Pembahasan ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Hasil menunjukkan equasi yang signifikan, F3, 96 = 5.72 , R 2 = .15, p =.001. Hal ini menunjukkan bahwa peranan individualism vertikal horisontal dan kolektivisme terhadap toleransi social loafing adalah sebesar 15,2 , sedangkan sisanya yang sebesar 84,8 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan individualisme vertikal B = .25, p = .047 dan individualisme horisontal B = .28, p = .052 memiliki hubungan yang unik terhadap toleransi social loafing, sedangkan kolektivisme vertikal tidak B = .23, p = .06. Dengan demikian, sesuai dengan Hipotesis 1 dan 2, hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal, semakin tinggi pula toleransi individu terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3, derajat kolektivisme vertikal bukanlah determinan toleransi social loafing yang unik.

B. Pembahasan

Di dalam penelitian ini peneliti memeriksa peran individualisme kolektivisme, yang dapat berupa individualisme vertikal dan horisontal maupun kolektivisme vertikal dan horisontal terhadap toleransi social loafing. Sesuai dengan Hipotesis1 dan 2, individualisme vertikal dan individualisme horisontal berhubungan searah positif secara unik dengan toleransi social loafing. Ini berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin toleran individu tersebut terhadap social loafing yang dilakukan oleh rekan sekelompoknya. Bertolak belakang dengan Hipotesis 3 dan 4, kolektivisme vertikal dan horisontal tidak berhubungan secara unik dengan toleransi social loafing. Pembahasan terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu individualisme vertikal maupun horisontal berhubungan searah dengan toleransi social loafing, yang berarti bahwa semakin tinggi derajat individualisme vertikal dan horisontal yang dimiliki individu, semakin individu tersebut dapat mentolerir perilaku social loafing. Hal ini sesuai dengan penalaran yang peneliti lakukan sebelumnya, bahwa individu yang berorientasi pada dimensi individualisme vertikal menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok Triandis, 1995. Triandis juga menyebutkan bahwa masyarakat dari budaya individualis lebih menonjolkan prinsip „aku‟ dalam berperilaku. Ketika ada anggota kelompok yang melakukan social loafing, ia justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk menunjukkan kehebatannya di atas anggota-anggota kelompok lain dengan cara menyelesaikan tugas sendirian Sarwono, 2005. Demikian halnya, dengan individualisme horisontal. Individu dengan individualisme horisontal yang tinggi merupakan individu yang memiliki kepedulian yang rendah terhadap anggota-anggota kelompoknya Piezon Donaldson, 2005. Pengurangan usaha yang dilakukan oleh anggota kelompoknya, selama hal tersebut tidak mengganggu kinerja dan prestasi pribadi, tidak akan membuat individu ini merasa terusik dengan pengurangan usaha yang dilakukan anggota kelompoknya. Penelitian terdahulu, bahkan menyebutkan bahwa individu yang berorientasi pada dimensi ini menjaga jarak dengan anggota kelompok lain Chrisnawati, 2007. Jarak ini membuat individu tidak berusaha untuk mengomentari tanggung jawab anggota kelompoknya. Dengan demikian, individu dengan derajat individualisme horisontal yang tinggi justru memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing. Untuk kolektivisme baik itu vertikal dan horisontal, pada awalnya, peneliti menduga bahwa kedua variabel akan memiliki hubungan dengan toleransi social loafing. Adapun dugaan ini berdasarkan penalaran bahwa kolektivisme vertikal dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antar individu, pengorbanan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok, serta kepatuhan kepada otoritas dimana individu memiliki sikap melayani dalam kelompok dan rela berkorban untuk keuntungan kelompok Markus Kitayama dalam Soeboer, 2003. Sedangkan budaya kolektivisme horisontal dicirikan dengan adanya kesetaraan pada setiap individu dan menolak otoritas di dalam kelompok. Individu akan sangat memperhatikan hubungan atau relasinya dan menjauhi hal-hal yang akan mengancam relasinya dengan anggota kelompoknya yang lain Bond, dalam Triandis, 1995; Ali, Lee, Hsich Krishnan, dalam Dewantoro, 2012. Dari penalaran diatas peneliti menyimpulkan bahwa individu yang memiliki derajat kolektivisme baik vertikal maupun horisontal dalam dirinya akan memiliki sikap toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompoknya. Bertolak belakang dengan penalaran yang peneliti lakukan, derajat kolektivisme vertikal individu tidak berhubungan dengan toleransi social loafing. Tidak adanya hubungan antara kolektivisme vertikal dengan toleransi social loafing dapat dijelaskan dengan menggunakan teori identitas sosial. Identitas sosial adalah pengetahuan individu tentang keanggotaannya terhadap kelompok atau kelompok-kelompok tertentu Tajfel Turner, 1979. Identitas sosial juga merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang dibentuk berdasarkan afiliasinya dengan kelompok di mana dirinya bernaung Hogg Abrams, 2002. Individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan berperilaku sesuai dengan harapan-harapan dalam kelompok. Individu yang berorientasi pada dimensi kolektivisme vertikal memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dan menjunjung tinggi kelompok sebagai bagian penting dari dirinya Stephan, Ybarra, Morrison, 2009. Identifikasi terhadap kelompok yang tinggi ini berdampak pada kerelaan individu untuk menjaga dan melindungi identitas kelompok Branscombe, Ellemers, Spears, Doosje, 1999; Ellemers, Kortekaas, Ouwerkerk, 1999; Stephan Renfro, 2002. Social loafing merupakan ancaman yang dapat merusak identitas kelompok secara keseluruhan Triandis, 1995. Oleh karena itu, untuk melindungi kelompok dari ancaman identitas, individu yang memiliki derajat kolektivisme tinggi akan cenderung mengusahakan agar anggota-anggota kelompoknya tidak melakukan social loafing Schnake, 1991. Selanjutnya, derajat kolektivisme horisontal individu tidak berhubungan dengan toleransi social loafing. Salah satu ciri dari budaya dengan dimensi kolektivisme horisontal yang tinggi adalah adanya kelekatan emosional yang kuat antar anggota kelompok Triandis, 1995. Ikatan emosional ini membuat individu untuk tidak membiarkan anggota kelompoknya melakukan social loafing, karena anggota kelompok yang melakukan social loafing akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan kelompok tidak akan menghasilkan performa yang maksimal Welter dkk., 2002. Selain itu, individu dengan orientasi kolektivisme horisontal memandang kesetaraan dalam kelompok Triandis, 1995, sehingga setiap anggota kelompok seharusnya mendapatkan dan memberikan hal yang sama untuk kelompok. Dapat disimpulkan bahwa individu dengan derajat kolektivisme baik secara vertikal maupun horisontal tidak memiliki toleransi terhadap perilaku social loafing yang dilakukan oleh rekan kelompoknya. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa hasil analisis berbeda dengan hasil penelitian terdahulu seperti yang telah peneliti bahas sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan teori yang digunakan dalam penelitian ini masih kurang komprehensif, dimana belum banyak penelitian yang meneliti tentang toleransi terhadap social loafing. Selain itu, skala yang peneliti gunakan masih kurang reliabel untuk dipakai dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji reliabilitas skala penelitian yang peneliti gunakan seperti skala toleransi social loafing yang hanya 0.69 dan dimensi kolektivisme vertikal pada skala individualisme kolektivisme hanya 0.62. Walaupun ada ahli yang menyatakan bahwa 0.60 sudah bisa dikatakan reliabel, namun nilai ini masih sangat kurang dalam melakukan analisis data. Kurang memuaskannya koefisien reliabilitas tiap komponen dalam skala toleransi social loafing adalah karena jumlah aitem yang sedikit, yaitu 15 item, dan pada dimensi kolektivisme vertikal hanya 5 aitem. Azwar 2000 dan Suryabrata 2000 menyata kan bahwa panjang tes akan berpengaruh terhadap reliabilitas suatu alat ukur. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga mungkin dipengaruhi kurang baiknya adaptasi aitem skala penelitian. Kemungkinan aitem tidak dapat diterjemahkan secara baik dari bahasa aslinya dan tidak sesuai dengan budaya sampel penelitian yang akan dijadiikan subjek penelitian. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dicermati penerjemahan secara lebih teliti dan menghindari ambiguitas makna pada tiap-tiap item, gunanya untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas skala. Hal ini yang menjadi kelemahan dari penelitian ini. Untuk memperkaya penelitian ini, peneliti juga menghubungkan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Murniati 1996 yang menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam dimensi individualisme kolektivisme, dan agaknya tepat berada di ambang individualisme. Hasil penelitian menyebutkan, meskipun sedang terjadi pergeseran menuju individualisme, namun nilai-nilai budaya tampaknya masih cukup mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian ini, yang mengakibatkan nilai individualisme lebih berhubungan dengan tingkat toleransi social loafing anggota kelompok.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Individualisme vertikal memiliki hubungan yang signifikan dengan toleransi social loafing. 2. Individualisme horisontal memiliki hubungan yang signifikan dengan toleransi social loafing. 3. Kolektivisme vertikal tidak memiliki hubungan dengan toleransi social loafing. 4. Kolektivisme horisontal tidak memiliki hubungan dengan toleransi social loafing.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran agar penelitian ini dapat berguna bagi studi lanjutan mengenai individualisme dan toleransi social loafing. Beberapa saran antara lain :

1. Saran Metodologis

1. Melihat kecilnya nilai hubungan individualisme kolektivisme dengan toleransi social loafing yakni hanya 15, sehingga perlu adanya penelitian-penelitian lanjutan yang menunjukkan adanya faktor lain yang menunjukkan dampak social loafing terhadap individu lain dalam kelompok.