Pola asuh yang benar pada anak usia dini

1. Pola asuh yang benar pada anak usia dini

Sebagai lingkungan pendidikan yang paling dekat dengan anak, kontribusi pola asuh pada anak oleh lingkungan keluarga cukup besar. Sebagaimana dijelaskan Kurniawan (2013: 64), dari orang tua, untuk pertama kalinya seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapatkan pengarahan moral. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Wibowo (2012: 112), bahwa keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai pada anak sangat bergantung pada pola asuh yang diterapkan orangtua. Pola asuh orangtua yang dimaksud adalah pola interaksi antara orangtua dengan anak yang mencakup pemenuhan kebutuhan isik (seperti makan, minum, dan lain sebagainya) dan kebutuhan non isik (seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan semacamnya).

Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan di lingkungan keluarga. Itulah sebabnya, pola asuh pada anak usia dini di lingkungan keluarga mesti mendukung pendidikan seksual pada anak. Dengan demikian, sejak di lingkungan keluarga sudah diletakkan fondasi dari watak dan pendidikan seksual, yang kelak dilanjutkan

Book Two ~ Internasional Prooceeding Seminar “Konsepsi dan Implementasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini” Book Two ~ Internasional Prooceeding Seminar “Konsepsi dan Implementasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini”

3 Nomor 1 Juni 2016, hlm. 27), di antaranya sebagai berikut:

a. Agar anak memahami sejak usia dini dengan baik perbedaan antara perempuan dan la- ki-laki;

b. Agar anak memahami sejak usia dini atribut dan permainan anak perempuan dan laki-laki;

c. Agar anak memahami sejak usia dini begaimana seharusnya perempuan dan laki-laki da- lam bergaul;

d. Agar anak memahami sejak usia dini bahwa tujuan seks adalah mengembangbiakkan keturunan yang shaleh dan shalehah;

e. Agar anak memahami sejak usia dini ajaran moral dan agama dengan baik, terutama hal- hal yang berkaitan dengan urusan perempuan dan laki-laki;

f. Agar anak memahami sejak usia dini bahwa penyimpangan seksual amat dikecam dan dilarang dalam ajaran agama dan norma-norma masyarakat;

g. Agar anak mengetahui sejak usia dini berbagai hal yang berkaitan dengan organ seks, or- gan reproduksi, alat kontrasepsi, masa kesuburan dan kehamilan, serta menopause;

h. Agar anak mengetahui sejak usia dini akibat atau dampak dari perilaku seksual menyim- pang;

i. Agar anak dapat menyesuaikan sejak usia dini dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan ini, pendidikan seks di lingkungan keluarga menempatkan peran orang tua

sebagai pengasuh sekaligus pendidik yang bertanggung jawab dalam menanamkan sejak usia dini pengetahuan dan pemahaman yang benar pada anak tentang aktiitas seksual yang benar. Pengenalan seks pada anak usia dini dapat dimulai dengan pengenalan tentang anatomi tubuh, kemudian meningkat pada penjelasan tentang cara-cara berkembang biak makhluk hidup terutama manusia. Lambat laun, anak akan mengetahui bahwa organ kelamin mereka tidak hanya berfungsi sebagai tempat keluarnya “air kencing” tetapi juga dapat menjadi alat untuk melakukan reproduksi. Pendidikan seksual pada anak dapat dimulai dengan mengajarkan mereka bagaimana membersihkan alat kelamin mereka sendiri setelah buang air kecil maupun besar (Tri Endang Jatmikowati dkk., Jurnal Cakrawala Pendidikan, Volume 34, Nomor 3, tahun 2015, hlm. 435-436).

Selainnya, anak usia dini terutama pada usia 4-5 tahun sudah selayaknya diberikan kamar sendiri atau tempat tidur sendiri yang terpisah dengan orang tua mereka. Pemisahan kamar atau tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang keberadaan dirinya dan melatihnya mandiri. Anak dicoba untuk belajar mengendalikan ketergantungannya dengan orangtuanya. Pemisahan tempat tidur juga perlu dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, yang bertujuan memberikan pemahaman pada anak secara mudah perbedaan jenis kelamin.

Pola asuh yang benar yang mendukung keterbukaan informasi seksual sejak usia dini jelas dapat meminimalisir terjadi perilaku seksual menyimpang pada seseorang. Sebagaimana kita mafhumi, bahwa penyimpangan seksual pada seseorang di antaranya terjadi karena faktor tabu dan larangan dalam pengalaman masa kecil seseorang. Hal ini secara psikoanalisis dapat dijelaskan dalam penjelasan tentang id, ego, dan superego.

Ditinjau dari perspektif psikoanalisis Freud, perbincangan tentang seks yang dianggap tabu, karena secara umum dipicu oleh dorongan-dorongan naluri dalam id. Dalam teori Freud, bahwa salah satu bagian terpenting dari suatu organisme adalah sistem syaraf yang mempunyai karakter sangat peka terhadap apa yang dibutuhkan. Saat seseorang lahir, sistem syarafnya hanya sedikit lebih baik dari binatang lain. Inilah yang disebut sebagai id. Id adalah istilah yang diambil dari kata ganti “untuk sesuatu” atau “itu”, atau komponen yang tak sepenuhnya diakui oleh kepribadian. Id biasanya meredam ketegangan dengan cara memuaskan hasrat-hasrat

Book Two ~ Internasional Prooceeding Seminar “Konsepsi dan Implementasi Pendidikan Islam Anak Usia Dini”

Ego atau saya merupakan satu-satunya wilayah pikiran yang memiliki kontak dengan realita. Kebutuhan lambat laun akan seakin kuat dan semakin banyak, sedangkan keinginan-keinginan lain akan datang silih berganti. Di seputar alam sadar ini, selama tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, sebagian id berubah menjadi ego (aku). Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam bawah sadar yang dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk pemuasan keinginan dan nafsu yang dimunculkan id sebagai representasi kebutuhannya. Tidak seperti id, ego berungsi berdasarkan prinsip-prinsip realitas, yang artinya dia memenuhi kebutuhan organisme berdasarkan objek-objek yang sesuai dan dapat ditemukan dalam kenyataan.

Dorongan-dorongan id ini, terutama yang berhubungan dengan seksual dalam beberapa hal dan kesempatan harus bisa dikendalikan karena terkadang bertentangan dengan dorongan moral yang ada pada super ego, yang tidak selalu dapat dimunculkan terutama saat berhadapan dengan orang lain dalam keterbukaan. Ketika ego berusaha membuat id tetap tenang, di sisi lain dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Segala objek dunia nyata yang menghalangi atau mendukungnya, inlah yang dinamakan superego.

Berdasarkan analisis ini, kita dapat memahami bagaimana seorang remaja atau dewasa yang memiliki perilaku seksual menyimpang dan sulit diajak mendiskusikan persoalannya, lebih dikarenakan tabu atau larangan yang ia dapat sejak ia kecil. Tabu atau larangan ini mempersulit komunikasi. Sulitnya komunikasi, khususnya dengan orang tua, dapat menjadi sebab seorang anak usia dini belajar secara salah tentang seks, sehingga berpeluang mengalami atau melakukan seksual menyimpang dalam perkembangan mereka berikutnya (Masmuri dan Kurniawan, Jurnal Raheema, Volume 3 Nomor 1 Juni 2016, hlm. 109). Hal ini mempertegas pentingnya pola asuh yang benar pada anak usia dini, terutama di lingkungan keluarga.

Pola asuh yang releva dengan tujuan ini adalah pola asuh demokratis. Sebagaimana penjelasan Kurniawan (2013: 82), pola asuh demokratis adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari rangtua. Pola asuh demokratis membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga dan diberi dukungan oleh orangtuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan karakter atau kepribadian anak, sehingga bertumbuhkembang ke arah yang positif.