Domestic Regulations WTO PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI PADA UNDANG-UNDANG NO.25

BAB IV PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI PADA UNDANG-UNDANG NO.25

TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DALAM KAITANNYA DENGAN DOMESTIC REGULATIONS WTO

A. Domestic Regulations WTO

Bila ditelusuri ke belakang, globalisasi ekonomi yang bergulir cepat sejak awal 1990-an, bermula dari situasi dan kondisi perekonomian dunia pasca Perang Dunia Kedua Tahun 1945. Amerika Serikat dengan negara sekutunya sebagai kekuatan riil ekonomi dan politik waktu itu memprakarsai “Konferensi Bretton Woods”, yang menghasilkan seperangkat aturan hukum ekonomi internasional berikut organisasi pelaksananya yang menjadi cikal bakal terbentuknya sistem perekonomian dunia. Dalam konferensi ini negara-negara maju sepakat untuk saling mengakhiri kebijakan perdagangan mereka yang “protektif dan menggantinya dengan sistem perdagangan bebas yang tunduk pada prinsip-prinsip pokok General Agreement of Tariffs and Trade GATT 92 . Kecuali itu, mereka juga sepakat untuk menciptakan sistem nilai tukar mata uang nasional mereka secara tetap dengan acuan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap emas. Dengan batasan seperti itulah setiap negara memperoleh kebebasan untuk menyusun dan menerapkan agenda ekonomi nasionalnya masing-masing di wilayah nasional mereka, termasuk menjabarkan 92 Ida Susanti Bayu Seto, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas Menelaah Kesiapan hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas ; Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 9. 103 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 104 ketentuan-ketentuan umum General Agreement on Trade in Services GATS dalam peraturan perundang-undangan nasional, yang disebut “Domestic Regulations”, untuk mengatur ketentuan-ketentuan administratif maupun prosedural terkait sektor-sektor jasa yang telah dinyatakan dalam “Specific of Commitment”. Domestic regulations tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang : 93 1. Persyaratan dan prosedur qualifications requirements and procedures 2. Standar teknis technical standard 3. Standar lisensi dan persyaratan perizinan standard licensing and procedure requirement Pasca – Uruguay Round, negara peserta WTO melakukan serangkaian pertemuan tingkat menteri dengan agenda-agenda, antara lain meninjau penerapan beberapa perjanjian WTO, meneruskan perundingan beberapa sektor perdagangan yang belum selesai, dan mencoba memasukkan beberapa topik baru ke dalam lingkup WTO, seperti misalnya tentang investasi dan kompetisi. Beberapa perundingan itu misalnya WTO Ministerial Conference di Singapore 1996, Seatle – Washington 1999, dan Doha – Qatar 2002. 94 Seluruh perjanjian agreement WTO dianggap sebagai satu “undertaking”. Artinya, semua anggota negara WTO menandatangani perjanjian-perjanjian WTO sebagai satu kesatuan paket dan bukan terpisah sendiri-sendiri. Akibatnya, negara peserta tidak dapat memilih perjanjian yang mana saja yang akan diikutinya secara 93 Lihat Article IV : General Agreement in Trade in Services. 94 Ida Susanti Bayu Seto, Op.cit, hlm.12 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 105 lepasan.Hal ini memberikan keuntungan sekaligus kerugian bagi negara berkembang yaitu : a. Untungnya : dengan prinsip ini perjanjian di bidang tekstil dan pertanian, 2 dua bidang yang sangat penting bagi negara berkembang yang dahulunya “terlepas” dari paket GATT kini menjadi 1 satu bagian dalam WTO, sehingga semua anggota negara termasuk negara maju menjadi terikat pada perjanjian ini. b. Ruginya : negara berkembang menjadi terikat juga pada perjanjian-perjanjian yang sejak awal dirasakan akan lebih banyak membebani mereka, misalnya tentang TRIPs, TRIMs, dan GATS. Perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam kerangka WTO tidak hanya mengatur perdagangan barang saja goods, tetapi juga sektor jasa services, hak milik intelektual intellectual property rights, dan beberapa aspek dari penanaman modal asing aspects of investment. 95 Sebagai konsekuensi dari komitmen Indonesia selaku anggota WTO, adalah bahwa Indonesia harus membuka pasarnya terhadap perdagangan barang dan jasa dari negara anggota WTO lainnya. Indonesia tidak lagi dapat menutup diri dari masuknya barang-barang goods dan jasa-jasa services asing untuk diperdagangkan di Indonesia. Apabila Indonesia secara khusus berpikir tentang perdagangan jasa asing yang dibuka akses pasarnya, maka Indonesia harus bersedia untuk selain menjadi penjual jasa-jasa dari luar negeri juga menjadi pasar dari perdagangan jasa- 95 Ibid, hlm. 13-14. Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 106 jasa dari luar negeri. Salah satu bentuk perdagangan jasa di Indonesia yang paling “rentan”, namun paling “potensial” untuk dimasuki oleh pedagang jasa asing adalah pedagang keterampilan dan keahlian yang biasa disebut “tenaga kerja asing”. 96 Dalam rangka perdagangan bebas di Indonesia, salah satu ketentuan dasar yang ditegakkan adalah “pembukaan akses pasar” terhadap perdagangan barang dan jasa dari negara lain. Dengan demikian, perdagangan jasa di Indonesia juga diwarnai dengan persaingan bebas dan terbuka. Sebagaimana yang terkandung di dalam komitmen untuk membuka askes pasar dari semua negara anggota WTO lainnya. Sebagai anggota WTO, dalam perumusan regulasinya Indonesia berkewajiban untuk memperhatikan konsistensi antara hukum Indonesia tersebut dengan ketentuan- ketentuan di dalam GATT maupun GATS, terutama dalam kaitan dengan komitmen kebijakan yang mendukung akses pasar di bidang perdagangan jasa. Komitmen kebijakan tersebut pada dasarnya meliputi beberapa hal berikut : 97 1. Negara anggota World Trade Organization WTO dilarang untuk membatasi jumlah penyedia jasa, dalam bentuk kuota, monopoli, pemberian hak-hak eksklusif, atau karena alasan kebutuhan ekonomi. Artinya, mekanisme penyediaan jasa di lingkungan negara anggota World Trade Organization WTO terjadi semata-mata karena mekanisme pasar dan tidak diintervensi oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah negara setempat, yang menyebabkan terjadinya pembatasan jumlah pekerja yang boleh 96 Ibid., hlm. 472 97 Ibid., hlm. 474 - 476 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 107 bekerja di suatu negara tersebut. Juga, negara tersebut berkewajiban untuk melarang terjadinya praktek monopoli maupun pemberian hak-hak eksklusif. Di Indonesia, saat ini telah ada ketentuan di dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang mengatur tentang larangan-larangan tersebut. Bahkan alasan ekonomipun tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembatasan tersebut. 2. Tidak membatasi jumlah total pelayanan jasa dalam bentuk kuota atau persyaratan kebutuhan ekonomi. Bila pada bagian sebelumnya yang dilarang adalah membatasi jumlah personal lembaga penyedia jasa melalui kuota atau karena alasan kebutuhan ekonomi, pada bagian ini juga dilarang dilakukan pembatasan terhadap jumlah dari jenis pelayanan jasa yang akan disediakan oleh pemasok jasa dari luar negeri. Misalnya : dilarang suatu negara tertentu memberikan jatah kepada anggota World Trade Organization WTO lainnya untuk memasok jasa hanya sebanyak 10 sepuluh jenis jasa saja. Jenis dari jasa yang dapat dipasok oleh suatu negara bisa menjadi sangat banyak, mengingat banyaknya aktivitas manusia yang hanya akan lancar terjadi berkat adanya bantuan penyedia jasa tersebut. Dengan demikian, semua negara anggota World Trade Organization WTO yang memiliki potensi memasok jasa, diharapkan akan memiliki kesempatan seluas- luasnya untuk dapat memasok semua jenis jasa tersebut tanpa ada hambatan kuantitatif. Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 108 3. Tidak membatasi nilai total transaksi jasa atau kekayaan dalam bentuk kuota atau persyaratan kebutuhan ekonomi Apabila di bagian sebelumnya yang dilarang adalah membatasi jumlah pemasoknya atau jumlah jenis jasa yang akan dipasok, maka di bagian ini yang dilarang adalah menentukan batas maksimal nilai pemasokan jasa yang berasal dari suatu negara tertentu dalam suatu kurun waktu tertentu. 4. Tidak membatasi jumlah personel yang dipekerjakan oleh penyedia jasa atau yang dipekerjakan di sektor jasa tertentu dalam bentuk kuota atau persyaratan kebutuhan ekonomi Seorangsebuah lembaga pemasok jasa seringkali mempekerjakan orang lain dalam memperdagangkan jasanya. Sebagai contoh, sebuah perusahaan sirkus dari China akan mengadakan pertunjukan di Indonesia. Perusahaan sirkus tersebut adalah pemasok jasa pertunjukan dan tentulah perusahaan tersebut melibatkan banyak penyedia jasa lain untuk melaksanakan pertunjukan. Personel yang dipekerjakan oleh pemasok jasa itupun jumlahnya tidak boleh dibatasi oleh negara di tempat pemasokan jasa dilakukan. 5. Tidak membatasi atau mensyaratkan bentuk kerjasama atau badan hukum tertentu bagi penyedia jasa yang akan beroperasi Maksud dari larangan pembatasan ini adalah tidak memperkenankan negara anggota World Trade Organization WTO mengharuskan pemasokan jasa diikat dengan bentuk kerjasama tertentu misalnya harus dalam bentuk technical assistance agreement saja dan tidak boleh dalam bentuk kerjasama yang lain. Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 109 Juga, suatu negara anggota World Trade Organization WTO dilarang mewajibkan pemasok jasa harus berbadan hukum tertentu, misalnya dalam bentuk Perseroan Terbatas PT atau dilarang dalam bentuk koperasi, dan lain-lain. Apabila dikaitkan dengan Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dikaitkan dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, ditemukan beberapa peraturan yang masih melakukan pembatasan yang bisa jadi melanggar larangan tersebut. Pihak pemasok jasa misalnya biro perjalanan yang akan mendirikan perusahaan di Indonesia harus dibuat berdasarkan hukum Indonesia berarti harus memilih bentuk badan hukum yang hanya dikenal di Indonesia. Terlebih lagi, hukum positif Indonesia juga mengharuskan didirikannya perusahaan tersebut dalam bentuk Perseroan Terbatas PT. Hal ini menimbulkan munculnya pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mengkaji lebih lanjut tentang konsistensi antara Undang-undang No.25 Tahun 2007 dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 dengan konteks kewajiban Indonesia sebagai anggota World Trade Organization WTO. 6. Tidak membatasi partisipasi modal asing, misalnya dengan pembatasan maksimum pemilikan saham Masih berkaitan dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 jelas sekali bahwa peraturan memberikan pembatasan tentang jumlah saham yang boleh dimiliki oleh pihak asing dalam konteks ini adalah pemasok jasa asing. Sebagian sektor jasa hanya dapat dimiliki oleh pemasok jasa asing sebesar kurang dari 50 lima puluh persen dari total saham, sementara sektor jasa yang lain dapat dimiliki oleh Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 110 pemasok jasa asing lebih dari 50 lima puluh persen dari total saham bergantung dari sektor jasa yang akan diisinya. Hal ini makin diyakini bahwa ternyata sebagian ketentuan tentang penanaman modal dan peraturan perusahaan Indonesia ternyata masih belum harmonisparalel dalam menjalankan kewajibannya sebagai anggota World Trade Organization WTO. Masih dalam kerangka World Trade Organization WTO, pembatasan terhadap pembukaan akses pasar di bidang perdagangan jasa, dapat ditemukan di dalam 2 dua asas non diskriminasi yang ada di dalam General Agreement of Tariffs and Trade GATT maupun General Agreement on Trade of Services GATS. Kedua asas tersebut adalah asas Most Favoured Nation Principle dan National Treatment Principle. Secara umum kita dapat memaknai pengertian Most Favoured Nation MFN Principle sebagai : 98 Asas yang melarang negara anggota World Trade Organization WTO untuk memberikan perlakuan-perlakuan istimewa berbeda hanya kepada pemasok jasa dari 1 satu atau beberapa negara anggota World Trade Organization WTO sedangkan pemasok jasa dari negara anggota World Trade Organization WTO lainnya tidak mendapatkan perlakuan-perlakuan istimewa tersebut. Intinya, prinsip Most Favoured Nation MFN ini mengharuskan suatu negara anggota World Trade Organization WTO untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota World Trade Organization WTO lainnya. 98 Ibid, hlm. 477 Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 111 Sedangkan yang dimaksud sebagai prinsip National Treatment adalah : 99 Asas yang melarang semua negara anggota World Trade Organization WTO untuk memberikan perlakuan-perlakuan istimewa berbedalebih menguntungkan hanya kepada pemasok jasa dari dalam negeri, bila perlakuan tersebut tidak diberikan juga kepada pemasok jasa dari luar negeri. Apabila diperhatikan kenyataan yang terjadi, ternyata Undang-undang No. 7 Tahun 1994 dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sama sekali tidak menunjukkan keberadaannya sebagai subsistem yang saling mendukung. Hal ini yang menimbulkan pertanyaan, dalam hal Indonesia harus menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kedua peraturan tersebut, maka yang harus dijawab terlebih dahulu adalah peraturan mana yang harus berlaku untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apabila dirujuk kepada asas Pacta Sunt Servanda, sebuah asas hukum internasional yang telah berlaku sebagai International Customary Law, maka bagi Indonesia yang menjadi anggota World Trade Organization WTO dan sepakat untuk terikat pada The Final Act serta harus tunduk dan melaksanakan kewajiban yang muncul dari peraturan tersebut. Apabila Indonesia mengabaikan kewajibannya tersebut dan membuat ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan The Final Act, maka pemerintah Indonesia akan dianggap melanggar asas Pacta Sunt Servanda tersebut. Akibatnya, Indonesia sebagai pelanggar The Final Act dapat digugat oleh negara-negara anggota World Trade Organization WTO lain yang merasa dirugikan dengan keberadaan dari Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tersebut. Hal ini dapat 99 Ibid. Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 112 terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan prinsip transparansi, mengingat setiap anggota World Trade Organization WTO memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap peraturannya yang dapat berdampak terhadap perdagangan internasional harus dilaporkan dan didaftarkan kepada World Trade Organization WTO. Dengan demikian, setiap anggota World Trade Organization WTO akan memiliki akses untuk mengetahui isi peraturan dari negara anggota World Trade Organization WTO lainnya dan mengevaluasi apakah pemberlakuan peraturan tersebut dapat berdampak negatif terhadap pelaksanaan perdagangan bebas dan terhadap kepentingan perdagangan negara tersebut. Kembali ke dalam konteks inkonsistensi antara Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dengan General Agreement on Trade in Services GATS, maka dalam hal ada negara anggota World Trade Organization WTO yang merasa dirugikan oleh substansi undang-undang tersebut, berhak untuk mengajukan claim. Apabila claim tersebut dikabulkan oleh Disputes Settlement Body adalah memerintahkan kepada Indonesia untuk mencabut kebijakan penempatan tenaga kerja asing TKA di Indonesia sebagaimana yang termuat di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003. Bahkan, bila pelaksanaan dari Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tersebut ternyata menimbulkan kerugian material kepada negara yang menggugat, Indonesia bisa diperintahkan untuk membayar kerugian yang dialami oleh negara penggugat tersebut. Asmin Nasution : Penerapan Prinsip Transparansi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Kaitannya dengan Domestic Regulations WTO. USU e-Repository © 2008. 113 Claim dapat diajukan melalui Disputes Settlement Body dari World Trade Organization WTO. Disputes Settlement Body memiliki kewenangan untuk membentuk Panel yang akan melakukan penyelesaian perkara, mengesahkan keputusan Panel penyelesaian sengketa tingkat pertama dan Appelate Body penyelesaian sengketa tingkat banding. Selain itu, Disputes Settlement Body juga berwenang untuk memantau pelaksanaan putusan Disputes Settlement Body. Dalam menyelesaikan masalah antar negara, Disputes Settlement Body berwenang untuk memutuskan perselisihan antar negara, anggotanya. Putusan dari Disputes Settlement Body tersebut dapat berisi : 1. Perintah untuk mencabut kebijakan perdagangan pihak anggota yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan di dalam World Trade Organization WTO 2. Dapat juga putusan tersebut mewajibkan negara pelanggar untuk membayar kompensasi atas kerugian yang dialami negara anggota lainnya 3. Apabila isi putusan tersebut ternyata tidak dipatuhi oleh pihak yang oleh putusan Disputes Settlement Body dikenai kewajiban, maka negara yang dirugikan dapat menunda konsesi atau menunda pelaksanaan kewajiban terhadap negara pelanggar.

B. Domestic Regulations dan Persyaratan Penanaman Modal di Indonesia