BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan di dunia mempunyai hak asasi manusia HAM yang sama. Demikian juga dalam hal memperoleh pendidikan, setiap warga negara berhak
memperoleh pendidikan yang sama, baik anak yang normal maupun anak yang abnormal anak peyandang cacat. Tidak semua anak dilahirkan dalam keadaan sempurna, ternyata
ada sebagian kecil yang mengalami kelainan sehingga mengalami hambatan–hambatan baik dalam perkembangan fisik maupun dalam perkembangan mentalnya. Anak yang
demikian diklasifikasikan sebagai anak luar biasa. Seperti anak yang lain, anak-anak luar biasa juga merupakan bagian dari generasi yang harus memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Perlu diingat bahwa anak cacat juga merupakan anak bangsa yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi
dewasa yang mempunyai percaya diri dan harga diri yang tinggi dalam memimpin dan mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara pada masa yang akan datang.
Penyandang cacat merupakan masalah kesejahteraan sosial yang bersifat patologis Hal ini dapat dibuktikan karena penyandang cacat tidak dapat memecahkan masalah dan
memenuhi kebutuhannya secara individu. Oleh sebab itu, maka diperlukan pelayanan khusus dalam penanganan masalah sosial yang dialami oleh penyandang cacat tersebut
Nurdin, 1989 : 5. Masalah-masalah yang dihadapi oleh penyandang cacat antara lain :
1. Masalah pribadi.
Universitas Sumatera Utara
Masalah yang tampak sekali pada anak cacat yang berkaitan dengan pendidikannya. Untuk itu mereka memerlukan pelayanan dan perhatian khusus dari guru
dan orang tuanya. 2. Masalah di keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama ditemui anak termasuk anak cacat. Apabila dalam satu keluarga ada seorang anak cacat maka masalah dalam keluarga akan
muncul. Anak cacat biasanya diperlakukan berlebihan, sehingga segala keinginannya selalu dipenuhi pekerjaannya selalu dibantu, atau ada juga keluarga yang memperlakukan
sebaliknya, anak dibiarkan begitu saja berkeliaran atau dikurung karena merasa malu oleh keluarga lain atau tetangga.
3. Masalah di masyarakat. Masyarakat adalah tempat dimana anak cacat berada. Seringkali terjadi
masyarakat kurang menerima anak cacat sehingga mereka menganggap anak ini aneh dan sering menjadi bahan tertawaan, bahkan dimanfaatkan dan dilecehkan. Meskipun ada
yang perhatian terhadap mereka pada umumnya atas dasar kasihan. 4. Masalah pekerjaan.
Sebagian besar masyarakat dan perusahaan jarang yang mau menerima anak cacat menjadi karyawannya, karena mereka menganggap anak ini kurang mampu untuk
bekerja. Dari permasalahan tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa mereka pada
dasarnya mereka tidak ingin dikasihani, mereka hanya ingin dihargai, diakui haknya serta diberi kesempatan yang sama dengan teman-teman lainnya yang dianggap normal
Gunawansyah : 2003.
Universitas Sumatera Utara
Badan Kesehatan Dunia WHO mengasumsikan 10 persen dari penduduk suatu negara adalah penyandang cacat. Dengan jumlah penduduk sebanyak 200 juta lebih,
Indonesia paling tidak memiliki 20 juta penyandang cacat. Diperkirakan sekitar 50 persen dari penyandang cacat itu adalah tuna grahita Suara Pembaruan : 2006.
Berdasarkan pusat data dan informasi Pusdatin Departemen Sosial RI, hingga akhir tahun 2007 ada 2. 364. 000 orang penyandang cacat dari sekitar 224 juta jiwa
penduduk di Indonesia Andini : 2008. Menurut Hatta Siregar dalam seminar kewirausahaan penyandang cacat, jumlah
penyandang pada tahun 2008 berjumlah 49.798, terbesar di kabupaten atau kota di Sumatera Utara. Para penyandang cacat tersebut disebabkan karena cacat bawaan dan
cacat setelah lahir. Hal tersebut membuat para penyandang cacat tidak dapat beraktifitas secara normal. Akibatnya, para penyandang cacat tersebut menjadi permasalahan sosial,
seperti pengemis dan gelandangan. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat adalah merupakan
bagian dari pembangunan bidang kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Konvensi Penyandang Cacat dan
Peraturan-Peraturan terkait lainnya. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa
penyandang cacat mempunyai hak dan kedudukan yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Hak-hak dimaksud antara lain adalah hak hidup dan berpartisipasi dalam
pembangunan secara layak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari adanya perlakuan diskriminasi Depsos : 2003.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa setiap anak yang menyandang cacat fisik atau cacat mental
berhak memperoleh pendidikan khusus, pelayanan rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Namun pada kenyataannya dalam banyak hal
para penyandang cacat, khususnya penyandang tuna grahita atau cacat mental, sering kali mendapat perlakuan diskriminasi dan terabaikan dalam masyarakat dan lingkungan
sosialnya serta kurang mendapat akses untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, ketenagakerjaan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hal tersebut sangat
memerlukan adanya dukungan dan kepedulian dari pihak orang tua dan keluarga untuk memberikan advokasi dalam kehidupan mereka karena orang tua merupakan peran
pertama dan utama didalam kehidupan keluarga. Upaya perlindungan hukum bagi para penyandang tuna grahita belum memadai
dilihat dari fenomena realitasnya dewasa ini, dan dengan pertimbangan jumlah penyandang tuna grahita atau cacat mental akan terus meningkat pada masa yang akan
datang. Masih diperlukan lagi sarana dan prasarana terutama berkaitan penyediaan fasilitas sosial oleh pemerintah dan masyarakat yang benar-benar aksebilitas bagi
kepentingan-kepentingan penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan terutama akses memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka pengentasan fungsi sosialnya.
Kecacatan mental tidak hanya akan menjadi masalah bagi penyandang cacat itu sendiri, namun merupakan permasalahan bagi orang tua dan lingkungan sosialnya. Akibatnya,
keberadaan penyandang tuna grahita di keluarga dan lingkungan sosial tersebut mengalami masalah serius. Kehadiran penyandang tuna grahita di satu keluarga dan
lingkungan sosial secara sosiologis menumbuhkan masalah ketidakberfungsian sosial
Universitas Sumatera Utara
keluarga dan lingkungannya, serta perlakuan yang salah terhadap penyandang tuna grahita.
Mengingat dalam kehidupan sehari-hari penyandang tuna grahita mengalami hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya, maka untuk mewujudkan kemandirian
mental, lingkungan sosial dan orang tua atau keluarga mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karenanya orang tua atau keluarga perlu memiliki pemahaman
permasalahan sosial penyandang tuna grahita serta memiliki sikap dan prilaku yang mendukung tercapainya kemandirian dan kesejahteraan sosial penyandang tuna grahita.
Fakta telah membuktikan bahwa tidak sedikit para penyandang tuna grahita yang mampu berprestasi diberbagai bidang antara lain seni tari, bernyanyi dan main musik,
bahkan mereka mampu mempersembahkan mendali emas untuk negara dalam berbagai cabang olah raga seperti bulu tangkis, lomba lari dan atletik dalam even internasional.
Semua itu dapat tercapai berkat kesabaran, ketekunan dan keuletan baik dari pihak penyandang cacat, keluarga maupun pelatihnya. Berdasarkan hal tersebut bahwa
penyandang tuna grahita sesungguhnya dapat berprestasi bila dilatih dan dididik serta di bimbing dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Oleh sebab itu, diharapkan para orang
tua dan keluarga yang mempunyai anak tuna grahita janganlah merasa sebagai anggota masyarakat yang termarjinalkan dan menutup diri dari pergaulan. Begitu juga masyarakat
diharapkan bersama-sama peduli dan memberikan perhatian yang serius terhadap permasalahan sosial yang dialami oleh para penyandang tunagrahita saat ini. Peran orang
tua dan keluarga yang mempunyai anak tuna grahita akan memiliki makna dan manfaat yang penting apabila ada komitmen bersama dengan sektor terkait baik dari pihak
pemerintah maupun swasta untuk memberdayakan dan mengoptimalkan potensi anak
Universitas Sumatera Utara
dalam rangka memandirikannya, sehingga keberadaan mereka menjadi setara dengan anggota masyarakat lainnya Depsos : 2003.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang pelayanan sosial dari pemerintah dalam rangka mengentaskan kesejahteraan sosial para penyandang cacat telah
difasilitasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dipolakan melalui pelayanan
“Rehabilitasi Medik, Rehabilitasi Pendidikan, Rehabilitasi Pelatihan dan Rehabilitasi Sosial”.
Tujuan pemerintah melalui Depsos dalam penanganan masalah penyandang cacat adalah mengurangi hambatan dan pengembangan fisik dan mental sehingga dapat
menyakinkan fungsi sosial secara wajar dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan, bakat, pendidikan, dan pengalaman mereka. Penyelenggaraan kegiatan pelayanan
terhadap penyandang cacat pada dasarnya memang selalu dikordinasi oleh lembaga penyelenggara.
Keberadaan suatu panti atau yayasan ditengah masyarakat tidak hanya penting bagi penyandang cacat saja, malainkan juga bagi keluarganya dengan adanya program
rehabilitasi yang tersedia dalam yayasan atau panti sosial, masyarakat akan dapat mamanfaatkan segala fasilitas dan kemampuan pelayanan yang tidak dimilikinya, karena
pada hakekatnya fungsi sebuah yayasan atau panti sosial bukan hanya didasarkan pada prinsip belas kasihan tetapi meningkatkan derajat penyandang cacat, maka keluarga akan
dapat dibantu dalam mendidik anggotanya yang cacat dalam melakukan fungsi sosial dan ekonomisnya dalam masyarakat Rasyid, 1985 : 77.
Universitas Sumatera Utara
Semakin dini mendapatkan pendidikan dan pelayanan sosial lainnya maka semakin baik hasil yang diperoleh. Penyandang tuna grahita merupakan orang-orang
yang memiliki kemampuan yang harus dikembangkan dan itu dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta pelayanan yang diberikan oleh yayasan atau panti sosial dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga kecacatan yang mereka miliki bukan merupakan penghalang untuk maju dan berkembang.
Sekarang ini, bagi penyandang tuna grahita ditempatkan pada lembaga-lembaga pendidikan sosial. Pusat Rehabitasi Anak Yayasan Pembinaan Anak Cacat Medan
merupakan suatu lembaga pendidikan formal bagi penyandang tuna grahita. Dalam Yayasan ini diharapkan penyandang tuna grahita memperoleh pembinaan, pelayanan
sosial dan pengembangan keterampilan yang dapat meningkatkan keberfungsiaan sosial mereka, sehingga mereka merasa tidak ada diskriminasi dan dapat mengembangkan
keterampilan seperti orang normal dalam bidang yang diminati. Perhatian yang diberikan yayasan ini kepada penyandang tuna grahita khususnya
dalam pengembangan keterampilan yaitu dengan disediakannya kelas pravokasional yaitu kelas yang khusus untuk keterampilan dan kekaryaan. Adapun keterampilan yang
diberikan oleh yayasan seperti : salon, misalnya bagaimana merawat diri, bersisir dan berdandan. Teknologi pengelolaan, misalnya membuat bunga, merangkai bunga dan
memasak. Keterampilan kerajinan, misalnya memotong, melipat dan menggunting kertas, menjahit, dan mengayam. Teknologi budidaya, misalnya berkebun, menanam apotik
hidup. Kerumahtanggaan, misalnya menyapu, mengepel, mengelap, menata, mencuci,dan menyetrika.
Universitas Sumatera Utara
Program layanan rehabilitasi pravokasional yang diberikan oleh YPAC sudah ada sejak 15 tahun yang lalu. Dengan adanya pelayanan tersebut diharapkan para penyandang
tuna grahita tersebut dapat mandiri dalam pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhannya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian di Yayasan tersebut dengan judul : ”Pengaruh Pelayanan Pusat Rehabilitasi Anak Yayasan Pembinaan Anak Cacat YPAC Medan Terhadap Keterampilan
Penyandang Tuna Grahita”.
1.2. Perumusan Masalah