Latar Belakang Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan. 1 Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara komprehensif. Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antarnegara. Hal ini disebabkan dalam dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Di sisi lain pebisnis yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas selanjutnya disebut PT. 2 1 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, Jakarta : Prenada Media, 2004, hal.1. PT merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga 2 Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Bandung : CV.Nuansa Aulia, 2006, hal.11. memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut. 3 Kemudahan untuk menarik dana dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT. 4 PT Perseroan adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk Indonesia. Kehadiran perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. perseroan telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial. 5 Keberadaan perseroan di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas selanjutnya disebut UUPT. Selain itu juga perseroan tunduk pada peraturan perundang- undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD, sepanjang tidak dicabut atau ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam Undang-Undang telah menempatkan perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap bekwaam untuk melakukan perbuatan hukum 3 Ahmad Yani Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 1. 4 Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governancedi Tubuh Perusahaan Publik http:researchengines.combadriyahamirudin.html diakses 31 Maret 2009. 5 Indra Surya Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate, Jakarta : http:researchengines.combadriyahamirudin.html diakses 31 Maret 2009. Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan LKPMP Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006, hal.1. dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya. 6 Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu perusahaan acapkali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk di posisi direksi pun adalah dari kalangan perusahaan sendiri. Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang menjadi harta perseroan, bilamana terjadi gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga terhadap perseroan limited liability. 7 Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola perusahaan dapat dicegah sedini mungkin. 8 6 I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc, 2003, hlm. 140. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham RUPS untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan 7 Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 43. 8 Ibid. mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan, dan oleh karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi perseroan, menurut pertimbangannya. 9 Dalam hubungan hukum, di satu sisi direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah perseroan, untuk kepentingan perseroan. 10 Keberadaan direksi dalam suatu perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person. 11 9 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007, Jakarta : Forum Sahabat, 2008, hal.53. Direksi dalam PT ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan 10 Ahmad Yani Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Op. Cit., hal.98. 11 I.G. Rai Wijaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta Kesain Blanc, 2002, hal.1 tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting. Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia. 12 Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut, direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Selama direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas seriap tindakannya diluar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan. 13 Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung 12 Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004, hal. 7. 13 Yani Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op.cit., hal.97 dengan perseroan. 14 Oleh karena itu seorang direksi harus bertindak hati-hati dalam melakukan tugasnya duty of care. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan duty of loyalty. Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan direksi untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya. 15 Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 97 mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada direksi harus dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka direksi mana terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya beritikad tidak baik mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham perseroan sesuai ketentuan yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai pertanggungjawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap anggota direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang mengakibatkan perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Dalam hal perseroan, kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, 16 14 Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi, kepailitan http:helmilaw-helmi.blogspot.com200807tanggung-jawab-korporasi-dalam- hal.html diakses 31 Maret 2009. 15 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 81. 16 Maksud perusahaan di sini adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, dan terus menerus yang didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan danatau laba Pasal 1 huruf b. Undang-Undang tetntang Wajib Daftar Perusahaan, UU No. 3 Tahun 1982 dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan. Sampai sejauh ini, sesuai dengan sifat badan hukumnya dengan pertanggungjawaban terbatas, baik bagi pemegang saham perseroan, direksi, maupun komisaris, praktik menunjukkan bahwa perseroan seringkali dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas, yang seharusnya dapat dikenakan dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah menerbitkan kerugian tersebut. Dengan berkedok di belakang sifat pertanggungjawaban yang terbatas, acapkali kita temukan keadaan dimana perseroan dijadikan tameng bagi direksi perseroan yang tidak beritikad baik. Melalui pelaksanaan kegiatan PT, dengan pertanggungjawabannya yang terbatas, harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi tidak tersentuh. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya dikenakan terhadap harta kekayaan perseroan, sedangkan harta kekayaan perseroan tersebut sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya, yang diterbitkan oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik tersebut. Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UUK dan PKPU, mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan atau kelalaian direksi serta pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan, belum lagi tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana prosedur pertanggungjawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggungjawaban direksi sampai harta pribadi.

B. Perumusan Masalah