Pengangguran di Indonesia 1984-2008

(1)

MEMPENGARUHINYA

NILAM ANGGAR SARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

NILAM ANGGAR SARI NIM H151080071


(4)

(5)

NILAM ANGGAR SARI. 2011. Unemployment in Indonesia 1984-2008: Persistence and Its Sources. Under the guidance of DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and DJONI HARTONO.

Unemployment is a common problem in most countries. Generally the national unemployment rate rose from average 4.83 percent in 1992-1999 to 9.08 percent in 2000-2008. An increase in the unemployment rate not only implies a serious underutilization of manpower, but also may likely generate a series of social problems in the long run. As such, dealing with the upsurge in the unemployment rate has become the top priority in the governments policy agenda. Aside from the rise of the aggregate unemployment rate, the regional unemployment rate in Indonesia shows wide variability of the unemployment rate among 26 provinces, moreover this unemployment rate seems to persist over time. This study intended to identify the persistence of regional unemployment and to explore the sources of this regional unemployment across Indonesian provinces. Using time series data from 1984 through 2008 it identified the existence of regional persistence with two approaches: Im Pesharan Shin panel unit root test and panel method to get the ‘near unit root’ coefficient. Thus, to analyze factors affecting regional unemployment, panel data analysis was used. Panel unit root test showed that panel data in this period was stationary and this study found the coefficient was a near unit root process (0.87). A cross-regional panel study showed that the variables contributing to unemployment rate were the share of the labor force (15-24), minimum wage province, the percentage of the labor force that is male, and the share of labor force with a higher education. Real GDRP per capita, dependency ratio, and industry composition (the share of manufacturing and agriculture sectors to GDRP) negatively effected the dependent variable. Related to industry composition, even though both sector have a negative effect which reduced regional unemployment but the result showed that agriculture has the largest employment elasticity.Understanding the sources of regional unemployment is helpful to determine the appropriate policies to mitigate the unemployment rate across regions. This study provides important implications for government to make a new reorientation so that sector which has relatively high growth can also create employment. Second, this study recommends the promotion of a vocational education and training as a transition for young person to enter labor market. Third, it also suggests development of agriculture in rural area. Fourth, the government in region must have a specific unemployment program depending on potential characteristics of the regions and promotes new investments to create employment. Fifth, UMP is still needed as a reference in setting the workers wage, but the criteria of minimum wage should be determined not only refers to inflation rate but also includes employment growth, financial capability of company, and macroeconomic stability.


(6)

(7)

Persistensi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Dibawah bimbingan DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan DJONI HARTONO.

Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir ini tingkat pengangguran agregat tidak pernah berkecenderungan menurun secara signifikan. Fenomena meningkatnya pengangguran secara agregat merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Beberapa permasalahan pengangguran dari dimensi regional adalah tidak adanya konvergensi dan tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu 1984 hingga 2008. Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan merupakan pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008). Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Hal ini disebabkan karena pengangguran yang persisten memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran pada level provinsi (secara statistik) dan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengangguran regional. Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan pertama (pembuktian persistensi pengangguran) adalah data sekunder tingkat pengangguran regional 26 provinsi (1984-2008) dengan menggunakan pendekatan panel unit root Im Pesharan Shin (IPS) dan menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan metode panel. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi determinan pengangguran regional dengan menggunakan data tahun 1998-2008. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak meregresikan variabel migrasi ke dalam model dan melihat persistensi secara umum. Hal ini disebabkan karena data migrasi yang hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakannya sensus penduduk.

Secara teoritis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Hasil pengujian IPS dengan pendekatan intersep dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,00 yang berarti sangat signifikan sehingga diputuskan bahwa H0

Pengangguran regional di Indonesia mempunyai mekanisme yang lambat menuju keseimbangan disebabkan karena faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran regional yaitu kekakuan upah akibat pemberlakuan upah minimum provinsi, angkatan kerja berusia muda (15-24 tahun), angkatan dimana data panel mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Selanjutnya dengan menghitung koefisien persistensi diperoleh koefisien AR sebesar 0,87 (near unit root) dengan probabilitas 0,00 dan ini merupakan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi pengangguran.


(8)

mencakup pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB. Terkait dengan komposisi industri, walaupun semua sektor berdampak negatif terhadap pengangguran namun sektor pertanianlah yang mempunyai elastisitas penyerapan tenaga kerja paling besar.

Alternatif kebijakan diperlukan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Pertama, diperlukan reorientasi kebijakan bahwa sektor yang tumbuh relatif tinggi seyogyanya pro penciptaan lapangan kerja. Pemerintah dapat memberikan insentif berupa fiskal maupun nonfiskal (suku bunga rendah) bagi industri dengan teknologi padat tenaga kerja. Kedua, penelitian ini merekomendasikan pembangunan sektor pertanian di pedesaan agar penyerapan tenaga kerja di sektor ini menjadi optimal. Ketiga, pengkajian sistem pengupahan harus memperluas kriteria penyesuaian upah minimum. Keempat, sistem pendidikan harus diupayakan agar angkatan kerja yang memasuki dunia kerja memiliki keterampilan yang memadai dan sesuai kebutuhan dunia industri. Kelima, terkait dengan adanya karakteristik yang berbeda-beda antarprovinsi seyogyanya pemerintah provinsi dituntut untuk memiliki program pengangguran sendiri yang disesuaikan dengan potensi daerah. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan metode selain uji stasioneritas dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dan memasukkan variabel migrasi ke dalam model.


(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

NILAM ANGGAR SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

(13)

NRP : H151080071

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. D S Priyarsono, MS

Ketua Anggota

Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(14)

(15)

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Tesis yang berjudul “PENGANGGURAN DI INDONESIA 1984-2008: PERSISTENSI DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA” ini disusun untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. D S Priyarsono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Djoni Hartono,S.Si.ME selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Nunung Nuryartono,M.Si dan Dr.Ir.Sri Mulatsih, M.Sc atas masukan berharga terhadap penelitian ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rekan-rekan kuliah, suami, orang tua, dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangannya, baik dari segi materi maupun proses penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik yang membangun bagi perbaikan penulis.

Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya.

Bogor, Februari 2011


(16)

(17)

Penulis bernama Nilam Anggar Sari lahir pada tanggal 22 Januari 1985 di Surakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Soesilo Wibowo dan Ibu Sri Indrati. Penulis sudah menikah dengan suami bernama Kamal Harpa.

Pada tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan S1 pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007, penulis bergabung dengan International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) sebagai asisten peneliti hingga Juni 2010. Kesempatan melanjutkan Program S2 di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor didapatkan penulis dari beasiswa InterCAFE pada tahun 2008.


(18)

(19)

xvii

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Definisi Pengangguran ... 7

2.2 Persistensi Pengangguran dan Hysteresis ... 8

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran Regional ... 9

2.3.1 Perubahan Demografi... 9

2.3.2 Hambatan Sosial dan Ekonomi ... 10

2.3.3 Komposisi Industri ... 11

2.3.4 Kekakuan Upah ... 12

2.3.5 Pencarian Kerja ... 14

2.4 Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional ... 14

2.5 Hasil Penelitian Empirik Terdahulu ... 16

2.6 Kerangka Pemikiran ... 19

2.7 Hipotesis Penelitian ... 23

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Pengujian Persistensi ... 25

3.2 Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional... 27

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Identifikasi Persistensi Regional ... 29

4.2 Analisis Determinasi Pengangguran Regional ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(20)

xviii


(21)

xix

Halaman

1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 29

2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia ... 30

3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional ... 31

4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen) ... 33

5 Pengangguran Menurut Pendidikan yang Ditamatkan (Persen) ... 36

6 Komposisi PDB dan Tenaga Kerja Menurut Sektor di Indonesia ... 39

7 Elastisitas Sektoral Tenaga Kerja... 40

8 Penduduk Berdasarkan Status Pekerjaan Utama ... 42


(22)

xx

Halaman

1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 1 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008 ... 2 3 Employment Rate Antarpulau, 1992-2008 ... 3 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008 ... 4 5 Diagram Ketenagakerjaan ... 8 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja ... 13 7 Analisis Tahap Pertama ... 20 8 Analisis Tahap Kedua ... 22 9 Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah ... 34 10 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Pendidikan ... 35 11 Perbandingan Angkatan Kerja Pria dan Wanita ... 36 12 Struktur Pengangguran Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37 13 Produktivitas Tenaga Kerja dan Upah Riil ... 41


(23)

xxi

Halaman 1 Uji Stasioneritas Panel Unit Root IPS ... 54 2 Metode Panel Unit Root Selain IPS ... 55 3 Uji Hausman ... 56 4 Estimasi Koefisien dengan Menggunakan Fixed Effect dengan

Dependent Variable Tingkat Pengangguran Menggunakan Fixed Effect dengan Cross Section Weights dan White Cross Section

Covariance ... 57

5 Uji Hausman Persamaan Determinasi Pengangguran Regional ... 58 6 Perbandingan Sum Squares Weighted dan Unweighted ... 60 7 Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan Fixed Effect

dengan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance . 61 8 Data Migrasi Netto Antarprovinsi ... 62


(24)

xxii


(25)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi beban bagi perekonomian (Amarullah 2008). Di samping itu, pengangguran juga menunjukkan masalah ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi sehingga implikasinya adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensinya yang maksimal. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengurangan pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan perekonomian.

Pada umumnya, tingkat pengangguran Indonesia terus mengalami peningkatan. Rata-rata tingkat pengangguran pada periode 1984-1991 adalah sebesar 2,42 persen, periode 1992-1999 sebesar 4,83 persen, sementara periode 2000-2008 mencapai 9,08 persen. Dengan demikian terjadi perubahan rata-rata tingkat pengangguran di antara ketiga periode tersebut (Gambar 1).

Sumber: Sakernas (1984-2008), diolah

Gambar 1 Tingkat Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008


(26)

Fenomena meningkatnya pengangguran secara nasional merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran di tingkat provinsi. Salah satu masalah pengangguran dari dimensi regional adalah perbedaan tingkat pengangguran antarprovinsi yang cenderung semakin melebar dan divergen. Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran provinsi-provinsi menunjukkan kondisi yang cukup heterogen. Pada tahun 2008 Jakarta memiliki tingkat pengangguran sebesar 12,16 persen, kemudian Sumatera Barat memiliki tingkat pengangguran yang mencapai 8,04 persen. Sementara, provinsi Papua hanya mencapai 5,18 persen. Dari 26 provinsi, tujuh provinsi di antaranya memiliki tingkat pengangguran yang melebihi tingkat pengangguran nasional. Mayoritas (lima provinsi) terletak di Kawasan Barat Indonesia (KBI), sementara provinsi lainnya terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pada tahun tersebut, provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi adalah Jawa Barat (12,66 persen) sedangkan yang terendah adalah Bali (3,31 persen). Dengan demikian selisih nilai antara kedua provinsi tersebut adalah sebesar 9,35 persen. Nilai tersebut cenderung meningkat, mengingat pada tahun 1984 persen selisih nilai tersebut hanya 6,53 persen. Data ini menunjukkan bahwa jarak tingkat pengangguran antarprovinsi semakin besar.

Sumber: BPS (1984-2008), diolah

Gambar 2 Tingkat Pengangguran Antarprovinsi Tahun 1984 dan 2008 0

2 4 6 8 10 12 14

P

er

sen


(27)

Dispersi tingkat pengangguran antarprovinsi juga ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang cenderung terus meningkat. Pada periode 1984-2008 nilai dari standar deviasi cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun sempat mengalami penurunan pada beberapa titik waktu. Nilai tersebut berkisar antara 1,23 (tahun 1984) dan 3,34 (Tahun 1984) dengan rata-rata tingkat deviasi sebesar 2,12. Adanya perbedaan pengangguran antarprovinsi menunjukkan beragamnya kinerja pasar tenaga kerja regional. Secara nasional kemampuan penyerapan tenaga kerja cenderung menurun, walaupun mengalami peningkatan pada periode 2006 hingga 2008. Apabila dibandingkan dengan agregat nasional, Pulau Maluku, Jawa dan Sulawesi memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa proses pembangunan antarwilayah relatif kurang merata.

Sumber: BPS (2008), diolah

Sumber: BPS (1992-2008), diolah

Gambar 3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Antarpulau, 1992-2008

Permasalahan kedua dari dimensi regional adalah tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Gambar 4 menunjukkan bahwa semua provinsi mengalami peningkatan pengangguran. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984. Data menunjukkan bahwa pengangguran cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Gejala demikian disebut pengangguran yang persisten (InterCAFE 2008).

82 84 86 88 90 92 94 96 98 100

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

P

er

sen


(28)

Sumber: BPS (1984-2008), diolah

Gambar 4 Distribusi Tingkat Pengangguran Provinsi 1984 dan 2008

Persistensi pada level regional telah menjadi fenomena di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Chuang dan Lai (2007), pada periode 1987-2004 menyatakan bahwa tingkat pengangguran diantara 23 kota di Taiwan menunjukkan heterogenitas yang tinggi dan cenderung persisten sepanjang waktu. Wu (2007) juga mengidentifikasi persistensi regional di berbagai wilayah di China.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah ketenagakerjaan yang terkait pengangguran di Indonesia merupakan salah satu masalah makroekonomi yang utama. Dilihat dari dimensi regional beberapa permasalahan pengangguran adalah pertama, tidak adanya konvergensi dan kedua, tingkat pengangguran provinsi menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada rentang waktu tersebut. Dalam penelitian ini hanya permasalahan kedua yang akan dianalisis yaitu kondisi pengangguran provinsi yang persisten. Pengangguran memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap perekonomian namun juga sosial.

Pertama, pengangguran menunjukkan permasalahan ketidakefisienan. Apabila terdapat pengangguran yang persistensi di tingkat regional, maka tingkat

NAD Sumut Sumbar Jambi Sumsel Lampung Jakarta Jabar Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Maluku Papua 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00

2008

1984


(29)

pendapatan regional aktual lebih rendah daripada tingkat pendapatan potensialnya. Keadaaan ini berarti tingkat kemakmuran yang dinikmati masyarakat lebih rendah daripada tingkat kemakmuran yang mungkin dicapainya. Kedua, mengurangi persistensi pengangguran ini berarti mengurangi dampak negatif berkaitan dengan geographical concentrations of unemployment. Daerah yang mempunyai tingkat pengangguran yang persisten cenderung memiliki

demand terhadap barang dan jasa lokal yang rendah dalam jangka panjang. Ketiga, di samping akibat buruk yang bersifat ekonomi, pengangguran menimbulkan pula biaya sosial. Terhadap individu, pengalaman menganggur akan mempengaruhi prospek seseorang dalam kesempatan kerja yang akan datang (the scarring theory of unemployment). Semakin lama seseorang menganggur akan semakin berdampak pada perkembangan karirnya seperti kemampuan yang semakin berkurang serta semakin tingginya peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang cenderung kurang stabil. Di samping itu, pengangguran yang semakin sulit untuk diatasi ditengarai sebagai pemicu masalah sosial ekonomi masyarakat, sehingga dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Studi terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi angka pengangguran, probabilitas meningkatnya kemiskinan, kriminalitas dan fenomena sosial-ekonomi politik lainnya semakin tinggi.

Persistensi pengangguran regional akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya beban terhadap perekonomian. Tingkat pengangguran yang tidak teratasi pada level provinsi akan membawa konsekuensi pada semakin tingginya tingkat pengangguran nasional. Dengan demikian dibutuhkan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran yang mengacu pada tingkat regional. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah benar terjadi persistensi pengangguran provinsi di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber pengangguran provinsi di


(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi keberadaan persistensi di tingkat provinsi di Indonesia. 2. Mengidentifikasi sumber penyebab pengangguran pada level provinsi di

Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan persistensi pengangguran pada level provinsi, karena pengangguran yang tidak teratasi pada level ini akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat pengangguran agregat. Dengan demikian secara umum penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. Pemerintah: Sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran pada level regional berdasarkan perumusan strategi maupun langkah kebijakan. Kebijakan yang diambil bisa berbeda antarprovinsi disesuaikan dengan karakter masing-masing daerah.

2. Akademisi: Sebagai referensi dalam menggali lebih dalam mengenai pengangguran.

3. Masyarakat: Memperluas wawasan serta cakrawala berpikir dalam memahami kondisi pengangguran.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup 26 provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketersediaan data yang tidak memungkinkan untuk mencakup provinsi-provinsi baru. Keterwakilan tiap-tiap provinsi di seluruh pulau diharapkan dapat merepresentasikan persistensi pengangguran regional di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini tidak mengidentifikasi persistensi untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia.


(31)

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan pengangguran secara umum serta teori-teori yang berhubungan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pengangguran di tingkat regional yang selanjutnya mengarah pada kondisi yang menyebabkan persistensi. Selain itu, juga mencakup tentang penelitian terdahulu, kerangka pemikiran serta hipotesis yang dibuat berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini.

2.1. Definisi Pengangguran

Menurut BPS, konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di Indonesia digunakan batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap mulai bisa bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja, adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam

angkatan kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah,

mengurus rumah tangga, pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur. Menurut BPS, bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus.

Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang; (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan kerja yang tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan yang digunakan


(32)

dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization). Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:

Sumber: BPS (2008)

Gambar 5 Diagram Ketenagakerjaan

2.2. Persistensi Pengangguran dan Hysteresis

Blanchard dan Summer (1986) menyatakan bahwa the existence of hysteresis should not be confused with persistence. Persistence implies that, although the speed of adjustment towards the equilibrium level is slow, unemployment shows mean reversion. Thus persistence is a special case of the natural rate hypothesis in which unemployment is a near-unit root process. Under hysteresis, macroeconomic policy would have permanent effects on unemployment. If persistence were the prevailing case it would have long lasting but not permanent effects. Persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Pernyataan ini sesuai dengan Elmeskov (1993) yang menyatakan bahwa the adjustment towards equilibrium takes time and the adjustment process may be complicated.

Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada

Penduduk

Bukan Usia Kerja

Usia Kerja

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Pengangguran Mengurus RT

Sedang Bekerja

Sementara Tidak Bekerja

Mempersiapkan Usaha

Merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan

Sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja

Mencari Pekerjaan


(33)

pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya(mean reversion). Equilibrium rate menurut Elmeskov (1993) adalah natural rate (tingkat pengangguran alamiah).

Kondisi ini perlu dibedakan dengan hysteresis yang merupakan kondisi fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang memiliki dampak yang permanen terhadap tingkat pengangguran. Menurut Mankiw (2003), hysteresis adalah teori yang menyatakan bahwa resesi dapat mempengaruhi tingkat pengangguran alamiah secara permanen. Hysteresis merupakan suatu proses unit root (tidak stasioner) sedangkan persistensi pengangguran disebut sebagai near unit root dan memiliki kecenderungan untuk mean reversion. Mean reversion dalam ekonometrika adalah suatu series jika fluktuasi cenderung kembali ke nilai rata-rata dan varian cenderung bersifat konstan.

2.3. Faktor-faktor Penyebab Pengangguran Regional

Sub bab berikut memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab pengangguran regional yang terdiri dari labor supply, labor demand, dan mekanisme upah sebagai market clearing.

2.3.1. Perubahan Demografi

Berdasarkan berbagai literatur sebelumnya, perubahan demografi dapat dikategorikan berdasarkan: struktur umur, gender, pendidikan, angkatan kerja, migrasi dan latar belakang keluarga. Tiap-tiap faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Struktur umur: Pengangguran usia muda (15-24) kerap menjadi fokus perhatian para pembuat kebijakan dan peneliti. Pada umumnya yang terjadi adalah tingkat pengangguran usia muda lebih tinggi dibandingkan pengangguran usia dewasa. Hal ini disebabkan karena tingginya frekuensi dalam pergantian/pencarian kerja pada kelompok umur tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian mereka.

- Gender: Berdasarkan jenis kelamin, angkatan kerja terbagi menjadi angkatan kerja pria dan wanita. Pria pada umumnya memikul tanggung jawab utama untuk menghidupi keluarga. Oleh karena itu menurut Chuang dan Lai (2007)


(34)

mereka lebih termotivasi dan aktif dalam mencari pekerjaan dan lebih enggan untuk berhenti bekerja.

- Pendidikan: Elhorst (2003) menyatakan dalam beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran. Hal ini disebabkan karena berbagai alasan berikut: Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang.

Dengan demikian seharusnya, semakin tinggi pangsa pria terhadap angkatan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin rendah.

- Beban tanggungan keluarga (dependency ratio): Ide dasarnya adalah apabila dalam

- Migrasi: Filiztekin (2007) menyatakan bahwa migrasi bisa mempengaruhi sisi

supply maupun demand tenaga kerja. Migrasi keluar bisa mengurangi labor supply, sementara migrasi masuk bisa menyebabkan peningkatan baik dalam

supply tenaga kerja (pengaruh langsung) dan demand tenaga kerja (tidak langsung). Efek terhadap demand tenaga kerja yaitu jika migrant

berketerampilan dan berpendidikan tinggi, migrant memiliki kontribusi human capital dalam bentuk akumulasi keahlian, bakat kewirausahaan keterampilan dan inovasi yang akan berkontribusi terhadap produktivitas lokal sehingga produksi dapat meningkat. Selanjutnya hal ini dapat berimplikasi terhadap

demand tenaga kerja.

suatu rumah tangga terdapat anggota keluarga (non produktif) yang menjadi beban bagi individu (usia produktif) di keluarga, maka individu tersebut akan lebih intensif dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian semakin tinggi dependency ratio di suatu wilayah tersebut semakin rendah tingkat pengangguran (Chuang dan Lai 2007).

2.3.2. Hambatan Sosial dan Ekonomi

Berbagai pandangan menyatakan bahwa adanya pengangguran di tingkat regional merefleksikan slow operation of equilibrating mechanisms karena adanya


(35)

hambatan ekonomi dan sosial. Pertama, sebagai catatan bahwa perilaku migrasi tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan konsep ekonomi. Hambatan sosial dan ekonomi bisa memisahkan pasar tenagakerja regional (friction) terdiri dari:

1. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya tingkat kepemilikan rumah. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepemilikan rumah dengan tingkat pengangguran yaitu “a house ownership variabel to stand for the workers community identity and sosial networks affect the cost of migration and thus workers mobility. Strong community identification and cohesive social networks increase the cost of migration”.

2. Hambatan yang ditimbulkan karena adanya kebijakan ‘social security’. Banyak studi telah mengkaji dampak asuransi pengangguran terhadap pencarian pekerjaan. Keberadaan sistem ‘social security’ atau asuransi pengangguran pada khususnya berhubungan positif dengan tingkat pengangguran regional karena sistem ini mengurangi biaya dari ‘menganggur’ dan meningkatkan upah reservasi (tingkat upah terendah agar penganggur mau bekerja). Dengan kata lain, kebijakan tersebut menurunkan tingkat pencarian kerja. Di samping itu Elhorst (2003) menemukan hubungan yang positif bahwa sistem upah minimum meningkatkan pengangguran regional. Upah minimum dianggap sebagai proteksi atau perlindungan untuk kesejahteraan pekerja. Dalam kebijakan ini, perusahaan secara legal tidak boleh melakukan kebijakan pengupahan di bawah floor wage, sehingga upah minimum sering dijadikan alasan oleh serikat buruh untuk mencegah terjadinya penurunan upah di bawah upah minimum. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan demand akan tenaga kerja.

2.3.3. Komposisi Industri

Argumen yang sering dikemukakan bahwa salah satu penyebab pengangguran regional adalah struktur perekonomian dalam suatu wilayah tersebut. Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa pergeseran dalam komposisi industri berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja pada level regional. Dengan demikian komposisi industri mempengaruhi tingkat pengangguran


(36)

regional. Hal ini juga diperkuat oleh Wu (2003) bahwa persistensi pengangguran regional tergantung pada struktur ekonomi wilayah tersebut. Tiap sektor akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja.

2.3.4. Kekakuan Upah

Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw 2003). Secara teoretis, untuk mempertahankan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) sama dengan tingkat aktualnya (actual rate of unemployment), maka harus dijaga agar tingkat upah riil sama dengan Marginal Productivity to Labor (MPL). Upah riil menyesuaikan MPL sehingga ketika MPL turun maka upah riil seharusnya juga turun. Tetapi jika tidak terjadi penurunan, maka upah riil tersebut kaku. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin lama dan semakin besar efek guncangan negatif terhadap pengangguran, atau pada saat pertumbuhan upah riil lebih tinggi dari pertumbuhan produktivitas perusahaan maka akan menyebabkan pertambahan pengangguran. Di sisi lain, kekakuan upah nominal merupakan kemampuan upah nominal dalam melakukan penyesuaian terhadap harga. Semakin lambat mekanisme penyesuaian maka akan semakin besar penurunan upah riil sebagai respon dari inflasi yang tidak diantisipasi. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.


(37)

Sumber: Mankiw (2003)

Gambar 6 Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja

Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 6, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2003).

Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2003). Alasannya yaitu pekerja

Tenaga Kerja Permintaan Penawaran

Pengangguran Upah Riil

W1

W0

L0


(38)

dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.

Kekakuan upah nominal juga disebabkan oleh adanya indeksasi upah terhadap inflasi. Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Ketika terjadi inflasi (kenaikan biaya hidup) pekerja akan menuntut kenaikan upah, sehingga kemungkinan besar perusahaan akan meningkatkan upah, karena ada biaya yang harus ditanggung (perceived cost) dari tindakan pekerja jika tuntutan kenaikan upah oleh pekerja tidak dikabulkan oleh perusahaan (misalnya; mogok kerja, demonstrasi).

2.3.5. Pencarian Kerja

Pencarian kerja terkait dengan waktu yang dibutuhkan para pencari kerja. Pencarian kerja bisa menjadi lebih lama atau lebih cepat karena dipengaruhi oleh komposisi industri, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, dan migrasi. Pencari kerja membutuhkan waktu untuk mencocokkan antara kualifikasi, keahlian yang dimiliki dengan lowongan kerja yang tersedia. Perbedaan keahlian dan upah dari setiap pekerjaan memungkinkan para penganggur tidak menerima pekerjaan yang pertama kali ditawarkan. Kondisi ini akan menyebabkan pengangguran semakin sulit untuk berkurang. Menurut Mankiw (2003), pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk mencari pekerjaan disebut pengangguran friksional. Sumber utama pengangguran ini adalah angkatan kerja muda.

2.4. Pengukuran Persistensi Pengangguran Regional

Saat ini banyak metode ekonometrika yang ditawarkan untuk mengukur tingkat pengangguran disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang diinginkan, dimana setiap metode pengukuran memiliki kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa metode yang dapat digunakan:

1. Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. ADF-test umumnya dilakukan sebagai indikasi awal terjadinya persistensi pengangguran, seperti yang diacu oleh banyak publikasi ilmiah. Namun demikian studi-studi tersebut juga mencatat


(39)

bahwa ADF-test memiliki kekurangan yaitu adanya kecenderungan untuk menerima Ho (tidak stasioner) terutama apabila data series mengalami

structural break dan memiliki tren.

2. Vector Auto Regression (VAR). Kelebihan metode ini terutama terletak pada analisis impulse response yang bermanfaat untuk mengetahui bagaimana dan seberapa lama pengaruh dari suatu shock terhadap tingkat pengangguran (Murillo et al 2005).

3. Markov Switching Model. Model ini dilakukan oleh Bianchi dan Zoega (1998), dimana jika dalam suatu series terjadi structural breaks maka dapat diidentifikasi dan dampaknya pada data dapat dihilangkan.

4. Panel unit root metode Levin-Lin (LL) atau Im-Pesaran-Shin (IPS). Metode ini merupakan pengembangan dari ADF-test namun telah mengakomodasi perbedaan unit cross-section untuk kategori series yang dianalisis. Salah satu metode panel unit root yang digunakan adalah pendekatan LL. Namun demikian, pengujian dengan metode LL mempunyai kelemahan karena adanya asumsi bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju kesetimbangan. Oleh karena itu, metode pengujian alternatif adalah metode IPS. Metode ini mempunyai kelebihan dari metode sebelumnya karena bisa menganalisis panel data yang mempunyai tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Salah satu aplikasi model ini adalah studi yang dilakukan Ledesma (2000).

5. Bayesian Autoregressive Fractionally Integrated Moving Average (ARFIMA). Pendekatan ini merupakan pendekatan alternatif untuk menguji dan mengestimasi ketergantungan jangka panjang. Hal ini didasari bahwa fenomena pengangguran merupakan proses jangka panjang. Kelebihan metode ini adalah kemampuannya dalam memprediksi dampak jangka panjang suatu

shock.

Terkait dengan pengangguran regional, InterCAFE dengan Bank Indonesia telah melakukan penelitian “Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro”. Di dalam studi tersebut terdapat pembahasan mengenai pengukuran persistensi pengangguran pada tingkat regional. Metode analisis yang digunakan adalah metodologi panel


(40)

data, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect (FE) dan Random Effect

(RE). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi persistensi dalam pengangguran regional di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh kerjasama InterCAFE dan Bank Indonesia yang bertujuan untuk mengidentifikasi persistensi pengangguran regional dengan menggunakan rentang data yang lebih panjang dan metode yang berbeda.

2.5. Hasil Penelitian Empirik Terdahulu

Analisis lain di Negara-negara Eropa mengenai masalah dan penyebab tingginya persistensi pengangguran dilakukan Elmeskov pada tahun 1993 yaitu ‘High and Persistent Unemployment: Assessment of the Problem and Its Causes’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tren kenaikan pengangguran disertai oleh kenaikan secara drastis pada pengangguran dalam tingkat regional. Kondisi ini diakibatkan kurangnya fleksibilitas pada upah di tingkat regional untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, kenaikan pengangguran tersebut juga diakibatkan oleh rendahnya mobilitas geografis tenaga kerja. Elmeskov juga menyatakan bahwa penyesuaian yang lambat dalam pasar tenaga kerja disebabkan oleh beberapa faktor utama. Penyebab utama tersebut yakni besarnya kompensasi untuk pengangguran, tingkat upah minimum dan regulasi mengenai perlindungan pekerja. Berkaitan dengan struktur pengangguran, konsentrasi terhadap penduduk berusia muda merupakan suatu fenomena tersendiri di berbagai negara. Di samping itu, fenomena penting lainnya adalah penduduk dengan pendidikan dan keterampilan yang minim merupakan mayoritas dari penganggur. Secara bersamaan, karakteristik tersebut merefleksikan kegagalan sistem pendidikan untuk mengelola proses transisi yang tepat dari kehidupan sekolah untuk bekerja. Trend yang meningkat dalam pengangguran di berbagai negara OECD sejak tahun 1973 merupakan tantangan utama bagi pembuat kebijakan ekonomi. Mayoritas negara anggota mengalami peningkatan yang cukup substansial saat terjadi peningkatan harga minyak yang cukup tajam yaitu pada tahun 1973-1974 dan 1979/1980, yang berimplikasi pada penurunan pertumbuhan total factor productivity (TFP).


(41)

Pengujian eksistensi persistensi pengangguran selanjutnya mengarah pada kawasan Asia, yakni Cina. Penelitian ini dilakukan oleh Wu (2003) ‘The Persistence of Regional Unemployment: Evidence from China’. Studinya difokuskan pada perbedaan yang terjadi antara pengangguran total dan kaum muda (total dan youth unemployment), tingkat nasional dan regional dalam fenomena persistensi pengangguran di Cina. Hasil empiris menunjukkan tiga esensi penting. Pertama, pengangguran total lebih persisten daripada pengangguran kaum muda. Ketiga, wilayah barat Cina memiliki tingkat pengangguran provinsi tertinggi tetapi persistensi pengangguran regionalnya terendah. Metode data panel digunakan untuk menganalisis sumber-sumber dari persistensi pengangguran. Hasil estimasi terhadap data panel menunjukkan bahwa persistensi pengangguran relatif regional di Cina disebabkan bukan hanya oleh

high output share by state sector tetapi juga oleh high output share by collective sector. Semakin tinggi share output industri terhadap state sector dan collective sector maka pengangguran regional semakin persisten.

Riset yang dilakukan Ledesma (2000) bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi persisten atau hysteresis pengangguran antara kawasan regional Eropa dan Amerika. Estimasi dengan menggunakan panel unit root digunakan untuk mencerminkan derajat persistensi. Hasil riset memastikan temuan terdahulu yang dilakukan oleh Blanchard dan Summers (1986) yang menemukan bahwa derajat persistensi di negara-negara Eropa lebih tinggi daripada di Amerika. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa fenomena persistensi lebih cenderung terjadi di Eropa daripada AS sekaligus mengindikasikan adanya hysteresis pengangguran di kawasan Eropa.

Penelitian mengenai disparitas pengangguran antarregional juga dilakukan oleh Filiztekin (2007) di Turki. Hasil analisis mengindikasikan adanya persistensi pengangguran di tingkat provinsi. Analisis regresi dengan Ordinary Least Square

dilakukan pada dua titik waktu yaitu pada tahun 1980 dan 2000. Sumber-sumber persistensi menunjukkan hasil yang berbeda pada kedua titik waktu tersebut. Pada tahun 1980 faktor yang berpengaruh positif terhadap persistensi pengangguran adalah pangsa jumlah pekerja di bidang pertanian, pangsa dari populasi berusia muda, dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi.


(42)

Sementara untuk tahun 2000 faktor yang berpengaruh positif adalah pangsa jumlah pekerja di bidang manufaktur dan pangsa angkatan kerja yang berpendidikan rendah dan tinggi. Faktor net migrasi pada tahun 2000 berpengaruh negatif terhadap persistensi pengangguran. Hal ini mengindikasikan efek demand yang dominan di wilayah tersebut.

Studi yang dilakukan oleh Chuang dan Lai (2007) The Sources of Taiwan Regional Unemployment: A Cross-Region Panel Analysis menyatakan adanya disparitas yang cukup signifikan diantara 23 wilayah di Taiwan. Di samping itu, tingkat pengangguran regionalnya menunjukkan persistensinya sepanjang waktu. Metode cross region panel yang digunakan menunjukkan bahwa mayoritas faktor yang berpengaruh terhadap persistensi dan divergensi tingkat pengangguran antar regional adalah komposisi demografi (pangsa dari populasi usia muda), karakteristik keluarga (pangsa pria terhadap angkatan kerja, pangsa populasi perempuan yang telah menikah), struktur industri, tingkat kepemilikan rumah, dan mobilitas tenaga kerja (migrasi keluar).

InterCAFE (2008) melakukan studi empiris ‘Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya berdasarkan Analisis Data Mikro’. Persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Digunakan tiga alternatif pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov (1993). Hasil pengujian menunjukkan koefisien yang mendekati satu, hal itu merupakan indikasi terjadinya peristensi pengangguran. Pada intinya, studi ini menyimpulkan bahwa persistensi pengangguran yang terjadi selama ini di Indonesia termasuk kategori disequiliubriumpersistent unemployment without self correcting mechanism, yang berarti bahwa persistensi terjadi di luar kesetimbangan pasar tenaga kerja serta tidak memiliki mekanisme automatis untuk menuju titik kesetimbangan. Selain itu, persistensi merupakan akibat dari lambatnya proses akumulasi modal, kekakuan upah, semakin lamanya pencarian lapangan kerja (job search), dan berbagai kelembaman yang diakibatkan oleh faktor kelembagaan pasar tenaga kerja.

Sugema (2009), menganalisis adanya disparitas tingkat pengangguran regional di Indonesia dan persistensinya sepanjang waktu. Hasil analisis menunjukkan beberapa temuan yang cukup menarik. Pertama, terdapat


(43)

kecenderungan tingkat pengangguran yang divergen antar provinsi ketika persistensi meningkat. Tingkat pengangguran yang semakin tinggi meningkatkan ketidakpastian untuk migrasi (pindah) antarprovinsi. Di samping itu, tingkat pengangguran yang tinggi juga dapat mengindikasikan adanya ‘mismatch’ yaitu waktu yang dibutuhkan para pencari kerja untuk mencocokkan antara kualifikasi yang dimiliki dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kedua, belum adanya pertanda ‘equilibrating mechanism’ melalui penyesuaian upah riil. Tingkat upah tidak fleksibel dalam merespon pengangguran, oleh karena itu perbedaan tingkat upah antarprovinsi tidak bisa diharapkan untuk mengatasi disparitas pengangguran. Hal ini terjadi karena tidak adanya insentif upah bagi penganggur untuk migrasi dari wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi ke wilayah yang mempunyai tingkat pengangguran yang rendah. Ketiga, persistensi juga berkaitan dengan struktur ekonomi dalam suatu wilayah. Dengan menggunakan metode panel dapat disimpulkan bahwa semakin ‘advanced’ perekonomian dalam suatu wilayah, maka semakin persisten pengangguran. Lebih spesifik, persistensi pengangguran lebih tampak pada wilayah dengan pangsa sektor manufaktur dan jasa yang dominan. Hal ini mengimplikasikan bahwa tingkat pengangguran alamiah cenderung meningkat ketika terjadi pergeseran struktur ekonomi tradisional menjadi modern. Keempat, mobilitas tenaga kerja masih sangat terbatas. Hal ini lebih merupakan akibat faktor sosial daripada faktor ekonomi. Dengan demikian, Indonesia dikarakteristikkan dengan socially driven spatial fragmentation of labour market. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi disparitas pengangguran harus mempertimbangkan isu-isu sosial seperti faktor keluarga.

2.6. Kerangka Pemikiran

Keterkaitan antara perumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian dapat dilihat dalam kerangka penelitian yang tersaji pada Gambar 7 dan Gambar 8. Penelitian ini berawal dari permasalahan pengangguran dari dimensi regional yaitu kondisi pengangguran antarprovinsi yang cenderung divergen serta pada rentang waktu 1984-2008 keseluruhan provinsi cenderung mengalami peningkatan pengangguran. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan


(44)

merupakan pengangguran yang persisten. Namun, tetap diperlukan pengukuran secara statistik di dalam mengidentifikasi persistensi pengangguran. Dengan demikian tujuan pertama dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah pengangguran pada level provinsi di Indonesia tergolong persisten atau tidak. Secara umum, persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian (adjustment) terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan adjustment yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner (mean reversion). Analisis tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Analisis Tahap Pertama

Pembuktian Persistensi Regional

Permasalahan Pengangguran Dimensi Regional

Jarak Tingkat Pengangguran Antardaerah Melebar

Periode 1984-2008 Seluruh Propinsi Mengalami Peningkatan Pengangguran

Uji Stasioneritas: Panel Unit Root Im Pesharan Shin

Koefisien Persistensi: Persamaan Dickey Fuller dengan


(45)

InterCAFE (2008) telah melakukan pengukuran persistensi di tingkat regional dengan menggunakan metode panel dengan persamaan ADF (untuk menghitung koefisien) dan didapat koefisien sebesar 0,929. Data yang digunakan yaitu dari tahun 1996 hingga 2006. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah pengujian panel unit root dengan menggunakan data pengangguran regional. Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian InterCAFE (2008) dengan metode yang berbeda serta rentang data yang lebih panjang (1984-2008).

Tahap selanjutnya dari penelitian ini mengidentifikasi sumber-sumber pengangguran regional. Hasil identifikasi atas dapat menjadi landasan untuk mengatasi persistensi pengangguran. Kondisi dimana terjadi pengangguran antarregional dapat dibagi menjadi tiga kategori: labor supply, labor demand, dan mekanisme upah yang terdiri dari perubahan demografi yang mencakup angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berpendidikan tinggi (highskilled), total angkatan kerja provinsi, angkatan kerja berjenis kelamin pria, dan

dependency ratio. Struktur perekonomian daerah berpengaruh terhadap demand

tenaga kerja regional. Tiap sektor jelas akan membutuhkan skill yang berbeda sehingga akan menimbulkan berbagai variasi tingkat pencarian, kesulitan dan penyesuaian antara skill dan lowongan yang tersedia dalam pasar tenaga kerja. Dengan demikian struktur komposisi industri yang berbeda turut berpengaruh terhadap tingkat pengangguran yang berbeda-beda antarwilayah. Terkait dengan komposisi industri regional penelitian ini hanya menggunakan pangsa sektor pertanian dan manufaktur terhadap PDRB untuk menghindari masalah multikolinearitas. Di samping itu, PDRB perkapita digunakan untuk melihat

performance ekonomi dalam mempengaruhi demand tenaga kerja dalam suatu wilayah. Mengidentifikasi perilaku migrasi menjadi salah satu kendala dalam penelitian ini, karena data migrasi masuk, migrasi keluar, dan net migrasi hanya tersedia setiap lima tahun sekali yaitu ketika dilaksanakan Sensus Penduduk (SP). Dengan demikian, penelitian ini hanya menggunakan faktor tingkat kepemilikan rumah tiap provinsi (persen) sebagai pendekatan dalam menangkap faktor migrasi. Selanjutnya, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah upah riil merespon tingkat pengangguran atau berperan sebagai market clearing. Upah riil berkaitan dengan upah minimum, di mana kebijakan meningkatkan upah


(46)

minimum provinsi secara langsung akan meningkatkan upah riil (Rizqal 2010). Bagi pengusaha atau perusahaan kenaikan upah minimum ini akan menyebabkan kenaikan biaya produksi yang berasal dari kenaikan upah, sehingga apabila total biaya produksi lebih besar daripada penerimaannya maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan mempertahankan tenaga kerja yang lebih produktif.

Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah regresi panel dengan variabel pengangguran sebagai variabel dependent. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran regional berarti faktor tersebut menjadi penyebab lambatnya mekanisme penyesuaian terhadap tingkat pengangguran alamiah. Berdasarkan uraian di atas, maka tahap kedua dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 8.

Gambar 8 Analisis Tahap Kedua

Identifikasi Faktor Penyebab Pengangguran Regional

Rekomendasi Kebijakan

Komposisi Industri PDRBK

AGRI, MANU

DEPEND

MALE OWN

Mekanisme Upah

Mobilitas

Demografi

YOU HEDU

Supply dan Demand

UMP


(47)

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teoretis dan penelitian-penelitian empiris terdahulu, dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat persistensi pengangguran provinsi. Sejak tahun 2006 tingkat pengangguran mengalami penurunan, namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya maka tingkat pengangguran provinsi pada periode 2008 belum bisa kembali pada periode 1984.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap pengangguran adalah angkatan kerja berusia muda (15-24), angkatan kerja berjenis kelamin pria, pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, total angkatan kerja provinsi, tingkat kepemilikan rumah, dan upah minimum provinsi.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap pengangguran adalah


(48)

(49)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pengujian Persistensi

Tahap pertama dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa pengangguran bersifat persisten. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Data yang digunakan adalah data tingkat pengangguran provinsi dengan rentang waktu 1984 hingga 2008. Pendekatan yang dominan dalam berbagai literatur adalah mengasumsikan bahwa tingkat pengangguran (ut) merupakan proses autoregressive (AR) dengan ordo p. Model

AR menunjukkan ut sebagai fungsi linear dari sejumlah ut

1

p

t z t z t

z

u µ ρ u e

=

= +

+

aktual sebelumnya atau dinyatakan dalam:

Bianchi dan Zoega (1993) menyatakan bahwa ‘the sum of the autoregressive coefficients in the model,

is called ‘measure of persistence’ of unemployment’. Sebagai penyederhanaan, maka Dickey Fuller (DF) memodelkan AR dengan ordo 1 persamaan berikut:

t i t i i t

i u e

u, =α +φ ,1+ , (2)

dimana uit adalah tingkat pengangguran dari provinsi i = 1, 2, .... , N pada waktu t = 1, 2, ...., T, dan φ adalah parameter yang akan diestimasi. Jika φ = 1 atau φ > 1

maka terjadi hysteresis pengangguran karena trend data tersebut cenderung berfluktuasi tidak disekitar nilai rata-ratanya dan varian dari uit akan meningkat

sejalan dengan peningkatan waktu dan cenderung untuk tak berhingga atau fluktuasi pasar tenaga kerja yang memiliki dampak permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah. Lebih jelasnya, jika φ mendekati nilai 1 (near unit root)

(1)

t

e ~ 2

. . (0, )

i i d σ

1 p z z ρ ρ = =


(50)

maka dapat disimpulkan adanya pengangguran yang persisten. Hal ini disebabkan karena fluktuasi dalam pasar tenaga kerja yang hampir mempunyai dampak permanen terhadap tingkat pengangguran alamiah, namun masih memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion). Selanjutnya, hipotesis trend stationarity dapat dievaluasi dengan menguji apakah nilai absolute dari ρi betul-betul lebih kecil dari 1. Pengujian

umum terhadap hipotesis diatas adalah H0: φ =1, dengan pengujian satu sisi

hipotesis alternative H1

, 1

i t u

:φ <1. Standar umum pengujian akar-akar unit dari DF ini adalah persamaan 2, selanjutnya dengan mengurangi kedua sisi persamaan 2 dengan

diperoleh persamaan:

, , 1 ,

i t i i t i t u ρu e

∆ = +

Atau dengan menambahkan variabel lag ∆ui t, disisi kanan persamaan 3 akan diperoleh pengujian Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut:

= −

− + ∆ +

=

pi

j t i j t i ij t i i t

i u u

u 1 , , 1 ,

, ρ γ ε . Pengujian unit root pada penelitian ini didasarkan pada metode Im, Pesharan, Shin yang merata-ratakan keseluruhan individual unit root test statistics

dengan H0: ρi =0, untuk setiap i, sedangkan alternatifnya H1: ρi < 0 untuk setiap

i. Pengujian ρi = 0 pada persamaan (4) di atas ekuivalen dengan pengujian φ = 1

pada persamaan (2) untuk setiap unit provinsi karena ρ = (φ-1). Secara prinsip pengunaan panel data unit root test adalah dimaksudkan untuk meningkatkan

power of the test dengan meningkatkan jumlah sample (Baltagi 2005). Pengujian

unit root untuk homogenous panel dikembangkan oleh Levin dan Lin. Pengujian unit root tersebut, tidak dapat mengakomodasi heterogenitas antar kelompok, seperti pengaruh unik individu (individual special effects) serta mengasumsikan bahwa seluruh unit cross-section mempunyai kecepatan penyesuaian yang sama menuju keseimbangan. Im et al (2002) memperkenalkan unit root test dengan

dynamic heterogenous panels. Pada umumnya, unit root test dengan dynamic heterogenous lebih banyak digunakan dibandingkan dengan homogenous dynamic. Metode ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode (3)


(51)

sebelumnya karena bisa menganalisis data panel yang mempunyai tingkat heterogenitas yang lebih tinggi. Perlu dicatat pengujian IPS tidak mengasumsikan bahwa semua unit provinsi menuju ke tingkat keseimbangan dengan kecepatan yang sama, dengan demikian ρ1= ρ2 = ... = ρi

t

< 0. Pengujian IPS didasarkan pada statistik yang distandardisasi dengan formulasi berikut:

( )

{

}

( )

{

0

}

~ (0,1)

0 1 1 1 N p t Var N p t E N t N i i iT N i i iT NT t

=       = − = Γ − − ρ ρ (5)

di mana tNT adalah rata-rata ADF(pi

} 0 ) (

{tiT pi i =

E ρ

) t-statistik dari N unit provinsi,

dan Var{tiT(pi ρi =0} adalah rata-rata dan varian dari rata-rata statistik ADF(pi) di bawah hipotesis nol, sebagimana yang ditabulasi oleh Im,

Pesaran, dan Shin untuk setiap T yang berbeda dan ordo lag pi dari pengujian

ADF. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam hipotesis nol dari sebuah unit root, Γt

Tahap kedua pada penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pengangguran regional di Indonesia. Data yang digunakan untuk menjawab permasalahan ini adalah data tahun 1998 hingga 2008 dengan menggunakan dua pendekatan dalam metode data panel yaitu Fixed Effect Model

(FEM) dan Random Effect Model (REM) adalah terdistribusi normal, N(0,1).

3.2. Metode Analisis Determinasi Pengangguran Regional

1

1

Penjelasan serta berbagai pendekatan FEM dan REM dapat dilihat pada Baltagi (2005)

. Dasar pertimbangan dalam memilih kedua model tersebut adalah dengan menggunakan uji Hausman, karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Tahap selanjutnya yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat Best Liniear Unbiased Estimate (BLUE) dengan melakukan uji asumsi autokorelasi, heteroskedastisitas, serta multikolinieritas.


(52)

Dalam penelitian ini digunakan model sebagai berikut untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran di tingkat provinsi:

1 2 3 4

5 6 7 8 9

10

log log

log

it it it it it

it it it it it

it it

U YOU HEDU MALE DEPEND

AGRI MANU OWN AK UMP

PDRBK

α β β β β

β β β β β

β ε

= + + + +

− − − + + + + +

− − − + +

dimana:

: Tingkat pengangguran provinsi (persen)

: Pangsa angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) provinsi (persen) : Pangsa angkatan kerja berpendidikan tinggi (≥ SLTA) provinsi (persen)

: Pangsa angkatan kerja pria provinsi (persen) : Dependency Ratio tiap provinsi (persen)

: Pangsa sektor pertanian terhadap PDRB (persen) : Pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB (persen)

: Tingkat kepemilikan rumah dengan status milik sendiri tiap provinsi (persen)

: Logaritma natural dari total angkatan kerja provinsi (orang) : Logaritma natural dari UMP (rupiah)

: Logaritma natural dari PDRB perkapita (juta rupiah)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder berupa data panel. Data tersebut terutama berasal dari BPS antara lain Survei Angkatan Kerja (Sakernas), Statistik Kesejahteraan Rakyat, Statistik Perumahan, dan Statistik Indonesia. Beberapa data diubah ke dalam bentuk logaritma untuk memperkecil skala serta memudahkan hasil analisis. Di samping itu, studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur yang berkaitan dengan penelitian baik dari media cetak maupun internet.

(6) it U it YOU it HEDU it AGRI it MALE it DEPEND it MANU it OWN it AK it UMP it PDRBK


(53)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Persistensi Regional

Subbab berikut bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan persistensi pengangguran di tingkat provinsi di Indonesia. Secara teoretis, pengangguran yang berada pada kondisi persisten, memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat pengangguran alamiahnya (mean reversion) walaupun dengan intensitas yang sangat lambat. Artinya dengan melakukan uji akar unit, persisten atau tidaknya pengangguran terlihat dari karakteristik data yang bersifat stasioner. Regresi ADF (persamaan 4) dengan pendekatan intercept dan trend menghasilkan probabilitas sebesar 0,000 sehingga diputuskan bahwa H0 di mana data panel

mengandung unit root ditolak dan disimpulkan bahwa data panel tersebut bersifat stasioner. Di samping itu, untuk memperkuat keyakinan bahwa data panel pada periode tersebut stasioner, pengujian juga dilakukan dengan metode panel unit root lain seperti LL, dan Breitung yang menunjukkan bahwa data panel pada rentang waktu tersebut stasioner (Lampiran 2).

Tabel 1 Pengujian Persistensi Pengangguran Regional di Indonesia

Statistic Probabilitas

-5,91667 0,0000

Sumber: Lampiran 1

Selanjutnya adalah menghitung koefisien persistensi dengan menggunakan persamaan 2 untuk memastikan bahwa koefisien tersebut lebih kecil dari satu (near unit root). Hasil estimasi Hausman diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,000 yang berarti tolak H0 sehingga fixed effect merupakan model yang

terbaik(Lampiran 3).

Hasil analisis secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2 berikut dan ini merupakan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi pengangguran. Dengan demikian, berdasarkan dua pengujian tersebut dapat

Dengan menggunakan pendekatan fixed effect nilai koefisien yang diperoleh adalah sebesar 0,8753 (near unit root) dengan probabilitas 0,000.


(54)

disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran pada 26 provinsi yang terjadi di Indonesia secara umum bersifat persisten.

Tabel 2 Koefisien Persistensi Pengangguran Regional Indonesia.

Koefisien Probabilitass t-stat R2

0,8753 0,0000 19,33 0,863

Sumber: Lampiran 4

4.2. Analisis Determinasi Pengangguran Regional

Sub bab berikut bertujuan untuk menganalisis faktor determinasi pengangguran regional. Uji Hausman digunakan untuk memilih metode terbaik antara fixed effects dengan random effects. Hasil uji Hausman menunjukkan nilai probabilitas 0,000 yang berarti tolak H0

Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat Best Linier Unbiased Estimate

(BLUE) maka var (u

sehingga dapat disimpulkan fixed effects

lebih baik dari random effect (Lampiran 5).

i) harus sama dengan σ2

Setelah mengestimasi model maka selanjutnya adalah interpretasi terhadap persamaan regresi. Pada Tabel 3 hasil estimasi memberikan nilai koefisien determinasi R

(konstan) atau semua error

mempunyai varian yang sama. Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum squared resid pada GLS (weighted) dengan OLS (unweighted). Berdasarkan uji dan pengamatan hasil pengolahan, ditemukan adanya heteroskedastisitas (Lampiran 6). Hal ini disebabkan karena sum square resid pada GLS (weighted) lebih kecil dibandingkan dengan OLS (unweighted). Untuk mengatasi pelanggaran ini dilakukan estimasi GLS dengan white-heteroscedasticity (Lampiran 7). Pendeteksian dengan adanya autokorelasi juga dilakukan pada model dengan melihat nilai statistik Durbin-Watson. Hasil estimasi pada output didapatkan DW hitung sebesar 1,545 yang berarti berada di daerah dU dan 4-dU (tidak ada korelasi). Berdasarkan estimasi dan evaluasi dengan menggunakan uji OLS klasik terhadap model fixed effect dengan perlakuan cross section weights dan white heteroscedasticity, maka model estimasi tersebut merupakan model terbaik dalam penelitian ini.

2


(55)

keragaman variabel terikat (tingkat pengangguran) dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model sebesar 13 persen. Hasil uji ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik sebesar 0,000 yang berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga model penduga sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

Tabel 3 Hasil Estimasi Persamaan Tingkat Pengangguran Regional

Variabel Koefisien Probabilitas

Angkatan Kerja 15-24(YOU) 0,209217 0,0003

Angkatan Kerja High-educated (HEDU) 0,013130 0,0016

Angkatan Kerja Pria (MALE) 0,173306 0,0001

PDRB Perkapita (PDRBK) -0,128572 0,0928

Dependency Ratio (DEPEND) -0,120253 0,0019

Pangsa Sektor Pertanian terhadap PDRB

(AGRI) -0,035573 0,0074

Pangsa Sektor Manufaktur terhadap

PDRB ( MANU) -0,055265 0,0199

Upah Minimum Provinsi (UMP) 1,842472 0,0002

Angkatan Kerja (AK) 1,545013 0,1404

Tingkat Kepemilikan Rumah (OWN) -0,000329 0,9925

Sumber: Lampiran 7

Angkatan Kerja Usia Muda (15-24 Tahun)

Variabel angkatan kerja usia muda (15-24 tahun) berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berusia muda akan menyebabkan tingkat pengangguran regional meningkat sebesar 0,20 persen. Hal ini disebabkan tingginya frekuensi pencarian atau pergantian pekerjaan pada kelompok usia tersebut dan didukung dengan kurangnya pengalaman dan keahlian. InterCAFE (2008) menyatakan bahwa sebuah proses yang natural ketika kelompok ini kalah bersaing dalam kesempatan kerja. Kesempatan kerja jelas akan mendahulukan tenaga kerja yang memiliki pengalaman. Lipsey et al (1997) menyatakan bahwa angkatan kerja muda yang baru memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan merupakan sumber utama penyebab pengangguran friksional.

Terdapat beberapa fenomena yang terjadi pada angkatan kerja kelompok usia tersebut. Pertama, BPS (2008) menyatakan bahwa kelompok usia muda


(56)

umumnya masih bersifat idealis termasuk dalam memilih pekerjaan misalnya sesuai keinginan, keahlian, hobi, standar gaji dan gengsi. Selain itu, kelompok usia ini belum memiliki banyak beban tanggungan ekonomi keluarga dan masih ada jaring pengaman ekonomi baginya yaitu keluarga. Berdasarkan penelitian Jones dan Supraptilah (1979) di Ujung Pandang dan Palembang ditemukan bahwa keluarga dengan kepala rumah tangga bekerja cenderung melindungi pengangguran muda. Para penganggur tersebut cenderung bergantung hidup dari orang tuanya dan memilih untuk menganggur secara sukarela untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Fenomena kedua, yaitu BPS (2008) menyatakan bahwa penduduk pada kelompok umur ini (15-24 tahun) merupakan penduduk usia sekolah yang selayaknya masih melakukan kegiatan pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Terdapat banyak hal yang melatarbelakangi mengapa kelompok usia muda itu ikut terjun ke pasar kerja, antara lain kesulitan ekonomi keluarga sehingga memaksa mereka untuk berhenti sekolah atau kuliah dan terpaksa memasuki dunia kerja. Di lain pihak, sulitnya mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya lapangan pekerjaan serta kurangnya pengalaman dan keahlian menyebabkan mereka ikut terjebak dalam kelompok pengangguran sehingga menambah akumulasi jumlah penganggur menjadi lebih banyak lagi.

Fenomena selanjutnya adalah efek ‘downskilling’, efek ini muncul ketika tenaga kerja dengan keahlian dan pendidikan yang lebih tinggi (high-skilled) belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan ia bersedia menerima pekerjaan yang bersifat low-skilled (Collard et al. 2003). Fenomena ini terjadi mayoritas pada kelompok usia muda, tanpa pengalaman, yang membutuhkan pekerjaan pertama sebagai on-the-job training. Setelah beberapa saat, mereka akan pindah ke pekerjaan lain yang membutuhkan keahlian yang lebih tinggi dari sebelumnya (temporary stop-gaps). Di sisi lain, perusahaan akan merekrut high-skilled untuk posisi low-skilled, misalnya untuk menghindari biaya pelatihan atau karena mereka memiliki produktivitas yang lebih tinggi.


(57)

Tabel 4 Struktur Pengangguran Berdasarkan Usia (Persen)

Kategori Usia 1996 2000 2006 2008

Tingkat pengangguran usia muda

(usia 15-24 tahun) 71,0 68,00 62,00 54,00

Tingkat pengangguran usia produktif

(25-55) 28,4 31,4 33,0 44,50

Tingkat pengangguran usia tua

(diatas 55 tahun) 0,60 0,60 5,00 2,00

Sumber: BPS (1996-2008), diolah

Chuang dan Lai (2007) menyatakan bahwa tipikal penduduk Amerika (usia muda) rata-rata akan berganti pekerjaan hingga tujuh kali ketika memasuki dunia kerja. Di Indonesia data menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 pengangguran usia muda lebih besar dibandingkan pengangguran usia dewasa walaupun nilai ini telah menurun pada tahun 2006 (Tabel 4).

Mutu dan kompetensi sumberdaya manusia dalam pasar tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui sarana transformasi pendidikan. Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa sistem pendidikan yang terbangun selama ini tampaknya masih menghasilkan angkatan kerja usia muda dengan pengetahuan yang terlalu umum dan kemampuan yang terbatas (lack of skill) karena minim praktek. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pengalaman (lack of experience) angkatan kerja usia tersebut.

Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi

Variabel pangsa angkatan kerja yang berpendidikan tinggi berpengaruh nyata terhadap pengangguran dengan arah yang positif. Artinya setiap kenaikan satu persen jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran meningkat sebesar 0,013 persen. Menurut definisi BPS kelompok berpendidikan tinggi merupakan seseorang yang berpendidikan tingkat atas (SLTA) dan yang setara ditambah dengan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi (perguruan tinggi atau universitas).

Data menunjukkan bahwa angkatan kerja berpendidikan rendah merupakan mayoritas dari total angkatan kerja yaitu mencapai 70 persen


(58)

(Gambar 9) yang seharusnya berimplikasi pada tingginya tingkat pengangguran angkatan kerja kelompok tersebut.

Sumber: BPS (2008), diolah

Gambar 9 Perbandingan Angkatan Kerja Berpendidikan Tinggi dan Rendah Hasil ini tampaknya bertentangan dengan teori yang dinyatakan oleh Elhorst (2003) bahwa semakin tinggi pendidikan angkatan kerja akan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap PHK dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan yang kurang berpendidikan. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat teknologi yang terus berkembang serta cenderung lebih kompetitif.

Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pertama mayoritas tenaga kerja (lebih dari 70 persen) yang terserap di berbagai bidang pekerjaan termasuk ke dalam kategori berpendidikan rendah (Gambar 10). Tingginya tingkat pengangguran pendidikan tinggi (Tabel 5) dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah menunjukkan terbatasnya penyediaan kesempatan kerja di sektor formal yang hanya mencapai sekitar 30 persen. Sementara itu, tingkat pengangguran pendidikan yang lebih rendah menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja informal lebih banyak. Hal ini diperkuat dengan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

P

er

sen


(1)

Lampiran 4 Estimasi Koefisien dengan

Dependent Variable

Tingkat

Pengangguran Menggunakan

Fixed Effect

dengan

Cross Section

Weights

dan

White Cross Section Covariance

Dependent Variable: UT

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 01/14/08 Time: 11:13

Sample (adjusted): 1985 2008 Periods included: 24

Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 624 Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

UT_1 0.875386 0.045267 19.33827 0.0000 C 0.859539 0.254919 3.371817 0.0008

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.863080 Mean dependent var 5.680588 Adjusted R-squared 0.857117 S.D. dependent var 3.687592 S.E. of regression 1.447084 Sum squared resid 1250.149 F-statistic 144.7384 Durbin-Watson stat 2.285703 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.829894 Mean dependent var 5.191906 Sum squared resid 1257.167 Durbin-Watson stat 2.302660


(2)

Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 58.437883 10 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

YOU 0.332359 0.336730 0.001892 0.9200 UMP 2.172938 1.847739 0.030518 0.0627 PDRBK -0.091262 -0.018017 0.005699 0.3319 OWN 0.013612 -0.026097 0.000199 0.0048 MANU -0.043316 -0.032536 0.000579 0.6543 MALE 0.170029 0.263620 0.000773 0.0008 HEDU 0.017530 0.025130 0.000001 0.0000 DEPEND -0.107639 -0.038410 0.000642 0.0063 AK 0.534256 1.849979 1.641440 0.3044 AGRI -0.023795 -0.060158 0.000774 0.1912


(3)

Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: UT

Method: Panel Least Squares Date: 02/22/08 Time: 07:39 Sample: 1998 2008

Periods included: 11 Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 286

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -34.31414 9.429036 -3.639200 0.0003 YOU 0.332359 0.065975 5.037645 0.0000 UMP 2.172938 0.256263 8.479325 0.0000 PDRBK -0.091262 0.082151 -1.110906 0.2677 OWN 0.013612 0.025853 0.526510 0.5990 MANU -0.043316 0.026793 -1.616716 0.1072 MALE 0.170029 0.041380 4.109009 0.0001 HEDU 0.017530 0.006088 2.879571 0.0043 DEPEND -0.107639 0.035390 -3.041532 0.0026 AK 0.534256 1.365913 0.391135 0.6960 AGRI -0.023795 0.036132 -0.658568 0.5108

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.811274 Mean dependent var 7.555315 Adjusted R-squared 0.784852 S.D. dependent var 3.209796 S.E. of regression 1.488834 Akaike info criterion 3.751081 Sum squared resid 554.1567 Schwarz criterion 4.211276 Log likelihood -500.4046 Hannan-Quinn criter. 3.935541 F-statistic 30.70481 Durbin-Watson stat 1.399355 Prob(F-statistic) 0.000000


(4)

Date: 02/22/08 Time: 07:37 Sample: 1998 2008

Periods included: 11 Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 286 Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

YOU 0.209217 0.055224 3.788487 0.0002 UMP 1.842472 0.220481 8.356621 0.0000 PDRBK -0.128572 0.071054 -1.809499 0.0716 OWN -0.000329 0.023287 -0.014136 0.9887 MANU -0.055265 0.018673 -2.959622 0.0034 MALE 0.173306 0.038412 4.511798 0.0000 HEDU 0.013130 0.004535 2.895234 0.0041 DEPEND -0.120253 0.027213 -4.418927 0.0000 AK 1.545013 1.069829 1.444168 0.1499 AGRI -0.035573 0.020225 -1.758865 0.0798 C -31.17419 7.414557 -4.204458 0.0000

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.876820 Mean dependent var 9.070623 Adjusted R-squared 0.859575 S.D. dependent var 5.014091 S.E. of regression 1.461236 Sum squared resid 533.8023 F-statistic 50.84447 Durbin-Watson stat 1.545373 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.806630 Mean dependent var 7.555315 Sum squared resid 567.7909 Durbin-Watson stat 1.390612


(5)

Lampiran 7

Estimasi Persamaan Pengangguran Menggunakan

Fixed Effect

dengan

Cross Section Weights

dan

White Cross Section

Covariance

Dependent Variable: UT

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 02/22/08 Time: 07:34

Sample: 1998 2008 Periods included: 11 Cross-sections included: 26

Total panel (balanced) observations: 286 Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

YOU 0.209217 0.056396 3.709751 0.0003 UMP 1.842472 0.487153 3.782124 0.0002 PDRBK -0.128572 0.076201 -1.687271 0.0928 OWN -0.000329 0.035102 -0.009378 0.9925 MANU -0.055265 0.023588 -2.342959 0.0199 MALE 0.173306 0.044396 3.903653 0.0001 HEDU 0.013130 0.004112 3.193034 0.0016 DEPEND -0.120253 0.038307 -3.139191 0.0019 AK 1.545013 1.044696 1.478911 0.1404 AGRI -0.035573 0.013180 -2.698899 0.0074 C -31.17419 8.681445 -3.590899 0.0004

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.876820 Mean dependent var 9.070623 Adjusted R-squared 0.859575 S.D. dependent var 5.014091 S.E. of regression 1.461236 Sum squared resid 533.8023 F-statistic 50.84447 Durbin-Watson stat 1.545373 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.806630 Mean dependent var 7.555315 Sum squared resid 567.7909 Durbin-Watson stat 1.390612


(6)

1971

1990

2005

NAD

-4853

67722 -

1762214

220241

Sumut

341686

-317175

866785

5803112

636980

14.9

136.1

Sumbar

-236996

-426894

-620858

1963332

225860

31.6

274.9

Riau

-21030

553955

1127824

2556891

355568

44.1

317.2

Jambi

128437

393549

416676

1200356

103149

34.7

404

Sumsel

128252

488648

328179

3356262

287188

9.8

114.3

Bengkulu

11285

204512

228623

805651

49509

28.4

461.8

Lampung

971375

1559404

1149069

3343115

229131

34.4

501.5

DKI

Jakarta

1659420

2088980

1291531

4181248

615917

30.9

209.7

Jabar

-821539

640011

1780269

17157083

2527807

10.4

70.4

Jateng

-1544524

-4015587

-4797364

16995013

1446404

28.2

331.7

DIY

-167151

-243373

-347348

1851209

93507

18.8

371.5

Jatim

-476620

-1915086

-2559495

19298199

1629882

13.3

157

Bali

35062

-98700

1944

2027343

81748

0.1

2.4

NTB

20811

-29751

-42624

1959828

174996

2.2

24.4

NTT

16004

-53132

-71662

2156396

117821

3.3

60.8

Kalbar

14304

80141

106449

1993428

171724

5.3

62

Kalteng

38564

192674

306116

932867

45262

32.8

676.3

Kalsel

18138

70861

102796

1609510

99547

6.4

103.3

Kaltim

19825

536668

893238

1230515

111180

72.6

803.4

Sulut

42169

-65751

-468

998398

143752

0.04

0.3

Sulteng

16663

237782

282825

1024308

78145

27.6

361.9

Sulsel

174742

-422295

-626370

3803397

516622

16.5

121.2

Sultra

4865

129175

218464

886546

79081

24.6

276.3

Maluku

5615

89531

-97271

476690

58631

20.4

165.9

Papua

27064

230522

383285

1302370

92778

29.4

413.1