C. Penerapan Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam Hukum
Penanaman Modal di Indonesia Indonesia adalah negara anggota WTO dan telah meratifikasi Kesepakatan
Pendirian WTO dengan UU No. 7 Tahun 2004. Sebagai anggota dari pergaulan masyarakat internasional yang beradab, Indonesia memiliki kewajiban
mengharmoniskan peraturan perundang-undangannya dengan kewajiban internasional yang telah disepakatinya. Tidak terkecuali UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal harus pula harmonis dengan kesepakatan-kesepakatan internasional yang diterima Indonesia dalam pergaulannya pada berbagai kerjasama internasional. Jika
hal ini tidak dipenuhi, maka Indonesia akan dibawa kedalam penyelesaian sengketa oleh negara-negara lain yang berkepentingan.
Berikut ini akan diuraikan analisis tentang penerapan prinsip-prinsip perdagangan internasional dalam hukum penanaman modal di Indonesia.
1. Prinsip Perlakuan Sama National Treatment dan Most Favoured Nations
Dalam hukum perdagangan internasional, kedua prinsip ini menuntut tidak adanya perlakuan khusus terhadap barang buatan dalam negeri dan larangan
adanya perlakuan diskriminatif berdasarkan asal negara. Barang buatan dalam negeri dan barang asal impor diperlakukan sama, demikian pula bahwa perlakuan
terhadap semua negara anggota WTO harus sama tanpa ada negara tertentu yang diperlakukan khusus.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO.
USU e-Repository © 2008.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan adanya peraturan penanaman modal yang mensyaratkan adanya kewajiban untuk
menggunakan barang buatan dalam negeri sampai jumlah, nilai atau persentase tertentu dalam proses produksi sebagai syarat penanaman modal di Indonesia.
Terakhir Indonesia menggunakan persyaratan kandungan lokal dalam kegiatan penanaman modal berdasarkan Instruksi Presiden RI No.2 Tahun 1996 jo.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.31MPSK21996. Kedua peraturan ini mensyaratkan penggunaan komponen buatan dalam negeri
dalam investasi otomotif di Indonesia sebanyak 20 pada tahun pertama produksi, 40 pada tahun kedua dan 60 pada tahun ketiga. Kebijakan ini
dirubah karena adanya keputusan Panel penyelesaian sengketa WTO yang menyatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip national treatment
dan karenanya kebijakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hambatan perdagangan internasional.
91
Dalam UU No.25 Tahun 2007, persyaratan yang demikian kembali terlihat dalam Pasal 18 ayat 3 huruf j yang mengkaitkan fasilitas penanaman modal
dengan penggunaan produksi dalam negeri kemungkinan akan mendapat perhatian investor asing. Fasilitas penanaman modal yang demikian dapat
berdampak pada perdagangan internasional, karena pemberian fasilitas tersebut didasarkan pada syarat yang dapat berakibat ada perbedaan perlakuan antara
91
Indonesia Automotif Pioner Industry, Panel Report, diakses pada www.wto.orgenglish tratop _einvestmentdisputehtml tanggal 8 Juni 2008.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO.
USU e-Repository © 2008.
barang buatan dalam negeri dengan barang impor. Dalam hal ini perlakuan khusus diberikan kepada barang buatan dalam negeri dalam bentuk fasilitas
penanaman modal, fasilitas mana tidak diberikan kepada penanam modal yang menggunakan barang impor. Tentunya masih bisa diperdebatkan, mengingat
bahwa Pasal ini tidak mensyaratkan adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri dalam jumlah, nilai atau persentase tertentu seperti yang
dilarang dalam Agreement on TRIMs. Tindakan ini merupakan tindakan sukarela tetapi diberikan insentif investasi. Pasal 18 ayat 3 huruf j ini berlindung pada
argumentasi tidak adanya kewajiban menggunakan barang buatan dalam negeri. Dalam UU No. 25 Tahun 2007 perlakuan sama antara investor asing dan
investor domestik dijadikan sebagai kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU tersebut ditegaskan, “Dalam menetapkan
kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional”. Hal ini berarti bahwa UU Penanaman Modal telah mengakomodir prinsip perlakuan sama, yang
diwajibkan oleh GATT, Agreement on TRIMs maupun GATS. Pasal 6 ayat 1 UU PM menetapkan kewajiban Pemerintah memberikan
perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari prinsip most favoured nations dalam perdagangan internasional.
Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO.
USU e-Repository © 2008.
Menyimpang dari Pasal 6 ayat 2 UU PM menerapkan perlakuan diskriminatif dengan adanya perlakuan khusus kepada negara-negara tertentu berdasarkan
perjanjian dengan Indonesia. Sasaran dari perlakuan khusus ini adalah negara- negara yang terikat perjanjian penanaman modal secara bilateral, regional
maupun multilateral dengan Indonesia. Dalam hukum perdagangan internasional ketentuan yang demikian didasarkan
pada prinsip standard of preferential treatment yang membuka peluang adanya penyimpangan prinsip MFN melalui perlakuan khusus terhadap negara-negara
tertentu, seperti negara bertetangga, atau sesama anggota custom union, dan wilayah perdagangan regional atau kawasan tertentu.
2. Prinsip Larangan Pembatasan Kuantitatif