Bentuk Pertanggungjawaban Direksi terhadap Pailitnya Perseroan

tanpa penjelasan yang lebih lanjut. Ketentuan Pasal 97 ayat 2 menyebutkan bahwa tugas, wewenang dan tanggung jawab pengurusan perseroan untuk kepentingan dan usaha perseroan dipercayakan dan dibebankan kepada setiap anggota direksi tanpa kecuali, sehingga apabila terjadi kelalaian atau kesalahan seseorang atau lebih anggota direksi berakibat bahwa seluruh direksi, yaitu masing-masing anggota direksi harus menanggung akibatnya.

B. Bentuk Pertanggungjawaban Direksi terhadap Pailitnya Perseroan

Terbatas yang disebabkan Kelalaian atau Kesalahannya Sebagai suatu proyek hukum kepailitan perseroan berarti adalah kepailitan dirinya sendiri, akan tetapi apabila dapat dibuktikan bahwa kepailitan terjadi karena adanya salah urus dan tidak dipenuhinya asas kehati-hatian oleh direksi perseroan maka dimungkinkan oleh undang-undang bahwa direksi dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kepailitan perseroan. Pasal 97 ayat 1 UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan usaha tujuan perseroan. Ini berarti direksi bertanggung jawab atas setiap pengurusan dan perwakilan terhadap Perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pertanggungjawaban direksi terhadap adanya kepailitan perseroan dapat juga dilihat di dalam ketentuan Pasal 104 ayat 2 UUPT : “Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.” Pasal 104 ayat 4 UUPT : “Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 apabila dapat membuktikan : a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.” Mengenai tanggung jawab direksi terhadap kepailitan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat 2 bahwa pada prinsipnya perseroan tetap bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan direksi kepada pihak ketiga terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi dan telah terbukti bahwa perbuatan direksi tersebut diluar kewenangan anggaran dasarnya. 1. Pertanggungjawaban Direksi secara Perdata terhadap Kepailitan Perseroan. Jika perseroan sudah mendapatkan predikat sebagai badan hukum, maka perseroan diakui sebagai subjek hukum mandiri. Jika demikian halnya, apakah suatu perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban, bukankah perseroan sesuatu yang abstrak. Maksud dari abstrak adalah yang tampak keluar hanya para pengurus perseroan. Apabila demikian halnya, maka siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, apakah para pengurus perseroan. Ada beberapa teori yang membahas tentang keberadaan perseroan sebagai badan hukum. Salah satu diantaranya adalah teori organ yang mengemukakan bahwa perseroan diwakili oleh organ manajemennya. Hal ini berarti pertanggungjawaban perseroan dapat dituntut kepada direksi yang sehari-harinya mengelola perseroan. Pada dasarnya bahwa tindakan direksi dapat menjadi tanggung jawab perseroan sepanjang perbuatan tersebut sesuai dengan wewenangnya yang tercantum dalam anggaran dasar perseroan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan perseroan. Pada umumnya, dalam anggaran dasar perseroan telah dijabarkan wewenang dan tugas direksi dan bahkan dalam perbuatan hukum tertentu, harus ada persetujuan dari dewan komisaris. Oleh karena itu, direksi sebagai wakil perseroan pada dasarnya mendapat kuasa dari perseroan itu sendiri. Jadi dalam hal ini berlaku asas menjalankan kuasa yakni tidak boleh melampaui apa yang diberikan kepadanya. Jika direksi melakukan tindakan di luar batas wewenangnya, maka direksi pula yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pribadi. lihat pada Pasal 97 UUPT. Dalam memahami pertanggungjawaban direksi secara hukum perdata, perlu pula dipahami arti perbuatan melanggar hukum atau melawan hukum secara perdata terkait dalam pengelolaan perseroan. Setiap anggota direksi perlu memahami sifat, arti dan akibat perbuatan melanggar hukum serta hal-hal lainnya yang terkait yang terkait dengan pengertian perbuatan melanggar hukum itu sendiri. Pertanggungjawaban hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata adalah berdasarkan titik tolak perbuatan atas perbuatan sendiri, namun selain itu, masih ada pertanggungjawaban selain atas perbuatan sendiri juga karena perbuatan orang lain yang melanggar hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan : “Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.” Pengangkatan anngota direksi melahirkan hubungan hukum, melahirkan hak dan kewajiban. Pelanggaran terhadap “kewajiban” seperti inilah yang kemudian menimbulkan “hak” menuntut. Hal ini tentu identik dengan prinsip pertanggungjawaban hukum yang selalu terkait dengan perbuatan hukum, baik perbuatan sendiri maupun perbuatan orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya. Oleh karena itu direksi bukan saja bertanggung jawab atas perbuatannya sendri, tetapi dapat juga bertanggung jawab atas perbuatan yang kuasanya atau bawahannya yang melanggar hukum. Secara umum prinsip pertanggungjawaban perdata muncul karena adanya kerugian bagi satu pihak akibat perbuatan pihak lain. Kerugian yang dimaksud dalam hal ini adalah yang sejalan dengan pengertian Pasal 1246 KUHPerdata, yaitu : 1. Berupa biaya, yaitu segala dan pengeluaran atau ongkos-ongkos yang secara faktuil telah dikeluarkan; 2. Berupa kerugian, yaitu segala kerugian akibat kerusakan barang-barang milik kreditor yang disebabkan kelalaian debitor; 3. Berupa bunga, yaitu segala keuntungan yang harus menjadi hak kreditor jika debitor tidak melakukan suatu kelalaian. Dalam hukum perdata, selain ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, jika dalam pelaksanaan tugasnya anggota direksi melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga dapat yang disebabkan karena kelalaiannya atau karena kekurang hati-hatiannya.” Oleh karena itu prinsip pengelolaan perseroan yang diatur secara normatif dalam UUPT, bila dilanggar dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum perdata. Pertanggungjawaban secara perdata oleh direksi ini adalah sebagai akibat dari pengelolaan perseroan yang salah, atau telah melakukan pelanggaran dan melanggar prinsip itikad baik yang mengakibatkan kerugian. Dengan demikian prinsip pertanggungjawaban secara hukum perdata terhadap direksi dalam pengelolaan perseroan adalah dengan prinsip pertanggungjawaban hukum untuk mengganti kerugian atas perbuatan melanggar atau melawan hukum. 2. Pertanggungjawaban Direksi secara Pidana terhadap Kepailitan Perseroan. Didalam Pasal 155 UUPT disebutkan bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab direksi danatau dewan komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana. Hal ini berarti bahwa organ-organ perseroan seperti direksi dan dewan komisaris dapat dikenai sanksi pidana apabila direksi dan dewan komisaris tersebut melakukan pelanggaran pidana dalam hal melakukan pengurusan maupun pengawasan terhadap perseroan. Ketentuan pidana mengacu pada KUHP yang tersebar dalam beberapa ketentuan, yakni Pasal 226 dan 396 sampai 403 KUHP. Ketentuan pidana dalam KUHP tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemberesan harta pailit lebih lanjut dalam hal status pailit sudah diputuskan oleh hakim Pasal 226, Pasal 396, Pasal 400 sampai Pasal 402 KUHP serta penyebab adanya kepailitan Pasal 396, Pasal 397, Pasal 398, Pasal 399, Pasal 403 KUHP. Pengaturan pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan berkaitan dengan perbuatan-perbuatan sebagai berikut : a. Tidak mau hadir atau tidak memberikanmemberikan keterangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit Pasal 226 KUHP; b. Perbuatan debitor pailit yang merugikan kreditor Pasal 396 KUHP; c. Perbuatan debitor yang memindahtangankan harta sehingga merugikan para kreditor dan menyebabkan pailit Pasal 397 KUHP; d. Perbuatan direksi atau dewan komisaris perseroan yang menyebabkan kerugian perseroan baik sebelum atau setelah pailit Pasal 398 dan 399 KUHP; e. Perbuatan menipu oleh debitor pailit kepada para kreditor Pasal 400 KUHP; f. Kesepakatan curang antara debitor pailit dengan kreditor dalam rangka penawaran perdamaian kepailitan Pasal 402 KUHP; g. Tindakan debitor pailit yang mengurangi hak-hak kreditor Pasal 402 KUHP; h. Perbuatan direksi PT yang bertentangan dengan anggaran dasar Pasal 403 KUHP. Apabila yang pailit adalah perseroan, maka ketentuan pidana akan dikenakan pada direksi danatau dewan komisaris dan bahkan pemegang saham pun tidak bisa lepas dari ketentuan pidana. Jika debitor pailit adalah perseroan, maka yang bisa dijerat oleh ketentuan Pasal 398 dan 399 KUHP adalah direktur maupun komisarisnya, jika mereka melakukan : 94 a. Turut serta atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar perseroan dan perbuatan-perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian berat sehingga perseroan jatuh pailit. b. Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan perseroan. c. Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana itu diwajibkan oleh UUPT dan anggaran dasar perseroan. Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP mengatur mengenai penyebab adanya kepailitan dapat dipidana, namun hal itu harus memenuhi kriteria pidananya, yakni dalam hal Pasal 396 KUHP bangkrut sederhana : 1. Pengeluaran melewati batas kehidupan sehari-hariterlalu boros; 2. Meminjam uangmodal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa hal itu tidak menolong kepailitannya; 94 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta : Kencana, 2008, hal. 183-184. 3. Tidak dapat memperlihatkan secarA utuh tanpa perubahan-perubahan coretan-coretan atau tulisan-tulisan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHD. Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam Pasal 397 KUHP, yakni : 95 1. Ada tiga macam perbuatan : a. Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada; b. Tidak membukukan suatu pendapatan; c. Menyisihkan atau menarik suatu barang dari budel. 2. Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau dengan terang-terangan di bawah harga. 3. Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditor. 4. Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD. Hal ini berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah sebuah kriminalitas, meskipun nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitor untuk membayar utang-utangnya. Dengan demikian subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa ia telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur dan kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut diatas. 95 Deni Kailimang, Aspek-Aspek Pidana Dalam Kepailitan, dalam Buku : Ruddhy A. Lontoh, Deni Kailimang, Benny Ponto, Penyelesaian Uang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : alumni, 2001, hal. 325-326.

C. Saat Direksi Dinyatakan Lalai atau Salah yang Mengakibatkan