e. Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan prikemanusiaan secara lebih hakiki. Preposisi di atas memberikan penjelasan bahwa setiap manusia
memiliki peluang dan kesempatan yang sama menjadi yang terbaik, khususnya pada perempuan.
Dengan demikian bahwa pandangan para feminisme mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan suatu manifestasi gerakan untuk meraih kebebasan dan
kemerdekaan perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.
5. PENTINGNYA PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK
Data keterwakilan perempuan di parlemen nasional sedunia dari International Parliamentarian Union IPU tertanggal 31 Januari 2006 menunjukkan, Indonesia menduduki
tempat ke 89 dari 186 negara - jauh dibawa Afghanistan: 27,3 No.24, Vietnam: 27,3 No.24, Timor Leste: 25,3 No.28, Pakistan: 21,3 No.41, Cina: 20,3 No.48,
Singapore: 16 No.66, Filipina: 15,3 No.67, Bangladesh: 14,8 No.70, Korea Selatan: 13,4 No.75, masih dibawa Syrian Arab Republic: 12 No.86. Tercatat negara-
negara Asia dibawa Indonesia a.l.: Thailand: 10,8 No.93, Malaysia: 9,1 No.103, Jepang: 9,0 No.104, India: 8,3 No.108 dan ada 11 negara yang tidak ada perempuan
dalam parlemen-nya. Realitas politik ini jelas memprihatinkan, mengingat 53 pemilih pada Pemilu 2004 yang lalu adalah perempuan, dibandingkan 47 pemilih laki-laki. Perempuan
yang merupakan mayoritas penduduk dan pemilih, berhak juga untuk memperoleh keterwakilan politik yang setara dan seimbang dengan laki-laki, agar dapat menyuarakan
dan terlibat dalam menentukan prioritas kepentingan dan mendapat manfaat dari pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Implikasi dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat pada dikeluarkannya kebijakan publik yang timpang, karena
kurang memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn publik yang rendah kualitasnya. Data nasional diatas menunjukkan adanya
disparitasketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan tertinggal di bidang
pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif, tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai
kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada laki-laki
sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki
tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan. Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik,
yaitu: 1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh
perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerassan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain.
2. Partisipasi politik perempuan dharapkan bisa mencegah kondisi yang tida menguntungkan perempuan dala mengatasi permasalahan stereotipe terhadap
perempuan, diskriminasi di bdang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi diluar dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.
Universitas Sumatera Utara
3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik
perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.
70
C. CEDAW CONVENTION ON ELIMINATION OF ALL FORM OF
DISCRIMINATION AGAINST WOMAN DAN HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KERANGKA CEDAW
Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan suatu perangkat komprehensif hak yang menjadi hak setiap orang, termasuk perempuan. Lalu mengapa
dibutuhkan suatu perangkat hukum tersendiri bagi perempuan? Cara tambahan untuk melindungi hak asasi perempuan dianggap perlu karena pada kenyataannya sifat
“kemanusiaan” mereka ternyata tidak cukup untuk memberi jaminan bagi perempuan atas pelaksanaan haknya. Mukadimah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan menjelaskan, bahwa walaupun ada perangkat lain, perempuan tetap tidak memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Diskriminasi terhadap perempuan tetap
berlangsung di setiap masyarakat. Konvensi ini ditetapkan oleh Majelis Umum pada 1979 untuk memperkuat ketentuan-ketentuan dari perangkat internasional yang dirancang untuk
memerangi berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini mengidentifikasi berbagai bidang tertentu di mana diskriminasi terhadap
perempuan terjadi, misalnya berkenaan dengan hak politik, perkawinan dan keluarga, serta pekerjaan. Pada bidang ini dan bidang-bidang lain, Konvensi merumuskan maksud dan
tujuan serta usaha yang harus dilakukan untuk mempermudah terwujudnya masyarakat global. Dalam masyarakat seperti itu diharapkan perempuan dapat sepenuhnya menikmati
70
Harmona Daulay, Op. Cit, hal 36.
Universitas Sumatera Utara
persamaan dengan laki-laki, sehingga mereka dapat melaksanakan dengan sepenuhnya hak asasi manusia yang dijamin.
Untuk memerangi diskriminasi berdasarkan gender, Konvensi meminta Negara- negara Pihak untuk mengakui pentingnya kontribusi ekonomi dan sosial kaum perempuan
terhadap keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa diskriminasi akan menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. Diakui pula adanya kebutuhan
terhadap perubahan perilaku, melalui pendidikan bagi perempuan dan laki-laki, untuk menerima persamaan hak dan kewajiban, serta untuk mengatasi prasangka dan praktek
berdasarkan peran yang telah menjadi stereotip. Hal penting lain dari Konvensi adalah pengakuan terbuka mengenai tujuan dari persamaan yang sebenarnya, selain persamaan
secara hukum, dan juga mengenai kebutuhan akan upaya-upaya khusus, yang bersifat sementara, untuk mencapai tujuan tersebut.
I. SEJARAH TERBENTUKNYA CEDAW
Suatu upaya mendasar yang dirasa perlu oleh PBB dan para aktivis HAM adalah perumusan dari ukuran-ukuran yang secara internasional disepakati sehingga akan terwujud
instrumen-instrumen internasional yang disepakati sehingga akan terwujud pemajuan persamaan antara pria dan wanita.
71
Komisi kedudukan wanita ini diserahi fungsi untuk mempersiapkan rekomendasi- rekomendasi dan laporan-laporan kepada ECOSOC mengenai pemajuan hak-hak wanita
Upaya lain yang ditempuh PBB adalah membentuk Komisi Kedudukan Wanita. Komisi ini pada mulanya berstatus sebagai subkomisi saja yang
menjadi bagian dari komisi HAM dan harus melapor pada komisi HAM. Pada bulan Juni 1946, Komisi Kedudukan Wanita diberi status sebagai komisi yangt secara langsung berada
dibawah Economic and Social Council ECOSOC.
71
The United Nations 1995, Op.cit hal 11.,
Universitas Sumatera Utara
dibidang politik, ekonomi, sipil, sosial dan pendidikan serta membuat rekomendasi tentang masalah-masalah mendesak dibidang hak-hak wanita yang harus segera ditangani.
Dalam perjalanannya, Komisi Kedudukan Wanita memberikan usulan supaya dilaksanakan suatu Survei Global mengenai keberadaan dari hak-hak wanita diterima dalam
sidang-sidang ECOSOC. Dalam rangka survei tersebut, Komisi Kedudukan Wanita menyarankan kepada ECOSOC untuk merekomendasikan kepada para pemerintah dari
Negara-negara anggota PBB supaya setiap tahun mengisi kuisioner berisi pertanyaan tentang kedudukan hukum dari perempuan dan tentang perlakuan terhadap perempuan. Berdasarkan
Survei Global tersebut, sekretariat PBB menerima hasil dengan keterangan mendetail tentang perempuan di negara-negara.
Pada tanggal 16 Desember 1947, sekretariat PBB menerima kuisioner dari tujuh puluh empat 74 Negara dan hasilnya adalah terdapat dua puluh lima dari Negara tersebut tidak
memberi hak-hak politik terhadap warga negara perempuan. Diperoleh juga data bahwa jumlah wanita yang buta huruf lebih besar dari pria. Informasi-informasi yang didapat
kemudian digunakan sebagai legitimasi bagi pembuatan perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak yang setara antara pria dan wanita dalam berbagai bidang termasuk hak-hak
politik.
72
Kebutuhan untuk menyusun instrumen yang memiliki daya mengikat, yaitu suatu konvensi yang merumuskan hak-hak wanita semakin dirasakan. Maka ECOSOC meminta
Komisi Kedudukan Wanita untuk menyusun rancangan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadp Wanita. Setelah melalui proses penyusunan rancangan, penerimaan usulan dari
pemerintah dan saran-saran dari LSM, akhirnya pada tanggal 18 Desember 1976, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Convention on
Ellimination of all form of Discrimination Against Woman CEDAW atau yang sering
72
The United Nations 1995, Op.cit hal 16,17.,
Universitas Sumatera Utara
disebut dengan Konvensi Wanita diterima dalam sidang Umum dengan 130 negara setuju dan 11 negara abstain. Di Indonesia sendiri konvensi ini diratifikasi melalui Undang-Undang No.
7 Tahun 1984 dan diundangkan di Jakarta tanggal 24 Juli 1948.
II. KONSEKUENSI NEGARA PERATIFIKASI KONVENSI CEDAW
Konsekuensi ratifikasi Konvensi Wanita yaitu bahwa Negara-negara peratifikasi menyetujui pernyataan:
1. Mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, 2. Bersepakat untuk menjalankan dengan dengan segala cara yang tepat, tanpa
ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 2 Konvensi
73
Sedangkan implikasinya adalah bahwa aparat negara, aparat provinsi dan daerah, legislator di pusat maupun daerah, aparat penegak hukum di pusat maupun daerah, dapat
dituntut pertanggungjawabannya akuntabilitas jika: 1. Masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.
2. Tidak ditegakkan perlindungan hukum bagi perempuan terhadap praktektindakan diskriminasi.
3. Lembaga-lembaga negara dan pejabat pemerintah itu sendiri melakukan diskriminasi.
74
Yang disebut dalam a dan b
Konsekuensi ratifikasi konvensi ialah bahwa Negara Peserta States Party memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundang-
undangan, kebijakan, program dan tindakan-khusus-sementara tindakan afirmasi, adalah kelalaian, sedangkan a dan c adalah perbuatan.
73
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 23.
74
Ibid, hal 23
Universitas Sumatera Utara
mewujudkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
III. ASAS DAN PRINSIP CEDAW
Dalam Mukadimah Konvensi
75
1. Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyaakinan atas hak-hak asasi manusia, atasmartabat daan nilai pribadi manusia, dan
atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. dinyatakan antara lain:
2. Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua
manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat didalamnya, tanpa perbedaan
apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin. 3. Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia berkewajiban menjamin hak yang sama antara pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
4. Mengingat, bahwa diskrimiasi terhadap perempuan melanggar asas-asas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi
partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya Negara-negara mereka,
menghambatpertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi perempuan dalam pengabdiannya
pada negara dan kemanusiaan.
75
Lihat lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum
untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Kelompok Kerja Conventio Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia dan yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal 8-34.
Universitas Sumatera Utara
5. Mengingat, sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat, yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti sosial dari kehamilan, dan
peranan kedua orang tua dalam keluarga dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya
jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak mewajibkan pembbagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan
masyarakat secara keseluruhan. 6. Menyadari, bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional laki-laki maupun
perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.
76
Inilah yang kemudian menjadi asas-asas dalam konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan equality and equity antara perempuan dan laki-
laki, yaitu persamaan dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta hak yang sama untuk menikmati manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan. Konvensi
CEDAW mengakui bahwa: 1. Adanya perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki;
2. Adanya pembedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. Kerugian itu berupa subordinasi kedudukan dalam keluarga dan
masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memanfaatkan peluang yang ada. Peluang itu dapat berupa peluang untuk tumbuh kembang secara
optimal, secara menyeluruh dan terpadu, peluang untuk berperan dalam pembangunan di semua bidang dan tingkat kegiatan, peluang untuk menikmati manfaat yang sama
dengan laki-laki dari hasil-hasil pembangunan, dan peluang untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
76
Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 138.
Universitas Sumatera Utara
3. Adanya perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena mengalami diskriminasi
atau mananggung akibat karena perlakuan diskriminatif di masa lalu atau karena lingkungan keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan.
Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi CEDAW menetapkan prinsip- prinsip
77
1. Alat untuk advokasi. dan ketentuan-ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi serta tindakan
yang merugikan kedudukan dan peran perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat, di bidang sosial, ekonomi, politik dan bidang-bidang lainnya. Prinsip-prinsip yang dianut oleh
Konvensi perlu dipahami untuk dapat menggunakan Konvensi sebagai
2. Sebagai kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan penegakan hak perempuan.
3. Sebagai alau untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempuya dampak dalam jangka pendek atau jangka panjang dan merugikan perempuan.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW digunakan pula sebagai
alat untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak – jangka pendek atau jangka panjang – yang merugikan perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi
CEDAW saling berkaitan, saling memperkuat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Prinsip- prinsip itu terjalin secara kosneptual dalam Pasal 1 – 16 Konvensi CEDAW. Konvensi
CEDAW didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
77
Prinsip, Lat dasar pendirian, tindakan, dsb; sesuatu yang dipegang sebagai anutan yang utama, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, 1994
Universitas Sumatera Utara
1. Prinsip Persamaan keadilan dan kesetaraan substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penuikmatan manfaat.
2. Prinsip Non-diskriminasi, 3. Prinsip Kewajiban Negara.
Prinsip-prinsip tersebut yang berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
A. Prinsip Persamaan Substansif