Analisis Struktural dan Fungsi Terhadap Cerita Rakyat Batak Toba (Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau)

(1)

ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI

TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA

(Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau)

Skripsi

Oleh

Daniel Simanullang

050701012

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Bersama ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini belum ditulis untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Sepetember 2009


(3)

ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA (Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau)

Oleh

Daniel Simanullang 050701012

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan telah di setujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Peraturen Suka Piring, S.U Drs.Gustaf Sitepu, M.Hum.

NIP 19441208 197412 2 001 NIP 19560403 198601 1 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 19621419 198703 2 001


(4)

PRAKATA

Skripsi “Analisis Struktural dan Fungsi Terhadap Cerita Rakyat Batak Toba (Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau)” ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra di Fakultas Sastra USU Medan. Untuk itu peneliti memanjatkan puji dan syukur atas selesainya penelitian ini. Skripsi ini membahas struktur dan fungsi yang ada dalam cerita rakyat Batak Toba. Cerita tersebut memiliki struktur yang sama dengan struktur karya sastra lainnya dan fungsi bagi masyarakat yang memilikinya. Untuk menyelesaikan penelitian ini, peneliti dibantu berbagai pihak baik dukungan moral dan material, untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, PD I Drs. Aminullah, M.A., Ph.D., PD II Drs. Samsul Tarigan, dan PD III Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum.

2. Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum selaku Ketua Departemen dan Dra.

Mascahaya, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Dosen Pembimbing skripsi I Dra. Peraturen Sukapiring, S.U., dan Dosen Pembimbing skripsi II Drs. Gustaf Sitepu, M. Hum.

4. Dosen pembimbing akademik peneliti, Dra. Anni Krisna Siregar (almarhumah) dan Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Departemen Sastra Indonesia USU.

6. Prof. Ahmad Samin Siregar, S.S., Drs. D. Syahrial Isa, S.U., dan Drs. Kabar Bangun(†)


(5)

7. Seluruh staf dan pegawai di Departemen Sastra Indonesia USU. 8. Keluarga besar Op Samuel Simanullang/br. Lbn Gaol dan Op Bonor

Simanullang/br. Purba/br. Hutasoit .

10. Lae R.Lumban Gaol dan Ito R. Br. Manullang sebagai sosok orang tua pengganti bagi peneliti beserta keponakan,Yuda, Kevin, Lucy, dan Agnes. 11. Sosok yang sangat bermakna bagi peneliti, Melati Veronika Pakpahan dan

keluarga.

12. Sahabat yang mewarnai hari-hari peneliti, Rikardo(02), Baim, Ori, Tukimein, Zack, K’Rapi, Vina, Intan, Lilis, Eni, Lady, Sabrun,Wira, David, Reza, semua anak stambuk 2005, anak KBT (Gopal, Jumadi, dan kawan-kawan), T

“O”(bang Awaluddin), PSS, Gemapala, adik-adik 06, 07, 2008, 2009 (Dwi dan Lina yang mengajarkan Bahasa Melayu) dan semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.

Akhirnya, dengan kebesaran hati, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis harapkan dari Bapak/Ibu serta pembaca. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, February 201 Penulis


(6)

ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA

(Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau) Oleh

Daniel Simanullang Abstrak

Kata Kunci:

Foklore, motifeme, Batak Toba, struktural, dan fungsi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur cerita rakyat Batak Toba dan fungsi cerita rakyat tersebut bagi masyarakat yang memilikinya dalam hal ini masyarakat Batak Toba. Penganalisisan ini diharapkan menambah bahan bacaan pembaca, peneliti tentang struktur dan fungsi cerita rakyat. Penelitian ini diharapkan mampu meperkaya refrensi ilmu sastra khususnya mata kuliah folklore. Teknik penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif dengan mencatat data hasil analisis dalam kartu data yang terlebih dahulu naskah dibaca dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Analisis dilakukan dengan memilah-milah struktur cerita rakyat sesuai dengan teori sturuktural Propp dan mengelompokkanya secara sederhana dalam motifeme-motifeme yang disampaikan oleh Alan Dundes. Kemudian dilanjutakan dengan penelitian berdasarkan teori fungsi yang disampaikan oleh William R. Bascom berdasarakan apa yang ada dalam cerita tersebut dan untuk melegitimasi teori fungsi tersebut peneliti menyebarkan angket dengan metode acak terhadap kelompok yang sesuai dengan syarat yang ditentukan peneliti dalam angket tersebut. Sehingga dari penganalisisan data tersebut dapat diperoleh hasil sebagai berikut. Cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan bentuk motifeme-motifeme dengan cerita rakyat lainnya. Setiap bagian memiliki hubungan sebab akibat yang ditandai dengan adanya pelanggaran dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran tersebut. Dari hasil analisis dapatlah disimpulkan bahwa cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan motifeme/ function dengan cerita rakyat lainnya. Fungsi yang ada pada cerita rakyat memiliki fungsi yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh William R Bascom dalam teori fungsi mengenai cerita rakyat.


(7)

DAFTAR ISI PERNYATAAN

ABSTRAK

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pembatasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.2.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, dan TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Struktur ... 7

2.1.2 Fungsi ... 7

2.1.3 Folklore ... 8

2.1.4 Batak Toba ... 8

2.2 Landasan Teori ... 9

2.3 Tinjauan Pustaka ... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 15


(8)

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 15

3.2.1 Waktu Penelitian ... 15

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.3 Teknik Analisis Data ... 17

BAB IV PEMBAHASAN ... 25

4.1 Struktur Cerita Rakyat Batak Toba ... 25

4.1.1 Cerita Rakyat Debata Mulajadi Nabolon ... 25

4.1.2 Struktur Cerita Legenda Datu Parngongo ... 43

4.1.3 Struktur Cerita Dongeng Angkalau ... 54

4.2 Analisis Fungsi ... 65

BAB V SIMPULAN dan SARAN ... 78

5.1 kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79


(9)

ANALISIS STRUKTURAL DAN FUNGSI TERHADAP CERITA RAKYAT BATAK TOBA

(Mulajadi Na Bolon, Datu Parngongo, dan Angkalau) Oleh

Daniel Simanullang Abstrak

Kata Kunci:

Foklore, motifeme, Batak Toba, struktural, dan fungsi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur cerita rakyat Batak Toba dan fungsi cerita rakyat tersebut bagi masyarakat yang memilikinya dalam hal ini masyarakat Batak Toba. Penganalisisan ini diharapkan menambah bahan bacaan pembaca, peneliti tentang struktur dan fungsi cerita rakyat. Penelitian ini diharapkan mampu meperkaya refrensi ilmu sastra khususnya mata kuliah folklore. Teknik penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif dengan mencatat data hasil analisis dalam kartu data yang terlebih dahulu naskah dibaca dengan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Analisis dilakukan dengan memilah-milah struktur cerita rakyat sesuai dengan teori sturuktural Propp dan mengelompokkanya secara sederhana dalam motifeme-motifeme yang disampaikan oleh Alan Dundes. Kemudian dilanjutakan dengan penelitian berdasarkan teori fungsi yang disampaikan oleh William R. Bascom berdasarakan apa yang ada dalam cerita tersebut dan untuk melegitimasi teori fungsi tersebut peneliti menyebarkan angket dengan metode acak terhadap kelompok yang sesuai dengan syarat yang ditentukan peneliti dalam angket tersebut. Sehingga dari penganalisisan data tersebut dapat diperoleh hasil sebagai berikut. Cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan bentuk motifeme-motifeme dengan cerita rakyat lainnya. Setiap bagian memiliki hubungan sebab akibat yang ditandai dengan adanya pelanggaran dan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran tersebut. Dari hasil analisis dapatlah disimpulkan bahwa cerita rakyat Batak Toba memiliki kesamaan motifeme/ function dengan cerita rakyat lainnya. Fungsi yang ada pada cerita rakyat memiliki fungsi yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh William R Bascom dalam teori fungsi mengenai cerita rakyat.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan peradaban manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya sastra dihadirkan mempunyai tujuaan dan manfaat di samping menyampaikan buah pikiran dan tanggapan pengarang atas apa yang terjadi di dalam lingkungan pengarang. Sastra pada dasarnya merupakan sebuah unsur dari kebudayaan itu sendiri. Sastra merupakan gejala universal yang terdapat dalam setiap masyarakat (Teeuw, 1982:2). Umumnya tidak ada masyarakat tanpa sastra karena setiap masyarakat yang berbahasa pasti mempunyai sastra sendiri.

Peradaban-peradaban dari berbagai bangsa di dunia tidak dapat dilepaskan dari sastra, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1986:875),

Sastra memiliki arti sebagai berikut:1. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari) 2. (kesusastraan) karya seni yang diwujudkan dengan bahasa (seperti gubahan-gubahan atau puisi yang indah-indah), 3. kitab suci (Hindu); kitab ilmu pengetahuan, 4. pustaka (primbon, ramalan, perhitungan, dsb), 5. tulisan atau huruf.

Dapatlah dilihat dari pengertian tersebut bahwa sastra tidak dibatasi pada tulisan yang memiliki nilai “agung” semata. Namun, sastra adalah sebuah media penyampaian sebuah pemikiran atau sikap pada khalayak ramai. Datang dari seorang pemikiran pengarang yang mengandung berbagai ajaran, amanat, dan aturan-aturan yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat .

Dalam perkembangannya, sastra telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mengikuti zaman. Dahulu sifat karya sastra itu hanya untuk menghibur kalangan tertentu saja seperti orang yang berduka atau menyenangkan kaum


(11)

istana. Kini perkembangan sastra telah mencari sebuah muara yang membuat sastra itu semakin mapan dan menunjukkan eksistensi posisinya sebagai salah satu pembentuk sejarah manusia dari zaman ke zaman.

Dalam kesusastraan di Indonesia, posisi sastra lisan sangatlah penting. Bila dicermati secara lebih lanjut, embrio sastra tulis adalah sastra lisan. Hal ini terjadi karena kesadaran kelompok-kelompok dari pemilik sastra lisan itu akan fungsi dan aspek-aspek di dalamnya. Pemilik atau unsur kolektif yang memiliki sastra lisan itu sadar bahwa perlu media pengingat sastra lisan supaya lebih mudah dipahami dan diingat generasi selanjutnya. Dewasa ini seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan di segala bidang, maka manusia lebih berfokus pada pemenuhan akan kebutuhan hidup. Zaman yang serba modren ini dan segala hal kompleks lainnya yang menuntut manusia itu untuk bertahan hidup, sehingga secara tidak sadar masyarakat melupakan sastra lisan yang dimiliki kelompoknya.

Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat majemuk ataupun multikultural, baik dari segi budaya, mata pencaharian hidup, tempat tinggal, pola hidup, dan berbagai aspek yang lain dalam masyarakat. Sebagai suatu contoh dari segi budaya, dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang tinggal di Pantai Selatan, dapat ditemukan cerita lisan tentang Nyi Roro Kidul. Masyarakat tersebut meyakini ada penguasa gaib yang memiliki kerajaan di bawah laut Pantai Selatan. Dari segi mata pencaharian banyak kekhasan sastra lisan yang dapat hadir dan dimiliki oleh kelompok bermata pencaharian tertentu. Misalnya para nelayan ketika akan berlayar ke tengah laut harus memandikan kapalnya dengan bunga tujuh rupa, hal ini bertujuan untuk memuluskan jalan mencari nafkah di tengah laut dan terhindar dari hal-hal yang dapat mengganggu pelayaran kapal tersebut.


(12)

Sastra lisan dapat dikatakan mengatur segala denyut hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan alam sekitar dari kelompok tertentu.

Sastra lisan memiliki bermacam-macam jenis, pantun, teka-teki, dan lain-lain. Salah satu dari jenis sastra lisan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat berisi tentang mite, legenda, dongeng. Cerita rakyat pada awalnya disampaikan lewat media tutur oleh seseorang dalam kelompok kepada anggota kelompok tersebut. Dengan menggunakan bentuk lisan atau dari mulut ke mulut dan dibantu derngan alat peraga atau alat pengingat (mnemonic device). Para orang tua menasehati anggota keluarganya atau para dukun di kampung menyampaikan mite, legenda, atau dongeng untuk tujuan tertentu. Pada umumnya cerita rakyat itu disampaikan pada saat menasehati dan memberi pembelajaran tentang suatu hal, pembelajaran moral dan segala aturan yang berlaku di kelompok ataupun untuk menghibur anggota masyarakat. Dewasa ini cerita rakyat dapat didengarkan dari penuturan orang tua yang berusia lanjut yang masih hidup dan dapat juga ditemukan dalam kumpulan- kumpulan buku tentang cerita rakyat.

Masyarakat Batak Toba memiliki cerita rakyat sebagaimana masyarakat lain di Indonesia. Pada dasarnya cerita rakyat tersebut memiliki kesamaan pola dengan cerita rakyat budaya lain di Indonesia, yaitu: terjadinya alam semesta ( cosmogony ); terjadinya susunan para dewa ; dunia dewata ( pantheon ); terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan ( cultural hero ); terjadinya makanan pokok seperti beras dan sebagainya, untuk pertama kali (Danandjaja, 1986:5).

Demikian juga halnya dengan masyarakat Batak Toba juga memiliki cerita rakyat. Sebagai mana masyarakat lain di Indonesia, yaitu: terjadinya alam semesta


(13)

(cosmogony ) dalam cerita rakyat Batak Toba dapat ditemukan dalam cerita tentang “ Mulajadi Na Bolon ”; terjadinya susunan para dewa ; dunia dewata ( pantheon ) dapat ditemukan dalam cerita “ Bulan dan Angkalau”; terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (cultural hero) dalam cerita rakyat “Datu Parngongo”.

Dewasa ini sudah banyak orang tua maupun anak muda yang kurang berminat terhadap cerita rakyat Batak Toba. Dalam cerita rakyat hadir nilai-nilai pembelajaran untuk berinteraksi dengan sesama maupun lingkungannya. Para orang tua dapat dikatakan kurang berminat untuk menceritakan cerita rakyat kepada anak-anak untuk menasehati maupun menghibur. Anak-anak akrab terhadap cerita-cerita lisan tentang hantu-hantu dan serial komik. Bahkan sangat ironis bila melihat pelestarian cerita rakyat, penerbit sebesar Gramedia ragu untuk menerbitkannya, karena pada dasarnya anak-anak sekarang lebih menyukai membaca komik naruto, conan, atau dragon ball dan sebagainya. Dengan alasan inilah peneliti sangat tertarik sekali untuk mengkaji cerita rakyat Batak Toba yang mulai dan memang telah terpinggirkan. Di samping itu, cerita ini belum pernah diteliti orang.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah stuktur cerita rakyat Batak Toba?

2. Bagaimanakah fungsi cerita rakyat bagi masyarakat Batak Toba?


(14)

Dalam penelitian tidak semua cerita rakyat Batak Toba diteliti, tetapi dibatasi pada tiga cerita. Yaitu satu mite, satu legenda, dan satu dongeng, yaitu:

1. Mite : Mite yang dianalisis adalah mite Debata Mulajadi Na Bolon. 2. Legenda : Legenda yang dianalisis adalah legenda Datu Parngongo. 3. Dongeng : Dongeng yang dianalisis adalah dongeng Bulan dan

Angkalau.

1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan struktur cerita rakyat Batak Toba.

2. Menjelaskan fungsi cerita rakyat Batak Toba bagi masyarakat Batak Toba.

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah sumber bacaan, memperkaya ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya yang akan menganalisis sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat Batak Toba.

2. Memberikan sumbangan pikiran untuk pengajaran sastra lisan sebagai bagian dari mata kuliah folklor.


(15)

Hasil penelitian cerita Batak Toba yang meliputi mite, legenda, dan dongeng, secara praktis dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk lebih memahami seperti apa sebenarnya cerita rakyat itu. Manfaat praktis ini diperoleh karena pada dasarnya cerita rakyat adalah hal yang mewarnai dan melingkupi setiap aspek hidup manusia sebagai makhluk berbudaya. Manfaat praktis ini memberikan pemikiran yang lebih mendalam bahwa setiap cerita rakyat dan sejenisnya tidak hanya untuk semata-mata hiburan saja atau menidurkan anak-anak. Namun sesungguhnya, cerita rakyat itu memiliki fungsi yang fundamental dalam kedudukannya di tengah masyarakat Batak Toba. Cerita rakyat itu memiliki makna dan ajaran yang bersifat filosofis yang mampu menghadirkan eksistensi dari masyarakat Batak Toba sebagai masyarakat yang berbudaya.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Poerwadarminta (2003:558), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, oleh karena itu konsep penelitian ini adalah mengenai:

2.1.1 Struktur

Menurut Abrams (Pradopo, 2002:21), karya sastra itu adalah sesuatu yang mandiri, bebas dari pengaruh sekitarnya, baik pengarang dan pembaca. Dari pengertian ini konsep struktur dalam karya sastra mengutamakan totalitas. Pengertian ini diperkuat oleh Teuw (Pradopo, 2002: 72, 276) bahwa struktur itu murni untuk membongkar apa yang membentuk karya sastra. Hubungan pengertian para ahli ini dengan konsep struktur yang diaplikasikan dalam penelitian cerita rakyat Batak Toba adalah, ke-31 teori dari Vladimir Propp yang oleh Alan Dundes disederhanakan menjadi 6 motifeme, pembongkaran dengan konsep totalitas terhadap apa yang membentuk cerita rakyat Batak Toba adalah konsep dasar dari teori struktur ini.

2.1.2 Fungsi

Fungsi adalah suatu kegunaan atau faal yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan karya sastra, memiliki fungsi dalam masyarakat, apakah itu fungsi langsung atau tidak langsung. Bila dilihat secara langsung,


(17)

fungsi karya sastra itu pada dasarnya adalah media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau yang dialami oleh pengarang itu sendiri atas apa yang terjadi pada masyarakat. Karya sastra dapat dikatakan merupakan gambaran tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dengankata lain hal yang disampaikan dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat .

2.1.3 Folklore

Menurut Jhon Harlod Brunvard dalam Danandjaja (1986:2), folklore adalah

”Sebagian hasil kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun oleh anggota kolektif macam apa saja yang dimiliki secara tradisonal dalam versi berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai oleh alat gerak atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).”

Menurut Iing Suniarti dkk, dalam Sudjiman (16:1990) foklore adalah ” Kisahan anonim yang tidak terikat ruang dan waktu yang beredar secara lisan di tengah masyarakat”.

2.1.4 Batak Toba

Dewasa ini suku Batak Toba terdiri dari sejumlah daerah Toba (Toba Holbung), tetapi ada juga daerah di luar Toba yaitu, Uluan, Humbang, Samosir, dan Silindung yang sebenarnya tidak termasuk daerah Toba.

Oleh Uli Kozok (Kozok, 1999:3) ”Suku Batak Toba adalah masyarakat yang memiliki kesamaan atau kemiripan dari segi bahasa dan budaya serta pendidikan dengan masyarakat yang berdiam di tempat yang disebut Toba Holbung, dan mereka ini lazim disebut etnis Toba oleh para ahli bahasa dan antropologis”.


(18)

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural yang

dikembangkan oleh Propp. Pada awalnya teori Propp ini muncul karena penelitiannya pada cerita rakyat Rusia. Setelah dibandingkan dengan cerita-cerita rakyat yang tersebar di belahan dunia memiliki kesamaan tindakan (function), hanya cara penyampaainnya yang lebih beragam.

Adapun strukturalsime Propp ini yang diutamakan adalah perbuatan, ( function ), ada 31 fungsi yang mendasari klasifikasi cerita rakyat itu ( Junus, 1988 : 63-64 ).

Adapun ke-31 fungsi tersebut adalah :

1. Seorang anggota keluarga meninggalkan rumah. 2. Wira diperingatkan dengan suatu larangan tertentu. 3. Larangan itu dilanggar.

4. Tokoh jahat berusaha untuk berkenalan.

5. Tokoh jahat mendapat informasi mengenai korbannya. 6. Tokoh jahat berusaha dan mencoba menipu korbannya.

7. Korban menyerah pada tipuan tokoh jahat atau terpengaruhi muslihat dari tokoh jahat.

8. Tokoh jahat melukai atau menculik salah satu anggota keluarganya. Anggota keluarga memerlukan pertolongan.

9. Malapetaka atau kekurangan itu dinyatakan; Wira dihadapkan kepada suatu permintaan atau perintah; ia dibiarkan pergi atau disuruh.

10.Pencari setuju atau memutuskan suatu tindakan balas tertentu. 11.Wira meninggalkan rumah.


(19)

12.Wira mengalami percobaan. Ia diserang dan mendapat bantuan dari mahluk atau kekuatan supernatural.

13.Wira bereaksi atas kekuatan atau kepada yang menolongnya. 14.Wira mampu mendayagunakan kekuatan supernatural. 15.Wira dibawa ke tempat benda yang dicarinya.

16.Wira dan tokoh jahat terlibat pertempuran. 17.Wira dikenal.

18.Tokoh jahat dikalahkan.

19.Malapetaka atau kekurangan pertama ditiadakan. 20.Wira kembali ke rumah (dalam perjalann). 21.Wira dikejar.

22.Wira selamat dari pengejaran.

23.Wira sampai di rumah, atau di daerah atau di negara lain tanpa dikenali oleh siapapun.

24.Orang yang menyamar sebagai Wira mengajukan tuntutan yang tidak berdasar.

25.Wira kemabali dihadapkan pada tugas yang sukar. 26.Tugas itu dapat diselesaikan.

27.Wira dikenali.

28.Kedok orang yang menyamar sebagai Wira terbuka. 29.Orang yang menyamar sebagai Wira diberi muka baru. 30.Tokoh jahat dihuku m.


(20)

Fungsi-fungsi di atas dilengkapi dengan tujuh orang yang melakukan tindakan atau action yang melekat apa yang namanya function, adapun function tersebut adalah,:

1. Tokoh jahat. 2. Pemberi . 3. Penolong.

4. Orang yang dicari (putri mahkota) dan ayahnya. 5. Yang disuruh.

6. Wira (pencari atau korban).

7. Seorang yang menyamar sebagai Wira. (Junus,1988; 63-64)

Hubungan function yang dikemukankan di atas sangat berkaitan dengan motifeme yang dikemukakan oleh Alan Dundes. Berdasarkan pandangan Alan Dundes, setiap cerita itu mengandung, dua motifeme, empat motifeme, dan enam motifeme.

Struktur motifeme itu adalah sebagai berikut:

a. Dua motifeme; L (Lack), dan LL (Lack Liquidatet) .

L adalah Lack, kekurangan atau discuiblirium yaitu keadaan yang tidak seimbang.

LL adalah Lack Liquidatet, kekurangan dihilangkan atau ecuilibrium yaitu (seimbang).

b. Empat motifeme; Int, Viol, Conseq, dan AE. Int adalah Interdiction yaitu larangan. Viol adalah Voilation yaitu pelanggaran. Conseq adalah Consequence yaitu akibat.


(21)

AE adalah Attempted Escape yaitu berusaha untuk melarikan diri. c. Enam motifeme yaitu; L, LL, Int, Viol, Conseq, dan AE.

L adalah Lack, kekurangan atau discuiblirium yaitu keadaan yang tidak seimbang.

LL adalah Lack Liquidatet, kekurangan dihilangkan atau ecuilibrium yaitu (seimbang).

Int adalah Interdiction yaitu larangan. Viol adalah Voilation yaitu pelanggaran. Conseq adalah Consequence yaitu akibat.

AE adalah Attempted Escape yaitu Berusaha untuk melarikan diri.

Setelah cerita rakyat dianalisis secara struktural kemudian dilanjutkan dengan analisis fungsi yang dikemukakan oleh Bascom (Danandjaya, 1986:19-20), foklor memiliki empat fungsi yaitu:

a. Sebagai system proyeksi ( Projective system )

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

c. Sebagai alat pendidikan anak ( Pedagogical device ).

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar anggota kolektif dari masyarakat tersebut mematuhinya.

Fungsi yang diutarakan tersebut di atas didasarkan pada pencatatan hal-hal yang tampak atau tersirat dalam cerita Batak Toba. Tentang fungsi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan penyebaran angket yang berisi sejumlah pertanyaan kepada masyarakat Batak Toba secara acak. Hal ini bertujuan untuk melihat bagaimana sebenarnya fungsi cerita rakyat itu di tengah-tengah masyarakat yang


(22)

cenderung meninggalkan dan mulai lupa cerita rakyat tersebut. Penyebaran angket ini tidak “menghancurkan” konsep teori fungsi dari William R. Bascom, justru sebaliknya. Hal ini digunakan untuk memperkuat legitimasi akan teorinya tersebut.

Penulis memilih teori ini karena teori fungsi yang dikemukakan oleh Bascom mampu memberikan penjelasan mengenai kebenaran fungsi cerita rakyat itu bagi kehidupan masyarakakat Batak Toba.

2.3 Tinjauan Pustaka

Peraturen Sukapiring, beliau adalah dosen pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, pernah melakukan penelitian mandiri tentang struktur sastra lisan yaitu, “Analisis Struktur Sastra Lisan Nias” (1994). Dengan menggunakan teori Propp, beliau berhasil menarik kesimpulan bahwa sastra lisan Nias itu memiliki struktur yang hampir sama dengan apa yang dihadirkan oleh Propp dalam teorinya mengenai struktur sastra lisan.

Iing Suniarti dkk., melakukan peneliatan ”Cerita Rakyat Lampung’ Wakhahan’ Analisis Struktur, Fungsi, dan Manfaatnya Bagi Pengajaran Sastra”. Melalui penelitian tersebut ditarik suatu kesimpulan bahwa cerita rakyat Lampung ”Wakhahan” memiliki fungsi:

1. Sebagai tontonan atau hiburan. 2. Sarana pendidikan dalam arti luas 3. Pembangkit rasa estetik atau keindahan 4. Pembangkit semangat patriotis

5. Media penerang pemahaman masyarakat


(23)

Onggung Sitohang, alumni Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, pernah meneliti fungsi dari cerita rakyat yang hadir di daerah Tapanuli Utara dengan judul penelitian ” Fungsi Cerita Rakyat di Daerah Tapanuli Utara”, peneliti tersebut menemukan bahwa cerita rakyat itu memiliki fungsi:

1. Kewibawaan dalam masyarakat.

2. Adat yang berkembang dalam masyarakat 3. Ajaran moral.

4. Memperkokoh kepercayaan spritual.(Sitohang 1984:12)

Dewasa ini penelitian terhadap cerita rakyat bukanlah hal yang baru lagi Namun sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian mahasiswa terhadap cerita rakyat Batak Toba belum ada yang menerapkan teori struktural Propp. Atas dasar kesempatan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian terhadap struktur dan fungsi mite, legenda, dan dongeng masyarakat Batak Toba.

BAB III

METODE PENELITIAN


(24)

3.1.1 Lokasi Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, maka tempat penelitiannya adalah perpustakaan. Perpustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah, dan perpustakaan Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara. Untuk penyebaran angket penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini penelitian lapangan juga diaplikasikan .

3.1.2 Waktu Penelitian

Peneliti melakukan penelitian mulai tanggal 29 Juli sampai dengan 20 Oktober

2009.

Adapun waktu dan proses yang dilakukan dalam penelitian ini dapat diperhatikan lewat tahapan–tahapan penentuan data, pengumpulan data, penganalisisan, dan menuliskannya menjadi bahan penelitian.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan heuristik (membaca dari awal sampai akhir) dan hermeneutik (membaca berulang) serta teknik catat pada kartu data.

Menurut Riffaterre (Jabrohim, 2001:96). Metode pembacaan heuristik adalah metode pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat membuat sinopsis cerita yang dibaca secara berurutan.

Metode pembacaan hermeneutik adalah pembacaan berulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya. Menurut Riffatere dalam Jabrohim (2001:97) pembacaan hermeneutik adalah ” Pembacaan


(25)

yang pembacaannya di dasarkan pada konvensi sastra yang memberikan makana secara tidak langsung, melalui ekspresi, penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti”. Lebih lanjut oleh Jhon Peck dan Martin Coyle (1984:134) menjelaskan bahwa hermeneutik adalah ” Hermeneutics by contrast, refers to general theory of interpretation the prodecures and principles involved in getting at meaning text”, bahwa hermeneutik sebagai pembanding, yang mengacu pada teori penafsiran umum sesuai dengan aturan dan prinsip yang melibatkan dalam mengusahakan arti pada teks.

Menurut Nasution (2003:312), hermeniutik adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Pemahaman, pengamatan dan penafsiran terhadap objek merupakan ciri khas metode ini. Oleh metode ini penafsir tidak boleh bersikap pasif dan diharapkan untuk melihat aspek yang membentuk karya itu baik dari dalam maupun dari luar, yang tersurat maupun yang tersirat.

Data yang dikumpulkan dan dianalisis berasal dari buku yaitu:

Judul : Pustaha Batak, Tarombo dohot Turiturian

Penyusun : W.M. Hutagalung

Penerbit : Tulus Jaya

Kota : Medan

Tebal Buku : 371 Halaman

Cetakan : Pertama

Tahun :1991

Warna Sampul Depan : Merah lembayung, putih, dan hitam Gambar Sampul Depan : Rumah adat Batak Toba


(26)

Desain Sampul : Gopas Sirait

Pada dasarnya penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research dengan menggunakan data sekunder dalam hal ini adalah buku. Pengumpulan data dimulai dengan menentukan cerita rakyat Batak Toba yang diteliti, setelah ditentukan yang merupakan jenis mite, legenda, dan dongeng maka dilanjutkan lagi dengan pengumpulan data. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode baca dan teknik catat. Baca mempunyai maksud pembacaan dilakukan secara cermat dan berulang-ulang. Hal ini betujuan untuk mendapatkan dokumen yang berisi data verbal. Teknik catat adalah pencatatan dari hasil pengamatan yaitu indikator-indikator yang menunjukkan aspek- aspek struktural yang ada dalam cerita rakyat Batak Toba. Setelah pencatatan, data yang dikumpulkan tersebut diklasifikasikan sesuai dengan hal- hal yang melekat dalam aspek fungsi dan selanjutnya data tersebut diberi kode dengan penomoran menggunakan huruf dan angka, (misalnya F 01, F 02, dan seterusnya).

Data primer yang dihadirkan peneliti dalam penelitian ini didapatkan lewat penyebaran angket atau kuisioner kepada masyarakat awam untuk menemukan apakah fungsi cerita rakyat itu memang seperti yang dinyatakan oleh William R. Bascom lewat teorinya tersebut. Hal ini peneliti lakukan untuk melegitimasi dan melihat fungsi dari cerita rakyat itu secara valid di tengah-tengah masyarakat.

Melihat hal tersebut, peneliti membuat suatu angket bersifat terikat untuk disebarkan pada masyarakat yang bersuku bangsa Batak Toba berusia antara 18-22 tahun dengan secara acak. Hal yang ditanyakan masih berkaitan dengan penelitian ini. Angket ini memiliki pertanyaan yang terikat dan jawabanya juga tersedia. Populasi yang diambil oleh peneliti adalah 50 orang dengan sampel


(27)

sebanyak 33 orang. Diharapkan sampel ini memberikan gambaran sedikit banyak bagaimana kelangsungan cerita rakyat Batak Toba di tengah kemajuan zaman ini.

Adapun isi pertanyaan yang ada dalam angket penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Apakah Anda mengerti apa itu cerita rakyat? a. Mengerti dan memahami.

b. Hanya sebatas mengerti. c. Tidak tahu sama sekali

2. Dari manakah Anda mengetahui cerita rakyat? a. Buku.

b. Penuturan orang tua atau orang lain.

c. Lainnya ( televisi, internet, koran, bulletin, dll).

3. Di antara jenis cerita rakyat berikut manakah yang akrab dengan Anda? a. Mite.

b.Legenda. c Dongeng.

4. Dapatkah Anda menemukan nilai atau pesan ketika membaca cerita rakyat tersebut?

a. Ada dan memahami pesan yang ada di dalamnya.

b. Hanya sebatas ingin membaca saja tanpa ingin mengetahuinya lebih lanjut.

c. Tidak sama sekali.

5. Apakah cerita yang berkembang di daerah Anda memiliki fungsi dalam perkembangan masyarakat?


(28)

a. Ada.

b. Ada tetapi tidak tahu. c. Tidak tahu sama sekali.

6. Manakah dari cerita berikut yang Anda ketahui? a. Mulajadi Nabolon.

b. Datu Parngongo. c. Bulan dan Angkalau. d. Lainnya.

7. Menurut Anda, cerita rakyat yang diketahui atau yang berkembang di daerah Anda memiliki fungsi apa?

a. Projective (Projective system).

b.Pengesahan pranata dan lembaga dalam masyarakat. c. Pendidikan anak (pedagogical device).

d. Pemaksa dan pengatur masyarakat. e. Lainnya.

Setelah peneliti melakukan penyebaran angket yang disebutkan tersebut, maka untuk mendapatkan suatu hasil yang mengarah pada kesimpulan yang bersifat hipotesis maka peneliti mengolahnya dengan apa yang diketahui penulis tentang metode penelitian.

3.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis dipergunakan karena data bersifat kualitatif dan memerlukan penjelasan secara deskriptif. Teknik pendeskripsian dipergunakan untuk mengetahui bagaimana struktur dari cerita rakyat Batak Toba tersebut dan


(29)

kaitannya dengan fungsi seperti yang disampaikan oleh William R. Bascom dalam buku ” Folklore Indonesia”.

Menganalisis struktur dari cerita rakyat Batak Toba terlebih dahulu dengan memilah-milah cerita rakyat itu dan mengelompokkannya dengan motifeme-motifeme atau fungsi yang disampaikan oleh Propp.

Sebagai contoh:

Cerita rakyat legenda Guru Solondason:

Motifeme Guru Solondason Lack

(Ketidakseimbangan)

1. Guru Solondason hanya memiliki anak tunggal, namanya Parhutala.

2. Parhutala mempunyai lima orang anak, dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.

3. Pada saat itu Parhutala adalah salah satu orang terkaya di desanya itu.

4. Parhutala meninggal, Lack Liquidate

(Keseimbangan)

1. Maka Anak-anaknya yang laki-laki berdiskusi mengenai pembangunan rumah tempat berdoa seperti yang dipesankan ayah mereka.

2. Si Borusaronding menerima cinta dari Guru Sodungdangon.

Interdiction (Pelarangan )

1. Guru Sodungdangon memberikan sekantong kuyit dan dua ruas potongan bambu untuk kedua saudara Si Borusaronding,yang akan berubah menjadi emas


(30)

dan bintang peliharaan.

2. Memukulkan kayu dan rotan yang sejengkal di tenga halaman.

3. Dilarang menoleh ke belakang ketika kembali ke kampung.

4. Dilarang membuka kantong kunyit sebelum tujuh hari.

Violation (Pelanggaran)

1. Akan tetapi si Toga Pandiangan tidak mengingat apa yang dipesankan oleh Guru Sodungdangon, dia menoleh ke belakang ketika akan pulang.

2. Persyaratan yang tujuh hari yang dikatakan Guru Sodungdangon tidak diingat oleh Toga Pandiangan, tiap waktu kantong itu selalu dibuka-bukanya,

Consequence (Akibat)

1. Hewan peliharaan yang akan hadir dari bulu-bulu pemberian Guru Sodungdangon tidak terjadi.

2. Kunyit tidak berubah menjadi emas.

Attemted escape (Upaya melarikan diri)

1. Toga Pandiangan mengetahui bahwa peliharaan dan emas dari Toga Samosir banyak, maka ia pergi memintanya sebagian


(31)

2. Namun Toga Samosir tidak mau memberikannya. 3. Mereka bermusuhan

4. Toga Samosir lari ke Harian Nainggo lan.

Selanjutnya teori fungsi yang disampaikan oleh William R. Bascom tertulis sebagai berikut:

a. Sebagai system proyeksi ( Projective system )

Sistem proyeksi dalam fungsi cerita rakyat yang disampaikan oleh Bascom adalah suatu cara untuk membangun atas apa yang ada dalam masyarakat dan merupakan hal yang sangat fundamental, berupa sistem maupun pranata. Hak ini mampu menunjukkan dan menjaga kelangsungan hidup berbudaya dari suatu masyarakat yang tetap hidup seiring perkembangan zaman.

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

Pranata-pranata yang berkembang dan dilestarikan dalam masyarakat tetap terjaga dengan adanya doktrin atau paham yang bersifat mengikat c. Sebagai alat pendidikan anak ( Pedagogical device ).

Cerita rakyat memberikan nilai pembelajaarn dalam mendidik anak dari anggota kolektif untuk berbuat atas apa yang disarankan dan menghindari apa yang dilarang.

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar anggota kolektif dari masyarakat tersebut mematuhinya.


(32)

Fungsi cerita rakyat mampu memaksa dan mengawasi anggota kolektif masyarakat untuk menjalankan apa yang menjadi kesepakatan bersama baik kesepakatan tertulis maupun lisan yang telah diwariskan turun temurun.

Sebagai sistem proyeksi cerita rakyat Batak Toba ini melindungi anggota masyarakatnya dari hal yang tidak diinginkan ketika melewati daerah berkembangnya cerita rakyat tersebut. Hal ini terlihat dari keharusan untuk membuat sekapur sirih di atas kapal atau perahu ketika melewatinya dan berdoa seraya berharap agar perjalanan melewati daerah itu lancar.

Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, dihadirkan dengan perlunya seorang nakhoda kapal untuk meletakkan sekapur sirih tersebut dan dibarengi dengan amalan keselamatan.

Sebagai alat pendidikan anak, cerita si Borusodungdangon memberikan pengajaran akan perlunya mewaspadai hal gaib dan menghormatinya karena pada dasarnya para sosok gaib itu tidak akan bertindak merugikan bila tidak diganggu.

Sebagai alat pemakasa dan pengawas anggota kolektif dari masyarakat, hala ini pada dasarnya untuk menjaga kelangsungan dan keselamatan angota kolektif masyarakat.


(33)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Struktur Cerita Rakyat Batak Toba 4.1.1 Cerita Rakyat Debata Mulajadi Nabolon

Debata Mulajadi Nabolon (Bahasa Batak)

Dungi ditatap Mulajadi Nabolon ma tinompa na i nungnga rame jala ribur idaoin. Ala ni i di suru ma Leangleangmandi untunguntung na bolon manjou Si Borudeakparudjar mulak tu banua ginjang, ala huhut diboto Mulajadi Nabolon naung lungunan ibana di toding banua tonga. Alai didok Si Borudeakparudjar ma tu Leangleangmandi,

“ Patolhas ma tu Ompunta Mulajadi Nabolon; Ndang ringkot be rohangku mulak tu banua ginjang, dumenggan ma ahu di tano Sianjurmulamula on, dung pe mahap rohangku asa ro ahu muse!”

Dungi dipatolhas Leangleangmandi ma i muse tu Mulajadi Nabolon. Ala ni i didok ma tu Raja Odapodap,


(34)

“ Nungnga husuru nian Leangleangmandi mangalap oroanmu Si Borudeakparudjar, alai dang olo ro ibana. I pe laho ma ho mAndapothon ibana, alai ndang jadi pintor jonohanmu, ai mulimuli lomo be do rohamu muse, ai ingkon domu do roha ni boa toe oroanna asa saut.”

Dung i diusung Leangleangmandi ma Raja Odapodap tu toding banua tonga, alai tu inganan na humolang do jolo didokhon Mulajadi Nabolon taruhonon ni Leangleangmandi si Raja Odapodap, asa unang pintor mabiar oroanna i.

Dung i mardalandalan ma sahali Si Borudeakparudjar di tano i, jala huhut mamarengi hinadenggan ni angka na tubu i. Hape diida ma bogas na suman tu bogas ni ibana, gabe muningan ma ibana, ninnna rohana ma,

“ Ise do hulaning halak mamolus sian on so pamotoanku?”

Alai dibahen so adong panungkunanna, gabe dipahohom ma dirina mamingkirmingkiri haroroan ni bogas i. Alai dung lam sumolsol diida ibana bogas i, dipangido rohana ma naeng idaonna nampuna bogas i. Hape so pangkirimanna, gabe pajumpang ma nasida ba pintor didok Raja Odapodap ma tu oroan nai,

“ Bo, di son do hape ho ale anggia? Ho do tinoktok ni pordangku, ni langge ni lilingku tinodo ni rohangku, nionggor ni panilianku!”

Alus ni Si Borudeakparudjar,

“ Palias ma i paliadang, ia adong na so talup , ho ma mangkadanghadang.” “ Rompu singolngol da, anggi tu rumpu silimalima, pitu taon di nangolngol sampulu taon pinaim ima ho.” Ninnna Raja Odapodap

Dungi marsak ma roha ni Si Borudeakparudjar, ala na umuli ibana sian Raja Odapodap, gabe dijou ma Leangleang mandi di dokma,


(35)

“ Boan ma au tu banua ginjang ai nunga masihol ahu tu damang Bataraguru.”

Alai didok Leangleangmandi ma,

“Ah ndang boi boanonhu ho, nda jolo husungkun Ompunta Mulajadi Nabolon”

Dung i didok Mulajadi Nabolon ma tu Leangleangmandi ma,

“ Nasailaonna i jinou do ibana tu banua ginjang, naeng do ibana laos di banua tonga, asa pasombu ma ibana di si! Tung tuani ma ibana so diboan ho ibana, aut diboan ho ingkon hona uhum do ho bahenonhu.”

Dung i dipasahat Leangleangmandi ma hata i tu Si Borudeakparudjar, gabe mangkohom ma ibana marpingkir,

“ Ai nang tu ginjang ninna porda, tu toru do pambarbaran;ndang tu ginjang ninna roha, tu toru do ninna sibaran. Au apala tarjua bagian!”

Dungi didok Raja Odapodap ma,

“ Unang ho marsak anggia. Naung pardanbirbiran, hea do pardantaboan, naung hinagigian gabe halomoan; ai apala tarjua rongkap.”

Dungi tangis ma si Borudeakparudajar mandok tu Leangleangmandi, “ Suru ma ompunta mamasumasu hami dohot Raja Odapodap, ai apala tarjua be bagian!”

Dungi laho ma Leangleangmandi patolhas hata i tu Mulajadi Nabolon. Hape di dok Mulajadi Nabolon ma,

“ Laos ibana ma masumasu ibana , ai ndada alani hatangku umbahen na mangoloi ibana, na so adong be dalan panimbilanna umbahen na di unduk. Ndang


(36)

pola sundat gabe ibana. Alai ingkon hona uhum do, alani angka pambahenanna angka naso ture i sian nasai laon.”

Dung i di dok Si Borudeakaparudjar ma tu Leangleangmandi,

“ Anggo hona uhum do ahu hape, ndang olo be ahu. Alai molo dipaboa Ompunta Mulajadi Nabolon uhum i, asa huboto mangoloi.”

Dungi dipaboa Leangleangmandi ma i tu Mulajadi Nabolon, gabe di dok Mulajadi Nabolon ma hata si patolhasonna,

“ Ingkon loja ho, jala ingkon hir hodokmua mangula sipanganonnamu!” Dungi saut ma pardongan saripeon nasida di tano on, jadi dung hu di bulanna, gok di taonna, gabegabean ma Si Borudeakparudjar, jadi dipangido ma pagar parsalisian, tambatua na godang, taoar mulajadi. Dung i diboan leangleangmandi ma i tu Si Borudeakparudjar, jadi disolothon ma tu siporhotna dohot tu abitna, asa dao begu. I ma umbahen digoari ina “humunti pagar” molo marhangoluan.

Dungi di dok Mulajadi Nabolon ma tua Leangleangmandi

“ Paboa ma tu Si Borudeakparudjar, nang tubu na di bortianna, sanggul-sangul ni tano na tinompa na i dope i.” Jadi umbege i hohom ma ibana mangarsakhon aha na pinaboa Leangleangmandi i.

Ndang ari piga dan nari, antong tubu ma na bortian i, alai songon gumulgumul do. Ndang adong patna, tanganna, dohot uluna, gabe tarhalomomg ma ibana ala ni i. Dungi dipangidohon ibana tu Leangleangmandi asa dipatolhas tu Mulajadi Nabolon, na tubu i nungga pintormate.


(37)

“ Ale ompung, tona Si Borudeakparudjar! Surat sidungdang do on ninna surat silogologo; uhum na so dung tu huta do on, jolma na su dung ro. Didia do patik ni on, so marulu on, so martangan, so marpat.”

“ Dang pola dia i, di tanom ma i songon na uju hudok tu ibana. Ai dung salpu pitu borngin mapuntar ma i, dung i gabe duhutduhut ma; ia holiholina gebe batu do i, sibuk sibuknai gabe tano liat, jala mudarna gabe pogapoa.” Di dok Mulajadi Nabolon mangalusi.

Dung i dilaonlaon ni ari , manggora pamuro ma muse di Si Borudeakpaudjar, tubu ma anakhonna dua , alai marphorhas do; ai sada boa, sada boru. Ia goar ni boa i, i ma “Raja Ihatmanisia” manang “Tuan Mulana,” i ma mulani hajolmaon. Ia goar ni boruboru i ima; “Boru Itammanisia,” ina ni jolma manisia.

Ia dung ma godang-godang assimun anakhonna na dua i, ditonahon si Borudeakparudajar ma tu Leangleangmandi, asa ro angka si solhotna sian banua ginjang, mangkalashon dohot mangolophon anakhonna na dua i.

Dungi ro ma Debata Mulajadi Nabolon, Debata Sori, Balabulan dohot Debata Asiasi; tuat ma nasida sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, ditiop be ma bonang urutan ni si Deakparudjar. Jadi sahat ma nasida tu punsu ni Dolok Pusukbuhit, sian i ma nasida laho tu inganan parmulaan hajolmaon, i ma huta Sianjurmulamula (Sianjurmulajadi, Sianjurmula tompa). Na tumudalhon jau na dumoppakhon Toba, parpansur golanggolang, partapian jabijabi; parsuapan manogot parangiran bodari. Ima luat na hinapit ni dua dangka ni tao haojahon ni dolok Pusukbuhit. Na gabe sombaon na laga naso jadi boluson jala na so jadi haliapan.


(38)

Ia dung sahat Mulajadi Nabolon tu inganan ni Si Borudeakparudjar di pasupasu ma nasida. Dung i disihathon ma tu bagasan roha nasida na boi bahenon jala dipaboa dohot angka na so boi behenon. Di paboa ma dohot dalan sibahenon ni hajolmaon na gebe pardomuanna dohot Debata na di ginjang, i ma marhitehite pelean dohot ugasan homitan.

Ia homitan, pardomuan Mulajadi Nabolon, hoda siapaspili do, tu Bataraguru hoda silintong, tu Debata Sori, hoda si bara, ia tu Balabulan, hoda sibaganding tua do.

Ia pelean parsaoran tu Mulajadi Nabolon manuk mira na bolon, sagusagu sidua sasolop, banebane dohot napuran na hombang. Ianggo tu Debata Sori, unte pangir (pangurason) dohot tuak dibagasan mangkuk dohot banebane. Dung i tu Balabulan dua sagusagu (lampet) sanggul na jar dohot napuran na hombang. Didok Mulajadi Nabolon ma huhut tu nasida,

“ Ai naeng naeng saor hamu na di banua tonga on tu hami na maringanan di banua ginjang, ingkon ias do ugasan homitan dohot pelean i bahenonmuna”

Asa i ma parmulaan na umbahen na dimiahi jolma hoda debata jala umbahen na masa pameleon; jala ingkon ingoton ni jolma huhut paiashon daging ni hoda pelean i ro di tambirikna asa unang ramun. Tung sura dipangan hoda i suansuanan dohot eme ni mang ise, tung naso jadi leleon manang na lipatonna anggo sisada hasuhuton do ibana dohot na marpeop hoda homiton i.

Asa molo dibahen halak na marsaompu hoda sisongon i, ingkon rap mangaramoti do nasida di hoda i, jala hepeng panuhoron ni nasida di hoda i pe dohot angka na ringkot tusi ingkon dos do godangna be sian na mora dohot na


(39)

pogos. Tung sura gumodang guguan ni sahalak sian sisada hasuhuthon i, halas ni roha bolon do i di ibana.

Ia laho pasahathon hoda pelean i marpungu ma na saompu i jala margondang ma nasida,borothonnon na ma hoda i di pogu ni alaman jala hodong do borotanna; manontor ma nasida mangkaliangi hoda i. Dung sidung ditortori tonggohononna ma i. Ia juhut ni hoda i ingkon bagi dos do. MAndapothon hari ni hasasahat ni hoda i borothonnonna manguras be do nasida, ndang jadi panganonna juhut ni babi. Ia bagas ni hasuhuthon i ingkon paiasonna do jala hembangan amak sapuaan dohot barana.

Asa dung sidung diaturhon Debata Mulajadi Nabolon saluhutna i, nangkok ma nasida tu Dolok Pusukbuhit laho mulak tu banua ginjang. Alai ala tellukteluk pat ni Debata Asiasi tinggal ma ibana di pudi dohot Raja Ingotpaung. Si Borudeakparudjar dohot si Raja Odapodap pe dohot do mulak tu banua ginjang dung jolo dipasahat anakna Raja Ihatmanisia dohot boruna Itammanisia, paturetureon ni Debata Asiasi rap dohot Raja Inggotpaung.

Di na laho manaek i nasida tu banua ginjnag, sai dituluthon anakkonna na dua i do nian naeng mangihuthon, alai ala pintor digotap tali i gabe ndang boi, gabe habang ma panggotaban i tu ganup desa na ualu, ima mula ni pangarambuion ni hadatuon.

Holan Batunanggarjati nama dalan laho tu langit, jala Debata Asiasi nama mulakhulak surusuruan ni Debata Mulajadi Nabolon tu tano on,paboahon saluhut na masa, ala maradian ma tingki ni Leangleangmandi. Asa ndang boi idaon ni mata Debata Asiasi.


(40)

Asa dung mulak pangisi ni banua ginjang sian toding ni banua tonga on, jala tading ma anakna Raja Ihatmanisia dohot ibotona si boru Itammanisia. Laos marmula sian ido umbahen margoar hajolmaon jolma “manisia” pinompar nasida . Anggo ni oli ni Raja Ihatmanisia, ndang tangkas binoto mang ise, manang ibotona i manang si Borunaraja Inggotpaung, ala holan nasida do tinggaldi tano on dohot Debata Asiasi. Alai holan na binoto tolu do anak nasida, i ma si Raja Miokmiok, Patundalnibegu, dohot Ajilampaslampas

Debata Mulajadi Nabolon (Bahasa Indonesia)

Setelah Debata Mulajadi Nabolon selesai menciptakan tempat dan segalanya yang lain, dan yang diciptakannya telah ramai. Oleh karena itu ia menyuruh Leangleangmandi untunguntung na bolon untuk memanggil Si Borudeadparudjar untuk pulang ke langit ke tujuh. Karena Mulajadi Nabolon mengerti dan memahami bahwa Si Borudeakparudjar sendiri amat kesepian dan terasing tinggal di bumi yang ia ciptakan itu.

Ketika perintah dari Debata Mulajadi Nabolon itu disampaikan oleh Leangleangmandi, maka Si Borudeakparudjar hanya berkata,

“ Sampaikan kepada ompung Debata Mulajadi Nabolon , bahwa hatiku tidak suka lagi untuk saat ini kembali ke langit, lebih senag hatiku tinggal di tanah Sianjurmulamula ini, bila aku sudah bosan maka aku akan kembali!”

Apa yang dikatakan oleh Si Borudeakparudjar tersebut disampaikan oleh Leangleang mandi, setelah didengar oleh Mulajadi Nabolon membuat ia marah, karena itu ia berkata pada Raja Odapodap.

“ Aku sudah mengatakan pada Leangleangmandi untuk menjemput calon istrimu Si Borudeakparudjar, akan tetapi ia tidak mau. Oleh sebab itu pergilah ke


(41)

bumi untuk menemuinya, akan tetapi jangan terlalu buru-buru untuk bertemu dengannya karena hati kalian masih labil, sesungguhnya harus ada pertalian kasih antara pria dan wanita agar bisa menjalin cinta.”

Maka Leangleangmandi membawa Raja Odapodap untuk terbang ke tempat Si Borudeakparudjar berada, akan tetapi dia diturunkan di tempat yang tersembunyi seperti yang diperintahkan Mulajadi Nabolon supaya nanti Si Borudeakparudjar tidak ketakutan melihat ada orang sejenisnya di bumi yang ia ciptakan.

Pada saat yang lain ketika Si Borudeakparudjar berjalan-jalan di bumi, dan sesekali melihat tumbuhan serta apa yang ada di tanah , dia terkejut kala melihat bekas telapak kaki yang mirip dengan telapak kakinya. Melihat hal itu ia sangat terkejut dan membuat ia merenung, dalam hati ia bertanya,

“ Siapakah yang melewati tempat ini tanpa sepengetahuan ku?”

Akan tetapi karena tidak ada tempatnya untuk bertanya, maka semua itu dipendam di dalam hatinya tentang siaa sebenarnya pemilik bekas kaki itu. Dengan rasa penasaran yang sangat dalam, maka ia sangat berharap agar melihat siapa sebenarnya pemilik bekas kaki itu. Dalam rasa penasarannya itu, tanpa ia ketahui dan sadari sejak dulu, maka dia berjumpa dengan pemilik bekas kaki itu, dan tidak lain tidak bukan itu adalah Raja Odapodap calon suaminya,

“ Ternyata di sini rupanya dirimu kekasihku? Kamu yang selalu kurindukan, yang selalu mengganggu pikiranku”

Dengan sinis si borudeak parudjar menjawab,

“ Semua itu hanya omong kosong yang datang dari hatimu yang busuk?” “ Kamu tidak tahu kalu aku sangat kesepain, tujuh tahun aku kesepian


(42)

menanggung rindu, sepuluh tahun kesepian sendirian hanya untuk menunggumu”, kata Raja Odapaodap

Setelah pertemuan itu, maka Si Borudeakparudjar sangat gusar hati, karena menurutnya Raja Odapodap tidak layak bagi dirinya karena wajahnya lebih rupawan. Dengan putus asa dia memanggil Leangleangmandi.

“ Tolong bawa diriku kembali ke langit karena aku sangat rindu kepada ayahAnda Bataraguru.”

Namun Leangleangmandi menolak,

“ Aku tidak mungkin membawamu tanpa aku melapor kepada Debata Mulajadi Nabolon”

Leangleang mandi dengan cepat melaporkan keinginan dari Si Borudeakparudjar kepada Debata Mulajadi Nabolon,

“ Katakan padanya, selama ini aku sangat berharap ingin dia kemabali ke langit, akan tetapi ia ingin di bumi. Biarkan dia di situ!, untunglah kamu tidak membawanya ke sini, seAndainya kamu membawanya maka kamu akan saya hukum”

Kemudian Leangleangmandi menyampaikan apa yang dikatakan Debata Mulajadi Nabolon kepada Si Borudeakparudjar, sehingga membuat ia diam berpikir dan merenungi akan nasibnya.

“ Tidak ada gunanya tinggi hati menolak apa yang bila hal ini memang sudah menjadi takdir.”

“ Jangan terlalu bersedih, karena apa yang dulu kita benci kadang memang harus kita terima untuk menjadi bagian dari diri kita meski kita tidak menyukainya. Jodoh itu tidak bisa ditolak.”


(43)

Mendengar itu, Si Borudeakparudjar menangis dan memohon pada Lelangleangmandi,

“ Tolong sampaikan kepada Debata Mulajadi Nabolon agar memberkati kami, mungkin Raja Odapodap sudah menjadi jodohku”

Leangleangmandi pergi untuk menyampaikan permintaan itu kepada Mulajadi Nabolon , akan tetapi Mulajadi nabolon menolaknya,

“ Biarkan dia saja yang memberkati dirinya sendiri, sesungguhnya dia tidak lagi memiliki alasan untuk menghindar sehingga ia menuruti apa yang aku katakan. Dia akan bahagia, akan tetapi dia akan terkena hukuman atas perbuatannya yang tidak menuruti perintahku”

Hal itu disampaikan leangleangmandi maka Si Borudeakparudjar,

“ Jika aku kena hukum, maka aku tidak mau menikah dengan Raja Odapodap, akan tetapi bila Debata Mulajadi Nabolon memberitahukan apa yang jadi hukumanku maka aku akan menurutinya”

Maka Debata Mulajadi Nabolon memberi tahu apa yang menjadi hukumannya,

“ Dia akan susah dalam menjalani hidup, dan mencari makannanya untuk kelanjutan hidup, dan akan menderita selama ia hidup!”

Setelah itu mereka jadi menikah di bumi dan hanya mereka mendiami awalnya. Seiring waktu Siborudeakpariudajar mengandung, maka ia meminta agar Debata Mulajadi Nabolon memberikan jimat “pagar” untuk menjaga ia dan kandungannya itu. Setelah Leangleangmandi membawanya, maka ia memasukkanya ke dalam baju dan bantalnya supaya tidak diganggu setan. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa orang yang mengandung di orang Batak


(44)

disebut “humunti pagar”.

Mulajadi Nabolon memerintahkan kepada Leangleangmandi untuk menyampaikan perintahnya kepada Si Borudeakparudjar,

“ Katakan pada Si Borudeakparudjar, apa yang akan lahir kelak dari rahimnya itu adalah sisa sisa tanah yang ia gunakan membangun dan membentuk bumi yang ia tempati itu.”

Mendengar hal itu maka Si Borudeakparudjar amat gundah hatinya dan menyesali apa yang terjadi dan ia perbuat dulu.

Tak beberapa lama, maka lahirlah apa yang ada di rahimnya itu, akan tetapi yang lahir adalah segumpal daging yang tidak memiliki kaki, tidak memilki tangan, dan juga tidak memiliki kepala. Melihat itu ia menjadi heran, maka Siborudeakparudajar memohon agar menyampaikan apa yang terjadi ini kepada Mulajadi Nabolon dan apa yang lahir dari rahim Si borudeak parudjar telah mati.

“ Wahai ompung, pesan dari Si Borudeakparudjar! Apa yang terjadi padanya bukan seperti yang ia inginkan, yang datang tidak manusia yang tidak memiliki kaki, tidak memiliki tangan, dan tidak memiliki kepala, apa maksudnya ini.”

“ Itu bukan masalah yang perlu dia risaukan, hendaknya apa yang keluar dari rahimnya itu ia kubur. Setelah selesai tujuh hari maka gumpalan itu akan pecah, dan akan menciptakan rerumputan, tulang belulangnya akan menjadi batu, dagingnya akan menjadi tanah liat, dan darahnya akan menjadi magma.”

Setelah melewati hari-harinya sekian lama, maka Si Borudeakparudjar mengalami kehamilan kembali, dia melahirkan anak 2 orang yang kembar akan tetapi berbeda jenis kelamin. Nama yang pria adalah “Raja Ihatmanisia” atau yang


(45)

bergelar”Tuan Mulana” dialah awal mula dari ayah manusia. Nama dari manusia perempuan pertama itu adalah “Boru Itammanisia” awal dari ibu dari manusia.

Setelah keduanya beranjak dewasa kedua anaknya itu, Si Borudeakparudajar menyampaikan kepada Leangleangmandi agar menyampaikan kepada para saudaranya yang dari langit untuk memberkati kedua anaknya yang telah beranjak dewasa tersebut.

Debata Mulajadi Nabolon, Debata Sori, Balabulan, Debata Asiasi dan yang lainnya turun dari langit yang paling atas, dari langitnya langit, dengan menggunakan benang yang dulu dipakai oleh Si Borudeakparudjar untuk membentuk bumi. Maka mereka sampai ke puncak dari bukit Pusukbuhit, dari sanalah mereka melangkah ke tempat di mana asal dari manusia dulu berawal, yaitu kampung Sianjurmulamula (Sianjurmulajadi, Sianjurmulatompa) yang membelakangi jauh dan berhadapan dengan Toba, bermata air yang jernih, berpinggirkan pohon beringin, tempat bercuci muka pagi hari, dan tempat mandi malam hari.Yaitu tempat yang diapit oleh dua cabang dari sumber air Danau Toba. Menjadi tempat keramat yang disegani dan tidak boleh sembarangan.

Setelah Debata Mulajadi Nabolon sampai ke tempat Si Borudeakparudjar, maka ia dan kedua anaknya diberkati. Kemudian ia mengajarkan kepada mereka yang diberkati apa yang patut dilakukan dan yang tidak patut dilakukakn. Debata Mulajadi Nabolon juga menyampaikan bagaimana mereka agar bisa bergaul dan meminta sesuatu kepada mereka yang ada di langit, yaitu melalui persembahan dan tumbal.

Tumbal yang akan diberikan untuk memanggil Debata Mulajdi Nabolon adalah kuda putih yang terpilih, kepada Bataraguru adalah kuda silintong, kepada


(46)

Debata Sori adalah kuda si bara, kepada Balabulan adalah tumbal persembahan berupa kuda sibaganding tua.

Untuk persembahan kepada Mulajadi Nabolon adalah ayam mira yang besar, sasagun, dan banebane beserta daun sirih yang terbuka.

“ Apabila kalian yang di bumi ini ingin bergaul dengan kami yang ada di langit, maka segala perlengkapan yang ada untuk menyiapkan persembahan itu harus bersih kalian persiapkan”

Itulah awal permulaan maka setiap persembahan dalam adat Batak diolesi minyak pada saat masih berlaku ada pemberian tumbal dan kepada setiap orang harus mengingat untuk membersihkannya dari segala yang mengitorinya termasuk kaki kudanya supaya tidak sakit. Janganlah kuda itu memakan tanaman siapapun, janganlah kuda itu diusir ataupun dipukul bila hewan itu masih berada di sekitar tempat yang memiliki kuda tersebut.

Bila sekumpulan keluarga memiliki kuda seperti ini, hendaknya mereka menjaga kuda itu bersama, dan biaya untuk membeli segala biaya unutuk mengurus kuda ini maka segala biaya itu harus di bagi rata baik yang kaya maupun yang miskin. Kiranya jangan ada yang melebihi dan jika itu dapat terwujud maka itu adalah kesenangan yang luar biasa bagi Debata Mulajadi Nabolon.

Bila ingin menyampaikan tumbal ini hendaknya setiap keturunan dari yang ingin menyampaikan itu mengadakan pesta dengan musik dan tarian tor-tor dan kuda itu diikat di tengah halaman. Mereka hendaknya menari sambil mengelilingi kuda itu. Setelah selesai dikelilingi hendaknya kuda itu didoakan. Daging kuda itu harus dibagi secara merata. Mereka harus mengingat bila hendak


(47)

mempersembahkan itu segenap keluarga harus bersih dan berpuasa dari memakan daging babi. Rumah yang mengadakan pesat hajatan itu harus bersih dan di bawah rumahnya harus digelar tikar.

Setelah Debata Mulajadi Nabolon menyampaikan semua apa yang harus dilakukan manusia itu, maka mereka kembali ke langit dengan menaiki bukit Pusukbuhit. Akan tetapi karena kaki Debata Asiasi pincang, maka ia tertinggal di belakang dengan Raja Ingotpaung. Si Borudeakparudjar dan Raja Odapodap kembali ke langit, tetapi anak mereka dititipkan supaya dirawat oleh Debata Asiasi dibantu dengan Raja Ingotpaung.

Ketika mereka kembali naik ke langit, maka kedua anaknya selalu ingin ikut bersama orang tua kandung mereka, akan tetapi hal itu tidak bisa mereka lakukan karena tali untuk naik ke langit dipotong oleh Si Borudeakparudjar. Benang itu terbang ke arah delapan mata angin, itulah awal dari pencarian hari baik bagi para dukun.

Hanya tempat yang bernama Batunanggarjati yang menjadi jalan satu-satunya ke langit dan Debata Asiasi yang menjadi pengganti Leangleangmandi untuk menyampaikan apa yang terjadi di tanah ini. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang bisa melihat Debata Asiasi.

Struktur Mite Cerita Debata Mulajadi Nabolon

Motifeme Debata Mulajadi Nabolon


(48)

Ketidak seimbangan 2. Debata mulajadi Nabolon memerintahkan leangleang mandi untuk membawa kembali Si Borudeakparudjar ke langit.

3. Si Borudekaparudjar tidak mau kembali ke langit sebelum puas hidup di bumi.

Lack Liquidate Keseimbangan

1. Raja Odapodap di suruh turun ke bumi

2. Si Borudeakparudjar penasaran akan bekas kaki Raja Odapodap.

3. Raja Odapodap dan siborudeak parudjar bertemu untuk pertama kali di bumi.

4. Si borudeak parudajar ingin kembali ke langit Interdiction

Pelarangan

1. Si Borudeakparudjar tidak diterima kembali ke langit.

2. Si Borudeakparudjar harus menikah tanpa diberkati Debata Mulajadi Nabolon..

3. Debata Mulajadi Nabolon menghukum Si Borudeakparudjar.

Violation Pelanggaran

1. Si Borudeakparudjar menikah dengan Raja Odapodap

2. Si Borudeakparudjar hamil dan melahirkan.. Consequence

Akibat

1. Dia melahirkan bayi yang tidak memiliki kepala, kaki dan tangan.


(49)

2. Dia harus menunggu kelahiran selanjutnya,.

3. Nenek moyang dari kedua jenis manusia lahir dari rahim Si Borudeakparudjar.

4. Raja Ihatmanisia dan Si Boru Itammanisia beranjak dewasa.

5. Si Borudeakparudjar berharap saudaranya dari langit dan Debata Mulajadi Nabolon datang memberkati kedua anaknya tersebut.

6. Debata Mulajadi Nabolon turun beserta warga langit lainnya sembari mengajarkan parmalim.

Attemted escape Upaya melarikan diri

1. Semua warga langit kembali ke langit melalui Pusukbuhit.

2. Si Borudeakparudjar dan Raja Odapodap lari meninggalkan anaknya.

3. Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia ingin ikut ke langit.

4. Si Borudeakparudjar memutuskan benang yang menjadi jalan ke langit.

5. Kedua anaknya dititipkan kepada Debata Asiasi yang pincang karena Debata Asiasi telah menjadi pengganti Leangleangmandi.

6. Hanya Batunanggarjati sebagai tempat jalan satu satunya ke langit.


(50)

nenekmoyang manusia pertama di bumi.

4.1.2 Struktur Cerita Legenda Datu Parngongo Datu Parngongo( Bahasa Batak)

Ianggo Datu Parngongo, datu bolon do ibana, ai pola do laho ibana tu luat na do sahat ro di Barus, manAndangkon hadatuonna.

Di na laho mulak sian Barus ibana, maradi do ibana di luat Tuka Barus, jala dibahen ma di si partAnda, ima batu Sipalagelage.

Ia dung sahat ibana ro di Pollung Marbun ibana, dibege ma soara ni endeenda\e ni boru Raja Pangisi, na margoar si boru Tagannabulean ; parjolo tubu mungka ni Panggabean. Jadi didapothon ibana ma tusi, hape ia rupa ni parende i ndang diida.


(51)

Jadi sungkun Raja Pangisi ma ibana, ninna ma, “ Aha do ni ulam ale raja nami tu huta nami on?”

Alusna “ Na hubege do barita ni hamaloon ni boru raja i marende , ido alana umbahen na ro ahu tuson!”

Dung i ditogihon Raja Pangisi ma ibana tu jabu. Marende muse ma boru ni raja i. Songon na dihirdathon ma dihilala, dibahen tabo ni logu ni ende dohot uli ni soara ni boruboru i dibege alai ianggo rupana laos so diida dope.

Jadi disungkunn Datu Parngongo ma Raja Pangisi i, ninnna ma, “ Didia do boru ni raja i, na marende i?”

“ Ai aha do haroha disi amang?” ninna Raja Pangisi. “ Na naeng mandok hatangku do ahu nian tu boru muna i!” Alai didok Raja Pangisi ma,

“ Ndang haoloan ahu anggo pangidoan muna i, ia so olo hamu marbulan, paboa naso jadi teushononmu borungki muse!”

Andorang na sai mangkatai i nasida lam dipataistais boru ni raja i ma ende-ende na i, gabe lam dihirdathon ma dihilala Datu Parngongo i. ala ni i di oloi ma marbulan, asal ma ibana saut di ibana boru ni raja i.

Dung i dijou Raja Pangisi ma boru na i, hape na sajagung na marlangkat do balgana dohot ganjangna. Alai ala nga sanga marbulan Datu Parngongo, ndang tarjuasa be so pasauthonna, gabe diusung ma boru i tu hutana: jala di bagasan salipi di bahen.

Dung manang sadia leleng nasida di Tamba, di tahi roha ni Datu Parngongo manumpa na niolina i tu balanga bosi. Jadi dung putus pingkiranna


(52)

diparade ma pulungan dohot pelean. Dipahembang ma lage-lage pitu lampis dohot ulos ragidup. Dung i martonggo ma ibana tu Debata, ninna ,

“ Ale ompung na martua Debata, tangi bege ma hatangkon! Ia olo jolma do na huoli on ba mangolu ma ibana jala mangangkat ma tu ulos ragidup on. Alai anggo so jolma do, ba mate ma ibana dibagasan balanga panumpaan on!”

Dung sidung ibana martonggo, di na binahenna na niolina i tu balanga bosi naung ginorgoran i; pintor adong ma mangangkat tu atas ni ragidup i sada boruboru nauli, ianggo sisikna i gabe ma mas deba dohot gabe ulok balanga.

Di ingani ma sambariba rumaganjang ni Datu Parngongo i. Dungi dibahen ma goar ni boruboru i Si Boruhapaspinilian; molo adong na manjonggor,ingkon gabe halilian.

Alai tarbotik ma tu pinggol ni Raja Pangisi, naung ditumpa Datu Parngongo boruna i, gabe muruk ma ibana. Alani i borhat ma ibana rap dohot nirajaanna, di usung ma dohot babiat na mangaluluhon i tu Datu Parngongo.

Dung diboto Datu Parngongo haroro ni Raja Pangisi, didapothon ma nasida, “Tu huta ma hamu raja nami!”

Alai didok Raja Pangisi ma,

“ Ingkon borungku do ro mangalap ahu asa olo ahu tu huta!”

Dung songon i dialapi Datu Parngongo ma naniolina i, asa ibana manogihon amana i tu huta. Jadi borhat ma Si Boruhapaspinilian jala dohot ma ulok balanga i diboan laho mAndapothon amana i. Ditogihon ma amana i tu huta alai ndang olo, didokma, “Pisur ulumni sulum, sulum do sulum hian, manang beha pe roa ni boru, boru do boru hian. Asa uli pe ruapam huida, ndang boi


(53)

todoonku ho borungku” Alai didok Si Boruhapaspinilian ma,

“ Ahu do on amang, borum Si Borutagannahabulean!”

Laos dipatorang ma pangalahona umbahen na mimbar tompana sian rupana hian, jala di dok ma,

“On ma ulok balanga on sarung tu hian.”

“Antong molo boti tAnda na borungku ho, patuduhon ma tu ahu angka ugasan partAndaan na niusungmu hian”, ninna amana i.

Jadi dipatuduhon boru nai ma pungga haomasan dohot tintin sipajadijadi huhut ma dijama-jama babiat ni amanai. Ala ni i diparhatutu Raja Pangisi ma i do tutu boru nai, gabe laos diihuthon ma tu huta.

Dungi digondangi Datu Parngongo ma tu simatua na i, di pangido Raja Pangisi ma boli ni boru nai, ala so dilehon hian dope sinamotna jadi dipasahat ma i.

Dungi mulakma simatuana i tu hutana huhut marlas ni roha. Ia dung sadia leleng Datu Parngongo marbagas i tubu ma anakna pitu halak, ima: Guru Sitindon, Guru Sojouin, Guru Saoan, Guru Debata, Guru Salaosan, Datu Ronggur, dohot Marhatiulubalang manang si Raja Tamba.

Datu Pangongo (Bahasa Indonesia)

Datu Pangongo adalah seorang dukun yang sangat sakti dan disegani, dia telah menjelajahi dan mendatangi setiap tempat dari tempat tinggalnya hingga ke daerah Barus untuk menguji ilmu yang dimilikinya.


(54)

Tuka Barus, dan untuk mengenang tempat itu, ia mendirikan tAnda yang dia beri nama Batu Sipalagelage.

Sampailah ia di daerah Pollung Marbun, sejenak dia mendengar nyanyian seseorang yang ketika dia tanya pada penduduk setempat suara itu adalah suara nyanyian anak putri Raja Pangisi penguasa setempat yang bernama Si Borutagannahabulean, dia berkata pada penduduk setempat untuk menyatakan bahwa dia ingin bertemu. Namun ketika ia sampai ke tempat arah datangnya suara itu, tidak tampak olehnya wajah wanita itu.

Jadi Raja Pangisi bertanya pada kepada Datu Pangongo, " Apa maksud tuan datang ke tempat kami ini?"

Datu Parngongo menjawab,

" Aku mendengar berita kepAndaian putri Tuan menyanyi, itulah alasanya kenapa saya datang ke sini."

Jadi oleh Raja Pangisi, Datu Pangongo diudang ke rumahnya. Wanita itu terus bernyanyi dengan lembutnya dan merdunya. Sehingga perasaan dari Datu Parngongo seperti melayang karena merdunya lagu itu dan indahnya nyanyian itu, akan tetapi wajah yang bernyayi itu belum dilihatnya.

Jadi Datu Pangongo bertanya kepada Raja Pangisi, “ Di manakah putri Tuan yang bersenandung itu?"

“ Ada apa tuan hingga bertanya demikian?" tanya Raja Pangisi. “ Aku ingin mengutarakan perasaan ku kepada putri tuan” namun Raja Pangisi mengatakan,

" Aku tidak mungkin mengabulkan permintaanmu itu jika Anda tidak bersumpah dan tidak akan mengingkarinya, tentang apa yang ada pada putri saya


(55)

di kemudian hari"

Ketika mereka berbicara itu, perempuan itu selalu bernyanyi dengan merdu dan memperdengarkan kebolehannya, maka perasaan Datu Pangongo semkin diterbangkan dan dia semakin terbuai. Tanpa berpikir panjang maka Datu Parngongo langsung bersumpah seperti yang diminta oleh Raja Pangisi, hal ini dilakukannya untuk mewujudkan keinginannya yaitu untuk memperistri putri raja tersebut.

Setelah Datu Pangongo bersumpah, maka oleh Raja Pangisi anak perempuannya dipanggil, akan tetapi Datu Parngongo kecewa sekali karena perempuan yang bersuara merdu itu hanya berukuran sebesar jagung dan memilki kulit seperti jagung. Karena Datu Pangongo sudah berjanji dan bersumpah dan itu tidak bisa diingkarinya maka ia menerima putrid itu itu apa adanya, maka Si Borutagannahabulean di bawanya ke kampungnya Tamba, dan wanita itu dimasukkan di dalam keranjang untuk menyadap kemenyaan.

Ketika sekian lama mereka bertempat tinggal di Tamba, Datu Pangongo bermaksud untuk mengubah bentuk dari istrinya itu dalam sebuah kuali besi yang besar. Setelah ia berpikir panjang dan teguh pada pendiriannya ia menyiapkan ramuan dan persembahan. Tikar di gelar sebanyak tujuh lapis dengan ulos ragidup. Lalu ia berdoa kepada Debata, doanya adalah

“ Wahai ompung Debata yang berkuasa, dengarkan permintaan ku ini, jika manuasia yang aku nikahi ini hidup hendaknya ia malompat ke atas ulos ragidup ini, jika ia bukan manusia biarlah ia mati di dalam kuali besi ini.”

Setelah ia selesai berdoa dan Si Borutagannahabulean telah dimasukkan ke dalam kuali besi api menyala di bawahnya: entah datang dari mana ada


(56)

sesuatu melompat ke atas ulos ragidup itu, seseorang wanita yang sangat rupawan, akan tetapi kulit jagung yang menutupi dirinya pada waktu masih menjadi Si Borutagannnahabulean menjadi emas dan ular yang besar, yang namanya ular balanga.

Dia menempati setengah bagian dari rumaganjang tempat tinggal dari Datu Pangongo. Ia memberi nama perempuan yang rupawan itu Si Boruhapaspanilian; jikalau ada yang mnemAndang akan menjadi lupa diri karena terpesona.

Namun kabar tentang apa yang dilakukan Datu Pangongo itu sampai ke telinga dari orang tua perempuan tadi, Datu Pangongo telah mengubah bentuk putrinya dan hal ini membuat Raja Pangisi marah. Karena Datu Pangongo telah menyalahi sumpah dan perjanjian yang telah diucapkannya dulu. Karena itu, Raja Pangisi dan beserta prajuritnya pergi ke Tamba tempat tinggal Datu Pangongo, beserta mereka dibawalah seekor harimau peliharaan dari Raja Pangisi.

Setelah Datu Parngongo mengetahui bahwa mertuanya itu datang ke Tamba, maka ia menjumpai Datu Pangongo di pintu gerbang kampung,

“ Silahkan Tuan masuk ke kampung kami ini” Namun Raja Pangisi marah,

“ Harus putriku yang menjemput supaya aku mau masuk ke kampung kalian ini!”

Setelah Datu Parngongo mendengar permintaan itu, maka ia menjemput Si Boruhapaspanilian, supaya Si Boruhapas Panilian yang mengajak ayahnya masuk ke dalam kampung. Jadi Si Boruhapaspanilian berangkat dari rumahnya dengan membawa ular balanga yang telah menjadi peliharaan mereka. Si


(57)

Boruhapaspanilain mengajak ayahnya masuk ke dalam rumah, akan tetapi Raja Pangisi tidak mau,

“ Tajam kepala obor, obormu adalah obormu, seperti apapun jelek dan buruknya anak perempuanku, itu tetap menjadi anakku. Meskipun dirimu cantik di mataku, aku tidak bisa mengatakan dirimu adalah putriku.”

Namun Si Boruhapaspanilian berkata,

“Aku adalah putrimu ayahku Si Borutagannahabulean”

Si Boruhapaspanilian menjelaskan kenapa dan bagimana ceritanya hingga ia seperti yang sekarang.

“ Ini adalah ular yang berasal dari kulit jagung yang dulu menjadi penutup tubuhku,” katanya sambil menunjukkan ular balanga yang tadi ikut serta dengan dia dari rumah.

“ Jika memang engkau adalah puriku, tunjukkan padaku barang-barang yang kamu bawa dari kampung ketika kamu menikah,” pinta ayahnya.

Lalu Si boruhapaspanilain menunjukkan barang yang dibawanya dari kampung ayahnya beserta cincin pernikahan antara ia dan Datu Pangongo seraya sambil mengelus-elus harimau ayahnya tersebut. Melihat hal itu Raja Pangisi mengikuti dan bersedia masuk ke rumah Datu Pangongo.

Datu Parngongo mengadakan pesta besar menyambut mertuanya, Raja Pangisi sangat mengharapkan agar mas kawin dari anak perempuannya itu dibayar oleh Datu Pangongo, sebab dulu ketika Si Boruhapspanilian masih bernama Si Borutagannahabulean, Datu Parngongo belum membayar mas kawin untuk putrinya tersebut.


(58)

lama kemudian setelah Datu Pangongo menikah dengan Si Boruhapapanilian, maka lahirlah anaknya tujuh orang, yaitu, Guru Sitindon, Guru Sojouin, Guru Saon, Guru debata, Guru Salaosan, Datu Ronggur, dan Marhatiulubalang atau Guru Tamba.

Struktur Cerita Legenda Datu Parngongo

Motifeme Datu Parngongo

Lack

Ketidak seimbangan

1. Datu Parngongo dukun yang sakti

2. Datu Parngongo kerap memperdalam ilmu perdukunannya.

3. Singgah di daerah barus dan bertemu raja setempat. Lack Liquidate

Keseimbangan

1. Datu Parngongo mendengar nyanyian merdu

2. Datu Parngongo penasaran akan merdunya nyanyian itu.

3. Datu Parngongo Bertemu dengan Raja Pangisi

4. Si Borutagannahabulean terus menerus bersenandung.

Interdiction Pelarangan

1. Datu Parngongo ingin menikahi Si

Borutagannahabulena

2. Raja Pangisi tidak menuruti keinginan Datu Parngongo.


(59)

3. Raja Pangisi meminta Datu Parngongo bersumpah. 4. Datu Parngongo bersumpah

5. Raja Pangisi tidak ingin anaknya diubah

6. Datu Parngongo melihat wanita bersenandung indah itu hanya sebesar jagung.

Violation (Pelanggaran)

1. Datu Parngongo ingin mengubah Si

Borutagannahabulean.

2. Datu Parngongo menyiapkan persembahan dan kuali.

3. Si Borutagannahabulean masuk ke kuali

4. Si Borutagannahabulean berubah menjadi Borusihapas panilian.

Consequence (Akibat)

1. Kabar adanya wanita cantik di rumah Datu Parngongo menyebar

2. Raja Pangisi tersinggung karena Datu Parngongo melanggar janjinya.

3. Raja Pangisi berangkat ke Tamba ingin memerangi Datu Parngongo.

Attemted Escape (Upaya melarikan diri)

1. Datu Parngongo menyambut ramah mertuanya di gerbang desa.

2. Raja Pangisi tidak mau masuk ke kampung sebelum di jemput putrinya


(60)

kampung.

4. Si Boruhapaspanilian diuji atas apa yang ia miliki ketika masih berbentuk Si Borutagannahabulean. 5. Raja Pangisi yakin dan percaya kalau

Boruhapaspanilian adalah putrinya.

6. Datu Parngongo mengadakan pesta besar atas kedatangan mertuanya.

7. Raja Pangisi menerima mas kawin yang belum sempat dibayar Datu Parngongo.

8. Raja Pangisi kembali ke kampungnya dengan damai.


(61)

4.1.3 Struktur Cerita Dongeng Angkalau

Angkalau (Bahasa Batak)

Na jolo so adong dope manang aha di haholipon on, holan Debata Mulajadi Nabolon dope na adong. Dungi di jadihon ma jolo langit pitu lampis asa adong inganan ni si jamajamaonna i. Jadi dibahen Mulajadi Nabolon ma angka anakna marhite hatana ima angka panondang ni langit.

Mata ni ari ima anakna asa gabe ualu nasida. Marhite torsa na adong di bangso Batak na jolo asa ualu hali mohop do langit jala ualu hali tiurna berengon sian saonari. Angkalu do goar ni anak ni mata ni ari i.

Dungi marhite hata ni Debata Mulajadi Nabolon di baen ma bulan, tingko jala bontar do rupangna dohot rupana idaon jala lambok pangkorhonna hilalaon. Sada do ianggo bulan alai goarna marasing asing do marhite tingkina, adong do gaoarna bulan sasabi, i ma na songon sasbi idaon, bulan tula i ma bulan da ganup tingkona, dohot bulan mate i ma bulan na so pola bontar jala torang idaon. Ianggo di angka parhala dohot sibotu surat pangubation dohot datu mansai porlu si tutu do anggo parhalaon marhite partording ni bulan, alana asa boi di ida angka tingki na lehet laho mangubati, marpesta, jala songon i dohot marporang asa boi monang, tar lumobi laho mangula di hauma dohot marpoadotdi ladang.

Angka bintang na marpulu loksa godang na jala tardok do dang boi etongon na tarida di langit, ima anak ni bulan doi. Molo taida marhirdop-hirdop jala adong do mudur-udur idaon di gijangn i. Anggo halak Batak tardok do mangantusi angka goarni bintang i, alai mansai godang do anggo goarna. Boi ma ni pajojor saotiok di torsa on angka goarna, ima bintang Ilala, Sijombut,


(62)

Sigaranionggop, Sidongdong, Sialapariama, Sialasungsang, Marihur, Martimus, Bisnu, Bortma, Sori, dohot angka na asing na so boi pajojoron.

Marsinondang ma mata ni ari dohot anakna Angkalau di langit ariannai, ndang tartaon ni angka bintang be hinasilona dohot mohopna. Alani i mangalu-alu ma nasida jala manghuk-anghuk tu jolo ni bulan, asa rap na sida mangalo mata ni ari dohot Angkalau anggiat moru mohop na dohot silona.alai anggo sangkap ni angka bintang on ndang adong di paboahon tu Debata Mulajadi Nabolon. Alai didok bulan i ma tu angka bintang i

“ Ndang taralo hita i, ai gumogo do nasida. Alai molo bisuk hamu jala dioloi hamu hatangku na hudok on, boi doi tataluhon ibana dohot si Angkalau.”

“ Bah, molo songon i do ale raja nami pandokmu, ba ingkon unduk do hami di aha na didok mi, ai sabotulna ndang tartaon hami be hinasilona dohot mohopna ai gabe gale-gale do hami siarianna i, jala mansai manihit do molo siborngoinnnan i.

“ Antong molo songon i, ba marpungu ma hamu sude tu garung-garung on, asa nilangkoppan, anggiat unang boi di ida mata ni ari dohot Angkalau hamu.” Didok bulan ima tu angka bintang.

“ Alai ingot hamu ma, tung na so jadi do hamu haruar sian garung-garung on manang aha pe namasa.” Dipasingot bulan tu nasida.

“ Olo, tiop da raja nami ma hatangkon” ninnna bintang Hala mangalusi bulan.

Jadi laho ma bulan tu tonga ni alaman ni mata niari, marnapuran ma ibana, jadi mansai uli jala lehet di ida mata ni ari pamangan ni bulan.


(63)

“Boi raja nami, uli nai jala bagak nai pamanganmi, ai aha doi dibahen ho asa gabe songon i?” Di sungkun mata ni ari .

Paula so dibege bulan antong hata ni mata ni ari dohot sungkun-sungkun nai, sai manghil-hili ma ibana tu na purann na i, jala sasahali diparbursikhon do aek ni napuran, ima tardok mulani hali butongan dohot si balikhunik.

Jadi marnida uli ni aha na haruar sian pamursihanni bulan, mansai longang ma ibana,

“ Ai aha do dipangan ho asa boi uli bibir mi ale bulan?”

“ Bo, nunga hupangani angka bintang anakki, ai so marguna huida halakhi sude ai loja do iba pature ture angka i. Dumenggan ma hupangan asa lam lehet rupangku jala sonang pangkilalaanku ai dang adong be na manggaremori ngolukku”

“ Bah toho doi?”

“Olo, molo laho gabe bagak bibir mu songon bibir hon, ba ingkon ulahononmu ma songon na hubahen i”

Sian sihol ni roha ni mata ni ari naeng marrara bibirna, pintor di pangan ma anak na i lima kibung. Hape atik pe songon i matua so marrara bibir na i di ida, gabe didok ma tu bulan,

“ Boha do pangallang mu di anakmi ale bulan?’

‘ Bah na oto situtu do hape ho ale mata ni ari, aut dialangkonho na sihahaan dohot siampudan i nangkinon bah sitoho na i pintor marrara do bibirmu, ai ahu pe pintor songon i do hubaen!”

Dung i pintor diharat mata ni ari ma anakna na sihahaan i mansai gogo, jala dibondut, hape laos so olo rara do bibir nai ,gabe muruk ma ibana tu bulan,


(64)

“ Bo, pargabus na somalim do hape ho bulan jal pangansi.” Umbege sarita ni mata ni ari i ba mengkel ma bulan jal didok,

“ Ndang gabushu i tu ho, na sintong do na hudok, ingkon suda do panganonmu anakmu, asa rara bibir mi, ai songon i do ahu na uju i’

Hape di na laho mangkarat siampudan na i, hape pintor di ida ma bintang Si pariama dohot Sialasungsang ruar huhut mar silelean nasida ala marbadai. Ala ni pardingkanon ni natoras nasida do umbahen songon i. Gabe pintor hehe ma jala ruar sude angka bintang i sian garung garung laho manolai nasida. Tung garemor do nasida, jala pasimpar di langit i . Gabe sundat ma di pangan mata ni ari siampudan i, na margoar “Siangkalau”.

Dung i di musui mata ni ari dohot Siangkalau ma bulan i dohot bintang Hala dohot bintang na asing alani pangansion nasida.

Asa molo jumpang Angkalau dohot dohot bulan, pintor di bondut Angkalau ma bulan i, manjadi holom (birong), i ma tAnda na paboa na talu bulan.

Alai molo mangkolom mata ni ari, ima tAndana na monang bulan. Molo songon i mengkel-engkel ma marga Malau na diangka luat Samosir. Alai tumatangis ma nasida, molo dibondut Angkalau bulan i, huhut dipalu bodil dohot gordang jala di didok,

“ Paulak bulan i ale angka lau !, paulak bulan i ale angka lau!!”

Mairilu ilu do nasida manganggukhi, “inangoe inang! Hamamago ni ompung do i, di bondut si Angkalau asu ! ba, dang adong saritam tu hami da ala so huurupi hami ompung, ai boha ma bahenanon nami laho ro tu ginjang i. Saia mago maho ale Angkalau na mangkarati da ompung i!” Ima diandungkon sandok marga


(1)

Adapun fungsi cerita rakyat itu berkembang dalam masyarakat Batak Toba secara umum adalah untuk projective system, alat pendidikan anak, pengesahan pranata dalam masyarakat, dan pemaksa anggota kolektif masyarakat. Seiring dengan perkembangan waktu dewasa ini fungsi cerita rakyat tersebut dapat sebatas untuk hiburan semata bagi para pembaca maupun pendengarnya. Mneskipun demikaian adanya, secara umum cerita rakyat Batak Toba masih tetap melekat dalam budaya masyarakat. Pada dasarnya masyarakat yang hidup dengan unsur budaya yang masih hidup dan dijaga pada dasarnya mampu untuk menjaga kredibilitas dan kesinambungan masyarakatnya di tengah-tengah zaman, demikian juga dengan masyarakat Batak Toba.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian bab-bab sebelumnya, peneliti melihat bahwa cerita rakyat tersebut memiliki nilai yang berharga baik secara moral maupun filosofis, dan tentu saja sebagai suatu kekayaan sastra. Dengan alasan ini, peneliti sangat menyarankan agar para peneliti yang tertarik dengan penelitian cerita rakyat lebih bersemangat memajukan eksistensi cerita rakyat. Hal ini bertujuan agar cerita rakyat tidak punah dan mungkin dinklaim oleh negara lain kiranya pemerintah juga lebih perhatian juga atas hal ini. Kepada para penerbit, kiranya memberikan perhatian lebih serius untuk mencetak kembali dan mencari orang-orang yang merasa berminat untuk menuliskan kembali cerita rakyat. Program ini secara tidak langsung akan melestarikan cerita rakyat terlebih cerita rakyat Batak Toba karena merupakan kekayaan yang sangat berharga di ranah kebudayaan Indonesia.


(2)

Peranan cerita rakyat Batak Toba tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja, pada dasarnya cerita rakyat itu membangun masyarakat yang bermoral dan juga memiliki sikap positif sebagaimana dengan ajaran yang terkandung di dalamnya. Bukan hal yang mustahil bila SDM yang ada di Indonesia akan maju bila menghayati nilai-nilia filosofis dan ajaran positif yang terkandung dalam cerita rakyat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Admazaki. 1990. Ilmu Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Danandjaja, James. 1986. Foklor Indonesia. Jakarta: Grafitipress.

Dudes, Alan.1965. The Study of Foklor. Engelwood: Pretice-hall.

Effendi. 1979. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Hutagalung, W.M. 1991. Pustaha Batak, Tarombo dohot Turiturian. Medan: Tulus Jaya

Jabrohim . 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Grahawidya.


(4)

Junus, Umar. 1981. Mite dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Kozok, Uli. 1999. Tulisan Batak Sebuah Warisan Leluhur. Jakarta: Gramedia

Luxemburg, Jan Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Moleong, L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosysdakarya.

Noeng, Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta. Rekesarasin.

Nasution, Ikhwanuddin. 2003. “Hermeneutik: Sebuah Metode Penelitian Sastra” dalam Studi Kultura, Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya. Tahun2, No. 4. Agustus. Fakultas Sastra USU.

Peck, Jhon dan Martin Coyle. 1984. Literary Terms and Critisim. London: Mac Millan Education Ltd.

Poerwadarminta,W.J.S. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


(5)

Propp, Vladimir. 1972. Morphology of Folktales. Austin: University of Texas Press.

Sitohang, Onggung. Fungsi Cerita Rakyat di Daerah Tapanuli.1984.Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Suniarti, Iing dkk. 2002. Cerita Prosa Rakyat Lampung ”Wakhahan” Analisis

Struktur, Fungsi Serta Manfaat Bagi Pengajaran Sastra. Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

Teeuw, A.1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Vergouwen. 1986. The Social Organization and Consumary Law of The Toba

Batak of Northern Sumatera. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Austin Warren.1995. Teori Kesusatraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(6)