Kaum Sofis, Pengingkar Pengetahuan

Kaum Sofis, Pengingkar Pengetahuan

Tanya: Dalam dunia filsafat, sejak zaman dahulu sampai hari ini, masih ada sekelompok orang yang selalu menganggap segala sesuatu yang ada sebagai fiksi dan mereka tidak meyakini adanya satu pun kenyataan. Sebagian dari orang-orang ini sampai- sampai meragukan keraguan diri mereka sendiri; dan kesimpulannya, mereka telah mengingkari wujud dan adanya pengetahuan. Orang-orang seperti ini dalam dunia filsafat disebut dengan kaum sofis. Saya berharap Anda dapat memberikan penjelasan yang ilmiah dan filosofis mengenai pemikiran mereka.

Jawab: Kita memang berhadapan dengan orang- orang sofis yang selalu mengatakan bahwa selain diri kita dan pemikiran kita, apa pun yang ada hanyalah khayalan belaka yang tidak punya kenyataan. Sebagian dari mereka juga ada yang berkata bahwa selain diri kita dan pemikiran kita, segalanya adalah ketiadaan.

Dan yang lebih menakjubkan lagi, sebagian dari mereka bahkan menegaskan bahwa kami ragu terhadap segalanya, dan bahkan kami juga meragukan keraguan kami sendiri! Mereka adalah orang-orang yang mengingkari keberadaan ilmu dan pengetahuan. Mereka ini dikenal dengan orang-orang sofis.

Dalam tema-tema filsafat, tepatnya ketika kita membahas suatu permasalahan yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan, tak jarang kita meneliti kembali pemikiran-pemikiran mereka. kita pun berhasil membuktikan kesalahan mereka, dan akhirnya kita dapat memastikan keberadaan pengetahuan (yang benar).

Tak diragukan lagi bahwa semua manusia secara fitri memahami segala yang sesuatu sebagaimana adanya; dan mereka meyakini adanya kenyataan wujud di luar wujud dirinya (wujud khariji). Kenyataan ini benar- benar nyata dan jelas bagaikan matahari yang bersinar di siang hari.

Di hadapan kaum sofis, kita dapat menetapkan adanya berbagai macam realita beserta bukti-buktinya; dimana setiap satu dari realita-realita tersebut memiliki kriteria tersendiri yang berbeda dengan yang lain dan juga memiliki peranan sebagai pemberi dampak atau pengaruh bagi wujud yang berbeda. Apa yang ada di sekitar kita adalah sebuah realita yang berbeda dengan Di hadapan kaum sofis, kita dapat menetapkan adanya berbagai macam realita beserta bukti-buktinya; dimana setiap satu dari realita-realita tersebut memiliki kriteria tersendiri yang berbeda dengan yang lain dan juga memiliki peranan sebagai pemberi dampak atau pengaruh bagi wujud yang berbeda. Apa yang ada di sekitar kita adalah sebuah realita yang berbeda dengan

Namun pada saat yang sama, semua realita yang berada di sekeliling kita dan yang kita lihat ini adalah acuan (misdaq) dari dua konsep dan dengan tiadanya salah satu dari dua konsep tersebut, realitas yang dimaksud tidak akan ada.

Wujud dan Esensi: keberadaan seorang manusia yang, misalnya saja ada di hadapan kita, adalah sebuah realita yang jika ―kemanusiaan‖ manusia tersebut kita sisihkan, atau wujud diri manusia tersebut yang kita abaikan, maka realitas tersebut (manusia) tidak akan terwujud. Yang jelas dua konsep wujud dan esensi, adalah dua hal yang saling berbeda satu sama lain. Karena wujud dan ketiadaan adalah dua hal yang bertentangan dan mustahil keduanya berkumpul. Wujud berbeda dengan esensi yang mana esensi tidak bisa disifati dengan wujud atau ketiadaan.

Begitu juga misdaq dua mafhum di atas, keduanya secara esensial tidak dapat berupa hal yang memiliki realitas yang ashil Karena jika keduanya memiliki realitas yang ashil, maka setiap realitas khariji (yang berada di alam kenyataan luar benak) akan memiliki dua realitas. Padahal setiap realitas khariji hanya memiliki satu realitas dan wujudnya hanya ada satu buah. Dengan demikian, hanya salah satu di antara wujud dan esensi yang memiliki realitas yang ashil.

Kini yang menjadi pertanyaan kita, manakah yang memiliki realitas yang ashil, wujud ataukah esensi? Jika kita memperhatikan segala maujud yang ada di sekitar kita dengan teliti, kita akan mendapati bahwa sebenarnya segala maujud tersebut dapat berperan sebagai maujud yang memiliki kriteria dan dampak

tersendiri ketika ada unsur ―keberadaan‖ di dalamnya. Sebenarnya esensi adalah hal yang berada di antara dua titik peran yang mana kedua titik peran tersebut adalah keberadaan sebagai pemberi dampak dalam wujud dan keberadaan bukan sebagai pemberi dampak dalam wujud. Karena esensi secara esensial berada di antara kedua titik tersebut, maka kita dapat

mengatakan bahwa ―wujud‖ yang memiliki realitas yang ashil; bukan esensi.

Dengan dua penjelasan di atas kita dapat menetapkan bahwa wujud memiliki realitas yang fundamental dan dengan demikian segala pendapat yang pernah diutarakan mengenai Ashalatul Wujud atau Ashalatul Mahiyat selain pendapat ini adalah pendapat yang tidak benar. Misalnya adalah sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebenarnya esensi-lah yang memiliki realitas yang ashil, bukan wujud. Pendapat tersebut salah; karena akal sehat kita mengatakan bahwa esensi yang berada di antara dua titik keberadaan dan ketiadaan tidak dapat kita sebut Dengan dua penjelasan di atas kita dapat menetapkan bahwa wujud memiliki realitas yang fundamental dan dengan demikian segala pendapat yang pernah diutarakan mengenai Ashalatul Wujud atau Ashalatul Mahiyat selain pendapat ini adalah pendapat yang tidak benar. Misalnya adalah sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebenarnya esensi-lah yang memiliki realitas yang ashil, bukan wujud. Pendapat tersebut salah; karena akal sehat kita mengatakan bahwa esensi yang berada di antara dua titik keberadaan dan ketiadaan tidak dapat kita sebut

Seperti yang telah dikatakan di atas pula dalam pernyataan yang mengatakan bahwa dalam Wajib, wujud yang memililiki realita yang ashil dan dalam Mumkin , adalah esensi; dan seperti yang telah dikatakan juga mengenai pendapat yang menjelaskan bahwa dalam Wajib, wujud adalah yang memiliki realita yang ashil dan dalam Mumkin, adalah Kuyuniyah. Sedangkan yang kita pahami dari Kuyuniyah dalam Wajib dan Mumkin adalah keberadaan sesuatu sebagai sumber terwujudnya dampak. Oleh karenanya, Kaun dan wujud adalah dua kata yang sama artinya. Dan hakikat perkataan di atas tidak lebih dari sekedar penamaan saja.

Dan seperti ini pula pendapat orang-orang yang menyatakan bahwa yang asil bukanlah wujud dan esensi; bahkan yang asil adalah hakikat. Karena kita menjadikan keberadaan sesuatu sebagai sumber pemberian dampak sebagai tolak ukur hal yang asil¸ maka pendapat ini juga tak lebih dari sekedar penamaan pula. Dan sesungguhnya yang mereka maksud dengan hakikat, adalah sesuatu yang dipahami oleh orang-orang lainnya yang mana mereka menyebutnya dengan sebutan wujud.

Wujud Musyakik: sebelumnya perlu diketahui bahwa para ahli logika ketika membahas beberapa

pembahasan logika, khususnya mengenai pembahasan Kulli , mereka membagi Kulli menjadi dua bagian; Mutawati dan Musyakik. Mutawati adalah esensi yang mana individu-individunya dari segi kesesuaian dengan esensi tersebut saling memiliki kesamaan. Seperti konsepsi manusia yang mana setiap individu dari konsepsi tersebut adalah maujud yang semuanya memiliki kemanusiaan yang sama. Kalaupun ada perbedaan, itu pun dari segi hal-hal yang non esensial yang berada di luar konsepsi manusia; seperti tinggi, pendek, berat bedan, umur, dan lain sebagainya. Adapun Musyakik, adalah esensi yang memiliki individu-individu yang saling berbeda dari segi kesesuaiannya dengan Kulli tersebut. Contohnya seperti cahaya yang mana setiap individunya memiliki perbedaan dengan selainnya dari segi terang dan redupnya cahaya tersebut. Dan perbedaan redup dan terangnya cahaya yang dimilikinya bergantung dengan kecahayaan cahaya tersebut. Dengan demikian cahaya yang terang dalam kecahayaannya adalah terang; dan begitu pula cahaya yang redup.

Semua hal yang dapat dirasakan adalah hal yang bersifat Musyakik. Dengan indra pengelihatan kita dapat melihat cahaya dan dari segi Misdaq-nya kita mendapatinya berbeda-beda. Dan perbedaannya terdapat dalam segi kecahayaannya (Nuriyat) , sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu

juga kita dapat melihat dimensi dan jarak dengan perbedaan yang dimilikinya seperti ukuran panjang dan pendeknya jarak, kedalaman, panjang dan lebar yang mana perbedaannya dalam dimensi dan kuantitaas itu sendiri. Dengan indra pendengaran yang mana dengannya kita dapat mendangar bermacam- macam suara, kita dapat merasakan ada suara yang sangat keras, agak keras, pelan, dan sangat pelan; yang mana perbedaan ini terletak pada suara itu sendiri dan bukan pada suatu hal yang bersifat aridh (baca: menempel) padanya. Dengan indra penciuman, kita dapat mencium berbagai macam bebauan yang berbeda-beda yang mana kita juga bisa merasakan bahwa di antara bebauan yang kita cium ada yang sangat wangi baunya, ada yang wangi, ada yang berbau busuk, dan ada juga yang sangat busuk baunya; dan perbedaan inipun terletak pada esensi bebauan itu sendiri. Dengan indra perasa kita dapat merasakan berbagai macam rasa seperti manis, sangat manis, pahit, dan sangat pahit. Dan sama seperti yang lain, perbedaan mereka terletak pada diri rasa itu sendiri; bukan pada hal yang berada di luar esensinya. Dengan indra peraba kita dapat membeda-bedakan benda-benda yang kita raba. Sebagian dari benda- benda tersebut panas, sangat panas, dingin, dan sangat dingin. Begitu juga terkadang kita dapat merasakan sebagian benda lembut, sangat lembut, kasar dan sangat kasar. Dan perbedaan-perbedaan ini juga kita dapat melihat dimensi dan jarak dengan perbedaan yang dimilikinya seperti ukuran panjang dan pendeknya jarak, kedalaman, panjang dan lebar yang mana perbedaannya dalam dimensi dan kuantitaas itu sendiri. Dengan indra pendengaran yang mana dengannya kita dapat mendangar bermacam- macam suara, kita dapat merasakan ada suara yang sangat keras, agak keras, pelan, dan sangat pelan; yang mana perbedaan ini terletak pada suara itu sendiri dan bukan pada suatu hal yang bersifat aridh (baca: menempel) padanya. Dengan indra penciuman, kita dapat mencium berbagai macam bebauan yang berbeda-beda yang mana kita juga bisa merasakan bahwa di antara bebauan yang kita cium ada yang sangat wangi baunya, ada yang wangi, ada yang berbau busuk, dan ada juga yang sangat busuk baunya; dan perbedaan inipun terletak pada esensi bebauan itu sendiri. Dengan indra perasa kita dapat merasakan berbagai macam rasa seperti manis, sangat manis, pahit, dan sangat pahit. Dan sama seperti yang lain, perbedaan mereka terletak pada diri rasa itu sendiri; bukan pada hal yang berada di luar esensinya. Dengan indra peraba kita dapat membeda-bedakan benda-benda yang kita raba. Sebagian dari benda- benda tersebut panas, sangat panas, dingin, dan sangat dingin. Begitu juga terkadang kita dapat merasakan sebagian benda lembut, sangat lembut, kasar dan sangat kasar. Dan perbedaan-perbedaan ini

Ya, dengan memperhatikan lebih dalam lagi, kita dapat memahami bahwa dalam esensi-esensi yang ambigu (musyakik) ini terdapat banyak perbedaan dan pertentangan.

perbedaan dan pertentangan tersebut tidak terletak pada esensi yang merupakan konsepsi dari jawaban pertanyaan ―Apa itu?‖, bahkan terletak pada penerapan kepada acuannya. Contohnya adalah konsepsi ―hitam‖ yang mana memiliki wujud yang bermacam-macam; ada yang hitam pekat dan ada yang sedikit hitam. Konsepsi hitam pekat dengan yang agak hitam adalah sama; akan tetapi wujudnya yang berbeda-beda. Oleh karenanya Tasykik terletak pada wujud dan bukan pada esensi sebagaimana dia adalah esensi. Dan inilah maksud orang-orang yang berkata bahwa Tasykik ada pada „aradhi dan bukan pada „aradh.

Akan

tetapi

Dengan demikian kita dapat menetapkan Tasykik; tetapi dalam wujud, bukan dalam esensi. Adapun mereka yang berpendapat bahwa Tasykik tidak masuk akal karena tidak ada artinya sesuatu yang satu memiliki berbagai sifat yang berbeda, sepertinya mereka tidak bisa membedakan wahid adadi dengan wahid bil umum. Karena memang benar bahwa sesuatu yang satu dan kesatuannya adalah wahid adadi tidak mungkin memiliki banyak sifat yang saling Dengan demikian kita dapat menetapkan Tasykik; tetapi dalam wujud, bukan dalam esensi. Adapun mereka yang berpendapat bahwa Tasykik tidak masuk akal karena tidak ada artinya sesuatu yang satu memiliki berbagai sifat yang berbeda, sepertinya mereka tidak bisa membedakan wahid adadi dengan wahid bil umum. Karena memang benar bahwa sesuatu yang satu dan kesatuannya adalah wahid adadi tidak mungkin memiliki banyak sifat yang saling

Setelah memberikan beberapa pendahuluan ini, saya ingin menjelaskan bahwa degan mengingat bahwa konsepsi wujud —sebagaimana yang telah mereka jelaskan —adalah konsepsi yang satu yang mana dengan kesatuaannya dapat diterapkan kepada setiap maujud, maka hakikat wujud yang merupakan misdaq ‗acuan‘ dari konsepsi ini adalah hakikat yang satu. Dan hakikat yang satu ini dengan melihat banyaknya perbedaan dalam individu-individunya yang telah terwujud dari segi keniscayaan (wujub), kemungkinan (Imkan), kesebaban (illiyat), keakibatan ( ma‟luliyat), unitas (wahdat), pluralitas (katsrat), potensi (quwwah), aksi ( fi‟l), dan lain sebagainya, maka oleh karenanya kita dapat mengatakan bahwa wujud adalah hakikat Musyakik dan memiliki level yang berbeda-beda dari segi intensitas dan kekurangannya.

Di sini kita dapat memahami kebatilan perkataan orang-orang yang meyakini bahwa wujud adalah musytarak lafdzi ‗homonim‘ dan arti dari wujud setiap esensi adalah esensi itu sendiri; karena konsepsi ―wujud‖ adalah lawan dari konsepsi ―ketiadaan‖ dan hubungan esensi dengan wujud dan ketiadaan adalah Di sini kita dapat memahami kebatilan perkataan orang-orang yang meyakini bahwa wujud adalah musytarak lafdzi ‗homonim‘ dan arti dari wujud setiap esensi adalah esensi itu sendiri; karena konsepsi ―wujud‖ adalah lawan dari konsepsi ―ketiadaan‖ dan hubungan esensi dengan wujud dan ketiadaan adalah

Dan begitu juga kesalahan perkataan orang-orang yang meyakini bahwa wujud adalah Musytarak Lafdzi ‗homonim‘ di antara Yang Wajib dan Yang Mungkin serta mengira bahwa konsepsi wujud pada Yang Wajib dari segi makna berbeda dengan konsepsi wujud pada Yang Mungkin.

Dan begitu juga apa-apa yang orang telah dikatakan sebagian orang yang mengatakan bahwa segala maujud yang ada adalah hakikat-hakikat yang saling berlainan secara mutlak. Dan titik kesalahan pendapat ini adalah keharusan munculnya konsepsi yang satu dari acuan-acuan yang banyak sebagaimana dia banyak (katsirah bima hiya katsirah) yang mana itu adalah mustahil.

Pensifatan esensi dengan wujud: sebagaimana yang telah kita pahami dari bahasan-bahasan sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap maujud yang ada dan kita kitahui keberadaannya adalah realitas Pensifatan esensi dengan wujud: sebagaimana yang telah kita pahami dari bahasan-bahasan sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap maujud yang ada dan kita kitahui keberadaannya adalah realitas

Yang jels sesuai dengan makna ini, I‟tibariyatul Mahiyah ‗ketak-hakikatan esesni‘ bukan berarti esensi tersebut

adalah hal yang berupa khayalan tak berarti yang hanya ada di benak manusia; akan tetapi esensi adalah maujud objektif (khoriji). Adapun kenyataan yang sebenarnya adalah, realitas itu sendiri secara esensial tidak memiliki ashalah; bahkan dengan bantuan wujud hal itu menjadi sesuatu yang memiliki ashalah. Dan pada hakikatnya, esensi adalah sebuah batasan bagi wujud menjadi pembeda antara suatu wujud dengan wujud-wujud yang lain.

Di sinilah kesalahan pendapat sebagian kelompok yang lain dapat menjadi jelas yakni segala hal yang dari esensi dan memiliki keberadaan di alam luar, memang benar-benar memiliki realitas; karena jika tidak maka tidak lebih dari sekedar khayalan dan anggapan hampa.

Letak kesalahan pendapat ini adalah: esensi yang berada di dalam benak, sesuai dengan dalil-dalil yang telah menetapkan keberadaan wujud dzihni ‗wujud subjektif‘, adalah wujud dzihni bagi esensi yang berada di alam luar yang mana secara esensial ia adalah esensi yang berada di alam luar itu sendiri; dan hal tersebut merupakan hal yang bersifat intelektual (aqli) untuk hukum-hukum dan dampak-dampak (astar) yang faktual. Dan jika hanya merupakan khayalan, maka inti dari esensi tersebut juga merupakan khayalan dan secara mutlak, ia akan kehilangan realitas, meskipun ia berstatus sebagai realitas yang tak-hakiki ( bil „aradh).

Begitu pula, proposisi-proposisi hakiki (qadhoya haqiqiyah ) yang mencakup idividu-individu yang ada; baik secara actual ataupun potensial (muhaqqaqatul wujud dan muqaddaratul wujud) akan menjadi konsepsi-konsepsi bersifat khayalan dan semua tiang ilmu-ilmu pengetahuan akan roboh dan terperosok ke dalam lembah-lembah kebatilan. Dengan demikian jika misalnya ada seorang dokter yang berkata bahwa manusia memiliki jantung, atau seorang yang bijak yang berkata bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad, maka ucapan mereka tidak akan memiliki arti yang berharga dan akibatnya semua ilmu akan tergulingkan dari kedudukannya yang mulia.

Terlebih lagi hukum-hukum esensi yang mana merupakan sifat-sifat dasar (awaridh dzati) esensi itu Terlebih lagi hukum-hukum esensi yang mana merupakan sifat-sifat dasar (awaridh dzati) esensi itu

(jinsiyah), kediferensian (fashliyah), kesubstansian (dzatiyah), keaksidenan ( „ardhiyah), dan lain sebagainya, akan menjadi sirna.

Ya, mengenai wujud subjektif (wujud dzihni), kebanyakan orang dari mereka meyakini adanya ashbah (baca: gambaran mental) dan menganggap forma pengetahuan (shurat ilmiyah) yang mengacu kepada realitas di luar seperti sebuah gambar yang mengungkapkan keberadaan sesuatu-yang-digambar. Seperti halnya sebuah lukisan kuda

yang mengantarkan setiap orang yang melihatnya akan keberadaannya yang sebenarnya (keberadaan kuda yang dilukis dan berada di alam luar).

Akan tetapi sangat jelas sekali kebatilan pendapat ini; karena jika pengetahuan yang kita miliki hanya berupa gambaran-gambaran sesuatu dan tidak mampu memahami sesuatu itu sendiri (sesuatu yang hanya kita ketahui gambarannya saja), maka bagaimana kita bisa berpikiran bahwa dengan memahami gambaran- gambaran tersebut kita dapat memahami keberadaan sesuatu di luar sana (pemilik gambaran-gambaran tersebut)? Oleh karena itu, pendapat mengenai pengetahuan sebagai ashbah dan pemikiran sofistis jelas sekali kebatilannya.

Bab 8