Kondisi Defisit Anggaran di Indonesia

4.3 Kondisi Defisit Anggaran di Indonesia

Di Indonesia, isu defisit anggaran mendapatkan perhatian yang utama, bahkan sejak Kabinet Ampera kabinet orba pertama. Perhatian tersebut adalah terhadap tingginya tingkat inflasi yang disebabkan oleh pembiayaan defisit anggaran dengan pencetakan uang. Pengalaman ini membuat pemerintah mengintroduksi anggaran yang berimbang dan dinamis untuk menggantikan anggaran moneter. Dengan memasukkan utang luar negeri sebagai sumber penerimaan negara maka anggaran terlihat sebagai balance budget. Utang luar negeri ini bukannya tanpa masalah, beban utang luar negeri yang semakin membengkak membawa konsekuensi logis membebani anggaran dengan pembayaran pokok dan bunga utang yang juga ikut meningkat. Idealnya semua pengeluaran pemerintah dibiayai oleh penerimaan pajak. Peningkatan penerimaan pajak akan menaikkan total penerimaan pemerintah sehingga defisit akan berkurang. Defisit anggaran pemerintah Indonesia dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Sementara itu pembiayaan dalam negeri melalui sektor perbankan maupun non perbankan. Pembiayaan melalui sektor perbankan dapat melalui bank sentral dan bank umum. Defisit anggaran yang melalui sektor perbankan dapat ditelusuri melalui neraca otoritas moneter dan neraca konsolidasi bank umum yang berupa perubahan net claim central government NCG. Pembiayaan melalui sistem non perbankan berupa penerbitan obligasi negara dan privatisasi aset negara, terutama aset negara yang dikelola BPPN. Budi Mulyadi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Nasional Di Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Pinjaman ke luar negeri merupakan alternatif pembiayaan yang paling dominan selama tahun 1969-2000. Pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan utang luar negeri dilatarbelakangi oleh trauma inflasi yang tinggi pada tahun 1960-an, yang disebabkan oleh pembiayaan defisit anggaran dengan pencetakan uang. Mulai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN tahun 2000, pemerintah secara resmi tidak lagi menganut konsep anggaran berimbang yang selama 30 tahun dipergunakan oleh pemerintahan Orde Baru. Mulai APBN 2000 tersebut pemerintah dapat mengajukan pembiayaan defisit, yang sumber-sumber pembiayaannya dinyatakan secara transparan dalam setiap pengajuan anggaran RAPBN. Sistem anggaran semacam ini sebenarnya lebih dikenal di dunia internasional dibandingkan dengan sistem anggaran berimbang ala Orde Baru. Strategi APBN Indonesia menjadi mudah untuk dipahami dan diperbandingkan dengan berbagai negara lain di dunia. Selanjutnya mulai tahun 2001, pembiayaan dalam negeri lebih dominan dalam menutup defisit anggaran. Keunggulan APBN ini terletak pada transparansinya, dimana setiap pembiayaan APBN telah memiliki sumber-sumber pembiayaan yang jelas. Sebelum ini tidak begitu jelas ketentuan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan di daerah sama dengan ketentuan bagi keuangan oleh pemerintah pusat. Pengelola keuangan di daerah masih ragu-ragu, apakah pembiayaan defisit dimungkinkan. Bila dimungkinkan bagaimana hal tersebut dilakukan, dan apa konsekuensinya. Pasal 17 ayat 3 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan Budi Mulyadi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Nasional Di Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 suatu petunjuk yang jelas bahwa pengelolaan keuangan defisit dimungkinkan di tingkat pemerintahan daerah sejauh ada kejelasan darimana sumber-sumber pembiayaan defisit tersebut, dan dengan jumlah defisit tertentu. Suatu defisit dalam APBD dimungkinkan maksimal 3 persen dari Produk Domestik Regional Bruto PDRB daerah bersangkutan, dengan total pinjaman daerah dibatasi maksimal 60 persen dari PDRB-nya. Selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan terdahulu menitikberatkan pembangunan pada bidang ekonomi dengan penekanan ekstra pada besaran-besaran makroekonomi. Jika defisit anggaran terus berlangsung, termasuk dalam pemerintahan saat ini meskipun semakin mengecil proprorsinya terhadap PDB berarti ada yang salah dalam mengelola perekonomian. Pantaslah jika dipertanyakan tentang arah dan efektivitas pinjaman luar negeri yang masuk selama ini Basri, 2002. Perkembangan APBN dalam periode 1981 - 2005 menunjukkan besaran pendapatan dan belanja negara yang meningkat cukup signifikan. Namun demikian, perkembangan tersebut hampir selalu diikuti dengan peningkatan defisit APBN, kecuali pada periode 1991 - 1995 dan periode 1996 - 2000. Peningkatan defisit tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan stimulus fiskal pada periode tersebut, setelah dalam periode tahun 2000 – 2004 lebih menekankan pada strategi konsolidasi fiskal. Budi Mulyadi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Nasional Di Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 Sumber : Nota Keuangan dan APBN tahun 1980 sd.2009 World Bank, 2007 Gambar 4.5. Rasio Defisit APBN terhadap PDB dan Rasio Tabungan Nasional terhadap PDB Periode 1980 sd. 2005 dalam persen Ada satu hal yang cukup serius menjadi perhatian pemerintah belakangan ini yaitu penyerapan anggaran yang dilaporkan pemerintah pusat dan daerah masih rendah dan lambat. Penyerapan anggaran yang lambat dan rendah umumnya disebabkan oleh tata kelola anggaran yang tidak sempurna serta koordinasi lintas departemen dan pemda masih lemah. Keadaan tersebut mendorong ketakutan pihak birokrasi dalam melaksanakan proyek pemerintah. Mereka dibayang-bayangi tuduhan penyelewengan dan penyalahgunaan anggaran yang berpotensi melanggar hukum. Pola pengeluaran pemerintah yang umumnya lambat di paruh pertama setiap tahun dan meningkat menjelang akhir tahun sangat tidak kondusif. Di satu sisi pada saat pengeluaran rendah maka berbagai proyek tidak dijalankan atau dikerjakan Budi Mulyadi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Nasional Di Indonesia, 2009 USU Repository © 2008 dengan pendanaan dari pemasok. Hal ini tentunya meningkatkan biaya proyek itu sendiri dan rawan penyelewengan. Sebaliknya pada saat dana sedang dikucurkan, pelaksanaan berbagai proyek dilakukan tergesa-gesa yang berpotensi menurunkan kualitasnya sekaligus menyulitkan pemantauan keuangan. Sebagai informasi tambahan, menurut catatan Departemen Keuangan Republik Indonesia, sampai akhir tahun, realisasi penyerapan APBN Perubahan 2007 diproyeksikan hanya 90 persen. Itu membuat 10 persen anggaran dari pagu awal Rp 752,37 triliun atau Rp 75,23 triliun bakal hangus. Ironisnya, sebagian besar yang hangus itu untuk membiayai belanja modal dan sejumlah proyek infrastruktur. Selanjutnya pada tahun 2006 defisit APBN membesar menjadi Rp 29,1 triliun atau 0,9 persen PDB dengan nilai pendapatan negara dan hibah sebesar Rp 638,0 triliun 19,1 persen PDB sedangkan nilai belanja negara sebesar Rp 667,1 triliun 20,0 persen PDB. Tahun 2007, defisit APBN juga makin membesar menjadi Rp49,8 triliun atau 1,3 persen PDB dimana pendapatan negara dan hibah sebesar Rp 707,8 triliun 17,9 persen PDB sedangkan belanja negara sebesar Rp 757,6 triliun 19,1 persen PDB. Kenaikan defisit anggaran dalam tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia yang mengakibatkan meningkatnya belanja subsidi yang harus dibiayai negara. Sementara itu melalui langkah-langkah kebijakan pengamanan APBN 2008, maka defisit anggaran dalam APBN-P tahun 2008 dapat dikendalikan menjadi 2,1 persen PDB, dibandingkan potensinya yang dapat mencapai di atas 2,5 persen PDB. Nota Keuangan dan RAPBN Indonesia, 2009. Budi Mulyadi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tabungan Nasional Di Indonesia, 2009 USU Repository © 2008

4.4 Perkembangan Ekspor Netto Indonesia