manusia. Dalam tahapan ini Mead memberikan gagasan mengenai perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup adalah proses berpikir yang
melibatkan makna dan simbol. Perilaku terbuka adalah perilaku actual yang dilakukan oleh actor. Di lain sisi, seorang actor juga akan memikirkan bagaimana
dampak yang akan terjadi sesuai dengan tindakan. Tindakan yang dihasilkan dari pemaknaan symbol dan makna yang merupakan karakteristik khusus dalam
tindakan sosial itu sendiri dan proses sosialisasi. Temuan menunjukkan bahwa interaksi yang dilakukan oleh guru
dengan santrinya berlangsung sangat baik. Dalam berbicara dengan orang yang lebih tua biasanya santri selalu menggunakan bahasa yang sopan dan tidak
menyinggung. Santri cenderung sangat lemah jika dimarahi oleh guru atau kakak kelasnya. Dalam menjalin sillaturrahmi dengan guru dan para kerabat, mereka
tidak pernah berhenti dalam melakukan sebuah interaksi. Misalnya dalam menanyakan pelajaran, diskusi, sharing, musyawarah atau sekedar bercanda,
mereka tidak pernah terlepas dari sebuah interaksi. Jika terdapat suatu masalah antara satu dengan lain, maka mereka akan meyelesaikannya dengan sebuah
interaksi yang baik dan tidak menyinggung. Sebuah interaksi sangat dibutuhkan dalam proses sosialisasi antara santri dengan orang-orang dlilingkungannya.
Tanpa sebuah interaksi dan komunikasi, kehidupan tidak akan berjalan dengan lancar, karna pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan
dan saling ketergantungan satu sama lain yang dihubungkan dengan sebuah interaksi simbolik.
4.2.5 Teori Belajar Sosial
Anak yang berada pada rentangan usia remaja cenderung memiliki keinginan belajar yang sangat menurun. Mereka akan cepat merasa bosan jika guru atau
pengajar tidak mampu membuat mereka tertarik dengan pembahasan yang disampaikan. Remaja akan sangat memperhatikan dari segala aspek pada diri
pengajar. Terutama dari penampilan, cara menyampaikan pelajaran dan isi pembahasan. Jika menurut mereka menarik maka mereka akan senang untuk
membahasnya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial pada anak usia remaja. Teori belajar sosial ini beranggapan bahwa perilaku, lingkungan dan kognisi
merupakan kunci keberhasilan dalam perkembangan. Apabila organisme berada dalam lingkungan sosial maka ia akan tertarik dan mau belajar melalui proses
observasi pada perilaku orang lain. Ketika mengobservasi perilaku orang lain maka ia akan melibatkan fungsi kognitif. Nasehat dan ajakan yang setiap hari
diberikan guru dalam upaya pembentukan kepribadian sosial pada remaja dapat membentuk kepribadian sosial yang melekat dalam diri mereka yang akan mereka
bawa hingga beranjak dewasa. Kepribadian yang terdapat pada diri mereka sangat berhubungan dan bergantung dengan tindakan yang dilakukan guru. Jika
pengajaran atau didikan yang diberikan mampu ditanggapi dan diterima dengan baik, maka mereka akan mengubah segala aspek dari diri mereka menjadi lebih
baik. Hal ini dilihat dari bagaimana peranan guru dalam membentuk kepribadian remaja. Jika guru tidak mampu dan tidak berhasil dalam menanamkan kepribadian
yang baik pada remaja, maka remaja akan mudah terombang ambing dan terpengaruh dengan budaya yang tidak baik.
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku behavioristik. Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura
1986. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat perubahan
perilaku, dan pada proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan reinforcement eksternal dan penjelasan
kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari
dalam saja, tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui
pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori belajar sosial adalah pemodelan modelling, dan pemodelan ini merupakan salah
satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam diri, dan prinsip
pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang. Akan tetapi, teori–teori sebelumnya kurang memberi perhatian pada
konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain. Maksudnya,
sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model bagi
dirinya Menurut pandangan pemikir islam yang terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu
Khaldun bahwa perkembangan anak-anak hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada perkara yang lebih sulit mengikuti peringkat-peringkat dan anak-
anak hendaklah diberikan dengan contoh-contoh yang kongkrit yang dapat dipahami melalui panca indera. Menurut Ibnu Khaldun, anak-anak hendaklah
diajari dengan lemah lembut dan bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh dibebani dengan perkara-perkara
yang di luar kemampuan mereka, karena hal tersebut akan menyebabkan anak- anak tidak mau belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.
Anak yang berada pada rentangan usia remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu yang menurun dalam pelajaran. Di usia ini mereka lebih mudah
terpengaruh dengan orang-orang disekitarnya. Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur
belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan hadiah reward dan hukuman punishment. Dasar pemikirannya, sekali seorang peserta
didik mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan hadiah reward dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman punishment,
sehingga dia bisa memutuskan sendiri perilaku mana yang akan dia perbuat. Orang tua dan guru diharapkan memberi penjelasan agar peserta didik tersebut
benar-benar paham mengenai jenis perilaku mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi. Reaksi-reaksi seorang peserta
didik terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespons
conditioning ini, maka akan timbul pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya.
Di sisi lain, orang tua dan guru diharapkan memainkan peran penting sebagai seorang modeltokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral
bagi peserta didik. Misalnya, seorang peserta didik mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, seperti menerima tamu,
lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori peserta didik tersebut. Diharapkan,
cepatlambat peserta didik tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh model itu. Kualitas kemampuan peserta didik dalam
melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang
berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas peniruan tersebut juga bergantung pada persepsi
peserta didik yaitu siapa yang menjadi model. Semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas peniruan perilaku sosial dan moral
peserta didik tersebut. Jadi dalam belajar sosial, remaja belajar karena contoh lingkungan. Interaksi antara remaja dengan lingkungan akan menimbulkan
pengalaman baru bagi mereka. Sebagai contoh keagresifan remaja mungkin saja disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Cara
memakai baju dari para siswa yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang prokem mungkin juga akibat nonton tayangan sinetron di televisi. Anak-anak yang
konsumerismesuka jajan mungkin juga pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Bagaimanapun, orang tua dan guru harus dapat
memberikan contoh dan panutan bagi remaja dalam menghadapi berbagai interaksi sosial dan moral di masyarakat.
Guru adalah orang dewasa yang harus disukai oleh remaja. Meski mungkin akan lebih sulit mendidik remaja dibanding dengan anak-anak. Untuk mengambil
simpati dari para remaja, guru haruslah menjadi pribadi yang mampu memposisikan dirinya dengan remaja sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.
Misalnya saat proses belajar mengajar di sekolah, guru tetap memegang peranan sebagai seorang guru formal yang berkewajiban memberikan berbagai ilmu serta
pendidikan kurikulum. Saat remaja bercerita tentang segala keluh kesahnya, baik itu keluarga, persahabatan bahkan masalah percintaan, guru harus menjadi pribadi
yang mengerti, memahami dan mampu menjadi motivator dan dapat memposisikan dirinya sebagai seorang teman.
Peran guru sebagai pengajar, motivator, dan sahabat akan menjadikan remaja merasa nyaman dan senang datang ke sekolah. Dengan demikian setiap
proses belajar akan menjadi bermakna bagi remaja. Inilah yang akan selalu dituntut oleh masyarakat di era sekarang ini, dimana guru menjadi seorang
profesional yang mampu memahami watak remaja. Membangun pengetahuan pada remaja sangat berbeda dengan orang
dewasa. Mengajarkan remaja harus berdasarkan pada kehidupan yang nyata dan nasehat yang lembut. Melalui kegiatan saling membuka diri, remaja dapat
mengembangkan berbagai aspek yang diperlukan untuk persiapan masa depan. Hal ini dapat membantu perkembangan emosional, sosial, kognitif, moral, serta
kepribadian. Saling membuka diri juga bisa dijadikan media untuk membina hubungan yang lekat diantara anak dengan orang tua, guru, sahabat, pacar, dan
lainnya, Sehingga tercipta komunikasi yang efektif. Pada usia remaja guru harus memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk perkembangan diri kelak,
baik bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler.
Tabel 2 Tabel Konseptualisasi
Informan Penerapan Konsep
Indikator 1.
a. Komunikasi
Antarpribadi GuruTerhadap
Remaja Santri
Putri Pesantren Darularafah
Raya Medan Informan
1,2,3,4. Keterbukaan
-sikap terbuka guru dalam proses pengajaran.
b. Empati
-Kemampuan guru dalam mengenali remaja santri
PDAR. c.
Dukungan -Dukungan guru dalam
proses pengajaran. d.
Rasa Positif -Tanggapan Positif guru
terhadap remaja santri PDAR.
e. Kesetaraan
-Kesetaraan pandangan dan sikap antara guru
terhadap remaja santri PDAR.
2. a.
Kepribadian Sosial Remaja
Santri Putri di Pesantren
Darularafah Raya Informan
5. Keterbukaan
-Perasaan cemas, marah atau takut akan
berkuranghilang terhadap masalah yang
sedang dihadapi remaja jika saling terbuka
dengan guru atau teman. -Sikap optimis remaja
akan masa depan.
Sumber : Penelitian 2013 b.
Kesadaran -Memiliki rasa percaya diri dan
bakat yang besar dalam mencapai kesuksesan
-Menyadari bahwa setiap remaja mengemban tanggung jawab yang
besar akan hidup.
c. Penghargaan diri
-Merasa sangat dibutuhkan dilingkungannya
-Mempunyai prestasi yang luar biasa dibanding remaja yang lain.
d. Menjalin hubungan
yang harmonis dengan sesama.
-Menjalin hubungan yang baik dengan sesama santri.
-Menganggap semua santri dan para pendidik adalah keluarga.
-Menciptakan kasih sayang dan bantu-membantu antar santri.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang komunikasi antarpribadi dalam membentuk kepribadian sosial remaja santri putri di Pesantren Darularafah Raya
1. Temuan menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi antara guru dengan
remaja santri putri di PDAR berperan besar dalam membentuk kepribadian sosial remaja santri putri. Hal ini terjadi karena adanya situasi yang dekat
dan akrab dalam menjalin komunikasi. Santri-santri pesantren pada dasarnya terkesan memiliki keingintahuan yang besar dan aktif, oleh karena
itu tak heran jika mereka selalu melakukan pendekatan dengan akrab kepada semua pihak. Dengan empati menciptakan suasana yang akrab, ramah serta
penuh kasih sayang, maka remaja santri putri dapat lebih terbuka dan lebih bebas dalam mengaktualisasikan diri dalam menjalankan kehidupan
dipesantren. Serta selalu menjalin komunikasi yang harmonis dengan guru. Temuan juga menunjukkan bahwa pembentukan kepribadian yang selama
ini diberikan kepada remaja santri putri sudah cukup baik. terlihat bahwa kebanyakan dari mereka telah menunjukkan kepribadian sosial yang sangat
baik. Mereka menyadari situasi dan kondisi mereka, namun walau situasi mereka jauh dari orang tua, keadaan tersebut tidak mematahkan semangat
mereka untuk berkarya dan berprestasi. Setiap kasus menunjukkan jawaban positif terhadap metode pengajaran yang dilakukan guru terhadap remaja
santri putri, yaitu dengan sugesti dan tidak ada unsur pemaksaan atau perintah. Yakni tidak langsung pada pokok permasalahan melainkan diajak
terlebih dahulu untuk bercerita hal-hal yang ringan tentang pengalaman pribadi masing-masing santri.
Jln. Lau Bakeri, Kecamatan Kutalimbaru, Medan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut: