Analisis semiotik terhadap Film In The Name Of God

(1)

ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM

IN THE NAME OF GOD

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Hani Taqiyya

NIM: 107051002739

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu penyataan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, Mei 2011


(5)

ABSTRAK

Hani Taqiyya

Analisis Semiotik Terhadap Film In The Name of God

Pasca kejadian Serangan 11 September 2001 lalu, wajah dunia Islam kian menjadi sorotan. Gencarnya media-media yang mengatakan bahwa otak serangan itu adalah teroris muslim, membawa khalayak kepada konstruksi identitas agama Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan dan radikalisme. Apalagi setelah beberapa serangan lain yang mengatasnamakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan jihad, karena dilakukan atas nama Allah SWT dan untuk menegakkan agama Islam. Sehingga, tidak kata yang lebih populer menyimbolkan kekerasan dan teror atas nama Islam di atas selain jihad, padahal konsep jihad yang seperti itu tidak sesuai dengan agama Islam yang rahmatan lil ‟alamin.

Bukan hanya media cetak saja, film sebagai salah satu media massa juga menggambarkan hal tersebut dengan cara yang berbeda. Beberapa produksi film Hollywood membuat film yang didalamnya menggambarkan bagaimana muslim melakukan perbuatan tersebut. Misalnya mereka membunuh dengan menyebut nama Allah, atau tokoh teroris yang merupakan orang Islam. Oleh karena itu, beberapa sineas muslim yang khawatir dengan persepsi ini mencoba membuat film yang menggambarkan Islam yang sebenarnya. Salah satunya adalah film In The Name of God. In The Name of God adalah film Pakistan dengan isu sensitif yang banyak mendapat penghargaan di dunia Internasional. Selain bercerita tentang realitas Islam di Pakistan dan di dunia, film ini juga menyinggung muatan sensitif tentang pernikahan yang dipakasa, konotasi jihad adalah perang, juga sentimen anti-Amerika. Dan untuk mengetahui gambaran atau representasi yang memang sengaja dibuat oleh film ini, maka digunakanlah pendekatan Semiotik, dengan menggunakan model Roland Barthes.

Sehingga, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos yang merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God. Melalui observasi secara teliti dan kolaborasi dengan dokumen-dokumen yang relevan, akhirnya ditemukan adegan-adegan yang dapat merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi konsep jihad Islam yang ditampilkan dalam film ini adalah berupa jihad yang dimaknai sebagai peperangan, jihad dalam menuntut ilmu, dan jihad untuk mempertahankan diri dari ketidakadilan yang menimpa seseorang. Di sini, Shooaib Mansoor, sutradara film ini, menonjolkan jihad yang berkonotasi pada peperangan pada potret kultur yang diambil adalah sekelompok orang Pakistan yang tinggal di dekat perkampungan Thaliban, sehingga kalaupun pemahaman mereka tentang jihad cukup keras, maka itu adalah hal yang wajar. Sedangkan representasi jihad yang lain diwakili oleh dua tokoh lain yang hidup di Amerika dan Inggris, mereka yang dianggap mengagungkan demokrasi, persamaan hak, dan kebebasan, tidak mengenal dan tidak menyetujui konsep jihad yang keras itu.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas Rasulullah SAW, kaum keluarga, para sahabat, dan para pengikut yang setia mengikuti sunnahnya sampai akhir zaman.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Komunikasi Islam, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Strata 1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga pada penyelesaian skripsi ini, segala upaya yang saya lakukan tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu, dengan rasa hormat saya mengucapkan terima kasih kepada:

1) Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Arief Subhan M. Ag beserta Pembantu Dekan I, Drs. Wahidin Saputra, M.Ag, Pembantu Dekan II, Drs. H. Mahmud Jalal, MA, dan Pembantu Dekan III, Drs. Study Rizal LK, MA.

2) Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Drs. Jumroni, MSi. 3) Dosen Pembimbing Penulis. Drs. Suhaimi., MSi.

4) Sekertaris Jurusan KPI. Umi Musyaroffah, MA dan Fathoni S.Kom.I. 5) Bapak/ibu dosen di Jurusan KPI.

6) Ayah dan Ibu, Drs. Abdi Sumaithi, Lc dan Dra. Reti Riseti, M.Si, serta adik-adik, Khansa, Hanun, Hanana, Yaqzhan, Yuzak, Yumnan, dan Hanina.

7) Keluarga besar Sudrajat dan K.H. Syanwani, sahabat, dan teman-teman di Kelas KPI B angkatan 2007 serta Kelompok KKN `10 Cigombong.

Jazakumullah khairan jaza, tidak ada sebaik-baik balasan kecuali dari Allah SWT semata. Kritik, saran, dan masukan sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu.

Jakarta, Maret 2011


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN TEORITIS A.Tinjauan Umum Semiotik ... 13

1. Pengertian Umum Semiotik ... 13

2. Tanda dalam Semiotik ... 15

3. Representasi dalam Semiotik ... 18

4. Model-Model dalam Semiotik ... 20

5. Model Semiotik Roland Barthes ... 22

B.Tinjauan Umum Film ... 27

1. Film Sebagai Representasi Realitas ... 27

2. Jenis-Jenis Film ... 28

3. Unsur-Unsur Pembentuk Film ... 30

4. Struktur Film ... 31

5. Sinematografi ... 32

C.Konsep Jihad dalam Islam ... 36

1. Pengertian dan Terminologi Jihad ... 36

2. Bentuk-Bentuk Jihad dalam Islam ... 38

D.Definisi Istilah Penelitian ... 40

BAB III PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The Name of God ... 42

B.Sinopsis Cerita ... 44

C.Tim Produksi Film In The Name of God ... 47

D.Penghargaan-Penghargaan Film In The Name of God ... 48

BAB IV HASIL ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM IN THE NAME OF GOD A. Identifikasi Umum Temuan Data ... 49

B. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos yang Merepresentasikan Konsep Jihad dalam Islam ... 52


(8)

1. Scene 1 ... 52

2. Scene 2 ... 56

3. Scene 3 ... 59

4. Scene 4 ... 61

5. Scene 5 ... 64

6. Scene 6 ... 67

7. Scene 7 ... 69

8. Scene 8 ... 72

9. Scene 9 ... 74

10.Scene 10 ... 77

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Model Semiotika Pierce ………21

Gambar 2: Model Semiotika Saussure ……… 22

Gambar 3: Signifikansi Dua Tahap Barthes ……… 24

Gambar 4: Ilustrasi Jarak Kamera Terhadap Obyek ……… 32


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca penyerangan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada 11 september 2001 yang lalu, wajah Islam di dunia kian menjadi sorotan. Peristiwa yang juga dikenal dengan Serangan 9/11 ini memberikan identitas baru pada agama Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan, radikalisme, maupun terorisme. Karena, kebanyakan media-media Barat, menyatakan bahwa aktor dibalik kejadian tersebut adalah sekelompok ekstrimis muslim yang dipimpin oleh Osama bin Laden dalam organisasi Al-Qaeda.

Selang satu bulan setelah kejadian tersebut, terjadi peristiwa Bom Bali di kota kecamatan Kuta, Bali, Indonesia. Pada tanggal 12 Oktober 2002, peristiwa ini memakan korban yang kebanyakan wisatawan asing itu, meninggal sebanyak 202 orang, dan mencederakan 209 yang lain. Tiga orang yang dianggap tersangka oleh polisi, Imam Samudera, Ali Ghufron, dan Amrozi sudah divonis mati.

Seakan tak berhenti di situ, peristiwa serupa pun bermunculan. Pada tanggal 7 Juli 2005, terjadi peristiwa pengeboman 7/7 di London, Inggris. Ini adalah serangkaian pengeboman bunuh diri yang terkoordinasi terhadap sistem transportasi publik di kota London pada jam-jam sibuk. Pengeboman yang terjadi di atas kereta subway dan bis kota pada itu menewaskan 52 orang. Situs berita Inggris, BBC menuliskan bahwa sebuah website Islam telah memberikan statemen yang kurang lebih menyatakan bahwa Al-Qaeda mengklaim berada dibalik serangan tersebut.


(11)

Oleh karena itu, persepsi yang berkembang adalah tidak ada kata yang lebih populer menyimbolkan kekerasan dan teror atas nama Islam di atas selain jihad.

Padahal, berdasarkan sejarah, jihad memiliki makna yang beragam. Ia juga berkonotasi

kehormatan dan pengorbanan bagi orang lain. Jadi, mengidentikkan kata ”jihad” dengan

”terorisme” bukan hanya tidak akurat, melainkan juga tidak produktif. Konsep jihad memiliki lebih banyak nuansa ketimbang makna tunggal yang selalu diterapkan oleh media-media barat untuk istilah itu.1

Berita-berita di televisi maupun di surat kabar juga sedikit memberikan andil dalam memberikan judgement tentang hal tersebut, karena tidak bisa dihindari bahwa media massa mempunyai fungsinya sendiri untuk mengkonstruksi realitas. Selain dua media di atas, dan juga media internet yang kian mudah melakukan penetrasi ideologi kepada masyarakat, film juga menjadi salah satu media yang paling efektif digunakan karena kepopulerannya.

Film dinyatakan sebagai bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia, karena lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi atau lewat Digital Video Disc (DVD)2. Ini berarti ia dapat menjangkau banyak segmen sosial sehingga ia memiliki potensi besar untuk mempengaruhi khalayaknya, karena selain berfungsi sebagai hiburan ia juga perpanjangan dari pemikiran dan ideologi pembuatnya.

Pada tahun 2007, jumlah produksi film Indonesia adalah 77 judul dan di tahun 2008 meningkat menjadi 87 judul film, sementara Thailand mencapai 353 judul, Korea

1

John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang

Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 104

2

Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung:


(12)

berhasil membuat 400 judul film, Amerika menghasilkan 630 judul film dan India mempunyai jumlah produksi film terbesar di dunia, yaitu 877 judul film3.

Hollywood adalah contoh industri film Amerika yang dengan sukses mampu membuat film yang bukan hanya dapat menghibur penontonnya secara afektif tapi juga dapat mempengaruhi kognisi penontonnya. Salah satunya dengan mengkonstruksi konsep jihad dan kegiatan terorisme yang marak belakangan ini.

Sejak kejadian 9/11 tersebut, banyak bermunculan film-film yang mengangkat tema ini. The Kingdom, United 93, atau World Trade Center (karya Oliver Stone), film dokumenter karya Michael Moore, Fahrenheit 9/11 dan My Name is Khan. Tetapi, kebanyakan dari film-film produksi Hollywood tersebut mendeskreditkan agama Islam. Mengidentikkan Islam dengan terorisme, seperti film The Kingdom yang menceritakan usaha FBI mengungkap serangan pengeboman yang menewaskan ratusan warga Amerka di sebuah komplek pemukiman di Arab Saudi oleh teroris muslim. United 93 juga tidak jauh berbeda. Film yang disutradarai Paul Greengas ini sejak awal sudah secara nyata menyuguhkan penampilan teroris yang berwajah Arab, membaca al-Qur`an, dan melakukan sholat berjama‟ah. Bahkan disalah satu adegan diperlihatkan bahwa salah satu teroris itu menusuk leher seorang pramugari sambil membaca

basmalah.

Sineas Indonesia juga tidak ketinggalan, Peristiwa Bom Bali I juga diangkat ke layar lebar dengan judul Long Road to Heaven, dengan pemain antara lain Surya Saputra sebagai Hambali dan Alex Komang, serta melibatkan pemeran dari Australia dan Indonesia. Dian Rousta Febryanti dalam penelitiannya menemukan bahwa

3

http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?1=1&a=view&recid=KAR-000072 diakses pada 19 November 2010


(13)

kepentingan dan ideologi pembuat film menentukan bagaimana suatu penggambaran konsep tertentu disajikan dalam film. Dalam hal ini jihad yang ditampilkan dalam film

Long Road to Heaven” tidak sesuai dengan pengertian jihad yang sebenarnya dalam

Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Hadits. Tidak ada upaya konfirmasi dari pembuatnya tentang konsep jihad dalam film ini. Representasi tersebut ditunjukkan secara eksplisit maupun implisit dalam dialog pemain, acting pemain, setting, kostum, dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa representasi jihad dalam film ini adalah representasi yang terkonstruksi.4

Meskipun film bukan faktor utama dari pencitraan buruk tentang Islam itu, tanpa disadari efeknya kian terasa, islamophobia masih kental terjadi, banyak orang terang-terangan menunjukkan dirinya memusuhi Islam. Ini adalah realita yang terhampar di mana masih banyak orang-orang yang menganggap Islam sebagai suatu ancaman, bukan sebagai agama yang merupakan rahmatan lil ‟alamin, rahmat bagi semesta alam.

Kenyataan ini tentu saja mengusik kita, sebagai umat Islam. Oleh karena itu beberapa insan perfilman dunia mulai memproduksi film-film yang menghadirkan perspektif sebenarnya tentang agama Islam. Salah satunya adalah film In The Name of God atau dalam bahasa urdu disebut, Khuda Kay Liye. Film ini adalah film Pakistan yang dirilis pada bulan Juli tahun 2007, dan disutradarai oleh Shoaib Mansoor, sutradara asal Pakistan. Di Indonesia sendiri, film ini baru ditayangkan secara resmi di bioskop-bioskop lokal, pada bulan November 2010. Meski sebelumnya pernah ditayangkan di

Jiffest (Jakarta International Film Festival) pada tahun 2008.

4

http://digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=132777&lokasi=lokal diakses pada 7 Maret 2011


(14)

Film In The Name of God adalah salah satu film Pakistan dengan isu sensitif yang bisa dirilis di bioskop di negerinya. Film ini juga menunjukkan bahwa terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme berbasis pada kesalahan interpretasi terhadap ajaran Islam, bukan semata-mata kesalahan agama tersebut. Film ini juga mendapat banyak penghargaan dunia Internasional, diantaranya Silver Pyramid Award for Best Picture dari Cairo International Film Festival 2007 di Mesir dan Audience Award untuk kategori film terbaik di Fukuoka Film Festival 2007, Jepang. Film ini mencoba memberikan sebuah perspektif bahwa tidak ada satu agama pun yang melegalkan kekerasan dan radikalisme. Begitu juga dengan agama Islam.

In The Name of God juga merupakan film yang sangat padat (compact) dan lengkap mengungkapkan sisi-sisi kehidupan keislaman masyarakat Pakistan. Ia bercerita tentang realitas Islam di Pakistan, yang bermacam-macam, baik yang kita sebut liberalis, moderat, maupun fundamentalis. Sehingga film berdurasi hampir tiga jam ini dapat memberikan sebuah pencerahan dalam melihat Islam. Setidaknya film ini bisa menjadi jawaban bagi islamophobia yang yang digencarkan Barat dan menjadi rujukan bagi mereka untuk memandang Islam secara lebih baik.

Oleh karena itu menjadi menarik untuk menelusuri tanda-tanda apa yang ada dalam film ini. Terutama bagaimana tanda-tanda dalam film ini merepresentasikan Islam yang seperti apa. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara. Tanda-tanda tersebut adalah sebuah gambaran tentang sesuatu.


(15)

Untuk mengetahui hal itu semua, kita dapat menelitinya melalui pendekatan semiotik. Karena tanda tidak pernah benar-benar mengatakan suatu kebenaran secara keseluruhan5. Ia hanya merupakan representasi, dan bagaimana suatu hal direpresentasikan, dan medium yang dipilih untuk melakukan itu bisa sangat berpengaruh pada bagaimana orang menafsirkannya.

Dari sekian banyak model semiotik yang ada, peneliti memilih model semiotik Roland Barthes (1915-1980), karena menurutnya, semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Teks yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan linguistik saja, tetapi semua yang dapat terkodifikasi. Jadi semiotik dapat meneliti berbagai macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi, drama6.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang akan dituangkan dalam skripsi dengan judul, ” ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP FILM IN THE NAME OF GOD . ”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Batasan dalam penelitian ini adalah rangkaian gambar (scene) dalam film In The Name of God yang berkaitan dengan konsep jihad dalam Islam. Hal ini Berangkat dari konteks besar film ini yang banyak menggambarkan perbuatan yang dilakukan manusia atas nama agama atau atas nama Tuhan (In The Name of God), dalam hal ini agama Islam yang dimaksud.

5

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2010) h.21. 6

Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Wacana: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,


(16)

Untuk memfokuskan penelitian, maka masalah dalam penelitian ini mengacu pada model semiotik yang digunakan, yaitu semiotik Roland Barthes, yang dikenal dengan makna denotasi, konotasi dan mitos.

Sehingga rumusan masalahnya menjadi, apa makna denotasi, konotasi, dan mitos yang merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God .

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui apa makna denotasi, konotasi, dan mitos yang merepresentasikan konsep jihad Islam dalam film In The Name of God .

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitiannya adalah: 1) Segi Akademis,

Diharapakan hasil penelitian ini dapat memperkaya literatur-literatur tentang kajian semiotik, khususnya semiotik dalam film yang menggunakan pisau analisis model Roland Barthes.

2) Segi Praktis,

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi praktisi perfilman terutama untuk memberikan rujukan bagaimana membuat film yang sarat muatan makna dan memberi pencerahan. Sedangkan untuk praktisi komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran ideal tentang bagaimana


(17)

membaca makna yang terkandung dalam suatu produk media massa, melalui pendekatan semiotik.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif, dengan metode deskriptif. Peneliti berusaha menggambarkan fakta-fakta tentang bagaimana adegan-adegan dalam film In The Name of God merepresentasikan konsep jihad Islam lewat tanda-tanda yang disebut oleh Barthes sebagai konotasi, denotasi, dan mitos.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kediaman peneliti, yaitu di Srengseng, Jakarta Barat. Waktu penelitiannya dimulai dari Januari hingga Maret 2011.

3. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya adalah potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film In The Name of God yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui observasi, yaitu mengamati langsung data-data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Adapun instrumen penelitiannya adalah:


(18)

1) Data Primer, berupa dokumen elektronik, 1 buah VCD film In The Name of God

dengan subtitle bahasa Inggris.

2) Data Sekunder, berupa dokumen tertulis, yaitu literatur-literatur seperti resensi film In The Name of God baik dari surat kabar, wawancara-wawancara di majalah, ataupun internet, serta buku-buku yang relevan dengan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan mengklasifikasikan adegan-adegan dalam film In The Name of God yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Kemudian, data dianalisis dengan model semiotik Roland Barthes yaitu dengan cara mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam setiap masing-masing adegan. Indikator masing-masingnya adalah (seperti yang tertulis dalam Sobur, hlm.127):

1) Denotasi :

Makna paling nyata dari tanda, apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek.

2) Konotasi:

Bagaimana menggambarkan objek, ia bermakna subjektif juga intersubjektif, sehingga kehadirannya tidak disadari.

3) Mitos:

Merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Dalam dunia modern, mitos dikenal dengan bentuk feminisme, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.


(19)

F. Tinjauan Kepustakaan

Setelah peneliti melihat pada Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Peneliti mendapati ada 3 judul skripsi yang ada kaitannya dengan judul yang dibahas yaitu: skripsi pertama yang dilihat peneliti adalah karya Istianah, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Jurnalistik, ditulis tahun 2009 yang berjudul Analisis Semiotik Film Turtles Can Fly. Skripsi ini memiliki kesamaan objek penelitian yaitu film internasional. Ia juga menggunakan model semiotik yang sama, yaitu model Roland Barthes. Meskipun begitu, makna yang ingin diungkap dalam skripsi tersebut adalah tentang konsep perang dalam film Turtles Can Fly.

Skripsi yang kedua adalah hasil karya Rizki Alamsyah, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Jurnalistik, ditulis tahun 2010 dengan judul Analisis Semiotik Film A Mighty Heart. Ia juga menggunakan objek penelitian dan model yang sama, film dan semiotik Roland Barthes, tetapi yang lebih diungkapkan adalah konsep jurnalismenya.

Skripsi terakhir yang dilihat peneliti adalah yang ditulis oleh Listya Adi Andarini yang berjudul Representasi Budaya Dominan Amerika Serikat dalam Menguasai Arab Saudi (Studi Analisis Semiotik Terhadap Film The Kingdom), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2008. Skripsi ini memiliki kesamaan objek penelitian, yaitu film internasional. Tetapi model semiotik yang


(20)

digunakan adalah Model Saussere yang mengungkap makna yang diperlihatkan dalam naskah, pergerakan, music, dan setting dalam film.

Dari ketiga skripsi diatas, ada perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis oleh peneliti. Karena dalam Film In The Name of God ada perbedaan makna yang ingin diungkap dalam masalah penelitian, karena aspek yang lebih ingin dikaji adalah masalah konsep jihad dalam Islam yang direpresentasikan dalam film. Berbeda juga dengan skripsi terakhir yang peneliti lihat, yang menggunakan model Saussure, karena peneliti menggunakan semiotik Roland Barthes.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi dalam penelitian ini ditulis dengan menggunakan panduan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi), karya Hamid Nasuhi, dkk., yang diterbitkan oleh CeQDA, 2007. Oleh karena itu sistematika penulisannya adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Terdiri dari Tinjauan Umum Semiotik: Pengertian Umum Semiotik, Tanda Dalam Semiotik, Representasi dalam Semiotik, Model-Model Dalam Semiotik, Model Semiotik Roland Barthes, B.Tinjauan Umum Film: Film sebagai Representasi Realitas, Jenis-Jenis Film, Struktur


(21)

Film, Sinematografi, dan, C. Konsep Jihad Dalam Islam: Pengertian dan Terminologi Jihad, Bentuk-Bentuk Jihad dalam Islam.

BAB III PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD

Terdiri dari A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The Name of God, B. Sinopsis Cerita, C. Tim Produksi Film In The Name of God, dan D. Penghargaan Film In The Name of God.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan Representasi Konsep Jihad Islam Dalam Film In The Name of God : A. Identifikasi Umum Temuan Data, B. Makna Konotasi, Denotasi, dan Mitos yang Merepresentasikan Konsep Jihad Islam dalam Film In The Name of God.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan hasil penelitian, dan saran dari peneliti atas permasalahan yang diteliti.


(22)

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Umum Semiotik 1. Pengertian Umum Semiotik

Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-337 SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates, merupakan semeion, bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.7

Dari dua istilah Yunani tersebut, maka semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia8.

Sementara Preminger (2001) menyebut semiotik sebagai ilmu yang mengganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.9

Saussure mendifinisikan semiologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat, dan, dengan demikian menjadi bagian dari

7

Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h.7. 8

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotik diakses pada 17 Januari 2011 9


(23)

disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.10

Lechte (2001:191), menyebut semiotik sebagai teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‟tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada

sign system (code), sistem kode (Segers, 2004:4).

Charles Sanders Pierce (dalam Littlejohn, 1996:64) mendefinisikan semiotik sebagai a relationship amog a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna).

Sementara Charles Morris (dalam Segers, 2005:5) menyebut semiotik sebagai suatu proses tanda, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme.11

Definisi yang cerdas tapi juga penuh makna diusulkan oleh penulis dan pakar semiotik kontemporer, Umberto Eco. Eco (1976:12) mendefinisikannya sebagai

‟disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipakai untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk

jujur; dan pada kenyatannya tidak bisa dipakai untuk apapun juga‟. Walau tampaknya

bermain-main, ini adalah definisi yang cukup mendalam, karena menggarisbawahi fakta bahwa kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara penuh dusta atau yang menyesatkan. Kemampuan untuk berpura-pura ini memungkinkan kita untuk

10

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.12. 11


(24)

memanggil rujukan yang tidak ada, atau merujuk ke hal-hal apa pun tanpa dukungan empiris yang mengatakan bahwa yang kita katakan itu adalah benar. 12

Oleh karena itu, semiotik atau semiologi adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya. Bagaimana manusia menangkap sebuah makna tergantung pada bagaimana manusia mengasosiasikan objek atau ide dengan tanda. Hal ini selaras dengan pendapat Charles Sander Pierce (dalam Sobur,

2003:15) bahwa semiotik sebagai “a relationship a many sign, an object, and a meaning…” suatu hubungan diantara tanda, objek, dan makna.13

2. Tanda dalam Semiotik

Dari definisi-definisi para ahli sebelumnya, kita dapat melihat bahwa para ahli menempatkan sistem tanda dan makna sebagai gagasan pokok dalam semiotik.

Semiotik, menurut John Fiske mempunyai tiga bidang studi utama:

1) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi selama komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

12

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 33 13

Tommy Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam


(25)

3) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya begantung pada penggunaan kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga bisa disebut tanda.

Pierce (dalam Fiske 1990: 62) melihat tanda, acuan, dan penggunaannya sebagai tiga titik dalam segitiga. Sedangkan Saussure mengatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. 14

Pierce juga menyebut tanda sebagai representamen; bentuk fisik, konsep benda, dan gagasan diacunya sebagai objek. Makna yang diperoleh dari sebuah tanda diistilahkan sebagai interpretan.15

Hal yang dirujuk oleh tanda, secara logis dikenal sebagai referen (objek atau petanda). Ada dua jenis referen: (1) referen konkrit, adalah referen yang dapat ditunjukkan hadir di dunia nyata, misalnya cat (kucing) dapat diindikasikan dengan menunjuk seekor kucing, dan (2) referen abstrak, yaitu referen yang bersifat imajiner dan tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda, salah satu caranya adalah dengan membongkar akar-akar budaya dari setiap komponen tandanya.

16

Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menujukkan hubugan yang berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya.

14

Ibid., h. 96 15

Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, h. 37 16


(26)

1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.

2) Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya. Misalnya, asap adalah indeks api dan bersin adalah indeks flu.

3) Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya adalah simbol. Palang merah adalah simbol dan angka adalah simbol.

Ikonitas melimpah ruah dalam semua wilayah representasi manusia. Foto, potret, peta, angka Romawi seperti I, II, dan III adalah wujud ikonis yang dirancang atau diciptakan agar mirip dengan sumber acuannya secara visual. Parfum, adalah ikon penciuman yang meniru wangi alamiah, zat tambahan makanan kimiawi adalah ikon pengecap yang mensimulasikan rasa makanan alamiah. Kini, ikon juga memiliki fungsi sosial dalam cakupan yang sangat luas. Misalnya ditemukan pada poster, pintu kamar

mandi sebagai indikasi “pria” dan “wanita, dan sebagainya. Ikon membuktikan bahwa

persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam warna, bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa, dan seterusnya.17

Sementara indeks membuktikan bahwa manusia juga memperhatikan pola berulang dalam hubungan serta sebab-akibat yang tidak pasti dalam waktu dan ruang.

Dalam hal ini, Pierce mengacu pada objek tanda sebagai “agen ulang”, karena objek ini

berupa reaksi terhadap sebuah agen yang memungkinkan kita untuk menyimpulkan keberadaan-nya, mapun hubungannya dengan objek-objek lain.

17


(27)

Ada tiga jenis dasar indeks: (1) Indeks ruang, yang mengacu pada lokasi spasial sebuah benda, makhluk, dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda. Tanda yang dibuat dengan tangan seperti jari yang menunjuk, figure seperti anak panah, merupakan contohnya. (2) Indeks Temporal, indeks ini menghubungkan benda-benda dari segi waktu, kata keterangan seperti sebelum, sesudah, sekarang, tanggal di kalender, merupakan contohnya. (3) Indeks Persona. Indeks ini saling menghubungkan pihak-pihak yang ambil bagian dalam sebuah situasi, kata ganti seperti aku, kau, ia, adalah contohnya.

Sementara simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional yang dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis. Bentuk salib dapat mewakili konsep agama Kristen, putih dapat mewakili kebersihan, kesucian, kepolosan, dan gelap mewakili kotor, ternoda, dan sebagainya. 18

3. Representasi dalam Semiotik

Dalam kajian semiotik modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.19 Dengan kata lain, representasi juga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda.20

Hal ini bisa dicirikan dengan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangkan mengarahkan perhatian ke sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material

18

Ibid., h. 43-44 19

Ibid.,, h. 24. 20


(28)

maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang memasuki gambaran tersebut.21

Tanda tidak pernah benar-benar mengatakan kebenaran secara keseluruhan. Tanda me-mediasi kenyataan kepada kita, karena tanda secara niscaya membentuk berbagai pilihan yang sesuai dari lingkungan hal-hal yang diketahui yang tak terhingga kemungkinannya. Oleh karena itu, representasi yang diberikan pada sesuatu merupakan proses mediasi.22

Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.23

4. Model-Model dalam Semiotik

Analisis dalam semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Model-model dalam

21

Ibid., h. 3-4. 22

Ibid., h. 20-21 23

John Hartley, Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta,


(29)

semiotik mengacu pada proses komunikasi yang disebut Fiske (1990) sebagai pembangkit makna (the generation of meaning), bukan model-model sebelumnya yang cenderung linear.

Fiske menyebutnya sebagai „model-model struktural‟, di mana setiap anak panah menunjukkan relasi di antara unsur-unsur penciptaan makna. Model sruktural ini tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah yang dilalui pesan, melainkan lebih memusatkan perhatian pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu. 24

Dari terminologi di atas, peneliti dapat mengasosiasikan bahwa untuk menemukan makna tersebut, dibutuhkan sebuah model. Ada dua model makna yang sangat berpengaruh. Pertama, model dari filsuf dan ahli logika, CS Pierce, Ogden, dan Richard. Kedua, model dari ahli linguistik Ferdinand de Saussere. Namun, dalam penelitian ini kedua model tersebut tidak akan dibahas begitu mendalam, karena peneliti akan menggunakan model semiotik Roland Barthes, yang merupakan penerus pemikiran Saussure.

Seperti telah disebutkan sebelumnya Pierce telah mengungkapkan tiga elemen semiotik yang utama, yaitu tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda (interpretant). Tiga elemen ini disebut Pierce sebagai teori segitiga makna, atau triangle of meaning (Fiske, 1990 & Littlejohm, 1998). Maka, persoalannya adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.25

Hubungan ketiga elemen ini digambarkan Pierce sebagai berikut:

24

Tommy Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam

Komunikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2011), h.94. 25

Rachmat Kriyantono, S.Sos., M.Si., Teknis Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana


(30)

Gambar 1 Model Semiotik Pierce

Gambar di atas menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda, yang salah satu bentuknya adalah kata, mengacu kepada sesuatu di luar dirinya sendiri – objek, dan ini dipahami oleh seseorang serta ini memiliki efek di benak penggunanya. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. 26

Sementara itu Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut dengan signifier (penanda) dan signified (petanda). Jadi, ide sentral dalam semiotik adalah konsepsi khusus (particular) dari struktur sebuah tanda (sign) yang didefinisikan sebagai ikatan antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified).27

Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan, ditulis, dan dibaca. Sedangkan signified adalah gambaran mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari atas

signifier dan signified sebagai berikut:

26

Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam Komunikasi, h.97. 27

Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 958

Sign

Object Interpretant


(31)

Gambar 2

Model Semiotik Saussure, Sumber: McQuail, 2000: 31228

Hubungan antara penanda dan petanda tersebut adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbiter dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut.

Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda-petanda merupakan konsep mental yang kita gunakan untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita dapat memahami realitas tersebut. Petanda dibuat oleh manusia dan ditentukan oleh kultur atau subkultur yang dimiliki manusia tersebut. 29

5. Model Semiotik Roland Barthes

Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative).30

28

Kriyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi, h.265. 29

Suprapto, M.S., Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam Komunikasi,

h.101. 30

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.126-127.

Sign

Composed of

Signifier Signification

Signified

Referent


(32)

Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoritisnya. Tesis tersebut mengatakan bahwa struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos-mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan.

Dalam terminologi Barthes, jenis budaya populer apapun dapat diurai kodenya dengan membaca tanda-tanda di dalam teks. Tanda-tanda tersebut adalah hak otonom pembacanya atau penonton. Saat sebuah karya selesai dibuat, makna yang dikandung karya itu bukan lagi miliknya, melainkan milik pembaca atau penontonnya untuk menginterpretasikannya begitu rupa.31

Representasi menurut Barthes menunjukkan bahwa pembentukan makna tersebut mencakup sistem tanda menyeluruh yang mendaur ulang berbagai makna yang tertanam dalam-dalam di budaya Barat misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan-tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.32

Sehingga, dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga

31

Ade Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2009), h.42. 32


(33)

menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. 33 Barthes menyebut fenomena ini – membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu– sebagai penciptaan mitos.

Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order of Signification”

(Signifikansi Dua Tahap).

Gambar 3

Signifikansi Dua Tahap Barthes

Melalui gambar di atas, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda

33

Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, (Manchester and New York: Manchester University Press, 1997) h.16.

First Order Second Order

signs culture

reality

Denotation

Conotation

Myth Signifier

--- Signified

Form


(34)

terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikansi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. 34

 Makna Denotasi:

Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya.35 Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem signifikansi tahap pertama.

 Makna Konotasi:

Makna yang memiliki „sejarah budaya di belakangnya‟ yaitu bahwa ia hanya

bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti pusis, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.36

 Mitos:

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebut dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu37,

34

Sobur, Analisis Teks Media, h.127-128 35

Danesi, Semiotika Media., h.274. 36

Ibid., h.43. 37


(35)

jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi.38.

Mitos, oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.39Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:

3) Signifier (penanda)

4) Signified (petanda)

3. Denotative sign (tanda denotative) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya

jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan

keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar

38

Roland Barthes, Mitologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), h.208. 39


(36)

memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.40

B. Tinjauan Umum Film

1. Film Sebagai Representasi Realitas

Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris. 41

Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah kita lantas menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono menulis, dibanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari.

Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai di buat.

40

Sobur, Semiotika Komunikasi, h.69. 41


(37)

Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata42, yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi. 43

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarakan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil.

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant.44

2. Jenis-Jenis Film

Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah sebagai berikut45:

a. Film Fitur

42

Ade Irwansyah, Seandainya Saya Kritikus Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2009) h.12 43

Ekky Al-Malaky, Remaja Doyan Filsafat, Why Not?, (Bandung, DAR! Mizan, 2004) h.139. 44

Danesi, Semiotika Media., h.134. 45


(38)

Film fitur merupaka karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya; bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

b. Film Dokumenter

Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai “karya

ciptaan mengenai kenyataan”, creative treatment of actuality.46

Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung fakta, film dokumenter mengandung subyektivitas pembuatnya. Dalam hal ini pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekam

46

Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung:


(39)

adegan nyata dan faktual (tidak boleh merekayasanya sedikitpun) untuk kemudian diubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik. c. Film Animasi

Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer. Salah satu tokohnya yang legendaris adalah Walt Disney dengan film-film kartunnya seperti Donald Duck, Snow White, dan Mickey Mouse.

3. Unsur-Unsur Pembentuk Film

Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain:

1) Unsur Naratif

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemennya. Mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membuat sebuah jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan, serta terikat dengan sebuah aturan yaitu hukum kausalitas (logika sebab akibat).


(40)

2) Unsur Sinematik

Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdiri dari : (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau latar, tata cahaya, kostum, dan make-up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran.47

4. Struktur Film 1) Shot

Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action in a film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.48

2) Scene

Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa

shot yang saling berhubungan.

3) Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling

47

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2 48

Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman, (Yogyakarta:


(41)

berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah bab atau sekumpulan bab.49

5. Sinematografi

Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film,

framing, serta durasi gambar. Untuk kebutuhan penelitian ini, framing yang merupakan hubungan kamera dengan obyek yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini.

a. Jarak

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam frame.

Secara umum, dimensi jarak kamera terhadap obyek ini dikelompokkan menjadi tujuh, seperti ilustrasi berikut50:

Gambar 4

Ilustrasi Jarak Kamera Terhadap Obyek

49

Himawan Pratista, Memahami Film, h.29-30 50


(42)

1) Extreme Long Shot

Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.

2) Long Shot

Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai establishing shot,

yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat. Secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika: mengikuti area yang lebar atau ketika adegan berjalan cepat, menunjukkan dimana adegan berada atau menunjukkan tempat, juga menunjukkan progress51.

3) Medium Long Shot

Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan relatif seimbang. Sehingga semua terlihat netral.

4) Medium Shot

Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gesture

serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam

frame.

5) Medium Close-up

51

Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman, (Yogyakarta:


(43)

Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Seperti digunakan dalam adegan percakapan normal.

6) Close-up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, dan kaki, atau obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetail. Efek close up biasanya akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi menekan. Ada makna estetis, ada juga makna psikologis.52

7) Extreme Close-up

Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah objek.

b. Sudut Kamera (Angle)

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam

frame.

Gambar 5

52


(44)

Ilustrasi Sudut Kamera53

Secara umum, sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Low angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, menekan, seperti pada ilustrasi 7.19 dan 7.21.

2) High angle

Kebalikan dari low angle, high angle akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan.

3) Eye level

Sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan normal, sehingga subjek kelihatan netral, tidak ada intervensi khusus pada subjek. 54

C. Konsep Jihad dalam Islam

1. Pengertian dan Terminologi Jihad

Kata jihad berasal dari kata jahada, berarti setiap usaha yang diarahkan pada tujuan tertentu dan berupaya dengan kemampuan yang ada berupa perkataan dan

53

Himawan Pratista, Memahami Film, h.107. 54


(45)

perbuatan serta ajakan kepada agama yang haq. Dalam tradisi sufisme, jihad dipahami sebagai pengekangan jiwa (mujâhadah-an nafs). Inilah jihad yang dipandang paling agung (al-jihâd al-akbar) sedangkan perang adalah jihad kecil (al-jihâd al-ashgar).

Jihad hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif) bilamana sebagian muslim telah melaksanakannnya maka gugurlah kewajiban itu dari kaum muslimin. Kewajiban kolektif yang bersifat sosial ini mendapat penekanan lebih kuat dan lebih rawan daripada kewajiban individual (fardu „ain). Seperti firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 122 :



















































Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali supaya mereka dapat menjaga diri.” (QS Al-Taubah: 122)

Jadi, jihad seperti halnya dengan menuntut ilmu pengetahuan tertentu dan seperti

halnya juga dengan da‟wah, merupakan kewajiban kolektif sosial. Akan tetapi jihad

dalam kondisi tertentu dapat menjadi kewajiban individual: muslim laki-laki maupun perempuan, bahkan hingga wanita diperbolehkan keluar untuk berjihad tanpa izin suaminya. Jihad menjadi wajib „aini (kewajiban individual) ketika musuh telah menginjakkan kakinya di bumi Islam.55

55Dr. Muhammad „Imarah,

Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 206 - 208.


(46)

Di samping pengertian umum tersebut, para ulama juga mendefinisikan tentang

jihad secara khusus, salah satunya Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa jihad adalah

memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Pengertian inilah yang mengandung makna bahwa jihad dikaitkan dengan pertempuran, peperangan, dan ekspedisi militer.

Melihat dari sejarahnya, ayat-ayat tentang jihad yang turun pada periode Madinah inilah yang menjadi landasannya, diantaranya seperti yang tertulis dalam firman Allah berikut:

 



































































































Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berjihad dengan harta dan jiwa-nya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Anfal: 72)

Sekarang ini jihad terus memiliki makna yang bermacam-macam. Ia digunakan untuk menggambarkan perjuangan hidup seseorang dengan mengerjakan kebajikan, memenuhi tanggung jawab keluarga, membersihkan lingkungan tempat tinggal, melawan pemakaian obat-obatan terlarang, atau bekerja untuk kepentingan sosial. Jihad


(47)

juga digunakan dalam peperangan untuk pembebasan dan perlawanan, demikian juga untuk menghadapi aksi teror.56

2. Bentuk-Bentuk Jihad Dalam Islam

Secara umum, seperti yang tertulis dalam literatur, Islam mengenal beberapa bentuk jihad yaitu57:

1. Jihâd „alan-nafsi, yaitu berjuang melawan hawa nafsu.

2. Jihâd bil-lisan, yaitu berjihad dengan lidah.

3. Jihâd bil-qalam, yaitu berjihad dengan pena.

4. Jihâd bit-tarbiyah, yaitu berjihad dengan pendidikan, dengan cara menyebarkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat.

5. Jihâd fi sabilillah, yaitu berjuang dijalan Allah.

Ulama fikih membagi jihad menjadi tiga bentuk, yaitu berjihad memerangi musuh secara nyata, berjihad melawan setan, dan berjihad terhadap diri sendiri. Lebih lanjut, Ibnu Qayyim juga menguraikan bahwa jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu58:

1) Jihad Mutlaq;

Jihad dalam rangka perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya perang tersebut harus bersifat defensif, untuk menghilangkan fitnah, menciptakan perdamaian, dan mewujudkan kebajikan

56

John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang

Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 42.

57

Tim Penyusun Pustaka Azet Jakarta, Leksikon Islam, (Jakarta: PT Penerbit Pustazet Pustaka,

1998), h.286. 58

Ibnu Qayyim, dalam Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h.


(48)

dan keadilan. Perang juga tidak dibenarkan bila digunakan untuk memaksakan ajaran Islam kepada orang yang bukan Islam, untuk tujuan perbudakan, penjajahan dan perampasan harta kekayaan. Juga tidak dibenarkan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita, anak kecil, dan orang-orang tua.

Orang yang wajib berjihad dalam pengertian perang ini adalah mereka yang Islam, akil balig, laki-laki, tidak cacat, merdeka, dan mempunyai biaya yang cukup untuk pergi perang dan untuk keluarga yang ditinggalkan.

2) Jihad Hujjah;

Jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat. Ibnu Taimiyah menyebut jihad ini sebagai

jihâd bi al-„Ilm wa al-Bayan atau jihâd bi al-lisan (jihad dengan lisan), yaitu jihad yang memerlukan kemampuan ilmiah yang bersumberkan dari Al-Qur`an dan

sunnah serta ijtihad. 3) Jihad „Amm;

Jihad yang mencakup segala aspek kehidupan, baik yang bersifat moral maupun yang bersifat material, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang nyata, setan atau hawa nafsu. Pengertian musuh yang nyata di sini, disamping perang, juga berarti semua tantangan yang dihadapi umat Islam seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Jihad terhadap setan mengandung pengertian berusaha untuk menghilangkan hal-hal yang negatif yang membahayakan umat manusia. Sedangkan


(49)

jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap pengendalian diri agar cara tindak, jiwa, dan komunikasi dengan orang lain tidak menyimpang dari ketentuan Islam.

D. Definisi Istilah Penelitian

Untuk memperlihatkan hubungan antara kajian teoritis dalam penelitian ini dengan analisis data pada Bab IV, maka dibuatlah definisi istilah penelitian yang dibutuhkan sesuai dengan perumusan masalah penelitian.

1. Semiotik

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana tanda-tanda diproduksi sehingga menghasilkan makna. Tanda-tanda itu dikolaborasikan untuk memberikan makna yang diinginkan oleh pembuat tanda kepada interpretan nya.

2. Semiotik Roland Barthes

Semiotik Roland Barthes bertumpu pada tiga hal yaitu makna denotasi, konotasi, dan mitos. Makna denotasi adalah makna yang paling nyata dari gambar-gambar dalam film In The Name of God dalam bentuk kalimat-kalimat yang menjelaskan visualisasi gambar tersebut.

Sedangkan pada makna konotasi, peneliti membuat interpretasi dari makna denotasi yang didasarkan pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga konotasinya akan merepresentasikan konsep jihad dalam Islam yang terlihat dalam film

In The Name of God..

Pada akhirnya, peneliti akan menemukan makna mitos yang terkandung dalam suatu gambar dengan mengkolaborasikan makna denotasi dan makna konotasinya.


(50)

Dalam penelitian ini, mitos merupakan wacana jihad yang dipakai dalam film In The Name of God, yang terlihat dalam setiap rangkaian visualnya. Pada dua tingkat terakhir ini, dokumen-dokumen yang relevan menjadi sarana dalam analisisnya.

3. Representasi

Representasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggambaran suatu wacana yang disampaikan lewat media film, dalam hal ini konsep Jihad Islam, sehingga dapat dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Karena yang digunakan adalah media film, maka representasi ini terlihat dari rangkaian scene, berupa gambar-gambar adegan yang ada dalam film ini.

BAB III

PROFIL FILM IN THE NAME OF GOD

A. Profil Shooaib Mansoor sebagai Sutradara Film In The Name of God

Shooaib Mansoor, lahir di Karachi, Sindh, Pakistan pada tanggal 19 Agustus, bukanlah orang baru dalam dunia showbiz Pakistan. Ia lama berkecimpung di dunia pertelevisian Pakistan, sejak tahun 1980 hingga sekarang. Ia sering menulis, memproduseri, dan menyutradarai serial televisi populer di Pakistan, diantaranya adalah Ankahi, Fifty Fifty, Alpha Bravo Charlie, Sunehre Din, dan Gulls & Gulls, yang


(51)

semuanya ditayangkan di PTV, sebuah stasiun televisi di Pakistan. Ia juga seorang penulis lagu dan music composer yang cukup sukses. Ia banyak mengorbitkan penyanyi-penyanyi Pakistan menjadi populer di negaranya, di samping ia juga sering menyutradarai video klip mereka. Berkat kontribusinya di dunia televisi ini, ia mendapat penghargaan PTV Lifetime Achievement Award, yang diberikan langsung oleh Presiden Pakistan Pervez Musharraf, pada bulan November 2007.

In The Name of God atau Khuda Kay Liye adalah karya debutnya di bidang film. Dirilis pada tanggal 20 Juli 2007, film ini ternyata menuai kontroversi di negaranya karena mengandung muatan sensitif tentang pernikahan yang dipakasa, konotasi jihad adalah perang, juga sentimen anti-Amerika. Selain itu film ini juga memicu perdebatan tentang kaum Islam moderat yang ingin membawa bendera moderatnya sebagai sebuah pencerahan dan kelompok radikal dengan panggilan jihad-nya.

Dalam sebuah wawancara, Mansoor mengatakan bahwa ia ingin menjadi suara perwakilan dari kaum moderat yang selama ini diam dan terbungkam. Oleh karena itu ia menjadikan film ini sebagai film yang bercorak bollywood atau lollywood (istilah untuk industri film Pakistan yang berpusat di Lahore), dengan musik-musik dan tari-tarian, tetapi ia ingin filmnya sarat dengan filosofi dan pesan di dalamnya. Selain itu, ia ingin memberikan penjelasan tentang kesalahan persepsi yang mungkin banyak orang lihat tentang Pakistan.

Dalam Khuda Kay Liye ini ia juga sebuah pernyataan politiknya tentang terorisme. Ia mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah rekaan politik semata, karena ketika kita melihat situasi dunia sekarang, terutama yang berkaitan dengan penganiayaan kaum muslimin, yang terjadi di belahan dunia, dari Palestina sampai ke


(52)

timur tengah. Begitu juga isu tentang Kashmir yang menjadi polemik antara India dan Pakistan sampai saat ini belum ada solusinya. Jadi, bagi Mansoor terlalu banyak tekanan dalam hal ini, oleh karena itu lewat karakter yang dimainkan oleh Shaan (Mansoor) ia ingin memperlihatkan kekejaman yang dialami orang muslim di berbagai negara.

Meski film ini banyak mendapat protes di negaranya, salah satunya oleh kelompok radikal dari Islamabad‟s Red Mosque, bahkan sebuah petisi pernah diajukan ke Pengadilan Tinggi Pakistan terkait dengan penayangan film ini. Mansoor tetap meneruskan pekerjaannya untuk terus membuat film. Film berikutnya, Bol dijadwalkan untuk rilis pada tahun 2011 ini.

B. Sinopsis Cerita

Film In The Name God bercerita tentang tiga orang dari benua berbeda yang memiliki masalah yang berkaitan dengan isu-isu Islam. Dua bersaudara dari Pakistan, Mansoor dan Sarmad adalah musisi berbakat dari Lahore, Pakistan. Suatu ketika, di saat mereka sedang melakukan gladi resik untuk pertunjukkan musik, sekelompok pria berpakaian putih menyerang mereka. Mereka merusak panggung, dan melarang pertunjukkan. Setelah kejadian itu, Sarmad bertemu dengan Kiai Maulana Tahiri yang merubah pandangannya tentang Islam. Kiai tersebut menyatakan larangan agama Islam

tentang musik, “Nabi Muhammad membenci lagu dan musik. Jadi, walaupun kamu punya bakat di musik, lebih baik cari pekerjaan yang lain.” tegas ulama tersebut.

Akhirnya, Sarmad, terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan para aktivis Islam itu. Ia mulai mempelajari bagaimana pandangan ekstrimis tersebut tentang Islam, memanjangkan janggut, dan mengharamkan musik bagi dirinya. Keluarga Mansoor dan


(53)

Sarmad adalah keluaga moderat yang menjalankan Islam secara biasa-biasa saja, sehingga perubahan Sarmad menjadi sebuah tekanan bagi mereka.

Di London, Inggris, ada seorang perempuan bernama Mary (Maryam). Dia adalah gadis keturunan Pakistan yang perilakunya sudah terwesternisasi. Tidak seperti perempuan-perempuan dari negara mayoritas Islam lain, yang menggunakan jilbab dan baju muslimah. Mary berpakaian seperti orang Inggris pada umumnya. Ia juga berpacaran dengan seorang laki-laki Inggris bernama Dave, yang bukan beragama Islam. Percintaan ini dilarang oleh Ayah Mary, Hussein. Seorang Pakistan yang bersikap hipokrit tentang kehidupannya. Dia melarang Mary mencintai laki-laki non-muslim, padahal dia sendiri tinggal dengan seorang perempuan Inggris yang tidak dinikahinya. Ia berprinsip bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan non-muslim. Tetapi perempuan muslim tidak boleh menikahi laki-laki non-non-muslim. Ia menjadi khawatir dengan keinginan Mary yang ingin menikahi Dave, oleh karena itu dia merancang sebuah jebakan untuk menghalangi keinginan anaknya itu. Dia mengatakan pada Mary bahwa mereka akan menjalani liburan ke Pakistan, bertemu keluarga besar mereka, dan setelah itu dia boleh menikahi Dave. Ketika Mary dan Ayahnya mengunjungi FATA (Federal Administered Tribal Areas), sebuah unit administrasi kecil di barat laut Pakistan yang bersisian langsung dengan Afghanistan, ayahnya meninggalkannya di daerah tersebut, dan memaksanya menikah dengan Sarmad yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Mary pun harus tinggal di daerah FATA dan terisolasi di sana.

Sementara itu, Mansoor mengambil jalan yang berbeda dengan adiknya. Ia tetap menekuni musik, dan pergi bersekolah musik di Chicago. Di sana, ia jatuh cinta dengan


(1)

sabilillah, dalam rangka menegakkan keadilan di bumi, hal ini seolah ingin memberikan sebuah gambaran bahwa jihad tanpa mengangkat senjata juga sama beratnya dengan bentuk jihad tersebut. Ini terlihat dari pengorbanan Mary yang meninggalkan keluarga dan orang-orang terkasihnya untuk mencurahkan pengetahuan yang ia punya kepada orang-orang yang memerlukan di sana. Karena, musuh yang nyata itu juga termasuk tantangan yang dihadapi dunia Islam saat ini, salah satunya adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Mitos Dalam realitas modern, konstruksi tentang masyarakat Islam seperti yang diwakilkan oleh penduduk desa tersebut, diidentikkan dengan mereka yang memiliki penafsiran hidup yang sukar dalam melakukan aktifitas masyarakat. Salah satunya lewat larangan mempelajari hal-hal yang tidak berkaitan dengan ilmu agama.

BAB V


(2)

A. Kesimpulan

Setelah peneliti menganalisis data berupa rangkaian scene dalam film In The Name of God dengan mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos yang dianggap merepresentasikan konsep jihad Islam, maka peneliti merumuskan beberapa hal yaitu: 1. Makna Denotasi

Makna denotasi dalam penelitian ini adalah gambaran tentang potret kehidupan orang-orang muslim, khususnya Pakistan, di tiga benua di dunia. Sehingga, ada tiga lokasi yang diwakilkan oleh masing-masing tokohnya, Pertama, Mary atau Mariam yang berasal dari Inggris, Kedua, Sarmad di Pakistan, dan Mansoor, kakak Sarmad yang menuntut ilmu musik di Chicago, Amerika Serikat.

2. Makna Konotasi

Sehingga, Makna konotasi yang terlihat dalam film ini adalah perjuangan yang dilakukan oleh tiga orang tersebut terkait dengan identitas islam yang ada pada diri mereka dan pengimplementasiannya dalam kehidupan. Lebih khusus lagi, Sarmad berjuang dengan berpegangan pada konsep jihad Islam yang ditawarkan oleh Maulana Tahiri, yaitu jihad yang berupa perang fisik untuk menegakkan agama Islam, ini terlihat dalam beberapa scene saat ia melakukan jihad di Afghanistan. Sedangkan Mary bejuang untuk mengeluarkan dirinya dari pernikahan paksa dan dari keterkungkungan di desa FATA, sedangkan Mansoor berjuang untuk mencapai cita-citanya di Amerika.


(3)

3. Mitos

Ada beberapa mitos yang terlihat dalam film ini, yaitu tentang wacana tentang jihad dalam agama Islam yang berarti peperangan dan jihad yang dianggap sebagai holy war atau perang suci. Secara singkat, mitos yang ada dalam film ini adalah kepercayaan tentang nilai-nilai kebenaran dalam agama Islam yang disalahgunakan untuk melakukan jihad atas nama Tuhan.

Dari ketiga makna di atas, maka peneliti dapat mengatakan bahwa representasi konsep jihad dalam film In The Name of God ini berupa jihad yang dimaknai sebagai peperangan, jihad dalam menuntut ilmu, dan jihad untuk mempertahankan diri dari ketidakadilan yang menimpa seseorang.

Di sini, Shooaib Mansoor memang lebih menonjolkan jihad yang berkonotasi pada peperangan, karena potret kultur yang diambil adalah sekelompok orang Pakistan yang tinggal di dekat perkampungan Thaliban, sehingga kalaupun pemahaman mereka tentang jihad cukup keras, maka itu adalah hal yang wajar. Adapun Mary dan Mansoor yang hidupnya sudah terwarnai oleh kultur Eropa dan Amerika yang dianggap mengagungkan demokrasi, persamaan hak, dan kebebasan, tidak mengenal konsep jihad yang seperti itu.

B. Saran

Terkait dengan penelitian ini ada beberapa saran yang penulis dapat sampaikan:

1. Sebelum menonton sebuah film, kita harus siap dihadapkan dengan stereotype -streotype yang akan dibuat oleh sutradaranya sebagai penggambaran realitas yang


(4)

diinginkan. Karena, film bukan semata-mata pemindahan realitas di hadapan kita yang begitu saja dipindahkan ke dalam layar, tetapi ada nilai-nilai yang dimiliki oleh pembuatnya yang ingin ia masukkan. Sehingga realitas itu menjadi sebuah representasi saja, sebuah gambaran yang sudah dimediasi.

2. Bagi penulis, film ini sudah memenuhi kriteria yang baik untuk sebuah film. Ada unsur hiburan, edukasi, dan juga informasi. Tanpa harus menyudutkan satu pihak, film ini bisa dijadikan contoh bagi mereka yang ingin membuat film idealis tanpa harus melupakan fungsi film sebagai hiburan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Malaky, Ekky. Remaja Doyan Filsafat, Why Not?. 2004. Bandung: DAR! Mizan. Ardianto, Elvinaro dan Komala, Lukiati. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. 2007.

Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Barthes, Roland. Mitologi. 2009. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bignell, Jonathan. Media Semiotics: An Introduction. 1997. Manchester and New York: Manchester University Press.


(5)

Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. 2010. Yogyakarta: Jalasutra. _ _ _ _,. Pesan, Tanda, dan Makna. 2010. Yogyakarta: Jalasutra

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 2. 1994. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Endriana, Herita. ”Menggugat Wajah Islam yang Keras”, Seputar Indonesia, 14 November 2010.

Ghurab, Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme.1991. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Hartley, John. Communication, Cultural, and Media Studies: Konsep Kunci. 2009 Yogyakarta: Jalasutra.

John L. Esposito dan Dalia Mogahed. Saatnya Muslim Bicara! Opini Umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM, dan Isu-Isu Kontemporer Lainnya. 2008. Bandung: PT Mizan Pustaka.

„Imarah, Muhammad. Perang Terminologi Islam Versus Barat. 1998. Jakarta: Robbani Press.

Irwinsyah, Ade. Seandainya Saya Kritikus Film, Pengantar Menulis Kritik Film. 2009. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Kriyantono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi. 2006. Jakarta: KENCANA. Kuper, Adam dan Kuper, Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Edisi Kedua. 2000.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Majalah Tempo, FITNA DARI BELANDA, Edisi 7-13 April 2008

Majalah Era Muslim Digest, ”The Dark Side 911, Sisi Gelap Peristiwa WTC, Edisi Koleksi II. 2007.


(6)

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka

Qutb, Assyahid Sayyid. 1993. Harokah Jihad Islam, Muqoddimah Surat Al-Anfaal dalam Fi Dzilalil Qur‟an.

Sepriyossa, Darmawan. ”In The Name of God Satu Islam Sebuah Dialektika” Republika, 9 November 2010.

Sobur, Alex. Analisis Teks Wacana: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. 2006. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_ _ _ _,. Semiotika Komunikasi. 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Suprapto, Tommy. Pengantar Ilmu Komunikasi Dan Peran Manajemen dalam Komunikasi, 2011. Yogyakarta: CAPS.

Tim Penyusun Pustaka Azet Jakarta. Leksikon Islam. 1998. Jakarta: PT Penerbit Pustazet Pustaka.

Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman. 2010. Yogyakarta: Interprebook.

http://perfilman.pnri.go.id/kliping_artikel.php?1=1&a=view&recid=KAR-000072 diakses pada 19 November 2010

http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4659093.stm diakses pada 6 Maret 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002 diakses pada 6 Maret 2011

http://rol.republika.co.id/berita/46998/Tiga_Terdakwa_Pengeboman_London_Dibebask an diakses pada 6 Maret 2011