Perempuan dan Lingkungan Prinsip Persamaan Substansif Prinsip Non-Diskriminasi

1. Mendirikan atau memperkuat badan pemerintah yang memajukan perempuan. 2. Memasukkan perspektif gender dalam legislasi, kebijakan publik, program- program dan proyek-proyek. 3. Menyusun dan menyebarkan data yang teragregasi secara gender dan informasi bagi perencanaan dan evaluasi.

I. Perempuan dan Media

1. Meningkatkan partisipasi dan akses perempuan terhadap ekspresi dan pengambilan keputusan dalam dan melalui media dan teknologi komunikasi baru. 2. Mendorong dan mengakui jaringan media perempuan termasuk jaringan elektronik dan teknologi komunikasi baru lainnya sebagai sarana penyebaran informasi dan pertukaran pandangan pada tingkat internasional dan mendukung kelompok perempuan yang aktif dalam kerja media dan sistem komunikasi. 3. Mempromosikan citra perempuan yang seimbang dan tidak stereotip.

J. Perempuan dan Lingkungan

1. Melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan masalah lingkungan pada semua tingkatan. 2. Memasukkan pertimbangan dan perspektif gender dalam kebijakan dan program bagi pembangunan berkelanjutan. 3. Memperkuat atau membangun mekanisme pada tingkat nasional, regional, dan internasional untuk mengakses dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan terhadap perempuan.

K. Anak Perempuan

1. Menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. 2. Menghapus perilaku dan praktik kultural yang negatif terhadap anak perempuan. Universitas Sumatera Utara 3. Mempromosikan dan melindungi hak anak perempuan dan meningkatkan kesadaran akan potensi dan kebutuhannya. 4. Menghapus diskriminasi terhadap anak perempuan dalam pendidikan, ketrampilan dan pelatihan. 5. Menghapus diskriminasi terhadap anak perempuan dalam kesehatan dan gizi. 6. Menghapus ekspoitasi ekonomi terhadap tenaga kerja anak dan melindungi anak perempuan dalam pekerjaan. 7. Menghapus kekerasan terhadap anak perempuan. 8. Mempromosikan kesadaran anak perempuan tentang partisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. 9. Memperkuat peran keluarga dalam meningkatkan status anak perempuan. Hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal. Partisipasi perempuan yang sepenuhnya dan sama dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta pembasmian segala bentuk diskriminasi atas dasar jenis kelamin merupakan tujuan berprioritas pada masyarakat internasional. Deklarasi dan Program Aksi Wina 51

4. PENTINGNYA PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN HAK PEREMPUAN

Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM didasarkan padakenyataan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan Woman Human Rights oleh struktur masyarakat yang patriaki di berbagai bidang kehidupan sangat tidak adil untuk kaum perempuan. 52 51 Ditetapkan oleh Konferensi Dunia Tentang hak asasi Manusa, Wina, 25 Juni 1993 ACONF.15734 Bagian I, bab III. 52 Alex Irwan, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional untuk Melindungi Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999, hal 5. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan dirumah Universitas Sumatera Utara sektor domestik atau sektor privat dan laki-laki diuar rumah sektor publik menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap akses perempuan terhadap sumber daya, ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi ia menjadi sangat tergantung pada suaminya, kalaupun ia bekerja, ia tidak dipandang sebagai manusia yang utuh karena ia hannya dianggap sebagai pencari tambahan penghasilan keluarga. Oleh karena itu, ia tidak berhak menerima tunjangan-tunjangan keluarga atau kesehatan karena dianggap telah mendapatkan dari suaminya. Dalam kapitalisme global sekarang ini, misalnya kaum perempuankhususnya kaum perempuan dari negara-negara selatan miskin dan berkembang tidak pelak lagi merupakan sumber tenaga kerja murah. Celakanya ia harus mengalami puladiskriminasi upahdengan laki-laki yang berupah rendah. Ini berarti jika kaum laki-laki memperoleh perlakuan yang buruk didunia kerja, kaum perempan mendapatkan perlakuan yamng lebih buruk lagi bahkan seringkali mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Contoh paling nyata adalah kasus Marsinah, seorang buruh yang terpakksa mati karena menuntut kenaikan upah yang memang menjadi hak nya menurut ketentuan yang berlaku. Karena tuntutan itu, ia tidak hanya cukup dibunuh tapi juga disiksa dibagian vaginanya sebelum kematian. Hal itu dilakukan karena ia seorang perempuan yang secra biologis memiliki ciri khusus tapi juga dilekatkan sifat-sifat tertentu berdasarkan gender yang dilekatkan pada seorang perempuan artinya sebagai seorang perempuan ia dianggap tidak layak untuk tampil sebagai pemimpin buruh, apalagi menuntut hak-haknya. Dalam citra umum yang berlaku, seorang perempuan haruslah tunduk terhadap apa saja yang telah Universitas Sumatera Utara ditentukan untuknya. Kasus Marsinah hanyalah sekedar contoh saja dari diskriminasi kaum perempuan. 53 B. HAK POLITIK PEREMPUAN Secara politik, kaum perempuan dianggap sekunder dan tidak punya otonomi karena suamilah kepala keluarga yang menentukan urusasn-urusan yang bersifat publik. Seorang perempuan yang telh kawin serta merta dianggap sebagai milik suaminya. Dilihat dari kenyataan-kenyataan diatas tampaklah bahwa seorang perempuan dianggap sebagai kaum yang tidak bisa menentuan hidupnya sendiri. Jika kita lihat dalam sejarahtampakklah bahwa upaya untuk memperbaiki perluyakni semata-mata untuk membuka penglihatan setiap masyarakat yang telah buta akibat bias gender yang telah lama tertanam dan keluar sebagai paradigma yang negatif. Karena antara hak perempuan dan hak laki-laki adalah sama. Wajiblah setiap bangsa untuk mengkui hal itu. Setiap negara wajib melindungi hak-hak perempuan juga HAM . Sama seperti bagaimana negara membela hak anak, hak buruh, hak para pekerja. Demikian juga dengan hak perempuan. Politik selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Politik identik dengan sesuatu yang aneh dari pandangan feminitas karena politik terkait dengan kekuasaan, kesewenangan, pengerahan massa dan kompetisi-kompetisi yang tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kekuasaan pada dasarnya netral. Ia bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Di dunia politik, kekuasaan yang digunakan dengan baik diwujudkan melalui kepatuhan, perubahan dan pembaharuan. 53 Krisna Harahap, SH, MH, HAM dan Upaya Penegakkannya Di Indonesia, Bandung: PT Grafin Budi Utomo, 203 hal 133 Universitas Sumatera Utara Kondisi-kondisi negatif diatas, tidaklah menjadi suatu penilaian pesimis untuk berkiprah dalam dunia politik. Kenyataan membuktikan dimana pun seorang warga negara baik laki-laki dan perempuan yang tidak mau berpolitik secara sadar atau tidak sadar menyerahkan nasibnya kepada orang lain. Karena mereka yang aktif dalam politiklah yang nantinya akan membuat keputusan dan mengatur kehidupan dari warga negara yang tidak mau berpolitik secara detail. Padahal keputusan-keputusan yang menyangkut harkat hidup orang banyak termasuk permasalahan-permasalahan perempuan dilakukan dalam lembaga eksekutif dan legislatif yang karier tersebut diraih melalui proses-proses politik. 54 Dalam menanggulangi berbagai tindakan diskriminasi terhadap perempuan, masyarakat internasional seperti yang terwakili dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di semua negara. Tekad ini antara lain dapat diketahui melalui Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1948. Dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM Tahun 1948 dengan jelas dinyatakan bahwa hak dasar manusia antara laki-laki dan perempuan adalah sama. 55 “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan”. Pernyataan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 1 Deklarasi tersebut, yang berbunyi: 56 54 Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press, 2007, hal 40. 55 Suharizal and Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Sumatera Barat . 56 Anshari Thayib, Arief Affandie, Hermawan Malik, Bambang Parianom, Pusat Kajian Strategis Dan Kebijakan PKSK, Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama, Surabaya, 1997, hal. 238. Sementara di dalam Pasal 2 Deklarasi tersebut, menyebutkan: Universitas Sumatera Utara “Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam pernyataan ini, tanpa kekecualian macam apapun, seperti asal usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya, kebangsaan atau asal usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya”. 57

1. KONSEPSI POLITIK

Konvensi Internasional yang memberi perlindungan terhadap hak-hak perempuan antara lain adalah Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik International Covenan on Civil and Political Rights ICCPR, Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights ICESCR, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment , Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Convention for the Elimination of Discrimination Againts Women CEDAW, dan lain-lainnya. Konvensi-konvensi tersebut di atas merupakan positivikasi terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan yang sudah mendapat pengakuan dari masyarakat internasional dan sekaligus menunjukkan keseriusan masyarakat internasional dalam upaya mencegah, menanggulangi dan mengakhiri segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam rangka mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia seutuhnya. Politik merupakan salah satu kata yang paling banyak di bicarakan di tengah-tengah masyarakat. Biasanya mereka mengartikan politik sebatas halhal yang menjadi urusan partai partai politik, masalah-masalah yang dihadapi oleh tokoh politik, segala hal yang bertalian 57 Ibid, hlm. 239. Universitas Sumatera Utara dengan pemilihan dan pemberia suara, dan seterusnya. Secara realita menunjukkan bahwa semua itu adalah aktivitas politik yang termasuk dalam kandungan makna politik. Politik menurut Aristoteles 58 adalah segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat. Ia meliputi semua urusan yang ada dalam masyarakat; sudut pandang ini meletakkan politik sebagai bagian dari moral atau akhlak Dalam terminologi Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah politik berasal dari bahasa as saus yang berarti ar riasah kepengurusan. Jika dikatakan saasa al amra berarti qaama bihi menangani urusan. Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa keuntungan bagi sekumpulan orang. 59 Sebagian masyarakat Barat memahami politik sebagai suatu proses yang berjalan terkait dengan penyelenggaraan negara atau sistem pemerintahan. Politik didefinisikan sebagai seni mengatur negara, hubungan antar negara, juga hak-hak warga negara dalam mengatur urusan kenegaraan.Ada juga yang mengaitkan politik sebagai aktivitas kelompok dalam masyarakat, misalnya partai politik. 60 Menurut Iswara politik adalah “perjuangan untuk memperoleh kekuasaan” atau teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan” atau “masalah-masalah pelaksanaan dan pengawasan kekuasaan,” atau “pembentukan dan penggunaan kekuasaan.” 61 58 Cahyadi Takariawan, Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama, 2002, hal 48. 59 Ibid, hal 49. 60 Ibid, hal 47. 61 F. Isjwara, SH,LLM, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1982, hal 42. Dalam hal ini hakekat dari politik adalah kekuasaan dan dengan begitu proses politik merupakan serentetan peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasari atas kekuasaan. Universitas Sumatera Utara Banna menyebutkan politik adalah hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat. Sisi internal adalah mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan. 62 Sedangkan sisi eksternal dalam wacana Banna adalah memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusanurusannya. Karena persepsi semacam inilah Banna dengan tegas mengatakan bahwa seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi politikus, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa. Perbedaan-perbedaan defenisi di atas oleh Budiardjo dikatakan sebagai akibat pandangan sarjana dalam meneropong politik dari satu aspek atau unsur dari politik saja. Menurutnya konsep-konsep pokok dari politik seperti yang di kemukakan oleh para ahli di atas sebenarnya terdiri dari konsep negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan, dan pembagian atau alokasi. 63

2. HAK POLITIK PEREMPUAN

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Mulai dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. 62 Hassan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia, 2002, hal 127. 63 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal 7. Universitas Sumatera Utara Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah yang ditetapkan dan diakui oleh undang- undang berdasarkan keanggotaan sebagai warga negara. Biasanya ada korelasi antara hak hukum dan politik dengan masalah kewarganegaraan. Artinya hak politik itu hanya dimiliki oleh orang yang berada di wilayah hukum negara tertentu dan tidak berlaku untuk orang asing. Hak-hak politik selalu menyiratkan partisipasi individu dalam membangun opini publik, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di DPR atau pencalonan diri mereka menjadi anggota perwakilan tersebut. Cakupan dari hak-hak politik itu adalah pengungkapan pendapat dalam memilih, mencalonkan diri sebagai anggota DPR, hak untuk diangkat sebagai pemimpin maupun dipilih sebagai presiden dan hal-hal lain yang berkorelasi dengan dimensi hukum dan politik. Hak-hak politik dan hukum perempuan selama ini masih semu, artinya terus-menerus berada di bawah kekuasaan laki-laki dalam masyarakat Indonesia yang menganut faham patriarkhat. Kondisi ini tercipta karena kebanyakan masyarakat memandang perempuan lebih hina dan karenanya harus tunduk kepada laki-laki. Pandangan seperti itu sudah menjadi hukum alam yang sulit untuk diformat ulang. Perbincangan mengenai hak-hak politik dan hukum perempuan dalam tradisi Islam melahirkan dua aliran besar: pertama, aliran yang secara absolut mengingkari hak-hak hukum dan politik bagi perempuan. Mereka memahami hadis tidak akan berjaya satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan lebih kepada tekstualnya, sehingga hukum yang muncul adalah sekedar hukum yang tertulis law in book. Kedua, aliran yang berpendapat bahwa Islam mengakui adanya hak-hak hukum dan politik bagi perempuan. Mereka memahami dan menafsirkan hadis tersebut lebih kepada kontekstual dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Kelompok ini menegaskan bahwa Islam menetapkan Universitas Sumatera Utara dan mengakui hak-hak hukum dan politik perempuan, termasuk hak menjadi pemimpin atau presiden. 64 Kebijakan-kebijakan politik harus pula dilihat dari perspektif gender. Kalau di dalam praktiknya partai politik menjadi hambatan budaya yang luar biasa terhadap peran forml politik perempuan, maka perlu adanya kuota bagi perempuan di setiap partai politik. Ada anggapan bahwa cukup hanya ada satu partai perempuan yang dapat mewakili aspirasi perempuan Indonesia. Hal ini sangat tidak arif dan salah besar. Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan - pria. Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisir dan di mobilisasi atas nama demokrasi. 65 1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa suatu diskriminasi. Penegasan hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan Convention On the Political Rights. Ketentuan dalam konvensi PBB tentang hak-hak politik peremppuan menjelaskan sebagai berikut: 2. Perempuan berhak untukdipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi. 64 Muhammad Fadhly Ase, S.H.I., ISLAM, HUKUM DAN POLITIK: Analisa Hak-Hak Hukum dan Politik Perempuan, dalam http:www.badilag.net diakses pada Rabu, 3 November 2010. 65 Ahmad Wahib, Op. Cit., Universitas Sumatera Utara 3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik,diatur oleh hokum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi. Lebih jauh lagi, CEDAW juga mengatur tentang hak politik perempuan, yaitu yang tertuang dalam pasal 7 dan pasal 8, yang menentukan bahwa: 1. Memilih dan dippilih 2. Berpatisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah da imnplementasinya. 3. Memegang jabatan daam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintah disemua tingkat , 4. Berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non- pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan politik dan publik. 5. Mewakili pemerintah pada tingkat internasional 6. Berpartisipai dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional. 66

3. SEJARAH PERGERAKAN PEREMPUAN DALAM MEMPERJUNGKAN HAK

POLITIK Tanggal 8 Maret tiap tahunnya, komunitas pergerakan perempuan mengenalnya sebagai Hari Perempuan Internasional. Sebuah peringatan atas penegakan hak-hak sipil dan politik perempuan yang pernah diperjuangkan oleh pergerakan perempuan di Amerika dan beberapa negara Eropa sejak tahun-tahun pertama abad XIX. Partai Sosialis Amerika boleh disebut pencetus gerakan ini. Partai ini mengusulkan agar hari terakhir Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik perempuan, khususnya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dari sini kemudian muncul solidaritas global dan aksi yag lebih terorganissasi di kalangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politik. 66 Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 200. Universitas Sumatera Utara Gerakan yang lebih terorganisasi ini kemudian memunculkan Deklarasi Copenhagen pada tahun 1910 yang menyerukan bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional dan perdamaian. Satu tahun setelah Deklarasi Copenhagen, pada 19 Maret 1911 Hari Perempuan Internasional diperingati kali pertama oleh beberapa negara Eropa seperti Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Kala itu lebih dari sejuta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut persamaan hak bagi kaum perempuan, penghapusan diskriminasi, dan persamaan hak-hak sipil lain. Perisiwa yang paling dramatis adalah kedua pergerakan perempuan Rusia turun ke jalan pada minggu terakhir Februari 1917. Sebab, empat hari setelah aksi tersebut digelar, Czar raja turun tahta dan pemerintahan sementara mengakui hak perempuan untuk ikut dalam pemilu. Momentum bersejarah ini jatuh pada 23 Februari di Kalender Julian yang digunakan di Rusia atau 8 Maret menurut Kalender Gregorian atau Masehi. Sejak itu Hari Perempuan Internasional diperingati pada tanggal tersebut. Di Tanah Air Hari Perempuan Internasional tampaknya tidak terlalu populer, kecuali oleh beberapa kelompok aktivis perempuan. Walaupun PBB pernah menyerukan kepada komunitas internasional agar membuat satu hari sebagai peringatan Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia PBB sejak 1978 menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi, tidak ada dalam sistem penanggalan nasional yang memuat peringatan Hari Perempuan Internasional. Publik di Tanah Air lebih mengenal Hari Kartini setiap 21 April atau 22 Desember sebagai Hari Ibu. Sayang, peringatan kedua peristiwa tersebut sama sekali tidak mencerminkan semangat perjuangan kaum perempuan. Peringatan Hari Kartini, misalnya, justru mendistorsi substansi perjuangan Kartini dan menjustifikasi Universitas Sumatera Utara peran kaum perempuan pada wilayah domestik sekaligus mengukuhkan tatanan sosial yang patriarkis. 67

4. PERSPEKTIF PEREMPUAN DALAM POLITIK

Diskursus mengenai perempuan terlibat dalam politik memunculkan permasalahan tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun demikian hadirnya perempuan untuk berpartisipasi dalam bidang politik merupakan salah satu indikasi kemajuan dan kualitas demokrasi sebuah bangsa. Dalam perspektif gender yang di usung oleh kalangan feminis terdapat adagium yang menyatakan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam kedudukan yang sejajar dengan laki- laki di seluruh bidang pembangunan termasuk dalam bidang politik. Dengan dilibatkannya perempuan dalam bidang politik maka dalam setiap pengambilan kebijakan senantiasa menghadirkan sensitifitas gender. Sehingga praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan baik yang bersifat struktural maupun kultural dapat ditiadakan. 68 Kaum feminis menganggap bahwa pembangunan selama ini jauh dari nilai-nilai keadilan, perempuan senantiasa diposisikan secara subordinat sementara laki-laki berada pada posisi dominan. Selanjutnya kalangan feminis mengambil contoh tentang rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal. Mereka menganggap bahwa selama ini kurangnya keterlibatan perempuan dalam lembaga poltik formal yang nota bene akan mengambil keputusan publik sedikit tidaknya telah berdampak pada kebijakan yang tidak sensitif gender. Misalkan saja kebijakan mengenai kesehatan, perkawinan, pendidikan, dan 67 Maya Yudayanti SSos, Op. Cit. 68 Lany Verayanti, Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang: LP2M, 2003, hal 39. Universitas Sumatera Utara kesempatan kerja dalam segala aspeknya. 69 Dikatakan bahwa faktor kesetaraan gender harus selalu diikutkan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI Gender Development Index, yaitu kesetaraan antara pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan, serta GEM Gender Empowerment Measure, yang mengukur kesetaraan dari partisipasi politik Human Development Report, 1995. Konsep kesetaraan gender dalam bidang politik oleh gerakan feminis di Indonesia pada akhirnya mampu diimplementasikan dengan munculnya tindakan affirmatif action yaitu kuota 30 bagi perempuan Indonesia yang terangkum dalam Undang-Undang Pemilu No. 12 Pasal 65 Tahun 2003. Perjuangan kaum feminis ini sebelumnya banyak mendapat respon yang bersikap pro maupun kontra terhadap ide tersebut. Bila menelusuri perjuangan kaum Hal tersebut menjadi relevan ketika politik sendiri dalam perspektif feminis selalu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi. Pemaknaan politik yang demikian kemudian bermuara pada lahirnya ide pemberdayaan peran publik perempuan melalui jalur politik. Kaum perempuan selalu diarahkan untuk mampu menempatkan diri dan berkiprah di elite kekuasaan, lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan aspirasinya sendiri secara independen tanpa pengaruh maupun tekanan pihak apa pun. Maka para kaum feminis, selalu mempermasalahkan kuantitas perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif. Keterwakilan aspirasi perempuan tercermin dengan banyaknya jumlah yang dapat duduk pada badan-badan tinggi negara yang membuat undang-undang. Tahun 1990, UNDP United Nations Develepoment Programme menambahkan satu indikator baru untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara, jika sebelumnya hanya diukur dengan pertumbuhan GDP Growth Domestic Product kini ditambah dengan HDI Human Development Index yang salah satu ukurannya adalah konsep kesetaraan gender gender equality. 69 Any Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas,2005, hal xxxi. Universitas Sumatera Utara feminis di Indonesia, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari sebuah rentetan sejarah dan ideologis yang menyertainya. Menurut Bahsin dan Khan bahwa munculnya feminisme merupakan suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut Gerakan feminisme sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang, yaitu dimulai di Barat sejak abad XVII, namun mengalami pasang surut. Baru pada tahun 1960-an, khususnya di Amerika mulai marak kembali dengan skala pengkajian dan penyebaran lebih intens dan meluas Dewi dalam Muthali’in, 2001:42. Dalam kurun waktu itu dikenal berbagai aliran atau sebutan gerakanfeminisme, seperti Socialist feminis, solf feminis movement, radikal feminis, liberel feminis, dan womens’lib. Menurut Hubies bahwa feminisme memiliki dasar preposisi sebagai berikut : a. Feminisme muncul sebagai reaksi kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan ketidakadilan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktek mysogini atau kekejaman laki-laki terhadap perempuan; b. Ada keyakinan dalam masyarakat yang perlu diretas, dinyatakan bahwa identitas sosial jenis kelamin bersifat kultural, bukan berifat biologis; c. Berkeyakinan bahwa adanya kelompok sosial perempuan merupakan penegas eksistensi kelompok sosial laki-laki, dalam arti bahwa kelemahan atau kelebihan kelompok jenis sosial kelamin tertentu sekaligus pula menampakkan kelemahan dan kelebihan kelompok sosial jenis kelamin lainnya. Maksudnya tidak ada jenis kelamin tertentu yang mutlak dalam kehidupan sosial; d. Adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat dan memahami warisan sistem nilai yang berlaku, yang kemudian digunakan untuk menentang pembedaan dan pembatasan jenis kelamin yang dikonstruksi oleh budaya; Universitas Sumatera Utara e. Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan prikemanusiaan secara lebih hakiki. Preposisi di atas memberikan penjelasan bahwa setiap manusia memiliki peluang dan kesempatan yang sama menjadi yang terbaik, khususnya pada perempuan. Dengan demikian bahwa pandangan para feminisme mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan suatu manifestasi gerakan untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.

5. PENTINGNYA PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK

Data keterwakilan perempuan di parlemen nasional sedunia dari International Parliamentarian Union IPU tertanggal 31 Januari 2006 menunjukkan, Indonesia menduduki tempat ke 89 dari 186 negara - jauh dibawa Afghanistan: 27,3 No.24, Vietnam: 27,3 No.24, Timor Leste: 25,3 No.28, Pakistan: 21,3 No.41, Cina: 20,3 No.48, Singapore: 16 No.66, Filipina: 15,3 No.67, Bangladesh: 14,8 No.70, Korea Selatan: 13,4 No.75, masih dibawa Syrian Arab Republic: 12 No.86. Tercatat negara- negara Asia dibawa Indonesia a.l.: Thailand: 10,8 No.93, Malaysia: 9,1 No.103, Jepang: 9,0 No.104, India: 8,3 No.108 dan ada 11 negara yang tidak ada perempuan dalam parlemen-nya. Realitas politik ini jelas memprihatinkan, mengingat 53 pemilih pada Pemilu 2004 yang lalu adalah perempuan, dibandingkan 47 pemilih laki-laki. Perempuan yang merupakan mayoritas penduduk dan pemilih, berhak juga untuk memperoleh keterwakilan politik yang setara dan seimbang dengan laki-laki, agar dapat menyuarakan dan terlibat dalam menentukan prioritas kepentingan dan mendapat manfaat dari pembangunan. Universitas Sumatera Utara Implikasi dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat pada dikeluarkannya kebijakan publik yang timpang, karena kurang memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn publik yang rendah kualitasnya. Data nasional diatas menunjukkan adanya disparitasketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif, tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan. Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik, yaitu: 1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerassan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain. 2. Partisipasi politik perempuan dharapkan bisa mencegah kondisi yang tida menguntungkan perempuan dala mengatasi permasalahan stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bdang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi diluar dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan. Universitas Sumatera Utara 3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama. 70 C. CEDAW CONVENTION ON ELIMINATION OF ALL FORM OF DISCRIMINATION AGAINST WOMAN DAN HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM KERANGKA CEDAW Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan suatu perangkat komprehensif hak yang menjadi hak setiap orang, termasuk perempuan. Lalu mengapa dibutuhkan suatu perangkat hukum tersendiri bagi perempuan? Cara tambahan untuk melindungi hak asasi perempuan dianggap perlu karena pada kenyataannya sifat “kemanusiaan” mereka ternyata tidak cukup untuk memberi jaminan bagi perempuan atas pelaksanaan haknya. Mukadimah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjelaskan, bahwa walaupun ada perangkat lain, perempuan tetap tidak memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di setiap masyarakat. Konvensi ini ditetapkan oleh Majelis Umum pada 1979 untuk memperkuat ketentuan-ketentuan dari perangkat internasional yang dirancang untuk memerangi berlangsungnya diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini mengidentifikasi berbagai bidang tertentu di mana diskriminasi terhadap perempuan terjadi, misalnya berkenaan dengan hak politik, perkawinan dan keluarga, serta pekerjaan. Pada bidang ini dan bidang-bidang lain, Konvensi merumuskan maksud dan tujuan serta usaha yang harus dilakukan untuk mempermudah terwujudnya masyarakat global. Dalam masyarakat seperti itu diharapkan perempuan dapat sepenuhnya menikmati 70 Harmona Daulay, Op. Cit, hal 36. Universitas Sumatera Utara persamaan dengan laki-laki, sehingga mereka dapat melaksanakan dengan sepenuhnya hak asasi manusia yang dijamin. Untuk memerangi diskriminasi berdasarkan gender, Konvensi meminta Negara- negara Pihak untuk mengakui pentingnya kontribusi ekonomi dan sosial kaum perempuan terhadap keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa diskriminasi akan menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi. Diakui pula adanya kebutuhan terhadap perubahan perilaku, melalui pendidikan bagi perempuan dan laki-laki, untuk menerima persamaan hak dan kewajiban, serta untuk mengatasi prasangka dan praktek berdasarkan peran yang telah menjadi stereotip. Hal penting lain dari Konvensi adalah pengakuan terbuka mengenai tujuan dari persamaan yang sebenarnya, selain persamaan secara hukum, dan juga mengenai kebutuhan akan upaya-upaya khusus, yang bersifat sementara, untuk mencapai tujuan tersebut. I. SEJARAH TERBENTUKNYA CEDAW Suatu upaya mendasar yang dirasa perlu oleh PBB dan para aktivis HAM adalah perumusan dari ukuran-ukuran yang secara internasional disepakati sehingga akan terwujud instrumen-instrumen internasional yang disepakati sehingga akan terwujud pemajuan persamaan antara pria dan wanita. 71 Komisi kedudukan wanita ini diserahi fungsi untuk mempersiapkan rekomendasi- rekomendasi dan laporan-laporan kepada ECOSOC mengenai pemajuan hak-hak wanita Upaya lain yang ditempuh PBB adalah membentuk Komisi Kedudukan Wanita. Komisi ini pada mulanya berstatus sebagai subkomisi saja yang menjadi bagian dari komisi HAM dan harus melapor pada komisi HAM. Pada bulan Juni 1946, Komisi Kedudukan Wanita diberi status sebagai komisi yangt secara langsung berada dibawah Economic and Social Council ECOSOC. 71 The United Nations 1995, Op.cit hal 11., Universitas Sumatera Utara dibidang politik, ekonomi, sipil, sosial dan pendidikan serta membuat rekomendasi tentang masalah-masalah mendesak dibidang hak-hak wanita yang harus segera ditangani. Dalam perjalanannya, Komisi Kedudukan Wanita memberikan usulan supaya dilaksanakan suatu Survei Global mengenai keberadaan dari hak-hak wanita diterima dalam sidang-sidang ECOSOC. Dalam rangka survei tersebut, Komisi Kedudukan Wanita menyarankan kepada ECOSOC untuk merekomendasikan kepada para pemerintah dari Negara-negara anggota PBB supaya setiap tahun mengisi kuisioner berisi pertanyaan tentang kedudukan hukum dari perempuan dan tentang perlakuan terhadap perempuan. Berdasarkan Survei Global tersebut, sekretariat PBB menerima hasil dengan keterangan mendetail tentang perempuan di negara-negara. Pada tanggal 16 Desember 1947, sekretariat PBB menerima kuisioner dari tujuh puluh empat 74 Negara dan hasilnya adalah terdapat dua puluh lima dari Negara tersebut tidak memberi hak-hak politik terhadap warga negara perempuan. Diperoleh juga data bahwa jumlah wanita yang buta huruf lebih besar dari pria. Informasi-informasi yang didapat kemudian digunakan sebagai legitimasi bagi pembuatan perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak yang setara antara pria dan wanita dalam berbagai bidang termasuk hak-hak politik. 72 Kebutuhan untuk menyusun instrumen yang memiliki daya mengikat, yaitu suatu konvensi yang merumuskan hak-hak wanita semakin dirasakan. Maka ECOSOC meminta Komisi Kedudukan Wanita untuk menyusun rancangan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadp Wanita. Setelah melalui proses penyusunan rancangan, penerimaan usulan dari pemerintah dan saran-saran dari LSM, akhirnya pada tanggal 18 Desember 1976, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita atau Convention on Ellimination of all form of Discrimination Against Woman CEDAW atau yang sering 72 The United Nations 1995, Op.cit hal 16,17., Universitas Sumatera Utara disebut dengan Konvensi Wanita diterima dalam sidang Umum dengan 130 negara setuju dan 11 negara abstain. Di Indonesia sendiri konvensi ini diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 dan diundangkan di Jakarta tanggal 24 Juli 1948. II. KONSEKUENSI NEGARA PERATIFIKASI KONVENSI CEDAW Konsekuensi ratifikasi Konvensi Wanita yaitu bahwa Negara-negara peratifikasi menyetujui pernyataan: 1. Mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, 2. Bersepakat untuk menjalankan dengan dengan segala cara yang tepat, tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 2 Konvensi 73 Sedangkan implikasinya adalah bahwa aparat negara, aparat provinsi dan daerah, legislator di pusat maupun daerah, aparat penegak hukum di pusat maupun daerah, dapat dituntut pertanggungjawabannya akuntabilitas jika: 1. Masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. 2. Tidak ditegakkan perlindungan hukum bagi perempuan terhadap praktektindakan diskriminasi. 3. Lembaga-lembaga negara dan pejabat pemerintah itu sendiri melakukan diskriminasi. 74 Yang disebut dalam a dan b Konsekuensi ratifikasi konvensi ialah bahwa Negara Peserta States Party memberikan komitmen, mengikatkan diri untuk menjamin melalui peraturan perundang- undangan, kebijakan, program dan tindakan-khusus-sementara tindakan afirmasi, adalah kelalaian, sedangkan a dan c adalah perbuatan. 73 Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 23. 74 Ibid, hal 23 Universitas Sumatera Utara mewujudkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, serta terhapusnya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. III. ASAS DAN PRINSIP CEDAW Dalam Mukadimah Konvensi 75 1. Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menguatkan lagi keyaakinan atas hak-hak asasi manusia, atasmartabat daan nilai pribadi manusia, dan atas persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. dinyatakan antara lain: 2. Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat didalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin. 3. Memperhatikan bahwa Negara-negara peserta pada perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia berkewajiban menjamin hak yang sama antara pria dan wanita untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. 4. Mengingat, bahwa diskrimiasi terhadap perempuan melanggar asas-asas persamaan hak dan penghargaan terhadap martabat manusia, merupakan hambatan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya Negara-negara mereka, menghambatpertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga serta menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi perempuan dalam pengabdiannya pada negara dan kemanusiaan. 75 Lihat lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Hak Asasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Kelompok Kerja Conventio Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia dan yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal 8-34. Universitas Sumatera Utara 5. Mengingat, sumbangan besar wanita pada kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat, yang selama ini belum sepenuhnya diakui, arti sosial dari kehamilan, dan peranan kedua orang tua dalam keluarga dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak mewajibkan pembbagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan. 6. Menyadari, bahwa diperlukan perubahan pada peranan tradisional laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. 76 Inilah yang kemudian menjadi asas-asas dalam konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan equality and equity antara perempuan dan laki- laki, yaitu persamaan dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta hak yang sama untuk menikmati manfaat di segala bidang kehidupan dan segala kegiatan. Konvensi CEDAW mengakui bahwa: 1. Adanya perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki; 2. Adanya pembedaan perlakuan yang berbasis gender yang mengakibatkan kerugian pada perempuan. Kerugian itu berupa subordinasi kedudukan dalam keluarga dan masyarakat, maupun pembatasan kemampuan dan kesempatan dalam memanfaatkan peluang yang ada. Peluang itu dapat berupa peluang untuk tumbuh kembang secara optimal, secara menyeluruh dan terpadu, peluang untuk berperan dalam pembangunan di semua bidang dan tingkat kegiatan, peluang untuk menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki dari hasil-hasil pembangunan, dan peluang untuk mengembangkan potensinya secara optimal. 76 Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 138. Universitas Sumatera Utara 3. Adanya perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan dan laki-laki, dimana perempuan ada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena mengalami diskriminasi atau mananggung akibat karena perlakuan diskriminatif di masa lalu atau karena lingkungan keluarga dan masyarakat tidak mendukung kemandirian perempuan. Dengan memperhatikan keadaan dan kondisi itu, Konvensi CEDAW menetapkan prinsip- prinsip 77 1. Alat untuk advokasi. dan ketentuan-ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi serta tindakan yang merugikan kedudukan dan peran perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat, di bidang sosial, ekonomi, politik dan bidang-bidang lainnya. Prinsip-prinsip yang dianut oleh Konvensi perlu dipahami untuk dapat menggunakan Konvensi sebagai 2. Sebagai kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan penegakan hak perempuan. 3. Sebagai alau untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempuya dampak dalam jangka pendek atau jangka panjang dan merugikan perempuan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pula kerangka untuk merumuskan strategi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW digunakan pula sebagai alat untuk menguji apakah suatu kebijakan, aturan atau ketentuan mempunyai dampak – jangka pendek atau jangka panjang – yang merugikan perempuan. Prinsip-prinsip Konvensi CEDAW saling berkaitan, saling memperkuat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Prinsip- prinsip itu terjalin secara kosneptual dalam Pasal 1 – 16 Konvensi CEDAW. Konvensi CEDAW didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut: 77 Prinsip, Lat dasar pendirian, tindakan, dsb; sesuatu yang dipegang sebagai anutan yang utama, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, 1994 Universitas Sumatera Utara 1. Prinsip Persamaan keadilan dan kesetaraan substantif, yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan penuikmatan manfaat. 2. Prinsip Non-diskriminasi, 3. Prinsip Kewajiban Negara. Prinsip-prinsip tersebut yang berasaskan kemanusiaan yang adil dan beradab, saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.

A. Prinsip Persamaan Substansif

Secara ringkas prinsip Persamaan keadilan dan kesetaraan Substantif yang dianut Konvensi CEDAW adalah: 1 Langkah-tindak untuk merealisasi hak perempuan yang ditujukan untuk mengatasi adanya pembedaan, disparitaskesenjangan atau keadaan yang merugikan perermpuan, 2 Langkah-tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam kesempatan, kesetaraan dalam akses dan persamaan hak dalam menikmati manfaat dari kesempatan dan peluang yang ada, 3 Konvensi CEDAW mewajibkan negara untuk mendasarkan kebijakan dan langkah- tindak pada prinsip-prinsip: a kesetaraan dalam kesempatan bagi perempuan dan laki-laki, b kesetaraan dalam akses bagi perempuan dan laki-laki, c persamaan hak dalam menikmati manfaat yang sama bagi perempuan dan laki-laki dari hasil menggunakan kesempatan dan peluang yang ada, 4 Persamaan hak hukum bagi laki-laki dan perempuan, dalam i kewarganegaraan, ii kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga, iii kewarisan, iv dalam perwalian anak guardianship. Universitas Sumatera Utara 5 Persamaan kedudukan dalam hukum dan persamaan perlakuan di hadapan hukum. 78

B. Prinsip Non-Diskriminasi

Konvensi CEDAW menegaskan kembali bahwa semua manusia dilahirkan bebas, memiliki bakat dan martabat serta hak yang sama. Oleh karena itu Negara wajib menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik, dan di bidang lainnya. Jaminan ini hendaknya tertuang secara yuridis dalam peraturan perundang- undangan, diberlakukan secara nyata, dan yang paling penting hak serta persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itu benar-benar dinikmati perempuan secara nyata. Jadi bukan hanya de-jure atau formal, tetapi juga akses dan manfaat secara de-facto, bukan hanya persamaan formal, tetapi persamaan substantif, riil, nyata. Para pakar yang menyusun Konvensi CEDAW berpendapat bahwa jika berpangkal tolak dari “persamaan” menurut DUHAM [Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan asas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin ] dan juga Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 [Segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ] akan sulit mengetahui atau mengidentifikasi apakah ada diskriminasi terhadap perempuan. Cara yang digunakan untuk mengetahui apakah ada diskriminasi terhadap perempuan, dilakukan dengan mempelajari pengalaman yang dialami perempuan secara nyata. Untuk mengidentifikasi secara yuridis apakah ada diskriminasi terhadap perempuan, perlu ketentuan hukum yang memberikan definisi atau rumusan unsur-unsur tentang diskriminasi terhadap perempuan sebagai tolok ukur atau 78 Achie Sudiarti Luhulima, Op. cit, hal 136. Universitas Sumatera Utara pegangan. Hal ini telah dilakukan oleh Konvensi CEDAW yang mengawali dalam Pasal 1 Konvensi dengan definisi tentang Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang dapat digunakan sebagai definisi kerja. Definisi mengenai diskriminasi 79 79 Definisi “diskriminasi” dalam Pasal 1 Butir 3, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia: “Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual ataupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya ] terhadap perempuan dimuat dalam pasal 1 Konvensi CEDAW: “Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang memiliki dampak atau tujuan menghalangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki” Pasal 1 Konvensi CEDAW merupakan definisi kerja arti diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 dapat digunakan untuk melakukan identifikasi kelemahan peraturan perundang-undangan atau kebijakan formal atau netral. Perhatikan kata-kata kunci …pengaruh …atau …tujuan … Mungkin suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan tidak dimaksudkan untuk meniadakan penikmatan hak perempuan, tetapi apabila mempunyai pengaruh atau dampak merugikan perempuan – untuk jangka pendek atau jangka panjang – maka aturan atau kebijakan itu merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Yang tidak dianggap sebagai diskriminasi ialah: Universitas Sumatera Utara 1 Tindakan-khusus-sementara Pasal 4 ayat 1 Konvensi CEDAW, yaitu langkah- tindak yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki. Tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan kesetaraan dan perlakuan telah tercapai. Dikenal sebagai tindakan afirmasi affirmative action, tetapi sekarang dianjurkan oleh Komite CEDAW dalam Rekomendasi Umum 25 tahun 2004 tentang Tindakan-Khusus- Sementara untuk menggunakan istilah tindakan-khusus-sementara temporary special measures 2 Perlindungan kehamilan Pasal 4 ayat 2 yang merupakan tindakan khusus bagi perempuan, dan kehamilan sebagai fungsi sosial Pasal 5 ayat 2. Sebaliknya, suatu tindakan proaktif seperti melarang perempuan melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu, dapat dianggap sebagai diskriminasi, karena dalam jangka panjang dapat bertentangan dengan kepentingan perempuan. Pada tahun 1992 disadari bahwa definisi tersebut dalam Pasal 1 Konvensi CEDAW perlu dilengkapi dengan “kekerasan terhadap perempuan”. Hal ini dilengkapi dengan: a. Terbitnya Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 19 tahun 1992 tentang Kekerasanterhadap Perempuan, yang menentukan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatubentuk diskriminasi terhadap perempuan seperti ditentukan dalam Pasal 1 Konvensi. b. Pada tahun 1993 Konperensi Dunia tentang HAM di Wina menghasilkan Deklarasi dan Rencana Aksi Wina, yang menyatakan bahwa: a Semua HAM adalah universal, tidak dapat dipisah-pisahkan, saling tergantung dan saling terkait, b Hak asasi manusia perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan, c Hak atas pembangunan adalah HAM. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1993 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 1 dan unsur-unsur kekerasan terhadap perempuan Pasal 2 80

C. Prinsip Kewajiban Negara