ini akan membuat anggota individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab individu lain, terlepas dari tinggi atau rendahnya
kontribusi usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang
tinggi kemungkinan justru akan lebih mentolerir perilaku social loafing.
2. Kolektivisme dan toleransi social loafing
a. Kolektivisme vertikal dan toleransi social loafing
Budaya kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi
kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas. Individu dengan yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan menjunjung
tinggi norma kelompok dan menempatkan kesuksesan kelompok di atas kesuksesan pribadi Husain, 2012. Individu yang tinggi dalam dimensi
budaya ini juga memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok Markus Kitayama dalam
Soeboer, 2003. Pengorbanan merupakan aspek penting dalam pola ini Triandis dalam Soeboer, 2003. Oleh karena itu, ketika anggota
kelompoknya melakukan social loafing, melakukan, individu ini akan rela menggantikan anggota kelompoknya dalam proses pengerjaan tugas,
karena ia percaya bahwa perilaku anggota kelompoknya akan memberikan dampak negatif bagi kesuksesan kelompok. Dengan kata lain, individu
yang memiliki derajat kolektivisme vertikal yang tinggi akan memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan rekan kerjanya.
Di sisi lain, individu dengan kolektivisme vertikal yang tinggi juga menjunjung tinggi fungsi kelompok secara keseluruhan. Di mana
kelompok merupakan hal yang utama yang patut untuk diperjuangkan melebihi kepentingan pribadinya. Sedangkan penelitian menyebutkan
bahwa social loafing merusak identitas kelompok secara keseluruhan Triandis, 1995. Sehingga individu yang memiliki kolektivisme yang
tinggi akan peduli terhadap kelompok dan tidak akan membiarkan satupun anggota kelompoknya untuk melakukan social loafing, karena akan
mengganggu performa dan produktivitas kelompok secara keseluruhan menurun Schnake, 1991.
b. Kolektivisme horisontal dan toleransi social loafing
Budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya status yang sama pada setiap individu dan penolakan terhadap otoritas atau
dominasi yang bersifat hierarkis di dalam kelompok. Hubungan atau relasi dengan anggota-anggota kelompoknya sangat penting bagi individu yang
memiliki derajat kolektivisme horisontal yang tinggi. Individu ini akan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota
kelompoknya yang lain Bond, dalam Triandis, 1995. Ketika anggota kelompok melakukan hal yang kurang disukainya e.g. social loafing,
individu akan mentolerir perilaku anggota kelompoknya tersebut dengan alasan untuk menjaga relasinya dengan anggota lain tersebut.
Di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini juga kemungkinan tidak dapat menerima perilaku social loafing yang dilakukan
anggota kelompoknya. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional
yang kuat antar anggota kelompok Triandis, 1995. Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya
melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya
dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal Welter dkk., 2002. Dengan demikian, individu yang berorientasi pada dimensi
kolektivisme vertikal akan menolak social loafing dan berusaha membantu anggota kelompok lain untuk dapat mengembangkan dirinya Carron,
Burke Prapavessis, 2004.
D. Hipotesa penelitian