masalah yang kita hadapi, hingga melihat permasalahan menjadi bijak dan jernih.
3. Keabsahan sosial social validation, setelah pembicaraan masalah selesai
dengan baik dan jernih, biasanya kita memberikan tanggapan mengenai masalah yang tengah dihadapi. Dengan demikian kita akan mendapatkan
suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan dan akan memperoleh dukungan dari sahabat maupun kerabat.
4. Kendali sosial social control, seseorang akan menyembunyikan dan
mengemukakan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan control sosial, misalnya saja orang akan mengatakan
sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik terhadap dirinya. 5.
Perkembangan hubungan relationship development, saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai
merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis hubungan akan peningkatan derajat keakraban Dayakisni, 2003:90.
2.2.4 Teori Interaksi Simbolik
Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakikatnya adalah interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan
simbol, yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah
dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan
simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata pesan verbal, perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama Mulyana,
2001:84.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objekdan
bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Mereka bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek
disekelilingnya. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan blumer, proses social dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan aturan-
aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang
memungkinkan kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi social dan kekuatan sosial
Mulyana, 2001:68. Menurut teoritis interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara singkat interaksionalisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut : pertama
individu merespon sebuah situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-
komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi
yang ditemukan dalam interaksi sosial.
2.2.5 Pesantren