) menyampaikan kata-kata doa restu yang kemudian dijawab oleh ayah sang bayi dengan ucapan terimakasih atas doa restu tersebut. Kemudian bidan (si baso) juga menyampaikan kata-kata doa restu yang diikuti dengan pemberian ulos sampe-sampe sebagai tanda terimakasih. Ulos tersebut bermakna bahwa restu akan sampai kepada sang bayi dari Tuhan Mula Jadi na Bolon agar usia anak panjang, serta selalu sehat sepanjang hidupnya.

Kemudian tibalah masa kritis yang dinamakan “robu-robuan” lamanya tujuh hari tujuh malam. Selama masa itu penduduk huta secara bergantian


(50)

berkumpul di rumah orang tua si bayi setiap malam. Maksudnya adalah agar selalu ada orang yang tetap menjaga, agar hantu dan roh jahat tidak dapat mengganggu atau mengambil si bayi. Bila hari yang ketujuh telah berlalu, orang tidak perlu datang lagi tetapi tidak ada larangan untuk tidur di rumah itu pada malam berikutnya.

Apabila si ayah tidak hadir pada saat kelahiran sang bayi, maka pada pertemuan pertama si ayah tidak boleh langsung menggendong atau memangkunya. Terlebih dahulu si ayah harus memberikan pisau (piso) kepada bayi laki-laki atau ulos kepada bayi perempuan. Pemberian itu bermakna adanya hubungan darah dan batin antara anak dengan si ayah, serta memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa bayi itu adalah anaknya (darah dagingnya).

d. Martutuaek

Martutuaek berasal dari kata “aek”,’air’. Dalam hal ini martutuaek berarti pergi ke air pemandian (mata air atau sungai). Acara ini adalah acara adat yang penting bagi bayi yang baru lahir. Setelah beberapa hari sang bayi dibawa ke tempat mandi umum. Sebelum pergi ke pancuran terlebih dahulu diadakan upacara adat di dalam rumah yang dinamakan menjamu raja (martonggo raja). Dalam pertemuan itu Suhut memberitahukan secara resmi apa yang akan dilakukannya, dan kepada raja-raja yang hadir diminta partisipasi, doa restu agar upacara yang bersangkutan berjalan dengan baik. Acara demikian selalu dibuka dengan makan bersama sebelum acara martutuaek dilaksanakan.

Pada acara ini pihak hula-hula membawa ikan mas yang ditaruh di atas piring istimewa khusus untuk keperluan adat (pinggan pasu) dan diupahkan


(51)

(diupahon) kepada si bayi. Mereka berdua menyerahkan ulos parompa yaitu ulos untuk menggendong si bayi, yang diselimutkan langsung ke tubuhnya. Kemudian hula-hula dan semua keturunan nenek moyang yang hadir di situ, mengambil beras yang disebut dengan “Boras si pir ni tondi” dan meletakkannya di kepala bayi dengan tujuan agar roh si bayi menjadi sekeras beras, tahan melawan hantu dan roh jahat. Pada acara adat ini dipersiapkan bahan dan peralatan yang terdiri dari tepung beras sebanyak satu setengah liter, sejumlah daun sejenis daun terong (lanteung), satu alat penugal yang dinamakan giringan. Sambil membawa perlengkapan tersebut, semua orang yang hadir berprosesi membawa si bayi ke tempat permandiannya. Si pembawa daun lanteung tepat di depan sang ibu yang berjalan sambil menggendong bayi, di samping sang ibu terdapat seorang wanita yang membawa periuk tanah (ngarngar) yang berisi api (api ni anduhur), sedangkan di belakang sang ibu berjalan si pembawa tepung. Setiba di pancuran, bayi itu dimandikan selanjutnya meninggalkan ngarngar berisi api di tepi pancuran sebagai tanda kepada setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk pertama kali dimandikan.

e. Mangebang

Apabila bayi sudah berumur 21 hari, si ibu beserta kerabatnya membawanya ke pasar (onan), dengan mengenakan pakaian yang cantik-cantik. Upacara ini disebut dengan “mangebang”. Si ibu menggendong bayi dan berjalan di depan bersama ibu mertua serta rombongan ibu lain dari keluarga dekat. Iringan tersebut selalu disapa orang yang bertemu di jalan dengan pertanyaan


(52)

hendak ke mana bayi dibawa. Dengan ramah pertanyaan itu harus dijawab bahwa si bayi akan dibawa ke pasar untuk berbelanja.

Di pasar mereka membeli makanan misalnya pisang (gaol), lepat (sagu-sagu) dan nira (tuak). Makanan dan minuman tersebut dibagi-bagikan kepada kerabat, hula-hula, para raja, dan para kenalan. Sambil memberikan makanan dan minuman, si nenek akan memberitahukan bahwa makanan dan minuman itu adalah pemberian si bayi. Para penerima secara spontan akan mengucapkan kata-kata pujian dan doa restu kepada si bayi. Kemudian apabila bertemu dengan kerabat atau kenalan dalam perjalanan pulang, mereka juga akan diberi makanan dengan pemberitahuan yang sama.

Maksud upacara mangebang ini adalah sebagai pengumuman kepada semua pihak para kerabat semarga, para kenalan, maupun para raja tentang kelahiran tersebut. Makanan dan minuman itu merupakan lambang sahnya si bayi diterima sebagai warga masyarakat kecil (kerabatnya) maupun masyarakat luas yaitu kampungnya.

f.Mampe Goar

Upacara ini sangat berkaitan dengan upacara martutuaek. Pada saat si bayi sedang menjalani upacara martutuaek, pada saat itu kaum kerabatnya memilih nama. Sistem pemilihan nama dilakukan dengan cara mengajukan nama-nama kepada dukun (datu) mulai dari ayah si bayi, kakek, nenek, dan juga kerabat yang lain. Satu demi satu nama tadi disampaikan kepada dukun (datu) yang menilainya dengan cara menghitung jumlah huruf dan memperhitungkan kembali jumlah itu


(53)

kepada jari tangannya. Apabila hitungan terakhir nilai total huruf itu jatuh ke salah satu jari yang berarti kurang naik, kurang menguntungkan, atau kurang memberi rejeki, terutama berkaitan dengan panjang umur dan jumlah anak, maka nama itu akan ditolak; demikian seterusnya sampai suatu nama yang cocok ditemukan. Nama itu kemudian dinilai dengan berpedoman kepada buku ilmu gaib, pustaha (buku batak) sampai orang yakin bahwa nama yang dipilih mengandung arti yang baik, murah rejeki, panjang umur, banyak anak, kesehatan badan dan kebahagiaan si bayi yang akan memakai nama itu.

Pada saat dukun membertahukan nama si bayi, maka mereka menyatakan persetujuannya dengan mengatakannya ke arah bayi:

“Sai goar tulut mai sai goar si pajou-jouon goar si paehet-eheton donganna sari matua” artinya :

“ Semoga nama yang sebenarnyalah itu, nama yang selalu dipanggil

nama yang selalu disebut-sebut temannya hingga masa tua”.


(54)

dipotong-potong dan disajikan di atas piring berisi nasi putih, di depan si bayi dengan kepala ikan mengarah kepadanya. Kata-kata doa yang diucapkan orang-orang tua si anak pada saat itu adalah:

“On ma ale Ompung upaupa ni anak nami on, ale Ompung parsinangotan

ba sai horas ma ibana gonggomon nami, horas hami manggonggom”. Artinya

“ Inilah upaupa anak kami wahai Tuhan

kiranya dia sehat selamat dalam asuhan kami dan kami selamat mengasuhnya”.

4.2 Jenis Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Berikut adalah tabel yang menjelaskan jenis-jenis nama orang pada masyarakat Batak Toba:

Tabel I No Pranama Goar

Sihadakdana hon

Panggoaran Goar-goar Marga

1 Unsok Anggiat - - Simangunsong

2 Unsok Bistok Ama ni

Dewi


(55)

3 Unsok Martahan Ama ni Charles

- Siahaan

4 Unsok Mangatur Ama ni Olop - Rajagukguk

5 Unsok Saut Ama ni

Angel

- Sinaga

6 Butet Hotmian - - Sitorus

7 Unsok Haposan Ama ni

Ranap

- Sitorus

8 Unsok Tiurman Oppung Melda

- Simangunsong

9 Butet Tumiar Oppung Benni

- Simangunsong

10 Unsok Torang Ama ni

Benni

- Simangunsong

11 Unsok Mangapul Ama ni Poltak

- Simangunsong

12 Unsok Sudung Ama ni

Marta


(56)

13 Unsok Dalan Ama ni Roy - Pardede

14 Unsok Heber Ama ni

Markus

- Simangunsong

15 Butet Tiomada Nai Dame - Gultom

16 Butet Manotar Nai Josef - Simangunsong 17 Unsok Tumpak Ama ni Kiris - Simangunsong

18 Butet Tiurma Oppung

Rosa

Pardappol (Tukang

urut)

Tampubolon

19 Unsok Maringan Ama ni Makmur

- Siahaan

20 Unsok Tigor Ama ni

Teresia

- Sihotang

21 Unsok Jamot Ama ni

Yanti

- Nainggolan

22 Unsok Saur Ama ni Jujur Parsingso (pemotong


(57)

kayu)

23 Unsok Togar Ama Ni

Lasma

- Silalahi

24 Unsok Sippan Ama ni

Herbet

Parsulim (Pemain Seruling)

Simanjuntak

25 Unsok Managor Oppung

Lambok

- Pardede

26 Unsok Gonggom Ama ni Helen

- Simanjuntak

27 Butet Hotma - - Silitonga

28 Unsok Parsaoran Ama ni Renta

- Simanjuntak

29 U nsok Manangar Ama ni Elsa Si Ganjang (panjang )

Sitorus

30 Unsok Sakses Ama ni Jona - Simanjuntak


(58)

Dorkas

32 Butet Lamtiur Nai Ratna - Tampubolon

33 Unsok Johom - - Sihombing

34 Butet Tiodor Oppung

Anjur

- Pangaribuan

35 Unsok Hisar Oppung

Laris

- Siahaan

36 Butet Taruli - - Purba

37 Unsok Tumpal Ama ni

Ronald

- Napitupulu

38 Unsok Patar Ama ni

Candra

- Sirait

39 Unsok Mangasi - - Sibuea

40 Butet Romauli Nai Herbet - Nababan

41 Unsok Hinsa Ama ni

Liska

- Simanjuntak

42 Unsok Manatar Ama ni Roma


(59)

43 Unsok Pargaulan Ama ni Lenni

- Sitorus

44 Butet Hotlan Oppung

Roma

- Simangunsong

45 Butet Rotua Oppung ni Riama

- Napitupulu

46 Unsok Sabam Oppung

Jujur

- Hutabarat

47 Unsok Sahala Oppung Ria DatuBolon (Dukun Sakti)

Pardede

48 Unsok Tonggo Ama ni

Maria

- Simanjuntak

49 Unsok Dapot Ama ni

Friska

- Manurung

50 Unsok Harungguan Oppung Hotma

- Pardede


(60)

52 Unsok Hipas Ama ni Uli - Sitorus

53 Unsok Oloan Ama ni Juli - Sitorus

54 Unsok Benget - - Siahaan

55 Unsok Sabar

Manganju

- - Sitorus

56 Unsok Surung - - Siahaan

57 Unsok Mangelek - - Siahaan

58 Unsok Marasi Oppung

Horas

- Tampubolon

59 Butet Donda Nai Horas - Tampubolon

60 Unsok Mangatas Oppung Minar

- Siahaan

61 Unsok Andar Oppung

Dolok

- Simanjuntak

62 Butet Duma - - Hutagalung

63 Butet Tamaria Nai Minar - Simangunsong 64 Unsok Rikkot Oppung Parkaramba Tampubolon


(61)

Japar

(Pengusaha ikan)

65 Unsok Sahat Ama ni Hetti - Sihaloho

66 Butet Tarida Nai Roma - Tambunan

67 Unsok Buha - - Tambunan

68 Unsok Goklas - - Tamba

69 Unsok Linggom - Pangalatu

(perjaka tua)

Tamba

70 Unsok Gabe - - Sihotang

71 Unsok Marudut Oppung Walden

- Sinaga

72 Unsok Tibu parulian Ama ni Janter

- Napitupulu

73 Unsok Jior Ama ni

Martin

- Simanjuntak

74 Unsok Hotmauli Nai Martin - Sinaga


(62)

76 Unsok Bontor Ama ni Linda

- Napitupulu

77 Unsok Lungguk Ama ni Darma

- Napitupulu

78 Butet Dame Nai Lisbet - Nainggolan

79 Unsok Asauba - - Siahaan

80 Unsok Mangihut Ama ni Alex - Lumban Tobing

81 Unsok Lamhot Ama ni

Hotma

- Pardede

82 Butet Basaria Oppung

Herman

- Marpaung

83 Butet Lamtama Ama ni jepri - Pardede 84 Unsok Marulam Ama ni Sinta - Hutajulu

85 Unsok Ramos - - Pardede

86 Butet Maiduk Nai Ruslan - Simangunsong


(63)

Robet

88 Butet Romaito Nai Bakti - Pardede

89 Unsok Sopar Ama ni

Humala

- Rajagukguk

90 Butet Rondang Nai Duma - Silalahi

91 Unsok Panamean Oppung Marintan

- Simanjuntak

92 Unsok Bongbongan Ama ni Aldo - Pardede 93 Unsok Sotarduga Ama ni Adil - Lumban Raja 94 Unsok Marlasak Ama ni

Paulina

- Manurung

95 Butet Mida - - Hutagalung

96 Butet Bulan - - Pardede

97 Unsok Ranto - - Lumban Raja

98 Unsok Binsar Ama ni

Harun

- Silitonga


(64)

100 Unsok Pardamean Ama ni Maddin

- Nainggolan

101 Unsok Tambok Ama ni Irma - Sianipar 102 Unsok Tombak Ama ni Betti Parsingso

(Pemotong kayu)

Napitupulu

103 Butet Pasuria - - Siagian

104 Butet Pesta - - Siahaan

105 Unsok Solo Ama ni Santi - Manurung 106 Unsok Tonggi Oppung

Vera

- Siahaan

107 Unsok Bintara Ama ni Demak

- Napitupulu

108 Unsok Augus Ama ni Dorta

- Simanjuntak

109 Unsok Buttu Oppung

Berton

Paragat (Penjual


(65)

Nira)

110 Unsok Barita - Pangalatu

(Perjaka tua)

Hutasoit

111 Unsok Sermon Ama ni Erma

- Butar-butar

112 Unsok Ronggur Ama ni Rohani

- Situmorang

113 Butet Natal Nai Hendra - Marbun

114 Unsok Patuan Ama ni Raja - Panjaitan

115 Butet Ronatal - - Pangaribuan

116 Unsok Tihas Ama ni Bukit

- Hasibuan

117 Unsok Menak - - Simatupang

118 Unsok Porang Ama ni Riris - Dolok Saribu

119 Unsok Baringin - - Pardede

120 Unsok Januari Ama ni Rusmi


(66)

121 Unsok Panggilingan Oppung Rusmi

- Siahaan

122 Butet Limaria Nai Desman - Napitupulu

123 Unsok Paruntungan - - Pakpahan

124 Unsok Pukka Ama ni Purnama

- Sianturi

125 Unsok Gompar Ama ni Berta

- Manik

126 Unsok Maju Ama ni

Murni

- Simanjuntak

127 Unsok Marnaek Ama ni Bantu

- Simangunsong

4.3 Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige

Nama orang biasanya memiliki arti atau maksud tertentu, paling tidak ada tiga hal yang biasanya dijadikan dasar dalam pemlihan nama sebagai identitas si anak, nama menunjukkan garis keturunan dan nama yang dimaksud merupakan harapan kepada si anak kelak.


(67)

Nama yang dimaksud hanya sekadar untuk identitas yang paling mudah menentukannya. Nama apapun yang diberikan akan lebih baik daripada tidak memiliki nama. Jika nama yang dipilih ada hubungannya dengan sejarah keluarga, suku atau nilai keagamaan atau sesuatu yang mempunyai arti khusus, maka itu sama halnya dengan memberi warisan kepada si anak.

Orangtua biasanya berpedoman pada hal-hal tertentu dalam memberi nama pada anaknya. Misalnya, dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada saat anak dilahirkan, karakter fisik anak, ataupun harapan yang diinginkan terhadap si anak kelak. Misalnya “Horas dan Tumiar” yang berarti ‘selamat dan lebih terang’ yang berarti semoga kehidupan si anak selalu dalam keadaan selamat dan semoga kehidupan si anak selalu terang.

Kisah munculnya sebuah nama dan suatu masa kehidupan kita, berkaitan dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Dahulu, hampir semua orang memberikan nama tunggal bagi anak mereka, yang merupakan hasil seleksi dan telah disesuaikan dengan keistimewaan si anak. Dengan bertambahnya jumlah kelompok masyarakat, maka pengembangan kelompok-kelompok nama pun semakin dilupakan. Selain untuk memberikan kesan unik terhadap seseorang, nama juga mulai digunakan untuk meneruskan generasi. Awalan atau akhiran dari sebuah nama yang berupa “Putra dari” mulai sering digunakan. Dalam Kitab Perjanjian Lama banyak dijumpai koleksi nama. Kitab ini memang difokuskan pada sejarah silsilah dan memberi penekanan arti penting sebuah nama. Nama-nama Yahudi merupakan Nama-nama yang mampu bertahan di antara Nama-nama-Nama-nama kuno


(68)

lainnya. Bahkan, beberapa di antaranya sudah dikenal di seluruh dunia, misalnya ‘David, Samuel, Thomson, dan Sarah’.

4.3.1 Makna Pengharapan

4.3.3.1 Pengharapan Futuratif

Makna pengharapan futuratif ini adalah makna nama yang mengandung pengharapan agar kehidupan pemilik nama seperti makna namanya. Berikut adalah tabel yang menjelaskan arti nama orang pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige:

Tabel II

No Nama Orang Makna Pengharapan Futuratif 1 Anggiat Semoga Semoga apa yang diinginkan

akan tercapai.

2 Bistok Pintar Semoga menjadi orang yang pintar.

3 Martahan Bertahan Semoga selalu bertahan dalam keadaan apapun.

4 Mangatur Mengatur Semoga menjadi orang yang dapat mengatur

5 Saut Jadi Semoga menjadi orang yang

berhasil.


(69)

teguh

7 Haposan Kepercayaan Semoga menjadi orang yang terpercaya.

8 Tiurman Terang Semoga menjadi penerang

bagi orang lain.

9 Tumiar Lebih terang Semoga menjadi orang yang kehidupannya lebih terang.

10 Torang Jelas, cerah Semoga menjadi penerang bagi orang lain.

11 Mangapul Menghibur Semoga menjadi penghibur bagi orang lain.

12 Sudung Kasih, sayang Semoga menjadi orang yang dikasihi.

13 Dalan Jalan Semoga menjadi pemberi

jalan yang baik.

14 Heber Ibrani Semoga menjadi orang yang kuat dan suci seperti Ibrani. 15 Tiomada Jernih Semoga mejadi orang yang


(70)

16 Manotar Mengembangkan Semoga menjadi orang yang mampu mengembangkan diri.

17 Tumpak Santunan,

Bantuan

Semoga menjadi orang yang dapat memberi bantuan pada orang lain.

18 Tiurma Terang Semoga menjadi penerang

bagi orang lain.

19 Maringan Jelas Semoga perjalan hidup selalu lancar, jelas.

20 Tigor Lurus, adil Semoga menjadi orang yang adil.

21 Jamot Berhati-hati Semoga menjadi orang yang selalu berhati-hati.

22 Saur Sampai Semoga menjadi orang yang

berumur panjang.

23 Togar Kuat Semoga menjadi orang yang

kuat.

24 Sippan Beres, Siap Semoga menjadi orang yang selalu siap.

25 Managor Hati-hati Semoga menjadi orang yang selalu berhati-hati.

26 Gonggom Memerintah Semoga menjadi orang yang mampu memimpin.


(71)

27 Hotma Teguh Semoga menjadi orang yang teguh pendirian.

28 Parsaoran Pergaulan Semoga menjadi orang yang ramah dan banyak bergaul. 29 Manangar Melebar Semoga menjadi orang yang

jalan hidupnya tidak memiliki hambatan.

30 Sakses Sukses Semoga menjadi orang yang sukses.

31 Marihot Teratur Semoga menjadi orang yang teratur.

32 Lamtiur Semakin terang Semoga kehidupannya semakin terang.

32 Johom Lebar Semoga keberuntungnnya

selalu terbuka lebar.

33 Tiodor Jernih Semoga menjadi orang yang jernih, terbuka pada orang lain.

34 Hisar Sehat Semoga menjadi orang yang

selalu sehat.

35 Taruli Keberuntungan Semoga menjadi orang yang mendapat keberuntungan.


(72)

36 Tumpal Mahkota Semoga menjadi orang yang ditinggikan dan dihormati. 37 Patar Jelas dan mudah

terlihat

Semoga menjadi orang yang selalu terbuka bagi orang lain. 38 Mangasi Mengasihi Semoga menjadi orang yang

selalu mengasihi orang lain 39 Romauli Datang kebaikan Semoga datang kebaikan 40 Hinsa Cekatan, cepat Semoga menjadi orang yang

cekatan.

41 Manatar Semakin terang Semoga kehidupan yang dijalani selalu terang.

42 Pargaulan Pergaulan Semoga menjadi orang yang bergaul.

43 Hotlan Tetap, Teguh Semoga menjadi orang yang teguh pendirian.

44 Rotua Datang berkah Semoga berkah selalu datang dari Tuhan.

45 Sabam Sabar Semoga menjadi orang yang

sabar.

46 Sahala Kharisma Semoga menjadi orang yang memiliki kharisma.

47 Tonggo Doa Semoga menjadi orang yang


(1)

5. Nama Lengkap : Tonggi Siahaan Tempat, tanggal lahir : Balige, 7 Mei 1955 Alamat : Lumban Bulbul Pekerjaan : Petani

6. Nama Lengkap : Bintara Napitupulu

Tempat, tanggal lahir : Sigumpar, 27 November 1966 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Polisi

7. Nama Lengkap : Augus Simanjuntak

Tempat, tanggal lahir : Pematang Siantar, 20 Agustus 1960 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Guru SMA

8. Nama Lengkap : Buttu Simangunsong Tempat, tanggal lahir : Balige, 17 Oktober 1950 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani 9. Nama Lengkap : Barita Hutasoit Tempat, tanggal lahir : Balige, 24 Juni 1976 Alamat : Lumban Bulbul Pekerjaan : TNI AD

10. Nama Lengkap : Sermon Butar-Butar Tempat, tanggal lahir : Balige, 23 Oktober 1973 Alamat : Lumban Bulbul


(2)

Pekerjaan : Pendeta

11. Nama Lengkap : Ronggur Situmorang Tempat, tanggal lahir : Balige, 25 Juli 1961 Alamat : Lumban Bulbul Pekerjaan : Pedagang

12. Nama Lengkap : Natal Marbun

Tempat, tanggal lahir : Balige, 24 Desember 1961 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : PNS

13. Nama Lengkap : Patuan Panjaitan Tempat, tanggal lahir : Silimbat, 14 Mei 1966 Alamat : Lumban Bulbul Pekerjaan : TNI AD

14. Nama Lengkap : Ronatal Pangaribuan

Tempat, tanggal lahir : Tambunan, 1 Desember 1982 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Guru SMP 15. Nama Lengkap : Tihas Hasibuan

Tempat, tanggal lahir : Meat, 7 Desember 1964 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani


(3)

Alamat : Lumban Bulbul Pekerjaan : Wiraswasta

17. Nama Lengkap : Porang Dolok Saribu Tempat, tanggal lahir : Balige, 14 Agustus1960 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani 18. Nama Lengkap : Baringin Pardede Tempat, tanggal lahir : Balige, 1 Agustus 1980 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Polisi 19. Nama Lengkap : Januari Siahaan

Tempat, tanggal lahir : Balige, 28 Januari 1976 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : PNS

20. Nama Lengkap : Panggilingan Siahaan Tempat, tanggal lahir : Soposurung, 17 April 1950 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani

21. Nama Lengkap : Limaria Napitupulu Tempat, tanggal lahir : Silaen, 6 Desember 1966 Alamat : Lumban Bulbul


(4)

22. Nama Lengkap : Paruntungan Pakpahan Tempat, tanggal lahir : Tambunan, 4 Agustus1987 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Karyawan 23. Nama Lengkap : Pukka Sianturi

Tempat, tanggal lahir : Paranginan, 25 April 1963 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Wiraswasta 24. Nama Lengkap : Gompar Manik

Tempat, tanggal lahir : Dolok Sanggul, 9 November 1960 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : PNS

25. Nama Lengkap : Maju Simanjuntak

Tempat, tanggal lahir : Porsea, 10 Februari 1971 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Wiraswasta 26. Nama Lengkap :Marnaek Simangunsong Tempat, tanggal lahir : Balige, 12 Desember 1960 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani 27. Nama Lengkap : Satrio Silalahi


(5)

Pekerjaan : Mahasiswa 28. Nama Lengkap : Porman Sinaga

Tempat, tanggal lahir : Balige, 30 Desember 1954 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Petani

29. Nama Lengkap : Wesron Simanjuntak Tempat, tanggal lahir : Balige, 9 Februari 1990 Alamat : Lumban Bulbul

Pekerjaan : Mahasiswa 30. Nama Lengkap : Bahari Simangunsong Tempat, tanggal lahir : Balige, 916 Februari 1970 Alamat : Lumban Bulbul


(6)

LEMBAR PERSETUJUAN

MAKNA NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN BALIGE

Oleh

ENI EFRIDA SINAGA NIM 050701003

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum Drs. Asrul Siregar, M. Hum NIP. 19107021 198803 1 001 NIP. 1959052 198601 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum NIP. 19620419 198703 2 001