Perkataan Kaum Sufi, "Dia yang awal dan yang akhir"

Perkataan Kaum Sufi, "Dia yang awal dan yang akhir"

Tanya: Orang-orang sufi mengatakan: "Maksud dari kalimat ―Dia yang awal dan yang akhir‖ dalam surah Al

Hadid adalah imam Ali As." Sebagaimana yang pernah ditukilkan oleh Allamah Majlisi dalam Bihar Al Anwar jilid kedelapan. Dengan demikian syubhat ini semakin susah untuk diselesaikan. Jika kita menolak ucapan orang-orang sufi, maka artinya kita juga menolak riwayat yang telah ditukil oleh Allamah Majlisi. Karena dhamir-dhamir yang kembalinya ke Allah Swt sangat banyak sekali dalam Al- Qur‘an. Seperti dalam ayat

"...maka Ia yang memberiku petunjuk." 1 Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan "Ia" adalah Allah Swt. Begitu juga dalam ayat:

1 QS. As-Syuara' : 78.

"...maka Di-alah yang menyembuhkanku." 1 "Dan dia adalah Tuhan baik di langit dan di bumi.

Dan Dia adalah dzat yang maha bijaksana lagi maha mengetahui." 2

"...dan Dia adalah dzat yang maha tinggi dan agung." 3

"...yang maha hidup dan tidak akan mati..." 4 Dhamir-dhamir seperti ini banyak sekali dalam Al-

Qur‘an. Oleh karena itu, bagai mana kita dapat mengetahui bahwa Dhamir dalam ayat di atas tidak kembali kepada imam Ali As?

Jawab: Dalam riwayat memang disebutkan bahwa imam Ali As adalah "yang awal dan yang akhir". Akan tetapi maksudnya adalah, imam Ali merupakan orang pertama kali yang telah mengimani Rasulullah Saw dan orang terakhir yang telah berpisah dengan Rasulullah Saw. Karena ia yang telah meletakkan jasad Rasulullah ke dalam liang lahat.

Akan tetapi yang dimaksud "yang awal dan yang akhir" dalam ayat suci di atas bukan imam Ali As. Yang dimaksud dengan "yang awal" adalah dzat yang wujudnya tidak didahului oleh ketiadaan. Dan maksud

1 QS. As-Syuara': 80. 2 QS. Az-Zukhruf: 84. 3 QS. Al-Hajj: 62. 4 QS Al-Furqan: 85.

"yang akhir" adalah dzat yang tidak diakhiri oleh ketiadaan. Ia adalah Allah Swt yang pernah berfirman: "...dan segala perkara berakhir kepada Tuhanmu." 1

2 Wajibul Wujud 3 adalah Sebab Mumkinul Wujud Tanya: Kepada yang terhormat guru besar dan mufasir

terkemuka, Allamah Thabathabai. Pembahasan anda dalam Tafsir Al Mizan jilid kelima halaman 149 sampai 150, tepatnya pada bagian yang berjudul Bahts e Falsafi (Pembahasan Falsafi) telah menimbulkan sebuah pertanyaan di benak saya.

Pertanyaan tersebut adalah: Bagaimana kita membayangkan bahwa Allah Swt adalah bagian dari

sebab-sebab 4 sempurna sedangkan Ia sendiri berfirman: "...tak ada satupun yang menyerupai-Nya.." 5

1 QS. An-Najm: 42. 2 Wajibul Wujud adalah maujud yang keberadaannya tidak didahului oleh

ketiadaan dan keberadaanya tidak membutuhkan keberadaan maujud (sebab) yang lain.

3 Mumkinul Wujud adalah maujud yang keberadaannya di dahului ketiadaan dan keberadaannya disebabkan oleh wujud lain yang bernama

"sebab". 4 Sebab-sebab sempurna atau Illatu Tammah adalah sekumpulan sebab

yang mana dengan terkumpulnya sebab-sebab itulah maujud yang bernama akibat akan terwujud.

5 QS. As-Syura: 11.

Jawab:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh .

Alhamdulillah, surat mulia anda telah sampai. Pembahasan Falsafi yang tertera dalam kitab Tafsir Al Mizan jilid kelima halaman 149 sampai 150 cetakan Tehran, memuat dua pendapat mengenai keberadaan wujud Tuhan sebagai "sebab" bagi segala maujud yang mumkin . Menurut pendapat pertama, keberadaan Tuhan merupakan bagian dari sekumpulan sebab- sebab sempurna; dan menurut pendapat kedua, Ia adalah satu-satunya sebab sempurna yang telah mewujudkan semua maujud mumkin.

Sebenarnya kedua pendapat ini tidak saling bertentangan. Hanya saja, pendapat kedua adalah pendapat yang dihasilkan dari sudut pandang yang lebih mendalam dan lebih detail daripada yang pertama.

Awal mulanya, yang dapat dipahami oleh seorang manusia adalah banyaknya maujud yang berada di alam ini. Segala maujud memiliki kekhususan tersendiri dan memiliki perbedaan dengan maujud yang lain. Tak lama kemudian, ia mulai memahami adanya hukum sebab dan akibat yang dimiliki oleh segala maujud yang mumkin. Dengan demikian ia menyadari bahwa keberadaan setiap maujud yang mumkin memerlukan penyebab. Jika penyebabnya juga berupa maujud Mumkin, maka ia juga membutuhkan penyebab yang Awal mulanya, yang dapat dipahami oleh seorang manusia adalah banyaknya maujud yang berada di alam ini. Segala maujud memiliki kekhususan tersendiri dan memiliki perbedaan dengan maujud yang lain. Tak lama kemudian, ia mulai memahami adanya hukum sebab dan akibat yang dimiliki oleh segala maujud yang mumkin. Dengan demikian ia menyadari bahwa keberadaan setiap maujud yang mumkin memerlukan penyebab. Jika penyebabnya juga berupa maujud Mumkin, maka ia juga membutuhkan penyebab yang

sekumpulan sebab sempurna —pent.)

bagian

dari

Ini adalah alasan pendapat pertama. Adapun pendapat kedua, bagi orang-orang yang berpendapat seperti ini, semua maujud mumkin yang ada di alam semesta adalah suatu kesatuan maujud yang bersifat mumkin yang mana keberadaannya membutukan satu sebab yang disebut dengan Wajibul Wujud. Dengan demikian, bagi mereka Wajibul Wujud adalah sebab sempurna bagi satu kesatuan maujud-maujud mumkin yang beraneka ragam. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Tafsir Al Mizan, bagi mereka Ini adalah alasan pendapat pertama. Adapun pendapat kedua, bagi orang-orang yang berpendapat seperti ini, semua maujud mumkin yang ada di alam semesta adalah suatu kesatuan maujud yang bersifat mumkin yang mana keberadaannya membutukan satu sebab yang disebut dengan Wajibul Wujud. Dengan demikian, bagi mereka Wajibul Wujud adalah sebab sempurna bagi satu kesatuan maujud-maujud mumkin yang beraneka ragam. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Tafsir Al Mizan, bagi mereka

Yang jelas pendapat pertama merupakan landasan bagi pendapat kedua. Karena jika pendapat pertama adalah pendapat yang salah, maka penetapan hukum sebab dan akibat juga akan disalahkan. Dan jika hal itu terjadi, maka jalan penetapan Tuhan akan tertutup total.

Menganggap Allah Swt sebagai bagian dari sekumpulan sebab sempurna sama sekali tidak bertentangan dengan ayat Al- Qur‘an yang berbunyi: "...tak ada satupun yang menyerupai-Nya.." 1 . Karena

jika kita menganggap segala sesuatu adalah sebab seperti halnya Tuhan, dengan syarat kita harus menyadari bahwa mereka adalah sebab yang besifat mumkin, maka hal ini tidak akan menyebabkan penyerupaan makhluk dengan Tuhan. Sebagaimana kita tidak dapat disebut musyrik begitu kita menganggap maujud selain Allah Swt sebagai makhluk yang hidup, dapat mendengar, berbicara, dan lain sebagainya. Karena kita menyadari bahwa sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk pada dasarnya bukan milik mereka sendiri; akan tetapi adalah sifat-sifat yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Dan jelas sekali kita

1 QS. As-Syura: 11.

dapat memahami bahwa sifat-sifat yang mereka miliki jauh berbeda dengan sifat-sifat Tuhan.

Pendapat pertama di atas juga tidak bertentangan dengan ayat yang berbunyi: "...apakah ada pencipta

selain Allah?!..." 1 . Karena yang dimaksud dengan "pencipta" dalam ayat di atas adalah pencipta hakiki

yang wujudnya adalah Wajibul Wujud yang mana dirinya sendiri tidak berupa ciptaan. Lagi pula Al- Qur‘an sering menyinggung adanya pencipta-pencipta selain Tuhan. Allah Swt berfirman: "Maka betapa mulia

Allah; sebaik-baiknya pencipta." 2

Ia juga berfirman: "...dan engkau membuat sesuatu berbentuk burung dari tanah dengan izin-Ku lalu kutiupkan ruh-Ku kepadanya kemudian dengan izin-Ku

ia menjadi seekor burung..." 3 Lebih dari dari itu, Al- Qur‘an juga mengakui adanya

hukum sebab dan akibat dalam setiap maujud. Allah Swt berfirman: "...dan Ia memulai penciptaan manusia dari tanah kemudian menjadikan keturunannya dari

semacam sari berupa air yang hina..." 4 Ia juga berfirman: "...yang telah menciptakan kalian dari

satu jiwa lalu menciptakan seorang istri baginya

1 QS. Al-Fathir: 3. 2 QS. Al-Mu'minun: 14. 3 QS. Al-Maidah: 110. 4 QS. As-Sajadah: 7 – 9.

kemudian (Allah Swt) menciptakan banyak sekali lelaki dan perempuan dari mereka berdua..." 1

Oleh karena itu, kita tidak dapat berpendapat bahwa hanya Allah Swt sebab terwujudnya sesuatu dan makhluk Allah Swt tidak dapat menjadi sebab terwujudnya sesuatu yang lain. Pemikiran seperti ini adalah pemikiran kelompok Asyairah yang tidak dapat dibenarkan.

Demikian penjelasan singkat dari saya. Wassalam.