mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30 bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan
saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI 11,3. Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih 9.
Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk
melawan domestifikasi, perempuan melawan politik patriarki, karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu
kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.
4. REALISASI PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK
PEREMPUAN A
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA
Menurut sensus Biro Pusat Statistik BPS tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51 dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total
jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga
pengambilan keputusan politik di Indonesia parlemen.
126
1 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DPR
126
Ani Widyani Soecieptjo, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, dikutip dari Alida Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955,hal 188 -
190, dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hal. 231
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah
meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Dalam upaya
meminimalkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik bertalian dengan upaya meningkatkan peran perempuan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat DPR
dilakukan berbagai upaya. Terhadap hal ini, muncul keinginan agar representasi perempuan di lembaga DPR ditingkatkan. Keinginan untuk meningkatkan representasi perempuan di
lembaga DPR didasarkan pada pengalaman di masa yang lalu bahwa representasi perempuan di DPR sangat minim sekali. Melalui Tabel di bawah ini dapat diketahui tentang representasi
perempuan di DPR-RI, sebagai berikut : Tabel 1
Representasi Perempuan di DPR RI
127
Periode Anggota Perempuan
Anggota Laki-laki 1950-1955 DPR Sementara
9 3,8 236 96,2
1955-1960 17 6,3
272 93,7 1956-1959 Konstituante
25 5,1 488 94,9
1971-1977 36 7,8
460 92,2 1977-1982
29 6,3 460 93,7
1982-1987 39 8,5
460 91,5 1987-1992
65 13 435 87
1992-1997 62 12,5
438 87,5 1997-1999
54 10,8 446 89,2
1999-2004 46 9
454 91 2004-2009
65 11,6 435 87
2009-2014 101 18
459 82 Para aktivis perempuan, organisasi perempuan dan LSM dibidang perempuan di
Indonesia tidak mengenal lelah dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk mengingatkan
127
Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia agar memperhatikan himbauan CEDAW. Himbauan para aktivis perempuan agar pemerintah memperhatikan CEDAW baru mendapat perhatian yang serius di
Dewan Perwakilan Rakyat setelah era reformasi. Salah satu himbauan CEDAW yang dimaksud adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan
melakukan tindakan affirmatif. Tindakan Affirmatif affimative actions adalah tindakan khusus koreksi dan kompensasi dari negara atas ketidakadilan gender selama ini
128
128
Junita Budi Rahman, Perempuan di dalam Negara Maskulin Indonesia; dalam Rangka Peningkatan Keterwakilannya di Parlemen,
Makalah Pusat Penelitian Peranan Wanita – Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004, hlm.11.
. Berkat perjuangan gigih Organisasi perempuan dan aktivis perempuan dalam
memperjuangkan hak-haknya dan koalisi perempuan anggota parlemen, di tengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di Era Reformasi, secara menagerial implementasi tindakan
itu dicoba melalui pencalonan anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah UU.No.12 Tahun 2003. Pasal 65 ayat 1 UU. No. 12 Tahun 2003 tersebut mengatakan :
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota untuk setiap Daerah Pemilihan Umum dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30.
UUD Negara kita telah menjamin adanya kebebasan dan persamaan hak dalam meng-aktualisasikan dirinya sebagai warga Negara, sebagaimana yang tercermin dalam pasal
28A sd 28J. Dalam konteks yang sangat luas, diskriminasi berdasarkan perspectif apapun menjadi sangat tabu dilakukan, termasuk diskriminasi jender dalam dunia politik.
Universitas Sumatera Utara
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tantang Partai Politik, khususnya pada pasal 65 ayat 1, telah disebutkan bahwa partai politik dianjurkan untuk mencalonkan 30 kaum
perempuan untuk dapat duduk di kursi legeslatif, baik di DPR, DPD, DPRD Tingkat I maupun DPRD Tingkat II. Kebijakan ini, walaupun belum menyentuh subtansi ideal
sebagaimana yang diharapkan karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, sudah sepatutnya harus dilihat dalam kerangka kaca mata yang positif. Sebagai sebuah bentuk
perjuangan, maka sudah barang tentu hal ini merupakan langkah awal sebagai entry point untuk mencapai pengakuan yang komprehensif dan utuh.
Kaum perempuan harus berani tampil dalam dunia politik praktis yang selama ini identik dengan dunia laki-laki. Penguasaan terhadap sektor-sektor publik harus dilakukan
melalui tahap-tahap demokrasi dengan memandang persaingan yang sehat sebagai sebuah keniscayaan kehidupan. Hanya kaum perempuan sendirilah yang tahu masalah-masalah yang
berkaitan dengan mereka, sehingga dalam setiap kebijakan public seharusnya memperhatikannya juga kepentingan kaum perempuan sebagai bagian dari objek kebijakan
itu sendiri. Dalam konteks ini, kita harus banyak belajar dari kaum perempuan di Swedia, dimana partisipasi kaum perempuan di parlemen mencapai 40 sehingga komposisi anggota
parlemen antara yang laki-laki dengan perempuan, relatif berimbang. Pengalaman di parlemen Swedia memperlihatkan bahwa, keterlibatan kaum
perempuan di sektor-sektor publik secara cukup signifikan, telah membawa perubahan yang sangat penting dalam tata kelola pemerintahan dan tingkat kesejahtaraan masyarakat.
Keterlibatan kaum perempuan di sektor publik ini lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja institusi publik. Data UNDP tahun 2002, memperlihatkan bahwa ketika Peru melakukan re-
strukturisasi birokrasi pemerintahannya dengan memasukkan 30 perempuan ke dalam struktur baru, maka tingkat korupsi secara signifikan turun pula sebesar 30.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi mungkin hal tersebut belum berjalan dengan baik di Indonesia. Walaupun sudah melakukan restrukturisasi terhadap peraturan perundang-undangannya, namun belum
ada perkembangan signifikan yang dapat dibanggakan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini:
Tabel 2.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009
129
No. PROVINSI
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. ACEH
13 100
2 SUMATERA UTARA
28 93,3
2 6,7
3. SUMATERA BARAT
13 92,9
1 7,1
4. RIAU
10 90,9
1 9,1
5. JAMBI
1 33,3
2 66,7
6. SUMATERA SELATAN
4 57,1
3 42,9
7. BENGKULU
16 94,1
1 5,9
8. LAMPUNG
3 100
9. BANGKA BELITUNG
3 75
1 25
10. KEPULAUAN RIAU 13
72,2 5
27,8 11. DKI JAKARTA
16 76,2
5 23,8
12. JAWA BARAT 70
76,9 21
23,1 13. JAWA TENGAH
17 77,3
5 22,7
14. DI YOGYAKARTA 68
88,3 9
11,7 15. JAWA TIMUR
7 87,5
1 12,5
129
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 – 2014
Universitas Sumatera Utara
16. BANTEN 66
75,9 21
24,1 17. BALI
9 100
18. NUSA TENGGARA BARAT
10 100
19. NUSA TENGGARA TIMUR
12 92,3
1 7,7
20. KALIMANTAN BARAT
9 90
1 10
21. KALIMANTAN TENGAH
6 75
2 25
22. KALIMANTAN SELATAN
111 100
23. KALIMANTAN TIMUR 4
66,7 2
33,3 24. SULAWESI UTARA
5 83,3
1 16,7
25. SULAWESI TENGAH 5
83,3 1
16,7 26. SULAWESI SELATAN
21 87,5
3 12,5
27. SULAWESI TENGGARA
3 100
28. GORONTALO 4
80 1
20 29. SULAWESI BARAT
2 66,7
1 33,3
30. MALUKU 1
75 1
25,0 31. MALUKU UTARA
3 100
32. PAPUA BARAT 7
70 3
30 33. PAPUA
2 66,7
1 33,3
INDONESIA
461 82,3
99 17,7
Tak hanya minimnya jumlah perempuan yang membuat kita gusar tetapi juga sebaran perempuan di komisi DPR. Perempuan ditempatkan di pos-pos pendukung, dan
bukanlah pos-pos sentral yang dapat membri dampak. Sebagian besar perempuan di parlemen hanya menduduki pos tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan, Pendidikan,
pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan, dan komisi Agama, sosial, pemberdayaan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.
Rasio Perempuan dan Laki-laki di Komisi-komisi di DPR RI 2009-2014
130
Komisi Jumlah
Anggota Perempuan
Jumlah Anggota
Laki-laki 1. Pertahanan, intelejen, luar negeri,
komunikasi, informasi 15,56
84,44 2. Pemerintahan dalam negeri, otonomi
daerah, aparatur negara, agrarian, KPU 25,45
74,55 3. Hukum, perundang-undangan, HAM,
keamanan 7,27
92,73
4. Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, pangan
10,91 89,09
5. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat
10,91 89,09
6. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat
12,00 88,00
7. Energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, lingkungan hidup
9,09 90,91
8. Agama, sosial, pemberdayaan perempuan 22,92
77,08 9. Tenaga kerja dan transmigrasi,
kependudukan, kesehatan 42,55
57,45 10. Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata,
kesenian, kebudayaan 26,00
74,00 11. Keuangan, perencanaan perbankan
nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank
20,00 80,00
Dari tabel diatas kita juga dapat menilai bahwa kuota 30 seperti bualan pemerintah semata. Karena hamper semua komisi masih dibanjiri oleh kaum adam dan minimnya kaum
perempuan. Inilah realisasi yang terdapat di parlemen kita saat ini.
2 DEWAN PERWAKILAN DAERAH DPD
130
Sumber: Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia http:www .dpr.go.ididkomisi.
Universitas Sumatera Utara
Yang menarik, perwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah DPD RI jauh lebih baik daripada DPR RI. Perwakilan perempuan di DPD RI meningkat dari 22,6 persen
setelah pemilu 2004 menjadi 26,5 persen pada tahun 2009. Tabel 4.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN DAERAH DPD NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009
131
NO. PROVINSI
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. ACEH
7 87,5
1 12,5
SUMATERA UTARA 7
87,5 1
12,5 3.
SUMATERA BARAT 7
87,5 1
12,5 4.
RIAU 6
75 2
25 5.
JAMBI 6
75 2
25 6.
SUMATERA SELATAN 5
62,5 3
37,5 7.
BENGKULU 5
62,5 3
37,5 8.
LAMPUNG 7
87,5 1
12,5 9.
BANGKA BELITUNG 6
75 2
25 10.
KEPULAUAN RIAU 5
62,5 3
37,5 11.
DKI JAKARTA 6
75 2
25 12.
JAWA BARAT 7
87,5 1
12,5 13.
JAWA TENGAH 6
75 2
25 14.
DI YOGYAKARTA 4
50 4
50 15.
JAWA TIMUR 7
87,5 1
12,5 16.
BANTEN 7
87,5 1
12,5 17.
BALI 8
100
131
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 - 2014
Universitas Sumatera Utara
18. NUSA TENGGARA
BARAT 6
75 2
25 19.
NUSA TENGGARA TIMUR
6 75
2 25
20. KALIMANTAN BARAT
4 50
4 50
21. KALIMANTAN
TENGAH 6
75 2
25 22.
KALIMANTAN SELATAN
7 87,5
1 12,5
23. KALIMANTAN TIMUR
7 87,5
1 12,5
24. SULAWESI UTARA
7 87,5
1 12,5
25. SULAWESI TENGAH
4 50
4 50
26. SULAWESI SELATAN
7 87,5
1 12,5
27. SULAWESI TENGGARA
7 87,5
1 12,5
28. GORONTALO
8 100
29. SULAWESI BARAT
5 62,5
3 37,5
30. MALUKU
6 75
2 25
31. MALUKU UTARA
7 87,5
1 12,5
32. PAPUA BARAT
5 62,5
3 37,5
33. PAPUA
6 75
2 25
INDONESIA 204
77,3
60
22,7 Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi
Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 persen yaitu provinsi Irinjaya
Barat dan Kepulauan Riau.
132
132
Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Patut dicatat bahwa tidak ada kuota gender di DPD RI. Calon anggota DPD RI mengikuti pemilu sebagai calon individual dari konstituen yang lebih besar,
berdasarkan kerja konstituensi dan politik mereka serta hubungan mereka dengan para konstituen mereka. Sejumlah besar perwakilan perempuan di DPD RI menunjukkan sebuah
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan positif yang ada diantara para pemilih di Indonesia yang ternyata tidak memiliki bias gender terhadap para politisi perempuan. Para pemilih menunjukkan
kepercayaan mereka terhadap para calon legislatif perempuan dengan memilih mereka sebagai perwakilannya di DPD RI. Akan menarik untuk mencari tahu siapa saja yang
memilih para perempuan ini dan mengapa.
133
Namun pengelompokkan atas dasar provinsi ini sifatnya tidak mengikat dan cenderung kolegial. Artinya tiap 4 anggota yang tergabung dalam satu provinsi, menentukan
‘sistem kerja’ masing-masing dan bersepakat untuk mengisi alat kelengkapan dan Representasi perempuan sebagai anggota DPD hasil Pemilu 2009 memang lebih
menjanjikan jika dibandingkan representasi perempuan di DPR. Sifat pencalonan anggota DPD yang lebih independen dan sangat tergantung pada kapasitas dan jaringan individual
dalam meraih kemenangan membentuk kondisi yang ‘lebih nyaman’ bagi perempuan untuk bersaing. Walaupun perjuangan meraih kursi DPD dapat dianggap lebih berat karena daerah
pemilihan yang relatif besar, namun tidak adanya intervensi partai politik dan persaingan realtif ‘sehat’ merupakan faktor pendukung bagi perempuan lebih leluasa berkiprah dalam
pemilu. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon perempuan anggota DPD dan keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya 10 dari total calon anggota
DPD 940 calon, dengan keterpilihan sebanyak 25 orang. Berbeda dengan DPR, isu penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan tidak terlalu politis di DPD. Jika fraksi
berperan dominan dalam mekanisme internal DPR, tidak demikian dengan DPD. Para anggota DPD lebih bebas menentukan keinginannya untuk masuk dalam alat kelengkapan,
dengan memperhatikan perimbangan provinsi. Peraturan Tata Tertib DPD 2005 memberikan arah penyebaran anggota berdasarkan perimbangan provinsi, sehingga provinsi menjadi satu-
satunya indikator dalam penyebaran anggota.
133
United Nations Development Programme UNDP Indonesia, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan
, UNDP Indonesia:Jakarta, 2010, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
pimpinannya. Sehingga penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan lebih ditentukan oleh ‘pilihan’ anggota masing-masing, tanpa intervensi dari institusi.
Seperti terlihat pada sebaran anggota perempuan DPD pada Panitia Ad Hoc semacam komisi di DPR yang memiliki tugas antara lain mempersiapkan rancangan undang-undang
dan membahas rancangan undang-undang. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon perempuan anggota DPD dan keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya
10 dari total calon anggota DPD 940 calon, dengan keterpilihan sebanyak 25 orang.
134
3 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DPRD
Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Daerah DPRD juga tidak terwakili dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 provinsi menunjukkan bahwa secara keseluruhan
hanya 13,53 persen perempuan terwakili di DPRD tingkat Provinsi. Tabel 5
Keterwakilan Perempuan di DPRD tingkat Provinsi
135
NO. PROVINSI
Jumlah Anggota Jumlah Anggota
Total 100
Perempuan Persen Laki-Laki Persen
1. ACEH
4 5,80
65 94,20
69 SUMATERA UTARA
20 20
80 80
100 3.
SUMATERA BARAT 7
12,73 48
87,27 55
4. RIAU
7 12,73
48 87,27
55 5.
JAMBI 4
8,89 41
91,11 55
6. SUMATERA SELATAN
8 10,67
67 89,33
75 7.
BENGKULU 7
15,56 38
84,44 45
134
United Nations Development Programme UNDP Indonesia, Loc. Cit,
135
Sumber: ”Rekapitulasi Anggota DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pemilu Tahun 2009” Divisi Teknis Humas KPU.
Universitas Sumatera Utara
8. LAMPUNG
12 16,00
63 84,00
75 9.
BANGKA BELITUNG 3
6,67 42
93,33 45
10. KEPULAUAN RIAU 7
15,56 38
84,44 45
11. DKI JAKARTA 20
21,28 74
78,72 94
12. JAWA BARAT 26
26,0 74
74,00 100
13. JAWA TENGAH 18
18,00 82
82,00 100
14. DI YOGYAKARTA 11
20,00 44
80,00 55
15. JAWA TIMUR 19
19,00 81
81,00 100
16. BANTEN 16
18,82 69
81,18 85
17. BALI 4
7,27 51
92,73 55
18. NUSA TENGGARA BARAT
3 5,45
52 94,55
55 19. NUSA TENGGARA
TIMUR
4 7,27
51 92,73
55 20. KALIMANTAN BARAT
4 7,27
51 92,73
55 21. KALIMANTAN
TENGAH
7 15,56
38 84,44
45 22. KALIMANTAN
SELATAN 7
12,73 4
87,27 55
23. KALIMANTAN TIMUR 9
16,36 46
83,46 55
24. SULAWESI UTARA 9
20,00 36
80,00 45
25. SULAWESI TENGAH 9
20,00 36
80,00 45
26. SULAWESI SELATAN
9 12,00
66 88,00
75 27. SULAWESI TENGGARA
2 4,44
43 95,56
45 28. GORONTALO
7 15,56
38 84,44
45 29. SULAWESI BARAT
5 11,11
40 88,88
45 30. MALUKU
8 17,78
37 82,22
45 31. MALUKU UTARA
3 6,67
42 93,33
45 32. PAPUA BARAT
5 11,36
39 88,64
45
Universitas Sumatera Utara
33. PAPUA
4 7,14
52 92,86
56
INDONESIA
288 1720
2008
Sekali lagi, ada variasi yang besar dalam hal keterwakilan perempuan di antara provinsi-provinsi tersebut. Dari data sampel, jumlah tertinggi perwakilan perempuan ada di
provinsi Jawa Barat 26 persen dan yang terendah adalah dari provinsi Sulawesi Tenggara 4,44 persen serta Nangroe Aceh Darussalam 5,80 persen. Keterwakilan perempuan berada
pada posisi terendah di tingkat kabupatenkota. Data yang dihimpun dari 29 dari total 491 kabupatenkota DPRD KabupatenKota menunjukkan bahwa rata-rata hanya 10 persen
perempuan terwakili di pemerintah kabupaten. Belitung Timur dan Poso tidak memiliki perwakilan perempuan sama sekali, sementara perwakilan perempuan tertinggi ada di kota
Gorontalo 24 persen dan diikuti oleh Balikpapan 23,3 persen. Kabupaten adalah lapisan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat dan bertanggungjawab terhadap
pembangunan di daerah serta pelayanan sosial bagi masyarakatnya. Terbatasnya keterwakilan perempuan di pemerintah kabupaten dapat berujung pada
tidak terpenuhinya kebutuhan, tidak teratasinya kekhawatiran perempuan, dan prioritas- prioritas pembangunan dalam rencana pembangunan daerah dan mungkin akan mempertegas
marjinalisasi terhadap perempuan dalam mendapatkan pelayanan sosial di tingkat lokal. Kurangnya kesempatan dalam memainkan peran yang penting dalam pemerintah daerah
berdampak secara negatif pada kemungkinan bagi perempuan untuk mengambil posisi utama di kancah politik provinsi dan nasional.
136
Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak
136
United Nations Development Programme UNDP Indonesia, Op. Cit, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara
yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan.
137
A KETERWAKILAN PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA DAERAH DAN KEPALA
DESA.
Di akhir tahun 2009, hanya satu dari 33 orang gubernur terpilih adalah perempuan Gubernur Provinsi Banten, dan hanya satu perempuan yang terpilih sebagai wakil gubernur
Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah.
138
Pada tahun yang sama dari 440 kabupatenkota, terdapat 10 BupatiWalikota 2,27 persen. Empat ratus dua 402 posisi Wakil
BupatiWalikota, 12 atau 2,27 persen adalah perempuan berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, meskipun terdapat 38 posisi untuk Wakil Bupati Walikota yang
namanya tidak tersedia. Menurut penelitian, perbandingan kepala desa tahun 2010 di Indonesia adalah perempuan sebesar 3,91 sedangkan kepala desa berjenis kelamin laki-laki
mencapai 96,09.
139
B KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KABINET
Dari tiga puluh empat orang anggota kabinet saat ini, hanya ada lima orang menteri perempuan 14,7 persen. Sebetulnya ini merupakan peningkatan sebesar 4 persen dari
kabinet terakhir yang hanya empat perempuan 11,1 persen yang ditunjuk sebagai menteri dari 36 orang anggota kabinet.
Keterwakilan perempuan yang rendah ini tidak sesuai dengan persentase perempuan anggota legislatif di parlemen 18 persen. Departemen dan kementrian yang pada periode
137
Maria Ulfah Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005, hal. 49
138
Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2010.
139
Sumber: “Political Leadership and Government: Government Institutions – Number of Head of Village” BPS Catalogue: 2104010 – Women and Men in Indonesia 2008, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
2005-2009 dipimpin oleh seorang menteri perempuan termasuk di dalamnya Kementerian negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Departemen Kesehatan Siti Fadilah
Supari, Departemen Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga menduduki pos yang sama di cabinet jilid II Indonesia Bersatu dan pada tahun 2010 meninggalkan kursinya di menteri
keungan setelah guncangan kasus century dan tawaran kedudukan di bank dunia, Departemen Perdagangan Marie Elka Pangestu yang kembali menjabat di kabinet untuk periode 2009-
2014 ini dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Meskipun kedua departemen pertama mewakili hal-hal yang ‘lunak’ secara umum terkait oleh peran
perempuan sebagai perawat, patut dicatat bahwa lembaga–lembaga terkait dengan masalah keuangan, perdagangan dan pembangunan kini berada di bawah kepemimpinan menteri
perempuan.
140
C KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEPARTEMEN, LEMBAGA SETINGKAT
DEPARTEMEN DAN NON DEPARTEMEN
Data sampel yang dikumpulkan dari departemen, lembaga setingkat departemen dan nondepartemen mengenai pegawai perempuan di lembaga-lembaga tersebut menunjukkan
bahwa keterwakilan perempuan pada posisi tertinggi pengambil keputusan di seluruh lembaga departemen dan pemerintahan sangatlah rendah. Di lima departemen Komunikasi
dan Informasi, Transportasi, Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, serta Agama tidak ada perempuan yang berada di eselon 1. Pada tingkat eselon 2 di departemen-departemen
tersebut, persentase perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan tertinggi berkisar dari 5,9 persen dan 27 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 14,3 persen hingga
21,2 persen. Di kementerian negara dan lembaga setingkat kementerian, tidak ada satu pun
140
United Nations Development Programme UNDP Indonesia, Op.Cit., hal 11.
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang berada di posisi eselon 1. Persentase perempuan berada di eselon 2 berkisar antara 4,2 hingga 23,3 persen. Di lembaga-lembaga non-departemen, ada dua lembaga yang
tidak memiliki pejabat eselon 1 perempuan, perempuan yang menduduki posisi eselon 2 bervariasi dari 6 hingga 44 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 6,9 hingga
63,6 persen. Mayoritas perempuan 50,8 persen bekerja di eselon 4. Tabel 6
Tabel Distribusi Jumlah PNS dirinci menurut Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin - Mei 2010
141
Jenis Jabatan
Pria Persen
Wanita Persen
Jumlah Fungsional
Umum
1.407.056 54,96
916.150 42,17
2.323.206
Fungsional Tertentu
968.982 37,85
1.203.702 55,41
2.172.684
Struktural
184.045 7,19
52.537 2,42
236.582
Eselon 1
505 0,02
49 0,00
554
Eselon 2
6.693 0,26
539 0,02
7.232
Eselon 3
34.130 1,33
6.123 0,28
40.253
Eselon 4
133.876 5,23
43.067 1,98
176.943
Eselon 5
8.841 0,35
2.759 0,13
11.600
Jumlah
2.560.083 100,00
2.172.389 100,00
4.732.472
D KETERWAKILAN PEREMPUAN DI KOMISI-KOMISI NASIONAL
Perempuan tidak terwakili di komisi-komisi independen yang dibentuk oleh negara melalui peraturanperaturan hukum untuk melakukan fungsi checks dan balances bagi
pemerintah – meskipun komisi- komisi nasional ini memiliki keterbatasan dalam kewenangannya. Dari sepuluh komisi independen, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di
bawah ini, dua dari komisi yang ada tidak memiliki anggota perempuan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial. Tingkat keterwakilan perempuan tertinggi
141
Distribusi PNS berdasarkan Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin-Mei 2010 dalam http:www.bkn.go.id diakses pada Jumat, 19 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
terlihat di Komisi nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan 86,7 persen, diikuti oleh Badan Pengawas Pemilu 60 persen dan Komisi Nasional Perlindungan Anak 46,5 persen.
Komisikomisi tersebut yang merupakan gambaran klasik peran tradisional perempuan di dalam pelayanan ekonomi, dan tidak memiliki kekuasaan dalam hal keuangan dan masalah
politik. Tabel 7
Keterwakilan Perempuan di 13 Komisi Nasional
142
No. Nama Komisi
Periode Jumlah
anggota Perempuan
Jumlah Anggota
Laki-Laki Total
1. Komnas Perlindungan
Perempuan 2010-2014
13 86,72 2 13,3
15 100
2. Komisi Pemberantasan
Korupsi – KPK 2009-2014
5 100
5 100
3. Komisi Yudisial – KY
2002-2010 6
100 6
100 4.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha –
KPPU 2006-2011
2 18,2 8
81 10
100
5. Komisi Nasional Hak-
Hak Asasi Manusia Komnas HAM
2007-2012 1
10 10
90 11
100
6. Ombudsman Republik
Indonesia 2000-
sekarang 2
33,3 4 66,7
6 100
7. Komisi Nasional
Perlindungan Anak 2007-2012
5 46,5 6
54,5 11
100 8.
Komisi Penyiaran Indonesia – KPI
2007-2012 2
25 6
75 8
100 9.
Komisi Pemilihan Umum – KPU
2007-2012 3
43 4
57 7
100 10. Badan Pengawas
Pemilihan Umum Bawaslu
2008-2013 3
60 2
40 5
100
11. Komisi Hukum Nasional – KHN
2000- sekarang
4 100
4 100
12. Komisi Informasi Publik
2009- sekarang
1 14
6 85
7 100
13. Komisi Kepolisian Nasional – Kompolnas
2009-2012 1
20 4
80 5
100 JUMLAH
33 67
100
142
Ani Widyani Soecieptjo, Op. Cit, hal
Universitas Sumatera Utara
E KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA PERADILAN
Perempuan terwakilkan secara marjinal di mahkamah agung dan pengadilan tinggi. Pada tahun 2010, tidak ada satu pun perempuan yang bekerja sebagai hakim di mahkamah
agung indonesia. Hanya ada enam orang perempuan 15,8 persen di eselon dua di mahkamah agung. Di peradilan sipil, dari 3.104 hakim, 2.352 hakim adalah laki-laki 76
persen sementara 752 orang hakim perempuan yang ada mengambil 24 persen dari jumlah keseluruhan. Perlu digarisbawahiu bahwa tidak ada satu orang pun perempuan yang bekerja
di mahkamah konsitusi dari tahun 2003 – 2008 dan hanya satu orang perempuan yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan orang hakim mahkamah konstitusi yang memegang
peranan penting dalam peninjauan kembali berbagai perundang undangan yang diskriminatif. Karenanya penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di mahkamah konstitusi.
Sedangkan di kejaksaan, data yang dikumpulkan dari kantor Kejaksaan Agung memperlihatkan bahwa dari jumlah total jaksa di 31
143
provinsi dan kejaksaan agung, terdapat 29,17 persen jaksa perempuan. Sepuluh kantor kejaksaan agung, tidak ada
keterwakilan perempuan sama sekali. Hanya di Kantor Kejaksaan Agung di Banten dimana pegawai perempuannya mencapai 44,4 persen, sementara di provinsi-provinsi lain jumlah
berkisar antara 0 hingga 22 persen.
144
B.
PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MELALUI MDG’s
Pada Konferensi Tingkat Tinggi KTT Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa PBB
143
Karena Papua Barat dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru dibentuk di Indonesia, maka data untuk provinsi provinsi tersebut belum tersedia. Oleh karena itu, data yang diperlihatkan hanya total jaksa
dari 31 provinsi dan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung dan Yang Dikaryakan, bukan dari 33 provinsi.
144
United Nations Development Programme UNDP Indonesia, Op.Cit., hal 18.
Universitas Sumatera Utara
bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini
berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi
Millenium Development Goals MDG atau Tujuan Pembangunan Milenium.
145
8. Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan MDG’s
terdiri atas 8 tujuan yaitu:
1. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan 2. Pendidikan Dasar untuk Semua
3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu 6. Memerangi HIVAIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
146
Indonesia sendiri di penghujung abad lalu mengalami perubahan yang amat besar yaitu proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik. Seluruh sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara turut berubah dengan adanya reformasi dan demokratisasi tersebut, sehingga UUD 1945 yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia juga mengalami amandemen. Tidak begitu lama kemudian, tepatnya pada tahun 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York dan menandatangani “Deklarasi
Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Hal ini menjadi dasar dari tersusunnya pencapaian tingkat
145
Prof. DR. CFG. Sunaryati Hartono, SH, Op. Cit, hal 1.
146
Achie Sudiarti Luhulim, Op. Cit, hal 58.
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan umat manusia pada seribu tahun yang akan datang. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium
Development Goals MDGs. Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama
bangsa Indonesia. Pencapaian tujuan dan target tersebut bukanlah semata-mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan
dan target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat.
147
Negara-negara secara umum dan Indonesia secara khusus telah meratifikasi beberapa pengaturan hokum internasional yang mengatur perlindungan hukum bagi perempuan.
Seperti halnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang- undang Nomor 68 Tahun 1958, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita Tahun 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman
menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain peratifikasian hukum internasional, ada juga peraturan hukum nasional yang melindungi hak
politik perempuan. Tetapi sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani dan Dari delapan sasaran, yang akan menjadi sorotan adalah sasaran ketiga, yaitu
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kesetaraan gender dapat berartui bahwa perempuan memiliki kesempatan, fasilitas serta kuota yang sama dengan laki-
laki dibidang apapun. Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah dalam bidang politik. Yang menjadi target tujuan ketiga ini salah satunya adalah meningkatkan proporsi perempuan
dalam lembaga-lembaga publik.
147
Agoes Soehardjono MD, Op. Cit, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
menanggapi permasalahan mengenai perlindungan hak politik perempuan ini. Hal tersebut juga yang dialami perempuan di banyak Negara lain. Sehingga PBB
membuatnya menjadi salah satu tujuan milleniumnya. Agar Negara-negara lebih serius dan lebih peduli lagi terhadap permasalahan perempuan dan hak politiknya. MDG’s seperti
dorongan bagi Negara-negara untuk lebih memperhatikan permasalahan hak politik perempuan. Negara-negara khususnya Indonesia mulai memperbaiki kebijakannya terhadap
hak politik perempuan dan mulai menjalankan kembali peraturan hukum mengenai hak politik perempuan yang telah dibuat.
Tabel 8
Representasi Perempuan di DPR RI
148
Periode Anggota Perempuan Anggota Laki-laki
1950-1955 DPR Sementara 9 3,8
236 96,2 1955-1960
17 6,3 272 93,7
1956-1959 Konstituante 25 5,1
488 94,9 1971-1977
36 7,8 460 92,2
1977-1982 29 6,3
460 93,7 1982-1987
39 8,5 460 91,5
1987-1992 65 13
435 87 1992-1997
62 12,5 438 87,5
1997-1999 54 10,8
446 89,2 1999-2004
46 9 454 91
2004-2009 65 11,6
435 87 2009-2014
101 18 459 82
Dari tabel diatas, terlihat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap
148
Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif setelah penandatangan MDG’s oleh Indonesiaa. Walaupun angkanya tidak terlalu besar tetapi hal ini cukup membanggakan. Hal
ini tidaklah persoalan mudah yang dikerjakan dalam waktu singkat. Upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu
2004 yaitu pemilu pertama setelah ditandatnganinya MDG’s, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30 perempuan bagi partai politik parpol dalam menempatkan calon
anggota legislatifnya. Undang-Undang UU Nomor 31 tahun 2002 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilu legislatif serta UU Nomor 13 tahun 2002 tentang Partai Politik telah memberikan
mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30 bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan
saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI 11,3. Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih 9.
Kita dapat cukup berlega hati walaupun angka presentasi perempuan belum sampai pada kuota yang ditetapkan pemerintah.
Pada parlemen Indonesia, perempuan tidaklah menduduki pos-pos penting seperti hukum, perundang-undangan, keungan, pertanian atau telekomunikasi. Perempuan banyak
didudukkan di pos-pos Agama, sosial, pemberdayaan perempuan yang berjumlah 22,92,
Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan sebesar 26 dan paling banyak di komisi Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan sebesar
Universitas Sumatera Utara
42,55.
149
Komisi Parlemen di Beberapa Negara
Bisa dibandingkan dengan distribusi anggota perempuan dalam komisi perempuan di Negara lainnya.
Tabel 9
Gambaran Distribusi Anggota Perempuan dalam
150
Negara Distribusi Perempuan dalam Komisi Parlemen
Swedia Representasi perempuan mencapai 48 tetapi distribusi perempuan tidak
berimbang. Sebagian besar perempuan berada di komisi pendidikan dan kesehatan, sedang laki-laki di komisi ekonomi dan keuangan.
Ghana Ada komisi yang tidak ada anggota perempuannya seperti transportasi dan
keuangan. Republik
Cheko Representasi perempuan di parlemen adalah 15, tidak ada perempuan di
komisi keuangan, mayoritas di komisi pendidikan dan kesehatan. Kongo
Anggota perempuan hanya 40 dari 500 anggota kurang dari 10. Sangat sedikit perempuan untuk berpartisipasi dalam semua komisi.
Nigeria Sangat sedikit perempuan di komisi-komisi pertahanan, keamanan,
pertanian, lingkungan hidup dan ekonomi. Austria
Seharusnya bisa lebih banyak perempuan di komisi ekonomi dan keuangan; serta lebih banyak laki-laki di komisi kesehatan dan kesetaraan.
Chili Perempuan difokuskan pada komisi keluarga, pendidikan dan kesehatan.
149
Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia http:www .dpr.go.ididkomisi.
150
Sumber: Laporan IPU, Institutional Change: Gender-sensitive Parliaments, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Jika kita melihat jumlah anggota perempuan di DPR dan DPD hasil pemilu-pemilu pada era reformasi 1999, 2004, 2009 menunjukkan adanya kenaikan jumlah. Itu dapat
berarti kabar baik bagi pemerintah, karena kebijakannya berhasil mendongkrak presentase keterwakilan poerempuan di parlemen.
Tabel 10
Representasi Perempuan di DPR dan DPD Periode
DPR DPD
Perempuan Laki-Laki
Perempuan Laki-Laki
1999-2004 46 9
454 91 DPD belum terbentuk
2004-2009 65 11.6
435 88.4 28 21.2
104 78.8 2009-2014
101 18 459 82
36 27.7 96 72.3
Dengan persentase hasil Pemilu 2004 tersebut, Indonesia berada di urutan 89 dari 187 negara berdasarkan data IPU 2006. Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di
bawah Timor Leste 25 dan Filipina 15 . Jika kita lihat data peringkat Indonesia dilihat dari kondisi Human Development Index HDI, Gender Development Index GDI dan
Gender Empowerment Measurement GEM, datanya adalah sebagai berikut: Tabel 11
Peringkat HDI, GDI dan GEM Indonesia tahun 2007-2009
151
Tahun Peringkat
HDI Indeks
HDI Peringkat
GDI Indeks
GDI Peringkat
GEM Peringkat
GEM 2007
111 dari 182 Negara
0,7434 93 dari 155
Negara 0,726 96
96 dari 109 Negara
0,408
2008
109 dari 179 negara
0,726 85 dari 157
negara 0,719
87 dari 108 negara
0,441
151
Sumber: UNDP Human Development Report, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2009
107 dari 179 negara
0,682 91 dari 144
negara 0,677
89 dari 186 negara
58,9
Dari data diatas, sepertinya pemerintah harus bekerja lebih keras. Pemerintah Indonesia perlu membuat gebrakan baru untuk dapat meningkatkan lagi perlindungan
politiknya terhadap perempuan. Mungkin angka-angka keterwaklilan perempuan di parlemen baik tetapi cukup menyedihkan jika ditelisik lebih lanjut di komisi Negara, lembaga
peradilan, dikabinet dan di lembaga-lembaga publik lainnya. Representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan keputusan di semua departemen negara juga sangat
rendah. Meskipun kaum perempuan adalah mayoritas pegawai negeri di departemen- departemen besar dan penting seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri, kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar jabatan eselon eselon 1 dan 2 dipegang oleh
lelaki. Banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah belum bekerja secara maksimal untuk melindungi hak politik perempuan. Jika dilihat dari keberhasilan Negara lain
seharusnya pemerintah lebih giat lagi dan melakukan evaluasi untuk memaksimalkan potensi perempuan. Pada beberapa Negara ini, pemerintah memaksimalkan kebijakannnya terhadap
perlindungan perempuan di Negara nya, yaitu: 1. Rwanda dengan 48,8 keterwakilan perempuan
2. Swedia dengan 47,3 keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42 keterwakilan perempuan
4. Norwegia dengan 37,9 keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 keterwakilan perempuan
6. Belanda dengan 36,7 keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 keterwakilan perempuan
Universitas Sumatera Utara
8. Mozambik dengan 34,8 keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 keterwakilan perempuan
10. Afrika selatan dengan 32,8 keterwakilan perempuan 11. Austria dengan 32,2 keterwakilan perempuan
12. Islandia dengan 31,7 keterwakilan perempuan 13. Jerman dengan 31,6 keterwakilan perempuan
152
Dapat disimpulkan bahwa MDG’s membawa angin segar bagi kehidupan perpolitikan perempuan Indonesia. Dengan adanya MDG’s pemerintah Indonesia lebih sadar akan
pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Penerobosan- penerobosan dal;am kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti penetapa
kuota perempuan sebesar 30 di parlemen. Walaupun belum teralisasikan dengan baik, tetapi paling tidak telah ada cukup perhatian untuk melindungi hak politik perempuan. Tetapi
pemerintah Indonesia harus lebih giat dalam pr nya kali ini. Karena prestasi nya kali ini belum bias dibanggakan untuk mencukupi indicator MDG’s di tahun 2015 nanti.
152
Siti Nur Solechah, Op.Cit, hal 70.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan
komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik
lembaga-lembaga Negara eksekutif, legislatif, yudikatif maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Bahkan warga Negara secara perorangan
punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan .Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM
didasarkan pada kenyataan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan Woman Human Rights oleh struktur masyarakat yang patriaki di berbagai bidang kehidupan
sangat tidak adil untuk kaum perempuan. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan dirumah sektor domestik atau sektor privat dan laki-laki
diuar rumah sektor publik menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap akses perempuan terhadap sumber daya, ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi
ia menjadi sangt tergantung pada suaminya, kalaupun ia bekerja, ia tidak dipandang sebagai manusia yang utuh karena ia hannya dianggap sebagai pencari tambahan
penghasilan keluarga. Oleh karena itu, ia tidak berhak menerima tunjangan-tunjangan keluarga atau kesehatan karena dianggap telah mendapatkan dari suaminya. Politik
itu sendiri selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Politik identik dengan sesuatu yang aneh dari
Universitas Sumatera Utara
pandangan feminitas karena politik terkait dengan kekuasaan, kesewenangan, pengerahan massa dan kompetisi-kompetisi yang tidak melekat dalam diri perempuan
yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kekuasaan pada dasarnya netral. Ia bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Di dunia politik, kekuasaan yang
digunakan dengan baik diwujudkan melalui kepatuhan, perubahan dan pembaharuan. Maka dari itu diaturlah konvensi internasional yang melindungi hak-hak perempuan
secara umum dan hak politik perempuan secara khusus yaitu Convention on Ellimination of all form of Discrimination Against Woman
CEDAW. Indonesia sendiri meratifikasi konvensi internasional ini lewat Undang-Undang No. 7 Tahun
1984. Tetapi, walaupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini, tetap saja terdapat diskriminasi terhadap hak politik perempuan. Hal ini terlihat dari rendahnya
keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik. Implikasi dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat
pada dikeluarkannya kebijakan publik yang timpang, karena kurang memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn
publik yang rendah kualitasnya. Data nasional diatas menunjukkan adanya disparitasketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang
mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif,
tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi
perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini
disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada laki- laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender.
Universitas Sumatera Utara
2. Pada akhir abad ke 19 menuju abad ke 20 pada tahun 2000, 189 negara sepakat untuk menandatangani tujuan ppembangunan millennium atau yang lebih dikenal lewat
MDG’s. Terdapat delapan tujuan yang harus dicapai oleh Negara-negara penandatangan pada tahun 2015. Keberhasilan suatu Negara dalam menjalankan
MDG’s dilihat dari pencapaian Negara terhadap indikator-indikator yang telah ditentukan dari setiap aspeknya. Poin ke tiga dari MDG’s itu sendiri adalah kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan. Yang salah satu indikatornya adalah pengoptimalisasian perempuan di lembaga-lembaga publik.
3. Hal inilah yang kemudiaan mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan bahwa adanya kuota sebesar 30 persen untuk perempuan di parlemen lewat
Undang-Undang no. 12 Tahun 2003 tentang partai politik yang dirubah dengan Undang-Undang no. 2 tahun 2008 dan Undang-Undang no. 31 tahun 2003 tentang
pemilu yang kemudian dirubah dengan undang-undang no. 10 tahun 2008. Walaupun hasil pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 tidak memenuhi kuota tersebut, paling tidak
sudah ada langkah baik dari pemerintah untuk mengakomodir hak politik perempuan. Hanya saja agar tidak tertinggal dari perkembangan Negara-negara lainnya, ada
baiknya jika pemerintah Indonesia melakukan gebrakan-gebrakan besar untuk lebih memperjuangkan hak politik perempuan.
B. SARAN
Untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang telah dijabarkan dalam hasil penelitian akademis di atas, terdapat beberapa saran untuk meningkatkan representasi politik
kaum perempuan, yaitu: 1. Pertemuan untuk saling bertukar pikiran di kalangan organisasi masyarakat mandiri
yang memperjuangkan kepetingan perempuan. Sebelum merancang strategi,
Universitas Sumatera Utara
organisasi-organisasi itu perlu bertemu untuk membahas isu-isu yang ada, dengan maksud memantapkan pendekatan dan strategi yang akan ditempuh. Berbagai
perbedaan strategi dan perspektif perlu ditolerir dan dipandang memperkaya pembagian tugas para aktivis organisasi itu. Pertemuan koordinasi itu juga harus
melibatkan aktor-aktor lokal. Pertemuan-pertemuan yang sama juga dapat dilanjutkan di tingkat propinsi, sehingga kelompok diskusi itu nanti dapat menetapkan strategi
yang paling sesuai dengan kondisi setempat. 2. Mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan yang berpotensi memimpin. Perlu dibuat
database tokoh-tokoh wanita yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di tingkat nasional dan lokal.
3. Meningkatkan kapasitas perempuan untuk menduduki posisi pimpinan. Menggelar berbagai lokakarya dengan muatan kurikulum khusus yang dirancang untuk
memperkuat kualitas kepemimpinan perempuan, terutama kemampuan mereka untuk bekerja dalam organisasi politik dan lembaga publik. Mereka perlu disadarkan bahwa
mereka akan berkecimpung di dalam suatu lingkungan politik yang pada umumnya bersikap tak bersahabat dengan kehadirannya. Kurikulum lokakarya itu dapat disusun
berdasarkan konteks khusus, dan mencakup studi-studi kasus atau situasi tertentu yang kemungkinan besar akan dihadapi para peserta di kemudian hari.
4. Menyusun draft perundangan yang memungkinkan dilakukannya affirmative action. Produk hukum paling strategis yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan
adalah yang berkaitan dengan parpol dan pemilihan umum. 5. Melakukan lobi secara asertif ke gedung parlemen Suatu gerakan lobi yang terencana
dan efektif harus dilakukan oleh organisasi masyarakat mandiri, LSM dan anggota parlemen sendiri jika mereka sungguh-sungguh menghendaki perubahan nyata.
Universitas Sumatera Utara
6. Membentuk sebuah kaukus atau jaringan kerja di kalangan para pendukung perjuangan. Jaringan kerja lintas sektoral harus disusun, demi membentuk aliansi
yang stabil sehingga memperkuat dan menjamin kelangsungan gerakan yang dilancarkan. Jaringan kerja itu dapat disusun di kalangan para aktor pendukung
gerakan, baik yang dari gedung parlemen, organisasi sosial, akademisi, organisasi keagamaan, serta media. Jaringan kerja ini harus mengagendakan pertemuan strategis
secara reguler dan menjaga kontak antar sesama anggota. 7. Kampanye di media. Kampanye media dapat digunakan sebagai alat yang efektif
selama proses legislatif berlangsung. 8. Partai politik agar bersikap adil dan tidak membeda-bedakan anggota laki-laki dan
perempuan, mengubah penilaianpenilaian yang negatif terhadap anggota perempuan dan mengubah kultur partai politik menjadi lebih adil gender, Partai politik perlu
mereformasi diri dan ini menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan, apalagi anggota DPD yang sekarang boleh dari partai politik. Partai politik juga perlu mendukung
tindakan affi rmative action antara lain dengan melakukan pendidikan politik dan mengangkat isu-isu keadilan gender. Selain itu partai politik perlu memperbanyak
kader perempuan dengan latar belakang Aktivis, karena terbukti lebih peduli terhadap nasib Buruh misalnya ketimbang kader dengan latar belakang Pengusaha.
Dengan pemahaman sedemikian maka aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas perempuan tidak dapat sekedar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan
oleh para pembuat keputusan, perempuan harus merepresentasikan dirinya sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan dan prioritasnya sendiri di dalam arena
pengambilan keputusan. Untuk itu perempuan harus diintegrasikan ke dalam politik dan bersama-sama dengan para politisi laki-laki ikut mendefinisikan realitas politik. Selain dari
Universitas Sumatera Utara
perempuannya sendiri, harus ada juga tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi hak politik perempuan. Pemerintah harus serius dalam menyikapi problematika yang terjadi pada
perempuan. Pemerintah juga harus berani melakukan pembaharuan kebijakan yang mengakomodir perlindungan hak politik perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
BAB II HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KERANGKA CEDAW
A. HAK ASASI PEREMPUAN
1. HAK ASASI PEREMPUAN SEBAGAI BAGIAN DARI HAK ASASI MANUSIA