Individualisme Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok

2008. Hal ini akan membuat individu membiarkan anggota kelompok yang lain untuk melakukan pemalasan social.

4. Keinginan untuk berprestasi

Anggota kelompok yang ingin menunjukkan kemampuannya kepada anggota-anggota lain akan terdorong memberikan kontribusi lebih ketika bekerja di dalam kelompok. Ketika terdapat anggota kelompok yang melakukan social loafing, individu tidak akan merasa terganggu dan akan berusaha mengambil alih tanggung jawab rekan kerjanya. Dengan kata lain, tindakan social loafing yang dilakukan oleh anggota kelompok justru dipandang oleh individu sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di mata anggota kelompok lain. Terlebih lagi jika anggota kelompoknya merupakan orang baru dan belum pernah menyaksikan kebolehannya di masa lalu Seta Seta, dalam Sarwono, 2005.

B. Individualisme kolektivisme

Pemahaman terhadap budaya yang melatari dinamika kelompok diperlukan dalam upaya memahami efek social loafing Walsh, Gregory, Lake, Gunawardena, 2003; Karau Williams, 1993. Salah satu faktor budaya yang penting untuk dikaji adalah dimensi individualisme kolektivisme.

1. Individualisme

Hofstede 2005 mengartikan individualisme sebagai tatanan sosial yang dikarakteristikkan oleh ikatan emosional antar individu yang longgar. Masyarakat individualisme sangat menekankan kesadaran „aku‟ dan kemandirian yang ditandai oleh independensi emosi, inisiatif pribadi, privasi, kesenangan bereksplorasi, kebutuhan akan relasi khusus. Individualisme adalah budaya yang menekankan gagasan bahwa individu terpisah dan tidak tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai otonom dari ingroup, tujuan pribadi menjadi prioritas di atas tujuan kelompok, sikap individu secara personal lebih menentukan perilaku sosial individu daripada norma Triandis, 1995.

2. Klasifikasi individualisme

Triandis dalam Lee Choi, 2005 menyarankan bahwa individualisme dapat dibagi menjadi horisontal maupun vertikal. Individu dengan individualisme horisontal ingin menjadi unik dan melakukan yang hal yang merupakan keinginannya sendiri, namun tidak melandaskan pada hierarki tertentu. Sedangkan orang-orang individualistis vertikal tidak hanya ingin melakukan hal yang mereka ingin ia lakukan sendiri tetapi juga berusaha untuk menjadi yang terbaik berdasarkan hierarki tertentu e.g., rangking kelas, jabatan tinggi, gengsi, dll.. Daya saing sangat tinggi terdapat pada budaya individualistis vertikal.

a. Individualisme vertikal

Individu yang memiliki derajat vertikal individualisme tinggi merupakan individu yang independen dan otonom tetapi juga kompetitif dan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Vertikal Individualisme adalah pola budaya di mana individu-individu merasa otonom, unik dan berbeda dari orang lain, dan berusaha untuk mendapatkan posisi status yang tinggi. Dalam pola budaya ini, kompetisi merupakan aspek penting bagi setiap individu.

b. Individualisme horizontal

Individu-individu dengan derajat individualisme horizontal yang tinggi memandang diri mereka sepenuhnya otonom, dan percaya bahwa kesetaraan antar individu merupakan hal yang ideal. Mereka ingin menjadi unik dan berbeda dari kelompok di mana dirinya bernaung. Meskipun menginginkan kemandirian dan keunikan pribadi, mereka tidak tertarik untuk memiliki status yang lebih tinggi dari anggota kelompok lainnya. 3. Kolektivisme Hofstede 2005 mengartikan kolektivisme sebagai tatanan sosial yang memiliki ikatan emosional antar individu yang kuat. Masyarakat kolektivisme sa ngat menekankan kesadaran „peneliti‟ dan identitas kolektif, yang ditandai oleh ketergantungan emosi, solidaritas, sharing, keputusan kelompok, kewajiban dan keharusan dan keinginan akan persahabatan yang stabil dan memuaskan. Selanjutnya Triandis 1995 mendefenisikan kolektivisme sebagai budaya yang menekankan bahwa individu saling tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, dan memprioritaskan tujuan-tujuan kelompoknya sebagai prioritas di atas tujuan-tujuan pribadi Triandis, 1995. Dari definisi kolektivisme yang disebutkan para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan kolektivisme sebagai pola budaya di mana individu memiliki ikatan emosional antar individu yang sangat kuat, saling tergantung dengan individu lain, mendefinisikan diri sebagai bagian dari kelompok, tujuan ingroup menjadi prioritas diatas tujuan pribadi.

4. Klasifikasi kolektivisme

Triandis dan Gelfand 1998 juga membagi kolektivisme menjadi kolektivisme horisontal maupun vertikal.

a. Kolektivisme vertikal

Individu ini melihat diri sebagai bagian dari suatu kelompok dan bersedia menerima adanya hirarki dan ketimpangan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Dalam kolektivisme vertikal, individu menekankan integritas dalam kelompok, individu bersedia mengorbankan tujuan pribadi mereka demi sasaran dalam kelompok, dan dukungan untuk berkompetisi antar kelompok. Kolektivisme Vertikal adalah pola budaya di mana individu melihat diri sebagai bagian penting kelompok, tetapi anggota dalam kelompok berbeda satu sama lain, beberapa memiliki status lebih tinggi dari lain.

b. Kolektivisme horisontal

Individu ini memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok akan tetapi mereka memahami bahwa semua anggota kelompok setara. Individu horisontal kolektivisme melihat diri mereka mirip dengan dengan individu lain dan menekankan tujuan umum dengan orang lain, saling bergantung, dan bersosialisasi, namun mereka tidak mudah untuk tunduk pada otoritas. Kesetaraan merupakan inti dari pola ini.

5. Individualisme kolektivisme dan kerja sama di dalam kelompok

Derajat individualisme kolektivisme yang dimiliki seorang individu mempengaruhi bagaimana ia memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Markus dan Kitayama 1991 mengemukakan individu di dalam masyarakat kolektif cenderung interdependent, sebagai konsekuensi, mereka memiliki ciri unik dalam bekerja di dalam kelompok, yaitu sebagai berikut: 1 Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap kelompok; 2 merasa memiliki keterkaitan yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok lain, 3 menjunjung tinggi harmoni dan kerjasama di dalam kelompok, 4 mengkontekstualisasikan diri di dalam kelompok e.g., mengetahui tugasnya di dalam kelompok, dan 5 menjungjung tinggi sistem hierarki sosial yang berjalan di dalam kelompok Singelis, dkk; Oyserman Coon dalam Fernandez, Paez, Gonzalez, 2005. Markus dan Kitayama 1991 juga mengemukakan bahwa individu di dalam masyarakat individualis cenderung independent, yaitu suatu kecenderungan pribadi yang mengacu pada orientasi diri, menekankan kemandirian dan kontrol, mengejar tujuan individu dalam kelompok, dan budaya di mana orang mendapatkan kebanggaan dari prestasi mereka sendiri. Dalam lingkungan individualistis, orang termotivasi oleh kepentingan diri sendiri dan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ragu-ragu untuk berkontribusi pada tindakan kolektif, kecuali usaha mereka sendiri diakui, dan lebih memilih untuk mendapatkan keuntungan dari usaha orang lain.

C. Hubungan antara individualisme kolektivisme dengan toleransi social

loafing. 1. Individualisme dan toleransi social loafing a. Individualisme vertikal dan toleransi social loafing Sebagaimana telah peneliti jelaskan, individualisme vertikal adalah budaya yang menilai individu berdasarkan keunikan, yang diakui berdasarkan hierarki atau status sosial yang didapatkan melalui kompetisi. Ketika bekerja dalam kelompok, individu yang tinggi dalam derajat dimensi ini menginginkan agar diri ia lebih baik daripada orang lain, keberhasilan atau kegagalan kelompok dipandang keberhasilan atau kegagalan pribadi Triandis Gelfand, 1998. Di satu sisi, ketika ada perilaku social loafing dalam kelompoknya individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi dapat merasa terganggu, karena ia mempercayai bahwa perilaku social loafing akan menurunkan kinerja dan prestasi kelompok, yang berararti kegagalan bagi pencapaian prestasi pribadinya. Sebagai konsekuensi, individu dengan derajat individualisme vertikal yang tinggi akan akan sulit mentolerir perilaku social loafing, karena kegagalan kelompok dapat ia internalisasikan sebagai kegalan pribadi. Namun, di sisi lain, individu yang berorientasi pada dimensi ini menempatkan kepentingan personal di atas kepentingan kelompok Triandis, 1995. Ketika ada anggota kelompok yang melakukan social loafing, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ia justru dapat memandang hal tersebut sebagai kesempatan bagi dirinya untuk