Kayu Laminasi Asimetris sebagai Komponen Dinding Sekat
ABSTRACT
Asymmetric Wood Laminated as a Component of Insulation Wall.
by
1)
Fransisca Diah Asih P, 2) Effendi Tri Bahtiar,
3)
Akhiruddin Maddu
INTRODUCTION: Many efforts are developed recently to utilize low-quality wood. One of them is making wood laminated. There are two kinds of wood laminated according to the pattern of its composition, namely : symmetric wood laminated and asymmetric wood laminated. Symmetric wood laminated has been widely produced while asymmetric wood laminated rarely. Face and back layer of asymmetric wood laminated were built from different size and/or material, so the neutral line is not in the center of the core.
MATERIAL AND METHOD: Physical properties (moisture content, density and specific gravity), mechanical properties (modulus of elasticity and modulus of rupture), sound absorption testing which conducted for both laminate and its raw materials, and theoretical analysis of the mechanical properties of wood laminated in terms of its raw materials used to analyze the ability of wood laminated. The analysis of the tests performed is used as a reference to produce wood laminated targeted.
RESULT: The highest moisture content found on wood laminated with balsa core 4 cm (14.0 %) and the lowest found on wood laminated with MDF core 4 cm (10.6 %). The highest density and specific gravity found on wood laminated with MDF core 4 cm (0.69 g/cm3 and 0.62 respectively), while the lowest are found on wood laminated with styrofoam core 4 cm (0.24 g/cm3 and 0.21 respectively). Analytical testing results the theoretical value of MOE (core have a role and core does not have a role) which then compared with the empirical value of MOE (obtained from test results in laboratory). Cores in this research had a role to support the weight which given to it, but not 100 %. At the sound absorption tests, styrofoam and wood laminated with styrofoam core have the best absorption than any other raw materials and many wood laminated. The resulting wood laminated can be used as an alternative of insulation wall component in music studio, because it is able to absorb in the frequency range 500 Hz-3150 Hz.
KEYWORDS: Asymmetric wood laminated, physical properties, mechanical properties, sound absorption.
1) Student of Forest Product Department, Faculty of Forestry, IPB. 2) Lecturer of Forest Product Department, Faculty of Forestry, IPB.
3) Lecturer of Physics Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, IPB. DHH
(2)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak industri menggunakan kayu-kayu berdiameter kecil, kayu rakyat, kayu yang kurang diminati, kurang dikenal (lesser known species) dan kurang dimanfaatkan (lesser used species) oleh masyarakat, serta dari limbah penggergajian dan pemanenan (potongan kayu dan papan berukuran kecil) yang pada umumnya berkualitas rendah. Salah satu upaya untuk memanfaatkan kayu berkualitas rendah adalah dengan membuat kayu laminasi sebagai bahan baku bermutu tinggi untuk berbagai keperluan. Kayu laminasi bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan kayu struktural berdimensi besar. Kayu-kayu berukuran kecil dibentuk menjadi bentuk tertentu (lurus atau melengkung) kemudian disatukan dengan perekat dan dikempa panas maupun dingin sesuai dengan tujuan penggunaannya. Dengan modifikasi bentuk dan dimensi, kayu laminasi akan memiliki fungsi peruntukan yang lebih luas.
Berdasarkan pengaturan susunan lamina-laminanya, kayu laminasi dikelompokkan menjadi dua yaitu kayu laminasi simetris dan kayu laminasi asimetris. Kayu laminasi simetris telah banyak diproduksi, namun produksi kayu laminasi asimetris masih sedikit. Kayu laminasi simetris yaitu kayu laminasi yang bagian face dan back-nya dibuat dari material yang sama dengan ukuran tebal yang sama pula sedemikian sehingga garis netral berada tepat di tengah-tengah
core. Sedangkan kayu laminasi disebut asimetris apabila garis netralnya tidak berada di tengah-tengah core.
Komponen dinding sekat meliputi dinding sekat itu sendiri, pintu dan kusen. Dinding sekat pada umumnya memerlukan suatu konstruksi yang mampu meredam suara dan cukup mampu menahan beban sedang. Kayu laminasi asimetris dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan khusus seperti itu dengan menambahkan bahan yang memiliki sifat peredam, refleksi dan refraksi yang baik seperti styrofoam sebagai lapisan pembentuk kayu laminasinya. Kayu laminasi asimetris dapat disusun dengan mengkombinasikan bahan-bahan yang berbeda sifatnya sehingga dapat dihasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan. Kayu
(3)
akasia berfungsi sebagai komponen yang menahan beban karena keunggulannya dalam kekuatan dan kekakuannya. Sebagai peredam suara dan panas dipilih
styrofoam, MDF, dan kayu balsa, sedangkan plywood dipilih sebagai pelapis
bagian muka. Akhirnya diharapkan kayu laminasi dapat dimanfaatkan untuk komponen dinding sekat yang efektif dan efisien.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan kayu laminasi asimetris dalam hal uji mekanis, fisis dan absorbsi suaranya.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui sifat mekanis, fisis, dan absorbsi suara dari kayu laminasi asimetris sebagai pemakaian komponen dinding sekat, sehingga dapat dijadikan referensi dalam memproduksi kayu laminasi asimetris yang diinginkan.
(4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu Laminasi
Bodig dan Jayne (1982) menyatakan bahwa kayu laminasi adalah salah satu komponen kayu komposit yang berfungsi untuk mengontrol atau mengatur sifat produk melalui desain dan telah dipraktekkan selama beberapa tahun.
Layered Composite System, khususnya kayu laminasi dibuat untuk meningkatkan
penggunaannya di dalam struktur perencanaan. Serrano (2003) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan kayu laminasi adalah memberikan pilihan bentuk geometri lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaian kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan, meningkatkan akurasi dimensi, dan stabilitas bentuk. Disamping kelebihan tersebut, kayu laminasi juga memiliki beberapa kekurangan. Apabila kayu solid tersedia dalam ukuran yang diperlukan, maka proses tambahan dalam pembuatan kayu laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian. Pembuatan kayu laminasi memerlukan peralatan khusus, perekat, fasilitas pabrik dan keahlian dalam pembuatannya, dibandingkan bila memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalam proses pembuatan memerlukan perhatian untuk menjamin produk akhir yang berkualitas tinggi (Moody et al. 1999).
Moody dan Hernandez (1997) menyatakan bahwa penggunaan utama kayu laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, sistem atap dan lantai rumah. Penggunaan lainnya adalah sebagai bangunan-bangunan komersial dan rumah (sebagai balok persegi, balok lengkung, kuda-kuda, balok struktur, bangunan kayu bertingkat, kubah dan tiang), jembatan (untuk bagian-bagian dari struktur bagian-bagian atas seperti balok penopang dan decking), serta penggunaan struktur lain (seperti tower transmisi listrik, tonggak listrik, dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional). Komponen penyusun kayu laminasi adalah face, core dan back. Face adalah lapisan teratas pada kayu laminasi, core adalah lapisan tengah pada kayu laminasi dan back adalah lapisan terakhir atau terbawah dari kayu laminasi.
(5)
Kayu laminasi simetris terdiri dari bahan dan ketebalan yang sama pada bagian face dan core, sehingga garis atau sumbu netral tepat berada di tengah (bagian core) dari kayu laminasi. Kayu laminasi asimetris terdiri dari bahan yang berbeda pada ketiga bagian penyusunnya. Perbedaan jenis dan ketebalan bahan menyebabkan garis atau sumbu netral tidak tepat berada di tengah kayu laminasi (dapat terjadi pada bagian core atau back, tergantung dari tebal masing-masing bahan dan centroid pada kondisi transformed cross section (TCS). Penggunaan
transformed cross section akan mengkonversi berbagai nilai E (modulus
elastisitas), dengan satu nilai E saja. Dalam pengukuran pada kondisi TCS, salah satu bagian dari lamina dijadikan sebagai referensi dalam melakukan konversi (pada umumnya bagian atas dari lamina). Adanya TCS menyebabkan pengurangan lebar pada bagian lamina yang memiliki nilai E lebih kecil dari E
referensi, dan penambahan lebar pada bagian lamina yang memiliki nilai E lebih besar dari E referensi (Bodig dan Jayne 1982).
2.2 Dinding Sekat
Dinding berfungsi untuk memberi perlindungan terhadap cuaca maupun sebagai pembagi bangunan pada ruang atau bilik. Bahan yang digunakan untuk membuat dinding biasanya adalah bata, kayu solid, maupun kayu komposit. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membentuk dinding yaitu kestabilan, kekuatan, ketahanan terhadap cuaca, ketahanan terhadap bahaya kebakaran, serta kemampuannya dalam pengaliran dan penyerapan bunyi. Dinding diperlukan untuk menyerap bunyi, oleh karena itu pemilihan bahan sangat berperan penting. Bahan penyerap bunyi dapat diaplikasikan pada dinding untuk menyerap gelombang bunyi. Kayu banyak digunakan untuk membuat rangka dinding, pelapisan dinding dan dinding sekat (Anonim 2008).
2.3 Sifat Mekanis
Brown et al. (1952) menyatakan bahwa sifat mekanis kayu merupakan sifat ketahanan kayu terhadap gaya-gaya luar yang diberikan serta reaksi yang ditimbulkan oleh kayu terhadap adanya gaya-gaya tersebut. Sifat mekanis berhubungan erat dengan tegangan dan perubahan bentuk atau deformasi yang
(6)
5
terjadi akibat beban dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi sifat mekanis. Sifat mekanis yang diamati dalam penelitian ini adalah modulus elastisitas (MOE) dan kekuatan lentur/Modulus of Rupture (MOR) (Haygreen et al. 2003)
2.3.1 Modulus Elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE)
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa elastisitas adalah sifat benda yang mampu kembali ke kondisi semula dalam bentuk dan ukurannya ketika beban yang mengenainya dihilangkan. Nilai MOE hanya valid jika yang diambil adalah nilai batas proporsionalnya saja. MOE tinggi menunjukkan kekakuan bahan yang tinggi untuk dapat menahan tekanan besar yang dikenakan padanya tanpa deformasi yang besar. Nilai modulus elastisitas kayu bervariasi antara 25000-170000 kg/cm2. Nilai modulus elastisitas berbeda pada ketiga arah pertumbuhannya. Pada arah transversal, modulus elastisitasnya hanya berkisar 3000-6000 kg/cm2, sedangkan perbedaan untuk arah radial dan tangensial tidak nyata.
2.3.2 Kekuatan Lentur (Modulus of Rupture, MOR)
Kekuatan lentur merupakan ukuran kemampuan benda untuk menahan beban lentur maksimum sampai benda tersebut mengalami kerusakan yang permanen (Brown et al. 1952). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa bila beban terjadi di atas batas proporsi, maka deformasinya akan permanen. Nilai dari MOR bervariasi. Besarnya hasil pengujian kekuatan lentur ini dinyatakan dalam
modulus of rupture (MOR) atau modulus patah. Nilai MOR bervariasi antara 550-1600 kg/cm2 yang menunjukkan bahwa kekuatan lentur mirip dengan kekuatan tegangan aksial. Oleh sebab itu MOR bisa digunakan sebagai indeks kekuatan tegangan aksial, ketika nilai dari besaran akhir tidak tersedia.
2.3.3 Pengujian Lentur
Ada beberapa metode pengujian lentur yang dapat dilakukan yaitu metode
one point loading dan two point loading.
2.3.3.1 Metode One Point Loading
Momen lentur dan gaya geser pada balok dengan beban tunggal di tengah bentang (metode one point loading) dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan diagram untuk momen lentur dan gaya gesernya dapat dilihat pada Gambar 2.
(7)
Gambar 1 Skema pengujian lentur dengan metode one point loading.
Pada metode one point loading , seluruh bagian mengalami momen lentur dan gaya geser secara bersama-sama seperti terlihat pada Gambar 2, sehingga defleksi yang terjadi merupakan akibat resultan keduanya (Mardikanto et al.
2011). Nilai Modulus Elastisitas sebenarnya (true MOE) tidak dapat diperoleh dengan metode ini, namun metode ini paling banyak digunakan untuk menguji spesimen berukuran kecil (contoh uji bebas cacat).
Gambar 2 Diagram momen lentur (Mx) dan gaya geser (Vx) sepanjang bentang
balok dengan beban tunggal di tengah batang.
2.3.3.2 Metode Two Point Loading
Momen lentur dan gaya geser pada balok dengan beban ganda (two point loading) dapat dilihat pada Gambar 3.
P
½ L ½ L
Ra L Rb
P
Momen lentur Mx
Gaya geser Vx
L
½ L ½ L
(8)
7
Gambar 3 Skema pengujian lentur dengan metode two point loading.
Diagram momen lentur dan gaya geser pada metode two point loading
dapat dilihat pada Gambar 4. Pada metode ini, tidak semua bagian balok lentur mengalami gaya geser. Bagian di antara dua beban tidak mengalami gaya geser, sehingga defleksi pada bagian itu murni disebabkan oleh momen lentur. Oleh karena itu, modulus elastisitas yang sebenarnya dapat ditentukan dengan mengukur defleksi di antara dua beban.
Gambar 4 Diagram momen lentur (Mx) dan gaya geser (Vx) pada balok dengan
beban ganda (two points load). 2.4 Sifat Fisis
2.4.1 Kadar Air
Kadar air (KA) adalah banyaknya air yang terkandung dalam kayu, yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952). Kadar air mempengaruhi kekuatan kayu. Jika terjadi penurunan kadar air (kayu
2P
L
R R
a Lb a
2P
Mx Momen lentur
Gaya geser Vx
L
Lb a
(9)
tersebut mengering) maka kekuatan kayu akan meningkat. Pengaruh penurunan kadar air terhadap sifat kekuatan kayu tampak jelas apabila kadar air berada di bawah titik jenuh serat. Air dalam kayu terdiri atas air bebas dan air terikat dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Dalam satu jenis pohon kadar air segarnya bervariasi tergantung pada tempat tumbuh dan umur pohon (Haygreen et al. 2003).
2.4.2 Kerapatan
Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat per satuan volume, biasanya dinyatakan dalam kg/m3, g/cm3, dan lb/ft3. Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi kerapatan kayu dalam spesiesnya antara lain : lokasi dalam satu pohon, lokasi dalam satu spesies, kondisi lingkungan setempat (tanah, air, kemiringan), serta faktor genetik (Haygreen et al. 2003). Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kerapatan mempengaruhi sifat-sifat higroskopisitas, penyusutan dan pengembangan, sifat mekanis, panas, sifat akustik, kelistrikan, dan lainnya yang berhubungan dengan pengerjaan kayu selanjutnya (pengolahan dan pengeringan).
2.4.3 Berat Jenis
Menurut Haygreen et al. (2003), berat jenis kayu adalah suatu sifat fisika kayu yang paling penting. Berat jenis kayu merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air. Kebanyakan sifat mekanis kayu sangat berhubungan dengan berat jenis dan kerapatan. Kerapatan dan berat jenis digunakan untuk menerangkan massa atau berat per satuan volume. Ciri-ciri ini umumnya digunakan dalam hubungannya dengan semua tipe bahan. Kerapatan didefinisikan sebagai massa atau berat per satuan volume. Sedangkan berat jenis adalah perbandingan kerapatan bahan dengan kerapatan air (1 g/cm3). Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi berat jenis kayu diantaranya adalah kondisi lingkungan setempat, iklim, letak geografi, gangguan selama pertumbuhan, serta jenis spesies. Faktor lingkungan setempat yang dapat mempengaruhi berat jenis diantaranya adalah kelembaban, cahaya matahari, nutrisi, angin, dan suhu.
(10)
9
Tobing (1995) yang diacu dalam Sugiarti (2010) menyatakan bahwa berat jenis selain digunakan sebagai penduga kekuatan kayu, juga digunakan sebagai indikator untuk menduga mudah tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang memiliki BJ tinggi pada umumnya sukar dikeringkan dan mengalami cacat yang lebih besar dibandingkan kayu yang memiliki berat jenis (BJ) rendah.
2.5 Sound Absorption
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa kemampuan kayu untuk menyerap suara biasa diukur dengan Coefficient of sound absorption. Besarnya energi suara yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan berpori (porous material) akan menyerap energi suara yang lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan lainnya. Adanya pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk ke dalam material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan menjadi bentuk energi lainnya, yang pada umumnya adalah energi kalor.
Energi akustik yang mencapai kayu akan memasuki massa kayu, kemudian sebagian akan diserap, dipantulkan dan dibiaskan. Keuntungan kayu dibanding dengan bahan-bahan yang lain yaitu strukturnya yang menyerap namun mempunyai koefisien rendah yaitu kurang dari 10 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi sound absorption adalah kerapatan kayu, modulus elastisitas,
kadar air, temperatur, intensitas dan frekuensi dari suara, serta kondisi pada permukaan kayu. Kayu dengan kerapatan dan modulus elastisitas yang rendah, serta kadar air dan temperatur yang tinggi lebih banyak menyerap suara (Tsoumis 1991).
Material penyerap secara alami pada umumnya bersifat restitif, berserat (fibrous), berpori (porous), atau dalam kasus khusus bersifat resonator aktif. Ketika gelombang bunyi menumbuk material penyerap, maka energi bunyi sebagian akan diserap dan diubah menjadi panas. Besarnya penyerapan bunyi pada material penyerap dinyatakan dengan koefisien serapan (α). Koefisien serapan dinyatakan dalam bilangan antara 0 dan 1. Nilai koefisien serapan 0 menandakan tidak ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1 menandakan serapan yang sempurna (Mediastika 2009).
(11)
Rusmawati (2007) menyatakan bahwa α adalah salah satu parameter penting dalam penentuan sejauh mana suatu bahan dapat menyerap atau mereduksi bunyi. Koefisien absorbsi suara antara satu bahan dengan bahan yang lain berbeda. Salah satu metode untuk mengukur penyerapan suara adalah metode
standing wave. Metode tersebut banyak digunakan karena metode tersebut
sederhana dan menunjukkan hasil yang akurat. Metode ini memerlukan pengoperasian suatu frekuensi suara (dari mikrofon yang bergerak) di dalam tabung impedansi untuk memperkirakan tekanan akustik dan mengetahui dimana terjadinya tekanan akustik minimum dan maksimum (Kang et al. 2006).
2.6 Perekat Poly Vinil Acetat (PVAc)
PVAc merupakan perekat sintetis yang bersifat thermoplastic (mengeras dalam keadaan dingin, melunak bila dipanaskan, dan kembali mengeras bila didinginkan). Masa tunggu perekat PVAc yaitu 10-15 menit. Perekat ini kurang tahan terhadap cuaca dan kelembaban tertentu, serta digunakan untuk pemakaian
interior. Perekat PVAc tidak memerlukan kempa panas dan dalam
penggunaannya secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik dengan biaya yang rendah (Pizzi 1994).
Menurut Kollman et al. (1975), perekat PVAc memiliki kelebihan dan kelemahan sebagai berikut :
Kelebihan :
a. Merupakan perekat yang dapat dimodifikasi untuk mendapatkan bermacam kecepatan pengeringan lem yang sama di setiap penggunaan. b. Mudah dalam penggunaan, bersih, memiliki waktu penyimpanan tidak
terbatas, dan tahan terhadap mikroorganisme.
c. Dapat menghasilkan kekuatan pengeleman pada kayu dan hasil produk kayu lainnya.
Kelemahan :
a. Sensitif terhadap air sehingga kurang baik untuk pemakaian eksterior.
b. Mengakibatkan peregangan pada sambungan bila terkena temperatur tinggi.
(12)
11
2.7 Gambaran Umum Bahan Baku Pembentuk Kayu Laminasi 2.7.1 Plywood atau Kayu Lapis
Kayu lapis adalah suatu produk yang diperoleh dengan cara menyusun bersilangan tegak lurus lembaran venir yang diikat dengan perekat, minimal tiga lapis (SNI 1992). Pemasangan venir dengan arah saling tegak lurus dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan mekanis yang lebih tinggi, penyusutan lebih kecil sehingga menjadikan produk tersebut memiliki stabilitas dimensi yang tinggi. SNI (1992) menyatakan bahwa kayu lapis Indonesia terdiri atas kayu lapis penggunaan umum, kayu lapis struktural, dan kayu lapis bermuka film. Kayu lapis penggunaan umum adalah kayu lapis yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan tanpa diproses lebih lanjut. Kayu lapis tersebut dikelompokkan ke dalam kelas mutu (A, B, C, dan D), menurut penampilan, kandungan cacat dari venir muka atau belakang (venir luar), dan menurut ukurannya. Toleransi ukuran, kesikuan, dan kadar air merupakan prasyarat dalam pengujian kayu lapis. Tipe kayu lapis struktural dapat dibedakan berdasarkan kekuatan ikatan perekat, yaitu :
1. Tipe Eksterior I adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif lama.
2. Tipe Eksterior II adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya tahan terhadap cuaca dalam waktu relatif singkat.
3. Tipe Interior I adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya tahan terhadap kelembaban udara tinggi.
4. Tipe Interior II adalah kayu lapis yang dalam penggunaannya hanya tahan terhadap kelembaban udara rendah.
2.7.2 Styrofoam
Styrofoam dibuat dari monomer stirena melalui polimerisasi suspense pada tekanan dan suhu tertentu. Pada umumnya styrofoam digunakan sebagai insulator dalam bahan konstruksi bangunan. Proses selanjutnya yaitu pemanasan untuk melunakkan resin dan menguapkan sisa blowing agent. Styrofoam merupakan bahan plastik yang memiliki sifat khusus dengan struktur yang tersusun dari butiran berkerapatan rendah yang memiliki bobot ringan serta terdapat ruang antar butiran yang berisi udara (Badan POM RI 2008). Menurut Bpanel (2009),
(13)
styrofoam memiliki sifat insulasi panas dan insulasi akustik yang baik serta mudah dalam pengaplikasiannya.
Penelitian Martiandi (2010) menyatakan bahwa penambahan styrofoam
pada papan partikel tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan nilai absorbsi suara bila dibandingkan dengan papan partikel tanpa
styrofoam. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut mengingat bahwa karakteristik
styrofoam yang porous memiliki potensi untuk meredam suara. Penelitian
Martiandi (2010) menghasilkan papan komposit campuran kayu afrika dan
styrofoam yang menyerap suara dengan baik pada frekuensi 1250 Hz-1600 Hz,
dimana nilai α mencapai 0,80 dan nilainya terus meningkat sesuai dengan pertambahan frekuensi. Melihat kecenderungan peningkatan nilai koefisien absorbsi pada penelitian Martiandi, perlu dilakukan uji absorbsi pada frekuensi yang lebih tinggi lagi untuk mengetahui nilai koefisien absorbsinya.
2.7.3 Kayu Balsa (Ochroma sp.)
Kayu Balsa merupakan kayu berdiameter besar yang termasuk dalam kategori kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan tingginya bisa mencapai 20-30 m. Pohon balsa merupakan tumbuhan asli dari Brasil, Bolivia Utara sampai Meksiko Selatan. Kayunya evergreen dan daunnya rontok bila musim panas yang terlalu lama. Kayu Balsa merupakan hardwood berdasarkan bentuk daunnya, walaupun kayunya lunak. Kayu balsa sangat lunak dan terang, serta memiliki permukaan kasar. Kerapatan kering tanur dari kayu balsa berkisar antara 0,04 – 0,34 g/cm3. Kayu balsa juga sering digunakan sebagai core material pada kayu komposit, contoh : turbin angin, meja tennis yang dibuat dari balsa dengan dilapisi
plywood pada bagian atas dan bawahnya. Kayu balsa juga digunakan sebagai
laminasi pada fiberglass untuk meningkatkan kualitas balsa pada surfboard, deck
dan bagian atas dari boats (Anonim 2009).
Menurut Miller (1999), kayu ini cocok untuk berbagai penggunaan karena karakteristiknya lunak dan warnanya yang terang. Kayu balsa dikenali berdasarkan berat kayunya yang sangat ringan dan warna kayu yang pucat (biasanya putih, kekuning-kuningan, dan terkadang berona kemerah-mudaan, serta menimbulkan kesan raba beludru). Karena beratnya yang ringan dan kayunya memiliki pori, balsa sangat efisien sebagai bahan insulasi terhadap panas
(14)
13
dan dingin. Kayu balsa juga mempunyai sifat rambatan yang lambat terhadap suara dan getaran. Penggunaan kayu balsa pada umumnya adalah sebagai alat-alat penolong, alat pelampung, rakit, bahan penyekat, bantalan, sound modifiers, serta alat peraga.
2.7.4 Medium Density Fiberboard (MDF)
Menurut Haygreen et al. (2003) MDF merupakan salah satu produk dari papan serat. Papan serat adalah panel yang dibuat dengan cara mengkonversi kayu bulat atau serpih kayu menjadi serat melalui proses pulp mekanis kemudian membentuknya menjadi lembaran papan dengan kempa panas baik dengan wet
process maupun dry process. Maloney (1996) menyatakan bahwa papan serat
berkerapatan sedang (MDF) adalah produk panel kayu yang terbuat dari serat berlignoselulosa dikombinasikan dengan perekat buatan atau perekat lainnya yang mempunyai kerapatan 0,50 sampai 0,80 g/cm3.
Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa MDF dapat dibuat dari banyak material seperti residu kayu (sisa serutan dari mesin planner, serbuk gergaji kayu, potongan pinggir dari plywood, dan lain sebagainya), namun harus tetap menambahkan minimal 25 % pulp chip untuk menghasilkan kualitas furnish yang diinginkan. Limbah pertanian dan semua sumber serat dapat dicampurkan asalkan interaksi antara bahan mentah dan resin dapat dikontrol (Maloney 1996 dalam
Haygreen et al. 2003). MDF memiliki sifat fisis yang seragam, permukaan halus dan padat (sehingga memungkinkan untuk dicetak, dicat, dan diberi bahan pelapis), memiliki sifat penyekrupan yang baik serta memiliki kestabilan dimensi yang relatif tinggi di bawah perubahan kondisi kelembaban lingkungan (Tsoumis 1991).
MDF digunakan sebagai furniture, kitchen cabinets, dan wall paneling
(dimana dibutuhkan permukaan yang halus, dapat dicetak, dan dilukis namun kekuatan kayu tidak terlalu diperhitungkan). Bagian tepi dari particleboards
terlalu keropos sehingga memerlukan penanganan lanjutan sedangkan bagian tepi dari MDF halus sehingga MDF lebih banyak digunakan dalam pembuatan
furniture. MDF memiliki kerapatan yang lebih seragam, dapat diprofil, dapat
diproses menggunakan mesin sama seperti pada kayu solid, serta tidak memerlukan veneer tambahan untuk menutupi permukaannya. Permukaan MDF
(15)
yang halus menyebabkan permukaannya mudah di-finishing (Haygreen et al.
2003).
2.7.5 Kayu Akasia (Acacia mangium Willd)
Kayu akasia (Acacia mangium Willd) adalah tumbuhan asli yang banyak tumbuh di wilayah Papua Nugini, Papua Barat dan Maluku. Tanaman ini pada mulanya dikembangkan secara eksitu di Malaysia Barat dan selanjutnya di Malaysia Timur, yaitu di Sabah dan Serawak. Kayu akasia menunjukkan pertumbuhan yang baik, sehingga Filipina telah mengembangkan pula sebagai hutan tanaman (Malik et al. 2005). Sejak dicanangkan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia pada tahun 1984, kayu akasia telah dipilih sebagai salah satu jenis favorit untuk ditanam di aeral HTI. Pada mulanya jenis ini dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kayu HTI untuk memenuhi kebutuhan kayu serat terutama untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Dengan adanya perubahan-perubahan kondisional baik menyangkut kapasitas industri maupun adanya desakan kebutuhan kayu untuk penggunaan lain, tidak tertutup kemungkinan terjadi perluasan tujuan penggunaan kayu akasia (Malik et al.
2005).
Mandang dan Pandit (1997) menyatakan bahwa kayu akasia masuk ke dalam famili Leguminosae. Kayu teras alami berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, sedangkan kayu gubal berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Corak kayu polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Memiliki tekstur halus sampai agak kasar dan merata dengan arah serat biasanya lurus dan kadang-kadang berpadu. Kayu akasia memiliki BJ rata-rata 0,61 (0,43-0,66) dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III. Malik et al. (2005) menyatakan bahwa berdasarkan sifat mekanisnya, kayu akasia dapat digunakan sebagai bahan konstruksi ringan. Produk yang telah dibuat dari kayu ini adalah kusen jendela, rangka daun jendela, dan penyekat ruangan (lumber sharing).
(16)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010-Desember 2011 di Laboratorium Biokomposit dan Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB untuk menguji sifat mekanis dan fisis serta Laboratorium Fisika Lanjut dan Biofisika Departemen Fisika, Fakultas MIPA IPB untuk menguji absorbsi suara.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : jangka sorong,
moisture meter, oven, timbangan, desikator, klem, alat uji UTM (Universal Testing Machine) merk Instron, resonance tube WA-9612 PASCO scientific,
microphone, oscilloscope OS-5100RB, dan function generator.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plywood dengan tebal 0,4 cm, styrofoam (tebal 1, 2, dan 4 cm), kayu balsa (tebal 1, 2, dan 4 cm) ,
Medium Density Fiberboard/MDF (tebal 1, 2, dan 4 cm), dan kayu akasia dengan tebal 1,6 cm. Perekat yang digunakan adalah perekat PVAc merk FOX dengan berat labur 175 g/m2.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan
Proses pembuatan kayu laminasi dimulai dengan mengeringkan udarakan
plywood, kayu balsa, MDF, dan akasia hingga mencapai kadar air kurang dari 15
%. Styrofoam juga diukur kadar airnya untuk memastikan apakah kadar airnya
mencapai kurang dari 15 % menggunakan moisturemeter. Semua bahan dipotong menjadi sortimen berukuran panjang 100 cm dan lebar 10 cm. Selanjutnya sortimen tersebut dipotong kembali dengan ukuran panjang 100 cm dan lebar 5,5 cm, yang nantinya akan dibuat menjadi kayu laminasi. Sisa dari sortimen digunakan untuk menguji sifat mekanis, fisis, dan absorbsi suara dari masing-masing bahan pembentuk kayu laminasi.
(17)
Bahan yang digunakan disusun seperti Gambar 5 berikut. Sebagai face
yaitu plywood, sebagai core yaitu styrofoam, kayu balsa, atau MDF, serta sebagai
back yaitu kayu akasia. Kayu laminasi dibuat masing-masing sebanyak tiga kali ulangan sehingga totalnya adalah 27 buah.
0.4 cm 0.4 cm 0.4 cm
1.0 cm 2.0 cm
1.6 cm 4.0 cm
1.6 cm
1.6 cm
Gambar 5 Susunan Kayu Laminasi. Keterangan :
Lapisan 1 : plywood
Lapisan 2 : styrofoam, kayu balsa atau MDF Lapisan 3 : kayu akasia
3.3.2 Pembuatan Kayu Laminasi
Kayu laminasi yang telah disusun seperti Gambar 1 kemudian diberi perekat PVAc merk FOX dengan berat labur 175 g/m2. Setelah direkatkan kemudian diklem selama 24 jam. Selanjutnya kayu laminasi dikondisikan selama 1 minggu sebelum dilakukan pengujian.
3.3.3 Pembuatan Contoh Uji
Contoh uji terdiri dari dua bagian yaitu contoh uji dari kayu laminasi itu sendiri dan dari bahan pembentuknya. Pengujian sifat mekanis pada contoh uji kayu laminasi didasarkan pada ASTM D-143 (2000) dengan metode primer, sedangkan pada contoh uji bahan pembentuk kayu laminasi didasarkan pada ASTM D-143 (2000) dengan metode sekunder.
a. Bahan-bahan Pembentuk Kayu Laminasi 1. Contoh Uji Pengujian Sifat Mekanis
i) Plywood
Lembaran plywood dipotong menjadi contoh uji berukuran (10 x 2,5 x 0,4) cm3 sebanyak 27 buah.
(18)
17
ii) Styrofoam
Lembaran styrofoam dipotong menjadi contoh uji berukuran (60 x 2,5 x 1) cm3, (60 x 2,5 x 2) cm3, dan (60 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iii) Kayu Balsa
Kayu Balsa dipotong menjadi contoh uji berukuran (60 x 2,5 x 1) cm3, (60 x 2,5 x 2) cm3, dan (60 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iv) MDF
MDF dipotong menjadi contoh uji berukuran (60 x 2,5 x 1) cm3, (60 x 2,5 x 2) cm3, dan (60 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
v) Kayu Akasia
Kayu akasia dipotong menjadi contoh uji berukuran (27 x 2,5 x 1,6) cm3 sebanyak 27 buah.
2. Contoh Uji Pengujian Sifat Fisis
i) Plywood
Lembaran plywood dipotong menjadi contoh uji berukuran (3 x 2,5 x 0,4) cm3 sebanyak 27 buah.
ii) Styrofoam
Lembaran styrofoam dipotong menjadi contoh uji berukuran (5 x 2,5 x 1) cm3, (5 x 2,5 x 2) cm3, dan (5 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iii) Kayu Balsa
Kayu Balsa dipotong menjadi contoh uji berukuran (5 x 2,5 x 1) cm3, (5 x 2,5 x 2) cm3, dan (5 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iv) MDF
MDFdipotong menjadi contoh uji berukuran (5 x 2,5 x 1) cm3, (5 x 2,5 x 2) cm3, dan (5 x 2,5 x 4) cm3, masing-masing diulang sebanyak tiga kali. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
(19)
v) Kayu Akasia
Kayu akasia dipotong menjadi contoh uji berukuran (5 x 2,5 x 1,6) cm3 sebanyak 27 potong.
3. Contoh Uji Pengujian Absorbsi Suara
i) Plywood
Lembaran plywood dipotong menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal 0,4 cm sebanyak 27 buah.
ii) Styrofoam
Lembaran styrofoam dipotong menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal 1, 2, dan 4 cm masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iii)Kayu Balsa
Kayu Balsadipotong menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal 1, 2, dan 4 cm masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
iv) MDF
MDF dipotong menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal 1, 2, dan 4 cm masing-masing sebanyak tiga kali ulangan. Total contoh uji yaitu sembilan buah.
v) Kayu Akasia
Kayu akasia dipotong menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal 1,6 cm sebanyak 27 potong.
b. Kayu Laminasi
1. Contoh Uji Pengujian Sifat Mekanis
Kayu laminasi diserut bagian tepinya sehingga menjadi contoh uji berukuran panjang, lebar, tebal sebagai berikut :
(88 x 5 x 3) cm3 (Masing-masing kayu laminasi dibuat (88 x 5 x 4) cm3 sebanyak tiga kali ulangan)
(88 x 5 x 6) cm3
2. Contoh Uji Pengujian Sifat Fisis
Kayu laminasi asimetris dipotong menjadi contoh uji berukuran tebal, lebar, panjang sebagai berikut :
(20)
19
(5 x 5 x 3) cm3 (Masing-masing kayu laminasi dibuat (5 x 5 x 4) cm3 sebanyak tiga kali ulangan)
(5 x 5 x 6) cm3
3. Contoh Uji Pengujian Absorbsi Suara
Kayu laminasi dibuat menjadi contoh uji berdiameter 3 cm dan berukuran tebal yaitu 3, 4, dan 6 cm, masing-masing diulang sebanyak tiga kali.
3.3.4 Pengujian Sifat Mekanis
Pengujian destruktif yang dilakukan mengacu pada ASTM D-143 (2000) dengan metode primer untuk pengujian pada kayu laminasi dan metode sekunder untuk pengujian pada masing-masing bahan pembentuknya. Masing-masing pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Pengujian dilakukan dengan metode beban tunggal di tengah bentang (one point loading) sesuai ASTM D-143 (2000). Kecepatan pembebanan yang digunakan sebesar 1,3 mm/detik dengan panjang bentang (L) sebesar 14 x t. Parameter yang diperoleh dari pengujian ini adalah modulus elastisitas (MOE) dan kekuatan lentur (MOR) yang dihitung dengan rumus :
MOE= ΔPL
3 4Δybh3
MOR = 3PL
2bh2
Keterangan :
MOE = modulus elastisitas (kg/cm2) MOR = modulus of rupture (kg/cm2)
ΔP/ΔY = kemiringan (slope) kurva beban defleksi hingga batas proporsi (kg/cm)
Pmax = beban maksimal hingga contoh uji rusak (kg) L = panjang bentang (cm)
b = lebar contoh uji (cm) h = tebal contoh uji (cm)
(21)
Gambar 6 Pengujian Sifat Mekanis Menggunakan Metode One Point Loading.
3.3.5 Pengujian Sifat Fisis 3.3.5.1 Kadar Air
Nilai kadar air didapat dengan cara membandingkan pengurangan berat basah dan berat kering tanur terhadap berat kering tanurnya menggunakan rumus :
KA = BKU-BKT
BKT X 100 %
Keterangan :
KA = kadar air (%)
BKU = berat kering udara (g) BKT = berat kering tanur (g) 3.3.5.2 Kerapatan
Nilai kerapatan diperoleh dari perbandingan berat kayu dengan volumenya dalam kondisi kering udara. Penentuan kerapatan ini dilakukan secara gravimetris dengan menggunakan rumus :
Kerapatan (ρ) = BKU
VKU (g/cm 3
) Keterangan :
BKU = berat kering udara (g) VKU = volume kering udara (cm3) 3.3.5.3 Berat Jenis
Nilai Berat Jenis (BJ) diperoleh dari perbandingan kerapatan kayu dengan kerapatan air, dengan catatan kerapatan air sama dengan 1 gr/cm3. Berat jenis diukur pada berat kering tanur dan volume kering udara.
(22)
21
BJ =
BKT VKU
ρ air
Keterangan :
BJ = berat jenis
ρ air = kerapatan air dianggap 1 (g/cm3)
Gambar 7 Pengujian Sifat Fisis.
3.3.6 Pengujian Absorbsi Suara
Pengukuran koefisien absorbsi suara dilakukan dengan menggunakan metode gelombang berdiri. Setelah sinyal generator di-setting pada frekuensi tertentu (200 Hz, 250 Hz, 315 Hz, 400 Hz, 500 Hz, 630 Hz, 800 Hz, 1000 Hz, 1250 Hz, 1600 Hz, 2000 Hz, 2500 Hz, 3000 Hz, 3150 Hz, 4000 Hz, dan 5000 Hz), salah satu ujung tabung dari alat resonance tube WA-9612 PASCO scientific
dipasang contoh uji. Setelah itu microphone dinamis digeser mendekati dan menjauhi contoh uji. Dengan menghubungkan output microphone dengan
oscilloscope, akan terlihat puncak-puncak gelombang melalui oscilloscope. Dari puncak-puncak gelombang tersebut, ditentukan Vmin dan Vmax yaitu dari amplitudo terkecil dan terbesar yang terdapat pada oscilloscope, yang merupakan fungsi tegangan terhadap waktu. Koefisien absorbsi suara dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
(23)
α= 1-
V
V
V V
Keterangan :
α = koefisien absorbsi suara Vmin = tegangan minimum (mV)
Vmax = tegangan maksimum (mV)
(24)
23
Gambaran umum urutan proses penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 9 Alur Proses Penelitian.
Pengolahan Data Uji Absorpsi Suara
Bahan penelitian
Plywood, balsa, MDF, dan akasia dikeringudarakan hingga
mencapai KA < 15 % Styrofoam
Sortimen dipotong menjadi berukuran (100 x 5,5) cm2 untuk dibuat menjadi KAYU LAMINASI
Sisa sortimen digunakan untuk pengujian bahan pembentuk kayu laminasi Cek KA < 15 %
Pemotongan bahan menjadi sortimen berukuran (100 x 10) cm2
Uji Mekanis Pemotongan contoh uji berukuran (88 x 5 x
tebal bahan) cm3
Pemotongan contoh uji berukuran (5 x 5 x tebal bahan) cm3
-Pemotongan sampel uji berukuran (3 x 2,5 x 0,4) cm3 untuk
plywood
-Pemotongan sampel uji berukuran (5 x 2,5 x tebal bahan) cm3
untuk bahan lain
Pembuatan kayu laminasi styrofoam, balsa, dan MDF menggunakan perekat FOX dengan berat labur 175 g/m2,
klem selama 24 jam dan dikondisikan selama 1 minggu
‐ Pemotongan contoh uji berukuran (10 x 2,5 x 0,4) cm3
untuk bagian face
-Pemotongan contoh uji berukuran (60 x 2,5 x tebal bahan) cm3
untuk bagian core
- Pemotongan contoh uji berukuran (27 x 2,5 x 1,6) cm3
untuk bagian back
Uji Fisis
Pemotongan sampel uji berdiameter 3 cm x tebal bahan Pemotongan sampel uji
(25)
3.4 Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Microsoft Excel
2007. Data-data dalam penelitian ditampilkan secara sederhana dengan
(26)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sifat Fisis
Sifat fisis pada kayu laminasi dipengaruhi oleh sifat fisis bahan pembentuknya yaitu bagian face, core, dan back. Dalam penelitian ini, bagian face
adalah plywood dengan tebal 0,4 cm, bagian core terdiri dari styrofoam, kayu balsa, atau MDF dengan variasi tebal 1, 2, dan 4 cm, serta bagian back terdiri dari kayu akasia dengan tebal 1,6 cm. Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai kadar air, kerapatan, dan berat jenis pada bahan pembentuk kayu laminasi disajikan pada Lampiran 1 sampai 5, sedangkan pada kayu laminasi disajikan pada Lampiran 6 sampai 8. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat fisis seperti disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi
Spesimen Lapisan KA (%) ρ (g/cm3) BJ
Plywood Face 11,2 0,56 0,50
Styrofoam 1 cm Core 9,2 0,010 0,009
Styrofoam 2 cm Core 9,2 0,010 0,009
Styrofoam 4 cm Core 9,2 0,008 0,008
Balsa 1 cm Core 13,9 0,25 0,22
Balsa 2 cm Core 14,0 0,22 0,19
Balsa 4 cm Core 14,2 0,25 0,21
MDF 1 cm Core 10,4 0,58 0,52
MDF 2 cm Core 8,5 0,73 0,66
MDF 4 cm Core 8,8 0,73 0,67
Akasia Back 13,9 0,62 0,53
Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952)
ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda itu sendiri yang dinyatakan dalam g/cm3
BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan air pada temperatur 4oC.
(27)
Tabel 2 Nilai kadar air, kerapatan, dan berat jenis rata-rata kayu laminasi
Spesimen Tebal Core (cm) KA (%) ρ (g/cm3) BJ
CoreStyrofoam 1 cm 1 11,6 0,46 0,40
CoreStyrofoam 2 cm 2 11,6 0,33 0,29
CoreStyrofoam 4 cm 4 11,7 0,24 0,21
Core Balsa 1 cm 1 13,8 0,49 0,42
Core Balsa 2 cm 2 13,7 0,39 0,34
Core Balsa 4 cm 4 14,0 0,35 0,30
Core MDF 1 cm 1 12,4 0,62 0,54
Core MDF 2 cm 2 11,4 0,68 0,60
Core MDF 4 cm 4 10,6 0,69 0,62
Keterangan : KA = Kadar air yang dinyatakan dalam persentase terhadap berat kering tanur (Brown et al. 1952)
ρ = Kerapatan yaitu perbandingan antara berat suatu benda dengan volume benda itu sendiri yang dinyatakan dalam g/cm3
BJ = Berat jenis yaitu perbandingan antara kerapatan suatu benda dengan kerapatan air pada temperatur 4oC.
4.1.1 Kadar Air (KA)
Pengukuran kadar air bahan pembentuk kayu laminasi menggunakan prinsip water displacement dimana berat kering tanur diperoleh setelah bahan dioven pada suhu 103 ± 20C. Metode ini tidak dapat diaplikasikan pada styrofoam,
karena karakteristik dari styrofoam yang akan meleleh bila dipanaskan. Nilai kadar air pada styrofoam cukup tinggi dan seragam pada tiap ketebalannya karena pengukurannya menggunakan moisturemeter.
Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara 8,5-14,2 %. Nilai tertinggi terdapat pada kayu balsa 4 cm (14,2 %) dan terkecil terdapat pada MDF 2 cm (8,5 %). Nilai kadar air tertinggi terdapat pada kayu, yaitu kayu balsa dan akasia. Hal ini disebabkan kayu balsa dan kayu akasia merupakan produk primer, sedangkan plywood dan MDF merupakan produk turunan dari kayu, sehingga dalam proses pembuatannya, melalui tahapan tertentu yang mensyaratkan kadar air yang sesuai standar pabrik. Kadar air tinggi pada kayu akasia (yang merupakan kayu cepat tumbuh) disebabkan adanya proporsi kayu gubal dan juvenile yang tinggi. Sel-sel kayu gubal mempunyai fungsi biologis, yaitu menyalurkan air dan unsur hara dari akar ke daun untuk proses fotosintesis, sehingga banyak mengandung air (Dwianto dan Marsoem 2008).
Kayu balsa memiliki kadar air yang tinggi karena berat jenisnya yang rendah. Semakin rendah berat jenis atau kerapatan, maka tingkat absorbsi kayu
(28)
27
semakin tinggi, karena memiliki tempat penampung air yang lebih banyak daripada kayu dengan berat jenis atau kerapatan lebih tinggi (Panshin dan de Zeeuw 1980 dalam Dwianto dan Marsoem 2008). Semakin tebal core yang digunakan, kadar air semakin meningkat kecuali pada styrofoam dan MDF.
Styrofoam mempunyai kadar air yang sama pada tiap ketebalannya karena berasal dari pabrik yang sama, sedangkan pada MDF tidak. Kadar air MDF 1 cm dibandingkan dengan MDF 2 cm dan 4 cm berbeda jauh. Hal ini dikarenakan MDF 1 cm berasal dari pabrik yang berbeda dengan MDF 2 cm dan 4 cm, sehingga menggunakan formulasi perekat dan proses produksi yang berbeda pula. MDF 2 cm dan 4 cm berasal dari pabrik yang sama. Proses penggabungan 2 buah papan MDF 2 cm menjadi MDF 4 cm menyebabkan papan MDF 4 cm memiliki kadar air yang lebih tinggi karena adanya perekat yang ditambahkan. Nilai kadar air rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi disajikan dalam Gambar 10.
Gambar 10 Histogram kadar air (%) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Setelah disatukan menjadi kayu laminasi, nilai kadar air meningkat (kecuali pada kayu laminasi balsa yang cenderung stabil bahkan menurun kadar airnya setelah dijadikan kayu laminasi). Peningkatan kadar air ini disebabkan adanya perekat yang ditambahkan. Vick (1999) menyatakan bahwa perekat mengandung air sebagai pembawa, sehingga pada proses perekatan, air akan menguap dan diserap oleh kayu yang mengakibatkan kadar airnya meningkat. Air juga diserap kayu dari udara sehingga kayu mengalami kesetimbangan dengan udara. Kadar air kayu laminasi balsa tidak berbeda jauh dengan bahan
11.2
9.2 9.2 9.2
13.9 14.0 14.2 10.4
8.5 8.8 13.9
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Kadar Air
(%
)
(29)
pembentuknya walaupun telah ditambahkan perekat. Hal ini disebabkan oleh struktur dari kayu balsa itu sendiri yang memiliki rongga, sehingga ketika dioven air didalamnya (baik itu air dalam kayu balsa dan air akibat tambahan perekat) akan mudah menguap (terevaporasi).
Nilai kadar air rata-rata kayu laminasi berkisar antara 10,6-14,0 %. Nilai tertinggi terdapat pada laminasi core balsa 4 cm (14,0 %) dan terendah pada laminasi core MDF 4 cm (10,6 %). Kelompok laminasi balsa memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan kelompok laminasi styrofoam dan MDF. Hal ini disebabkan core balsa memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan bahan pembentuk kayu laminasi lainnya.
Selain menghitung nilai kadar air kayu laminasi, kadar air rata-rata bahan terboboti juga dihitung. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti didasarkan pada kadar air masing-masing bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai ini dihitung untuk mengetahui kadar air sebenarnya dari kayu laminasi yang dibuat dan untuk melihat bagaimana pengaruh nilai kadar air bahan pembentuk kayu laminasi terhadap kayu laminasinya. Nilai kadar air rata-rata bahan terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai kadar air kayu laminasi, dan nilainya tidak berbeda jauh. Hal ini berarti kadar air dan ketebalan masing-masing bahan pembentuk laminasi memberikan pengaruh terhadap kadar air kayu laminasinya. Kadar air rata-rata kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 11.
Keterangan : Rata-rata KA bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(KA tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi
Gambar 11 Histogram kadar air rata-rata kayu laminasi.
11.6 11.6 11.7 13.8 13.7 14.0 12.4 11.4 10.6
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Kadar Air
(%
)
Kayu Laminasi
(30)
29
4.1.2 Kerapatan (ρ) dan Berat Jenis (BJ)
Kerapatan merupakan suatu ukuran kekompakan suatu partikel dalam lembaran. Nilainya sangat tergantung pada kerapatan kayu asal yang digunakan dan besarnya tekanan kempa yang diberikan selama pembuatan lembaran (Haygreen et al. 2003). Kerapatan sangat berhubungan dengan berat jenis yang merupakan rasio antara kerapatan bahan dengan kerapatan air. Kerapatan rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi berkisar antara 0,008-0,73 g/cm3 sebagaimana tersaji pada Gambar 12. Gambar 13 memperlihatkan berat jenis bahan pembentuk kayu laminasi.
Kerapatan dan berat jenis tertinggi pada bahan pembentuk kayu laminasi adalah MDF 2 dan 4 cm, serta terendah pada styrofoam 4 cm. Kerapatan dan berat jenis MDF tinggi karena dibuat dari serat kayu (fiber) yang kemudian dipadatkan melalui proses pengempaan, sedangkan styrofoam memiliki struktur yang berongga sehingga kerapatan dan berat jenisnya lebih rendah dibandingkan MDF. Kerapatan kayu akasia menempati urutan kedua tertinggi setelah MDF, karena secara visual struktur porinya cukup rapat dibandingkan bahan kayu lainnya yaitu kayu balsa. Kayu balsa menunjukkan nilai kerapatan dan berat jenis yang rendah. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yang mempunyai berat ringan dan berpori. Plywood memiliki kerapatan dan berat jenis cukup tinggi karena dibuat dari veneer yang direkatkan secara tegak lurus serat dan dikempa hingga padat.
Gambar 12 Histogram kerapatan (g/cm3) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi.
0.56
0.010 0.010 0.008
0.25 0.22 0.25 0.58
0.73 0.73 0.62
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
Kerapatan (g/cm
3)
(31)
Gambar 13 Histogram berat jenis rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Nilai kerapatan mengalami perubahan setelah dibentuk menjadi kayu laminasi sebagaimana tersaji pada Gambar 14. Kerapatan rata-rata kayu laminasi berkisar antara 0,24-0,69 g/cm3. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada kayu laminasi core MDF 4 cm (0,69 g/cm3) dan terendah pada kayu laminasi core styrofoam 4 cm (0,24 g/cm3). Hal ini berkaitan dengan karakteristik core
pembentuknya, dimana core MDF lebih padat dibandingkan core styrofoam, sehingga kerapatan produk akhir lebih tinggi.
Secara umum kerapatan meningkat setelah dibentuk menjadi kayu laminasi (kecuali pada kayu laminasi dengan core MDF 2 dan 4 cm). Santoso
et.al. (2001) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi bertambahnya
kerapatan kayu laminasi dibanding bahan pembentuknya adalah adanya lapisan perekat dan pemadatan pada proses pengempaan. Kayu laminasi dengan core
MDF 2 cm dan 4 cm memiliki nilai kerapatan yang lebih rendah dibanding bahan pembentuknya. Hal ini disebabkan oleh kerapatan bahan pembentuknya yang tinggi (0,73 g/cm3) sehingga penetrasi perekat kurang maksimal. Penetrasi perekat yang kurang maksimal menyebabkan kontak antara perekat dan kayu yang kurang baik. Hal ini didukung oleh pernyataan Vick (1999) yang menyatakan bahwa ikatan rekat akan maksimal apabila perekat membasahi semua permukaan kayu selaku bahan yang direkat, sehingga terjadi kontak antara molekul perekat dan molekul kayu (daya tarik intermolekulnya dapat mengikat dengan baik).
0.50
0.009 0.009 0.008
0.22 0.19 0.21 0.52
0.66 0.67 0.53
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
Berat Jenis
(32)
31
Semakin tebal core pembentuknya, kerapatan kayu laminasi cenderung menurun, kecuali pada laminasi MDF yang mengalami kenaikan nilai kerapatan seiring dengan meningkatnya tebal core yang digunakan. Core yang memiliki kerapatan lebih rendah dari bagian face dan back akan menurunkan kerapatan produk akhir seiring dengan meningkatnya ketebalan core, sedangkan core yang memiliki kerapatan lebih tinggi dari bagian face dan back akan mengalami peningkatan kerapatan produk akhir seiring dengan bertambahnya tebal core. Core MDF memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan bagian face dan
back, sehingga presentase berat core yang semakin tinggi seiring dengan
ketebalannya akan meningkatkan kerapatan kayu laminasi. Hal ini sesuai dengan rata-rata kerapatan bahan terboboti yang nilainya tidak berbeda jauh serta memiliki kecenderungan yang sama dengan kerapatan kayu laminasinya.
Kerapatan mengalami penurunan atau kenaikan dipengaruhi oleh nilai berat jenisnya. Grafik berat jenis kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 15. Berat jenis yang tinggi pada produk akhir (kayu laminasi) dipengaruhi oleh berat jenis dari bahan pembentuknya.
Keterangan : Rata-rata kerapatan bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(kerapatan tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi
Gambar 14 Histogram kerapatan rata-rata kayu laminasi.
0.46 0.33
0.24
0.49
0.39 0.35
0.62 0.68 0.69
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80
Kerapatan (g/cm
3)
Kayu Laminasi
(33)
Keterangan : Rata-rata BJ bahan (terboboti) merupakan ratio antara Σ(BJ tiap lapisan x tebal) dengan Σ tebal kayu laminasi
Gambar 15 Histogram berat jenis rata-rata kayu laminasi. 4.2 Sifat Mekanis Bahan Pembentuk Kayu Laminasi
Hasil pengukuran dan perhitungan mengenai MOE dan MOR bahan pembentuk kayu laminasi asimetris disajikan pada Lampiran 9 sampai 13. Dari data tersebut diperoleh nilai rata-rata untuk setiap sifat mekanis seperti disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Nilai MOE dan MOR rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi
Spesimen Lapisan MOE (kg/cm2) MOR (kg/cm2)
Plywood face 55597 477
Styrofoam 1 cm core 65 0
Styrofoam 2 cm core 35 0
Styrofoam 4 cm core 17 0
Balsa 1 cm core 39205 245
Balsa 2 cm core 35097 191
Balsa 4 cm core 31362 188
MDF 1 cm core 12242 42
MDF 2 cm core 22175 262
MDF 4 cm core 19446 128
Akasia back 90762 866
Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity, kemampuan bahan untuk menahan beban sampai batas proporsi (kg/cm2)
MOR = Modulus of Rupture, kemampuan bahan untuk menahan beban lentur maksimum hingga mengalami kerusakan permanen (kg/cm2)
0.40 0.29
0.21
0.42
0.34 0.30
0.54 0.60 0.62
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70
Berat Jenis
Kayu Laminasi
(34)
33
4.2.1 MOE Bahan Pembentuk Kayu Laminasi
Sifat kekakuan kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan lenturan tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap atau bisa kembali ke bentuk semula Besarnya hasil pengujian dinyatakan dalam Modulus Elastisitas (MOE). Nilai MOE rata-rata tertinggi bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia (90762 kg/cm2) dan terkecil pada styrofoam 4 cm (17 kg/cm2). Hal ini dikarenakan kayu akasia memiliki kerapatan yang tinggi sedangkan styrofoam 4 cm memiliki kerapatan yang rendah. Sesuai dengan pernyataan Herawati (2008), kayu yang memiliki kerapatan tinggi akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu dengan kerapatan lebih rendah.
Nilai MOE kayu akasia lebih tinggi dibandingkan MOE kayu balsa yang disebabkan oleh berat jenis kayu akasia yang lebih tinggi. Berat jenis lebih tinggi dikarenakan dinding sel kayu akasia lebih tebal, sehingga meningkatkan kekuatan kayu. Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa kekakuan dan kekuatan kayu meningkat dengan meningkatnya berat jenis pada kondisi kayu bebas cacat.
Plywood dan MDF merupakan produk komposit yang memiliki perbedaan dari
segi bahan bakunya. MDF dibuat dari serat kayu yang di-press sedemikian rupa sehingga padat, sangat kaku, dan lebih mudah patah dibandingkan plywood,
sedangkan plywood dibuat dari lembaran veneer kayu yang direkatkan secara tegak lurus serat dan masih memiliki sifat elastis. Walaupun MDF memiliki nilai kerapatan dan berat jenis yang lebih tinggi, namun nilai MOEnya lebih rendah dibandingkan plywood. Hal ini disebabkan karakteristik plywood yang masih memiliki sifat integritas bahan baku yang lebih tinggi dibandingkan MDF.
Nilai MOE pada bagian core semakin menurun seiring dengan bertambahnya tebal. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya tebal, nilai h/l akan semakin tinggi sehingga nilai MOE yang terbaca lebih rendah dari yang seharusnya. Nilai rendah tersebut dipengaruhi oleh gaya geser. Semakin tebal bahan menyebabkan pengaruh gaya geser semakin besar, dimana pada pengujian menggunakan one point loading nilai ini diabaikan.
Grafik MOE rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai standar deviasi MOE kayu akasia paling tinggi dibandingkan bahan lainnya. Nilai standar deviasi tinggi menunjukkan banyaknya variasi nilai
(35)
MOE yang dihasilkan pada kayu akasia itu sendiri dalam tiap ulangannya. Firmanti et. al. (2007) menyatakan bahwa fenomena ini disebabkan oleh cacat-cacat kayu yang ditemukan serta proporsi kayu juvenile yang tinggi pada kayu akasia. Sebagai salah satu jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species), kayu akasia memiliki proporsi kayu juvenile yang tinggi. Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa kayu juvenile mempunyai ciri-ciri berat jenis dan kekuatan yang rendah karena memiliki dinding sel yang tipis, lingkaran tumbuh yang lebih besar, dan sel-sel kayu akhir yang sedikit. Kayu juvenile mempunyai efek yang tinggi dalam mereduksi sifat mekanis pada kayu (Green et. al. 1999).
Gambar 16 Histogram MOE (kg/cm2) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Gambar 17 mewakili variabilitas sifat-sifat struktural dari produk-produk kayu yang telah didekati dengan distribusi normal standar. Gambar tersebut menunjukkan satu sisi dari persamaan struktur yaitu sisi kapasitas. Setiap kurva dicirikan oleh parameter-parameter statistika, yang pada kasus ini yaitu nilai rata-rata dan standar deviasinya (Bahtiar 2004). Dari Gambar 17 terlihat bahwa kayu
solid mempunyai keragaman yang lebih tinggi dibanding produk komposit.
Kurva normal distribusi menggambarkan nilai keragaman dari suatu hasil pengujian. Pada penelitian ini diplotkan nilai mekanis (MOE dan MOR) yang dihasilkan pada masing-masing bahan untuk mengetahui variabilitas nilai dalam setiap ulangannya. Semakin landai kurva yang dihasilkan menunjukkan MOE atau MOR dari bahan semakin beragam. Sebaliknya semakin curam kurva yang
55597
65 35 17
392053509731362
122422217519446 90762
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000
MOE (kg/cm
2)
(36)
35
dihasilkan menunjukkan MOE dan MOR dari bahan semakin seragam, yang didukung dengan semakin kecil nilai standar deviasinya.
Sumber : Bahtiar (2004)
Gambar 17 Kurva kekuatan material-material kayu.
Kayu akasia memiliki keragaman MOE yang lebih tinggi dan MOE rata-rata yang lebih besar dibandingkan plywood. Hal ini didukung dengan pernyataan Bahtiar (2004) tentang keragaman kayu solid lebih tinggi dibandingkan produk komposit seperti plywood. Pada kurva distribusi MOE core styrofoam, dapat dilihat bahwa styrofoam 4 cm lebih seragam dibanding dengan core styrofoam 1 dan 2 cm. Semakin tebal core styrofoam yang digunakan, semakin rendah nilai keragamannya. Core balsa 1 cm memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki MOE lebih besar dibandingkan dengan core balsa lainnya. Kurva distribusi MOE paling seragam terdapat pada core balsa 2 cm dikarenakan nilai standar deviasinya paling kecil. Core MDF 1 cm memiliki keragaman MOE paling tinggi dan memiliki nilai rata-rata MOE terkecil diantara core MDF lainnya. Hal ini didukung dengan nilai standar deviasinya yang paling besar. Kurva distribusi MOE yang paling seragam terdapat pada MDF 4 cm, karena nilai standar deviasinya paling kecil. Dari kurva distribusi MOE dapat dilihat bahwa MOE terbesar tidak selalu memberikan nilai keragaman yang tinggi, hal ini dipengaruhi oleh standar deviasi masing-masing bahan yang digunakan. Kurva distribusi bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 18 A sampai D.
(37)
Gambar 18 Kurva distribusi MOE rata-rata dari (A) plywood dan akasia (face dan
back). (B) core styrofoam; (C) core balsa; (D) core MDF. 4.2.2 MOR Bahan Pembentuk Kayu Laminasi
Nilai MOR terbesar pada bahan pembentuk kayu laminasi terdapat pada kayu akasia dan terkecil pada styrofoam (tebal 1, 2 dan 4 cm). Nilai MOR
0 0.00001 0.00002 0.00003 0.00004 0.00005 0.00006 0.00007 0.00008
0 100000 200000
Frekuensi
MOE (kg/cm2)
Plywood Akasia A 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3
0 200 400
Frekuensi
MOE (kg/cm2)
Styrofoam 1 cm Styrofoam 2 cm Styrofoam 4 cm B 0 0.00005 0.0001 0.00015 0.0002 0.00025 0.0003
0 50000 100000
Frekuensi
MOE (kg/cm2)
Balsa 1 cm Balsa 2 cm Balsa 4 cm C 0 0.001 0.002 0.003 0.004
0 20000 40000
Frekuensi
MOE (kg/cm2)
MDF 1 cm MDF 2 cm MDF 4 cm D
(38)
37
styrofoam dianggap nol karena nilainya sangat kecil dibandingkan bahan
pembentuk kayu laminasi lainnya, sedangkan nilai MOR kayu akasia tinggi karena berat jenisnya tinggi. Nilai MOR berbanding lurus dengan nilai MOE. Sama seperti MOE, salah satu faktor yang mempengaruhi nilai MOR adalah berat jenis. MDF memiliki berat jenis yang cukup tinggi, namun memiliki MOR rendah. Hal ini disebabkan oleh integrasi komponen penyusun MDF lebih rendah dibandingkan kayu solid karena disusun oleh partikel yang dipadatkan. Kayu solid
tersusun atas dinding sel yang merupakan perpaduan yang kompak dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan MDF disusun oleh selulosa murni yang direkatkan oleh perekat kemudian dikempa. Kekompakan kayu solid lebih baik daripada MDF, sehingga kekuatan dan kekakuannya pada umumnya masih lebih baik. MOR rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Histogram MOR (kg/cm2) rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi. Berdasarkan kurva distribusi MOR, kayu akasia memiliki keragaman MOR yang lebih tinggi dan MOR yang lebih besar dibandingkan plywood. Kayu balsa 4 cm memiliki nilai keragaman yang paling tinggi karena standar deviasinya paling besar dibandingkan core balsa lainnya. Pada kurva distribusi MOR core
MDF, nilai paling seragam terdapat pada MDF 2 cm, sedangkan yang paling tidak seragam adalah MDF 4 cm. Hal ini disebabkan oleh standar deviasi MDF 4 cm paling besar sehingga kurva distribusinya menjadi paling tidak seragam. Kurva
477
0 0 0
245 191 188 42
262 128
866
0 200 400 600 800 1000 1200
MOR (kg/cm
2)
(39)
distribusi MOR bahan pembentuk laminasi dapat dilihat pada Gambar 20 A sampai C.
Gambar 20 Kurva distribusi MOR (kg/cm2) rata-rata dari (A) plywood dan akasia (face dan back); (B) core balsa; (C) core MDF.
4.3 Sifat Mekanis Kayu Laminasi
Sifat mekanis kayu laminasi yang diuji adalah MOE dan MOR. Hasil pengukuran dan perhitungan MOE dan MOR kayu laminasi disajikan dalam Lampiran 14 sampai 16. Dari data tersebut diperoleh nilai MOE dan MOR rata-rata kayu laminasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.
0 0.001 0.002 0.003 0.004
0 1000 2000 3000
Frekuensi
MOR (kg/cm2)
Plywood Akasia A 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07
0 100 200 300 400
Frekuensi
MOR (kg/cm2)
Balsa 1 cm Balsa 2 cm Balsa 4 cm
B 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
0 100 200 300 400
Frekuensi
MOR (kg/cm2)
MDF 1 cm MDF 2 cm MDF 4 cm
(40)
39
Tabel 4 Nilai MOE dan MOR rata-rata kayu laminasi
Spesimen Tebal Core (cm) MOE (kg/cm2) MOR (kg/cm2)
CoreStyrofoam 1 cm 1 8747 224
CoreStyrofoam 2 cm 2 3656 94
CoreStyrofoam 4 cm 4 807 19
Core Balsa 1 cm 1 19922 289
Core Balsa 2 cm 2 16314 179
Core Balsa 4 cm 4 13112 131
Core MDF 1 cm 1 14450 193
Core MDF 2 cm 2 14486 205
Core MDF 4 cm 4 11284 86
Keterangan : MOE = Modulus of Elasticity, kemampuan bahan untuk menahan beban sampai batas proporsi (kg/cm2)
MOR = Modulus of Rupture, kemampuan bahan untuk menahan beban lentur maksimum hingga mengalami kerusakan permanen (kg/cm2)
4.3.1 MOE Kayu Laminasi
MOE rata-rata kayu laminasi berkisar antara 807-19922 kg/cm2, sebagaimana tersaji dalam Gambar 21. MOE kayu laminasi sangat bergantung dari MOE core penyusunnya. Nilai MOE tertinggi terdapat pada kayu laminasi
core balsa 1 cm (19922 kg/cm2) dan terendah terdapat pada kayu laminasi core
styrofoam 4 cm (807 kg/cm2). Hal ini disebabkan MOE tertinggi pada core
penyusunnya terdapat pada core balsa 1 cm dan terendah terdapat pada core styrofoam 4 cm. Sesuai dengan MOE rata-rata core penyusunnya, semakin tebal
core yang digunakan, nilai MOE kayu laminasi semakin menurun, namun hal ini
tidak berlaku pada kayu laminasi dengan core MDF. Penurunan MOE pada kayu laminasi styrofoam dan balsa disebabkan oleh MOE core penyusunnya yang lebih kecil dari MOE bagian face dan back, sehingga MOE produk akhir (kayu laminasi) akan menurun seiring dengan bertambahnya tebal core yang digunakan. Fluktuasi MOE kayu laminasi dengan core MDF disebabkan bahan baku yang digunakan berasal dari pabrik yang berbeda, sehingga memiliki kerapatan dan berat jenis yang berbeda yang berdampak pada kemampuan mekanisnya.
Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa MOE kayu laminasi lebih rendah dari MOE bahan pembentuknya. Nilai MOE kayu laminasi selalu lebih rendah dari MOE tertinggi bahan penyusunnya, namun dapat lebih tinggi dari MOE terendah bahan penyusunnya. Herawati et al. (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan kayu, maka kayu yang memiliki kualitas
(41)
tinggi (MOE tinggi) digunakan pada bagian luar dari kayu laminasi. Pada penelitian ini, bagian luar dari kayu laminasi adalah bagian face dan back, yang diisi dengan bahan yang memiliki MOE tinggi yaitu plywood dan akasia. Sesuai dengan diagram distribusi tegangan, bagian face paling banyak menerima beban tekan sedangkan bagian back paling banyak menerima beban tarik. Oleh sebab itu keduanya harus diisi oleh bahan yang memiliki kekuatan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mardikanto et al. (2011) bahwa bila terjadi beban lentur, serat-serat di bagian atas akan mengalami tegangan normal tekan, dan di bawah mengalami tegangan normal tarik, sedangkan di garis netral tegangan normalnya bernilai nol.
Pada kayu laminasi dengan core styrofoam, MOE dari kayu laminasi lebih tinggi dari bahan pembentuknya. Hal ini dikarenakan kekuatan core styrofoam
yang sangat kecil ditopang oleh bagian face dan bagian back yang memiliki MOE tinggi. Tampak pada kayu laminasi ini efisiensi bahan baku dapat dicapai karena setiap bahan menerima beban sesuai dengan kekuatannya. Pada kayu laminasi dengan core kayu balsa, MOE yang didapat setelah dijadikan kayu laminasi lebih rendah dibandingkan MOE bahan pembentuknya. Walaupun sudah sesuai dengan teori dimana bagian face dan back diisi oleh bahan yang memiliki MOE yang tinggi, apalagi ditambah dengan bagian core diisi oleh bahan yang memiliki nilai MOE yang tinggi pula, nilai MOE yang lebih rendah dibanding bahan pembentuknya ini disebabkan oleh kualitas dari bahan yang digunakan dalam pembuatan kayu laminasi (kandungan cacat dan perbedaan kerapatan tiap lapisan pada lamina), kualitas perekatan dan proses perekatan yang kurang optimal (Satriawan 2009).
Kayu laminasi dengan core MDF 1 cm memiliki MOE yang lebih tinggi dibandingkan bahan pembentuknya. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kayu laminasi core MDF 2 cm dan 4 cm yang memiliki MOE lebih rendah dibandingkan bahan pembentuknya. Hal ini disebabkan kerapatan core MDF 1 cm dan ketebalannya lebih rendah dibandingkan core MDF lainnya. Dengan karakteristik yang dimiliki core MDF 1 cm tersebut, menyebabkan penetrasi perekat lebih maksimal, sehingga MOE-nya meningkat setelah dijadikan kayu laminasi. Semakin tipis kayu laminasi maka kekuatan lentur akan semakin besar
(42)
41
karena penetrasi perekat yang lebih maksimal sehingga luas rekatannya lebih besar (Sulistyawati et al. 2008).
Beberapa faktor yang mempengaruhi MOE kayu laminasi lebih rendah dibandingkan bahan pembentuknya yaitu cacat pada bahan pembentuk kayu laminasi dan kualitas perekatan yang kurang sempurna. Cacat-cacat yang umum terjadi adalah mata kayu, serat miring, membusur (bowing) dan melengkung
(crooking). Cacat-cacat tersebut mempersulit proses pengempaan dan dapat
menimbulkan celah antar lamina saat diklem. Faktor lain yang mempengaruhi nilai MOE adalah besarnya tekanan selama proses pengempaan. Proses pengempaan menggunakan klem memiliki kelemahan yaitu besarnya tekanan yang tidak dapat terukur dengan pasti, akibatnya besarnya tekanan pada klem yang satu dengan klem yang lainnya terkadang tidak seragam.
MOE pada kayu laminasi mengalami penurunan seiring dengan penambahan tebal core yang digunakan. Hal ini menandakan bahan yang lebih tipis apabila disatukan menjadi kayu laminasi sudah dapat memberi kekuatan yang cukup dibandingkan dengan bahan yang tebal, namun hal ini juga harus tetap mempertimbangkan kualitas bahan pembentuk kayu laminasi tersebut. Gambar 21 juga menunjukkan nilai MOE rata-rata terboboti. MOE rata-rata terboboti memiliki kecenderungan yang sama dengan MOE kayu laminasinya, yaitu mengalami penurunan seiring bertambahnya ketebalan namun nilainya berbeda jauh. Nilai yang berbeda jauh ini disebabkan perlemahan-perlemahan yang disebabkan oleh adanya cacat, tekanan kempa yang tidak seragam, teknik perekatan yang kurang maksimal, perlemahan pada sambungan perekat ketika diuji, dan integritas antar material yang lemah sehingga nilai MOE lebih rendah dari nilai terbobotinya. MOE core bahan pembentuk kayu laminasi yang lebih rendah dari MOE bagian face dan back akan menurunkan MOE produk akhir (kayu laminasi) seiring dengan bertambahnya core yang digunakan, begitu pula sebaliknya.
Perbedaan pada nilai rata-rata MOE bahan terboboti dengan MOE kayu laminasi menunjukkan bahwa produk komposit seperti kayu laminasi tidak dapat mengungguli kekuatan rata-rata bahan pembentuknya, karena dalam proses pemilihan bahan sampai proses produksi, terdapat beberapa faktor yang dapat
(1)
78
Lampiran 19 Nilai koefisien absorbsi suara rata-rata bahan pembentuk kayu laminasi
Frekuensi
Rata-rata Nilai Koefisien Absorbsi Suara (
α
)
Sampel
Plywood
Styrofoam
1 cm
Styrofoam
2 cm
Styrofoam
4 cm
Balsa 1 cm
Balsa 2 cm
Balsa 4 cm
MDF 1 cm
MDF 2 cm
MDF 4 cm
Akasia
200
0.309
0.255
0.275
0.268
0.349
0.358
0.340
0.352
0.345
0.287
0.322
250
0.127
0.126
0.132
0.137
0.106
0.121
0.150
0.153
0.159
0.184
0.137
315
0.753
0.803
0.786
0.680
0.162
0.172
0.155
0.194
0.177
0.673
0.528
400
0.308
0.270
0.248
0.290
0.471
0.372
0.452
0.526
0.508
0.276
0.379
500
0.230
0.202
0.179
0.199
0.177
0.134
0.186
0.178
0.199
0.212
0.170
630
0.082
0.069
0.081
0.242
0.077
0.109
0.209
0.149
0.184
0.257
0.109
800
0.098
0.076
0.124
0.346
0.116
0.147
0.351
0.177
0.248
0.344
0.152
1000
0.102
0.070
0.094
0.334
0.145
0.194
0.515
0.191
0.282
0.526
0.161
1250
0.182
0.121
0.163
0.222
0.177
0.321
0.609
0.214
0.313
0.568
0.187
1600
0.133
0.081
0.216
0.251
0.215
0.405
0.512
0.252
0.369
0.469
0.212
2000
0.189
0.140
0.435
0.238
0.269
0.658
0.336
0.374
0.414
0.340
0.286
2500
0.394
0.412
0.568
0.626
0.343
0.605
0.461
0.451
0.463
0.587
0.520
3000
0.672
0.660
0.538
0.425
0.506
0.549
0.474
0.618
0.438
0.507
0.510
3150
0.268
0.249
0.436
0.374
0.353
0.569
0.707
0.328
0.452
0.479
0.515
4000
0.308
0.294
0.831
0.351
0.452
0.254
0.355
0.366
0.359
0.334
0.387
5000
0.345
0.401
0.764
0.613
0.282
0.337
0.282
0.229
0.324
0.378
0.392
Lampiran 20 Nilai koefisien absorbsi suara rata-rata kayu laminasi
Frekuensi Rata-rata
Nilai
Koefisien Absorbsi Suara (
α
) pada Kayu Laminasi dengan
Core
Sampel
Styrofoam
1 cm
Styrofoam
2 cm
Styrofoam
4 cm
Balsa 1 cm
Balsa 2 cm
Balsa 4 cm
MDF 1 cm
MDF 2 cm
MDF 4 cm
200
0.282
0.283
0.330
0.329
0.318
0.305
0.337
0.343
0.367
250
0.130
0.154
0.209
0.149
0.158
0.213
0.145
0.171
0.271
315
0.155
0.133
0.179
0.241
0.180
0.213
0.187
0.179
0.277
400
0.302
0.348
0.340
0.376
0.269
0.365
0.308
0.299
0.408
500
0.124
0.138
0.323
0.173
0.173
0.316
0.155
0.196
0.326
630
0.142
0.169
0.554
0.218
0.205
0.316
0.169
0.233
0.304
800
0.181
0.266
0.739
0.267
0.319
0.292
0.251
0.328
0.294
1000
0.225
0.462
0.689
0.341
0.416
0.261
0.274
0.389
0.264
1250
0.324
0.628
0.443
0.438
0.511
0.246
0.407
0.426
0.242
1600
0.544
0.669
0.346
0.504
0.364
0.239
0.543
0.449
0.240
2000
0.588
0.435
0.394
0.406
0.276
0.299
0.602
0.354
0.323
2500
0.474
0.407
0.301
0.428
0.429
0.231
0.473
0.432
0.281
3000
0.291
0.538
0.672
0.333
0.449
0.653
0.403
0.471
0.765
3150
0.496
0.622
0.529
0.467
0.648
0.348
0.454
0.590
0.408
4000
0.305
0.541
0.385
0.225
0.336
0.218
0.247
0.321
0.342
(2)
79
Lampiran 21 Kurva koefisien absorbsi suara
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A1Lam1
Plywood
Styrofoam 1 cm
Akasia A1lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A1Lam2
Plywood
Styrofoam 1 cm
Akasia A1lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A1lam3
Plywood Styrofoam 1 cm Akasia A1lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A2lam1
Plywood
Styrofoam 2 cm
Akasia A2lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A2lam2
Plywood Styrofoam 2 cm Akasia A2lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A2lam3
Plywood
Styrofoam 2 cm
Akasia A2lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A3lam1
Plywood
Styrofoam 4 cm
Akasia A3lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A3lam2
Plywood
Styrofoam 4 cm
Akasia A3lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi A3lam3
Plywood
Styrofoam 4 cm
Akasia
(3)
80
0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B1lam1
Plywood
Balsa 1 cm
Akasia B1lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B1lam2
Plywood
Balsa 1 cm
Akasia B1lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B1lam3
Plywood
Balsa 1 cm
Akasia B1lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B2lam1
Plywood
Balsa 2 cm
Akasia B2lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B2lam2
Plywood
Balsa 2 cm
Akasia B2lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B2lam3
Plywood
Balsa 2 cm
Akasia B2lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B3lam1
Plywood
Balsa 4 cm
B3lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B3lam2
Plywood
Balsa 4 cm
B3lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi B3lam3
Plywood
Balsa 4 cm
(4)
81
0.000 0.200 0.400 0.600 0.8000 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C1lam1
Plywood
MDF 1 cm
Akasia C1lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C1lam2
Plywood
MDF 1 cm
Akasia C1lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentu Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C1lam3
Plywood
MDF 1 cm
Akasia C1lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C2lam1
Plywood
MDF 2 cm
C2lam1 0.000
0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C2lam2
Plywood
MDF 2 cm
C2lam2 0.000
0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis en Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C2lam3
Plywood
MDF 2 cm
C2lam3 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C3lam1
Plywood
MDF 4 cm
C3lam1 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C3lam2
Plywood
MDF 4 cm
C3lam2 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000
0 1000 2000 3000 4000 5000
Koefis ien Abs o rbs i Suara
Kurva Koefisien Absorbsi Suara Bahan Pembentuk Kayu Laminasi dan Kayu Laminasi C3lam3
Plywood
MDF 4 cm
(5)
82
Lampiran 22 Kerusakan akibat uji lentur pada kayu laminasi
Cross-grain
Tension
Simple
Tension
(6)