Konsep Peliputan Dalam Keadaan Konflik atau Perang

Dalam buku Jurnalistik Televisi Kontemporer, Morrisan, M.A. menjelaskan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ketika seorang jurnalis akan melakukan sebuah liputan di daerah perang atau daerah berkonflik. 1. Persiapan Cari informasi mengenai daerah konflik yang akan didatangi. Caranya antara lain dengan bertanya kepada wartawan lain yang baru pulang dari tempat itu atau mengubungi mereka yang masih ada di sana. Selain itu, reporter dapat menghubungi pihak-pihak lainnya, misalnya para relawan yang bekerja di daerah yang dimaksud, diplomat dan pihak lainnya yang menurut Anda mengerti betul daerah-daerah konflik itu. Simpan baik-baik paspor, visa, kartu pers, surat kendaraan dan dokumen lainnya. Bawalah pasfoto dalam jumlah lebih untuk keperluan tak terduga. Bila akan menyewa kendaraan, periksalah apakah membutuhkan surat izin. Bawa sepatu yang nyaman dan tahan air serta pakaian yang sesuai untuk keperluan siang dan malam. Barang-barang yang berwarna mencolok sangat dianjurkan untuk kasus-kasus tertentu, namun dalam situasi tertentu justru sebaliknya. Sediakan perlengkapan kesehatan P3K dengan instruksi pemakaian yang jelas untuk setiap obat-obatan yang tersedia. Sertakan termometer, gunting dan pisau tajam, obat anti infeksi, obat pembunuh rasa sakit dan tablet anti diare. Di negara tertentu, tim liputan mungkin membutuhkan perlengkapan kesehatan sendiri seperti jarum suntik, tablet anti malaria, tablet penyaring air atau obat anti serangga. Periksa peralatan yang akan dibawa, pastikan tidak ada yang tertinggal sehingga tidak perlu bolak-balik untuk mengambilnya. 2. Daerah Konflik Jika sudah tiba di daerah konflik, untuk menghindari bahaya, temukan jalan aman untuk mencapai tempat yang menjadi tujuan sambil terus memantau perkembangan berita terbaru di daerah tersebut. Perhatikan dengan seksama pos- pos keamanan yang ada, garis perbatasan, daerah terlarang, jembatan dan jalan pintas. Carilah tempat yang dapat dimintai bantuan dalam keadaan terdesak. Pastikan untuk mendapatkan fasilitas dan akomodasi yang layak yang memungkinkan tim liputan dapat terus berhubungan dengan rekan-rekan di ruang redaksi. Perhatikan pula kebiasaan-kebiasaan atau peraturan yang berlaku seperti cara berpakaian, bersopan-santun dan lain-lain. Kurangi resiko perampokan dengan pergi pada saat siang hari dan simpan baik-baik barang berharga. Coba cari tempat yang aman untuk meninggalkan barang-barang bila memang diperlukan. Jangan bepergian seorang diri, bila perlu sewa kendaraan, supir, penerjemah dan penunjuk jalan ataupun sejenisnya secara bersama-sama. Tidak perlu mengendarai kendaraan yang bagus dan jangan meninggalkan peralatan dan barrang berharga di dalamnya jika terpaksa, letakkan di tempat yang aman. Jika memiliki buku alamat dan nomor telepon penting sebaiknya difotokopi dan jangan bawa yang asli. Bila seorang sedang meliput berita tentang konflik antara dua pihak dan kebetulan reporter memiliki hubungan baik dengan keduanya, jangan sampai mereka membaca buku nomor telepon itu. Kalau mereka tahu seorang reporter berhubungan dengan pihak lawannya, maka akibatnya bisa fatal. Dalam keadaan terdesak, reporter dapat membuang fotokopi alamat itu sebelum diperiksa dan diketahui. Bila menggunakan komputer selama liputan, tetap buat cadangan dalam disket atau catatan tertulis untuk mengindari hal-hal yang tidak diinginkan. Secara berkala periksa hasil rekaman untuk memastikan mendapatkan apa yang diharapkan. 3. Meliput Konflik Jika tim liputan televisi berada di kancah konflik dan melakukan peliputan di tempat itu, maka sebaiknya tidak berada di suatu tempat di mana keselamatan dapat terancam secara langsung. Tempat-tempat yang lebih tinggi seperti lantai di kamar atas di suatu gedung atau ruangan di loteng rumah biasanya lebih aman. Reporter televisi pasti membawa berbagai peralatan peliputan seperti kamera, mikrofon, tripod dan lain-lain yang dari kejauhan tampak seperti senjata. Demi keamanan, samarkan peralatan liputan yang bentuknya mirip senjata itu. Jangan membawa pistol, teropong atau walkie-talkie karena dapat dianggap mata- mata. Hindari menggunakan pakaian berwarna terang pada malam hari, jika sudah terlanjur tutupi dengan lumpur atau sejenisnya. Jangan melakukan hal-hal yang tidak perlu di daerah berbahaya, walaupun untuk sebuah berita penting. Mungkin saja reporter diminta untuk mengorek berita lebih dalam dan luas, bukan lagi sekedar berita utamanya. Namun jangan mengambil resiko demi sebuah wawancara atau pengambilan gambar. Jika diserang, cobalah untuk bergerak dan menjauh. Jika tidak menemukan tempat yang lebih aman, coba temukan posisi yang baik misalnya merunduk, tiarap dan seterusnya. Selalu siaga untuk mundur dari medan perang setiap saat. Jangan menganggap remeh pihak berwenang setempat, turuti saja kemauan mereka supaya semuanya berjalan mulus. Jangan bertele-tele dan usahakan untuk tetap tenang dan berwibawa. Bersikaplah seolah-olah sebagai reporter yang berada di pihak mereka, syukur-syukur mereka mau bekerja sama dengan memberikan informasi yang dibutuhkan. Bila ada masalah, datangi orang- orang yang lebih berwenang. Jangan perlihatkan secara berlebihan emosi yang sedang dirasakan, misalnya rasa takut. Bila tidak dapat menenangkan diri, pergilah ke tempat yang lebih aman untuk meminta bantuan. Bila mengalami sesak napas, tarik napas melalui tangan yang digenggam untuk menurunkan tingkat oksigen dalam darah. Jika mengalami gejala shock atau stress akibat taruma, sebaiknya pulang saja. Pemaparan di atas jelas memberikan gambaran yang cukup detail mengenai apa saja yang kita butuhkan dan apa saja yang harus kita persiapkan ketika akan melakukan peliputan di daerah perang atau dalam keadaan konflik. Melakukan peliputan di daerah perang atau konflik memang memberikan tantangan tersendiri bagi para jurnalis, jika ia berhasil mendapatkan berita ataupun gambar yang eksklusif tidak dapat diperoleh oleh media lain maka ia akan mendapatkan kepuasan batin prestise tersendiri selain reward berupa bonus dari media tempatnya bekerja. Namun yang harus selalu diingat adalah, keselamatan diri sendiri adalah hal yang paling penting dan utama. Kita tidak perlu mengorbankan nyawa kita hanya untuk sebuah berita atau gambar yang dianggap eksklusif. Logika berfikirnya adalah, kita hanya bisa melaporkan sebuah berita perang dalam keadaan selamat, tidak mungkin kita melaporkan berita perang jika kita sudah tidak bisa menyelamatkan diri kita sendiri.

H. Konep Jurnalisme Damai

Jurnalisme damai adalah salah satu bentuk jurnalisme yang mengedepankan sisi humanis yang positif dalam sebuah pemberitaan yang berkaitan dengan konflik atau perang. Jurnalisme damai pertama kali diperkenalkan oleh Johan Galtung pada tahun 1970, namun baru mulai banyak diterapkan oleh para jurnalis di seluruh dunia di tahun 1990 saat terjadi banyak peperangan seperti di kawasan Timur Tengah dan negara-negara Balkan pecahan Uni Soviet. Johan Galtung adalah seorang Profesor Studi Perdamain yang lahir di kota Oslo, Norwegia. Ia mulai mendalami studi perdamaian karena mencermati pemublikasian konflik sektarian yang terjadi di wilayah Irlandia antara Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Selain itu, ia juga miris ketika melihat kenyataan di mana para jurnalis hanya mengedepankan laporan yang bersifat klise ketika mereka meliput di wilayah konflik bersenjata. Para jurnalis tersebut hanya fokus pada laporan menang atau kalah terhadap dua pihak yang tengah bertikai. Johan Galtung beranggapan bahwa hal tersebut tidak berbeda jauh dengan laporan berita olahraga yang hanya fokus pada pelaporan menang atau kalah antara kedua tim yang bertanding. Dari fenomena itulah Johan Galtung mencoba untuk mengarahkan para jurnalis kepada isu yang lebih penting ketika mereka melaporkan sebuah peristiwa dari wilayah konflik. Menurutnya, banyak hal yang lebih penting yang harus diangkat oleh para jurnalis agar efek negatif dari konflik tersebut tidak menjalar ke wilayah yang lebih luas. Misalnya tentang bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh para warga yang untuk menghadapi konflik yang tengah terjadi. Peace journalism more responsible, definition: peace journalism is when editors and reporters make choices –of what stories to report and about how to report them – that create oppurtunities at large to consider and value nonviolent responses to conflict 1. Uses the insights of conflict analysis and transformation to update the concepts of balace, fairness and accuracy in reporting 2. Provides a new route map tracing the connections between journalists, their sources, the stories they cover and the consequences of their journalism – the ethic of journalistic intervention 3. Bulids an awareness of nonviolence and creativity into the practical job of everyday editing and reporting. Lynch and McGoldrick 2005:5 26 Penjelasan di atas menekankan bahwa jurnalisme damai berusaha agar tidak terjadi kekerasan lanjutan atau trauma psikis yang terjadi setelah adanya pemberitaan mengenai sebuah konflik. Pada intinya jurnalisme damai bertujuan untuk mengangkat sebuah persoalan yang terjadi di wilayah konflik secara proporsional, tidak memihak dan berusaha mencegah berkembangnya trauma psikis yang terjadi karena konflik tersebut. Berdasarkan pemikiran Johan Galtung tentang jurnalisme damai tersebut, Jake Lynch dari Transcend Media Service menjabarkan prinsip-prinsip yang harus diterapkan oleh para jurnalis ketika melaporkan pemberitaan dari wilayah konflik bersenjata: 1. Hindari penggambaran bahwa konflik hanya terdiri dari dua pihak yang bertikai atas satu isu tertentu. Konsekuensi logis dari penggambaran macam ini adalah satu pihak yang menang, dan ada satu pihak yang kalah. Lebih baik 26 Charles Webel, ed., Peace Journalism: Handbook of Peace and Conflict Studies Oxon: Routledge, Taylor and Francis group 2007 h. 256. menggambarkan ada banyak kelompok kecil yang terlibat mengejar berbagai tujuan, dengan membuka lebih banyak kemungkinan kreatif yang akan terjadi. 2. Hindari perbedaan penerimaan yang tajam antara “aku” dan “yang lain”. Hal ini bisa digunakan untuk membuat perasaan bahwa pihak lain adalah “ancaman” atau “tidak bisa diterima” tingkah laku yang beradab. Keduanya merupa kan pembenaran untuk terjadinya kekerasan. Lebih baik mencari “yang lain” dalam diri “aku” dan juga sebaliknya. Bila suatu kelompok menampilkan dirinya sebagai “pihak yang benar” tanyakan bagaimana perbedaan perilaku yang sesungguhnya dari “pihak yang salah” dari mereka apakah ini tidak akan membuat mereka malu? 3. Hindari memperlakukan konflik seolah-olah ia hanya terjadi pada saat dan tempat kekerasan terjadi. Lebih baik mencoba untuk menelusuri hubungan dan akibat-akibat yang terjadi bagimasyarakat di tempat lain pada saat ini dan saat mendatang. Tanyakanlah: A. Siapakah orang-orang yang akan beruntung pada akhirnya? B. Juga tanyakanlah pada diri anda sendiri: apakah yang akan terjadi bila . . . . ? C. Pelajaran apa yang akan didapat oleh masyarakat dengan melihat peristiwa ini secara jelas, sebagai bagian dari pemirsa global? Bagaimana masyarakat akan menghitung para pihak yang bertikai di masa mendatang dalam konflik yang dekat dan jauh dari lingkungan? 4. Hindari pemberian penghargaan kepada tindakan ataupun kebijakan dengan menggunakan kekerasan hanya karena dampak yang terlihat. Lebih baik mencari cara untuk melaporkan dampak-dampak yang justru tidak kelihatan. Misalnya dampak-dampak jangka panjang seperti kerusakan psikis dan trauma,