PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAK POLITIK

jabatan di eselon I misalnya, dari 645 PNS, hanya 63 PNS perempuan atau sekitar 9,77 sisanya 582 atau 90,23 adalah laki-laki. Pada pemilihan kepala daerah langsung, keterlibatan perempuan dalam proses politik juga masih belum terbangun. Dalam periode tahun 2005-2006, hanya 17 perempuan yang terpilih menjadi Bupati. Hasil ini menunjukkan sistem pemilihan kepala daerah belum dapat membuka peluang secara luas bagi perempuan untuk terlibat dalam politik.

3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAK POLITIK

PEREMPUAN DI INDONESIA Didorong rasa tanggungjawab terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan, pemerintah Indonesia turut serta dengan masyarakat internasional memperjuangkan hak-hak asasi perempuan, dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional. Konvensi internasional yang sudah diratifikasi antara lain adalah : 1. Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958. 2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. 3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment menjadi Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1998. Di samping meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan terhadap perempuan. Positivikasi perlindungan hak-hak asasi perempuan yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara pemerintah Indonesia tersebut pertama-tama dapat dilihat dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya . Kemudian di dalam Pasal 28 C ayat 2 Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan, bahwa : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya . Pasal 28 D ayat 3 Perubahan Kedua UUD 1945 mengatakan : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan . Berdasarkan bunyi UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat bahwa UUD 1945 tidak membedakan laki-laki dengan perempuan. Hal itu tercermin dari bunyi awal kalimat, yang selalu menyebutkan “Segala warga negara, “Setiap orang”, Setiap warga negara”. Permasalahannya adalah bahwa apa yang sudah dirumuskan di dalam UUD 1945 tersebut di dalam praktek penyelenggaraan negara tidaklah demikian. Kaum perempuan masih saja termarjinalkan baik dalam kehidupan rumah tangga, bidang politik, pemerintahan, maupun dalam mendapatkan pekerjaan. Keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang politik adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses demokratisasi. Mengkaitkan issu gender dengan proses demokratisasi adalah sesuatu yang sudah lazim diterima oleh masyarakat, oleh karena di dalamnya terintegrasi hak-hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar. 119 119 Suharizal dan Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat,dalam http:google.com-kajian-atas-keterwakilan-perempuan-DPRD-Provinsi-Sumatera-Barat- pdf-php diakses pada Jumat, 29 Oktober 2010. Selain Undang-Undang Dasar, hak politik perempuan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1 Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Secara umum pengaturan mengenai perempuan diatur dalam bagian sembilan pasal empat puluh lima sampai lima puluh satu. Pada pasal empat puluh lima disebutkan bahwa hak wanita dalam undang-undang ham ini adalah hak asasi manusia. Hal ini menguatkan bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan tidak bolah dikotak- kotakkan serta didiskriminasi. Secara khusus undang-undang ini mengatur mengenai hak politik perempuan pada pasal empat puluh enam, yaitu: Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal ini jelas memberikan perlindungan hak politik perempuan dari diskriminasi yang mengatasnamakan sistemn pemilihan umum, kepartaian, pemilihan badan legislatif dan sistem pengangkatan. Semua sistem dalam kehidupan perpolitikan harus menjamin keterwakilan perempuan didalamnya. 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 merupakan perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 2003. Undang-undang ini juga mengakomodir hak politik perempuan. Hal ini terlihat jelas dalam bab 2 tentang pembentukan partai politik pada pasal 2 ayat 2, yaitu: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyertakan 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. Kemudian dipasal 20 dinyatakan bahwa: Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupatenkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3 disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 tiga puluh perseratus yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Bertalian dengan pencantuman dengan “memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30” untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Universitas Sumatera Utara KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan umum di dalam Pasal 20 UU No 2 Tahun 2008 ternyata ada yang pro dan kontra. Kelompok yang pro beranggapan, ketentuan untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD KabupatenKota harus memperhatikan keterwakilan perempuan 30 dianggap sebagai suatu kemenangan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan di lembaga legislatif. Melalui jumlah 30 untuk calon perempuan diharapkan dapat menambah jumlah perempuan di lembaga legislatif. Namun di pihak yang kontra berpendapat, bahwa pencantuman tersebut adalah suatu hal yang mubazir, dan justru bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UUD 1945, yang tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki. 120 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Ketentuan itu juga bertentangan dengan prinsip demokratisasi sebagaimana saat ini sedang diperjuangkan di Indonesia. 121 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum adalah perubahan dari undang-undang pemilu yang lama yaitu undang-undang no. 31 tahun 2002. Sejak dari undang-undang yang lama pengaturan mengenai hak politik perempuan telah diakomodir. Di 120 Kesimpulan ini diambil dari ketentuan Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 C ayat 2 Perubahan Kedua, dan Pasal 28 Db ayat 3 Perubahan Kedua UUD 1945. 121 Klausul dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan affirmative action antara lain adalah: Pasal 8 ayat 1 Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: d menyertakan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; Bagian Ketiga: Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu, pada Pasal 15:Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 3 meliputi: d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Pasal 53 : Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. Pasal 55 : 2 Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setiap 3 tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 satu orang perempuan bakal calon. Bagian Ketiga : Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota. Pasal 57 : 1 KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah s ekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. 2 KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. 3 KPU kabupatenkota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupatenkota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan. Pasal 58 : 2 Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupatenkota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut. Universitas Sumatera Utara undang-undang no. 10 tahun 2008 ini pengaturan mengenai kuota perempuan diatur dalam pasal 8 ayat 1 huruf d, yaitu: menyertakan sekurang-kurangnya 30 tiga puluh perseratus keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; Pada huruf d jelas terlihat bahwa pengaturan mengenai kuota perempuan merupakan sebuah keharusan pada kepengurusan partai politik. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang. Lebih progresif lagi UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena mengatur pula tentang zipper system. 122 Pasal 55 ayat 2 menyatakan bahwa; “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setiap 3 tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 satu orang perempuan bakal calon.” 123 1. Rwanda dengan 48,8 keterwakilan perempuan Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem zipper ini biasanya mengatur ketentuan itu dalam AdART partai mereka. Hal ini karena tingkat kesadaran politik mereka yang tinggi. Menurut Women’s Environment and Development Organization, ada 13 negara yang menggunakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper. Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita yang melampaui criticall mass sebesar 30 . Negara yang memberlakukan zipper sistem antara lain : 2. Swedia dengan 47,3 keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42 keterwakilan perempuan 4. Norwegia dengan 37,9 keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 keterwakilan perempuan 122 Zipper system berarti bahwa gender kandidat dalam daftar dibuat berselang seling antara laki-laki dan perempuan 123 Siti Nur Solechah , Rekrutmen Politik Perempuan Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam http: www.google.com diakses pada Senin, 15 November 2010 hal 69., Universitas Sumatera Utara 6. Belanda dengan 36,7 keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 keterwakilan perempuan 8. Mozambik dengan 34,8 keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 keterwakilan perempuan 10. Afrika selatan dengan 32,8 keterwakilan perempuan 11. Austria dengan 32,2 keterwakilan perempuan 12. Islandia dengan 31,7 keterwakilan perempuan 13. Jerman dengan 31,6 keterwakilan perempuan 124 Namun demikian, UU Pemilu 2008 hanya membuka ruang terbatas bagi perempuan yakni sampai pada pencalonan beserta daftar pencalonannya,bukan pada calon jadi. Tetapi, pada tanggal 23 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang isinya membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang menurut MK memuat standar ganda dalam penetapan caleg. Dengan Putusan itu MK menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme tunggal. 125 4 Instruksi Presiden Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan GenderPUG Gender Mainstreaming Putusan MK ini menyulitkan partai untuk menetapkan calon jadi dengan sistem zipper. Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah mengatur kuota 30 perempuan bagi partai politik parpol dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang UU Nomor 102008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilu legislatif serta UU Nomor 22008 tentang Partai Politik telah memberikan 124 Siti Nur Solechah, Ibid, hal 70. 125 http:m.detik.com, diakses pada Senin, 15 November 2010 Universitas Sumatera Utara mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30 bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Ketetapan kuota 30 sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI 11,3. Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih 9. Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan melawan politik patriarki, karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.

4. REALISASI PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK