Sebagai Alat Pendidikan Anak Pedagogical Device

prinsip Dalihan Na Tolu atau dalam terjemahan harfiahnya tungku berkaki tiga. Setiap personal dalam kehidupan bermasyarakat memiliki fungsi yang bersifat fleksibel dalam lembaga kebudayaan. Hal seperti ini hadir ketika orang Batak mengadakan suatu hajatan atau pesta. Lembaga–lembaga kebudayan yang dipegang teguh dalam masyarakat Batak Toba dapat dikatakan mirip dengan Trias Politika dalam politik. Sosok Hula-hula adalah sosok yang sangat dihormati, sosok Dongan tubu adalah sosok yang memiliki posisi sama dengan personal setiap perbuatan dan tingkah laku harus dijaga karena mampu mencoreng wibawa mereka di mata masyarakat lainnya. Sedangkan sosok Boru adalah orang–orang yang membantu kita kiranya dalam kesusahan ataupun kala mengadakan pesta atau hajatan sehingga kita harus senantiasa ngemong pada pihak boru. Kehidupan berdasarkan Dalihan Na Tolu ini seperti yang dikatakan bersifat fleksibel sehingga boleh saja seorang menjadi hula –hula di tempat pesta si A namun akan menjadi boru di pesta si C. Konsep mengenai Dalihan Na Tolu ini sangat dipercayai oleh masyarakat batak Toba sebagai hal yang sangat mutlak dalam kehidupan bermasyarakat supaya terhindar dari tabrakan ego maupun pemikiran.

c. Sebagai Alat Pendidikan Anak Pedagogical Device

Cerita rakyat sebagai alat pendidikan anak adalah suatu yang sangat umum dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Cerita Angkalau, Datu Parngongo, maupun Mulajadi Nabolon mengajarkan nilai moral yang mudah dipetik. Seperti dalam cerita Bulan dan Angkalau, ketamakan matahari menjadi awal dari malapetaka kehilangan anak-anaknya. Bagaimana seorang bulan menghadapi suatu kenyataan yang pahit guna membantu para bintang yang tersiksa oleh Universitas Sumatera Utara matahari karena panasnya namun, mereka melanggar janji sehinggga bulan mengalami penderitaan. Cerita Datu Parngongo juga mengajarkan hal yang bersifat menjaga kepercayaan atas apa yang kita sumpahkan kepada orang lain atau yang kita janjikan. Pada dasarnya fungsi ini adalah menunjukkan bagaimana sebenarnya berkelakukan dan bertingkah yang baik, sebab pada dasarnya anak-anak adalah sosok yang selalu ingin tahu atau apa yang ada disekitarnya sehingga kadang tidak mengindahkan nasehat orang lain atau apa yang dikatakan oleh orang tua. Padahal keingintahuannya itu mungkin saja mampu membahayakan dirinya maupun orang di sekitarnya. Sehingga untuk menjaga sikap mereka yang kadang bengal atas apa yang ingin mereka ketahui, maka diciptakanlah cerita yang berisi sosok yang seram dan menakutkan. Cerita rakyat kadang kala berisi tentang akibat yang sangat menakutkan dan tidak diinginkan bila melakukan hal yang dilarang dalam cerita tersebut dan mendapat pahala dan pujian bagi yang melakukan tindakan terpuji seperti yang ada dalam cerita. Tentu dalam masyarakat dikenal apa yang namanya jin, buto ijo, wewe gombel, genderuwo, tuyul, siluman, dan berbagi jenis lelembut lainya. Pada dasarnya sosok ini eksis karena suburnya cerita mengenai hal seperti ini di masyarakat. Wewe gombel adalah sosok yang menculik anak- anak dari orang tuanya yang tidak bertanggung jawab dalam mengurus anak- anaknya. Genderuwo adalah sosok yang akan menculik anak kecil ketika tidak menuruti orang tua kala menyuruh mereka masuk ke rumah pada saat maghrib. Tentu hal seperti ini sangat beragam dan mengakar subur di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang religius dan masih tumbuh subur akan paham-paham klenik di masyarakat. Universitas Sumatera Utara

d. Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Anggota Kolektif pada Masyarakat