Konsep Semiotika Model Roland Barthes

Berikut ini merupakan skema mengenai proses denotasi dan konotasi yang dikembangkan oleh Barthes : Language Bahasa Lapis I : Denotasi 1. Signifier 2. Signified 3. Sign Meaning Myth Mitos Lapis II : Konotasi II. Signifier FORM II. Signified CONCEPT III. Sign SIGNIFICATION Dalam tataran bahasa language, yaitu sistem semiologis lapis pertama, penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Adapun selanjutnya pada tataran mitos, yakni sistem semiologis lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama tadi menjadi penanda- penanda yang berhubungan lagi dengan petanda-petanda. Adapun mengenai mitos, Claude Levi-strauss yang merupakan seorang antropolog strukturalis menyebutkan bahwa satuan paling dasar dari sebuah mitos adalah mytheme seperti halnya signeme. Mytheme tidak dapat dilihat secara terpisah dari bagian lainnya pada satu mitos, hubungan antara satu mytheme dengan mytheme lainnya membentuk satu rangkaian narasi yang kemudian menjadi kepercayaan budaya tertentu. Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan speech yang disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes 1983: 109, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua the second order semiological system. Maksudnya pada tataran bahasa atau sistem semiologis tingkat pertama the first semiological system , penanda-penanda berhubungan dengan petanda-petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol Barthes, 1983: 114-115. Aspek material mitos, yakni penanda-penanda pada the second order semiological system itu, dapat disebut sebagai retorik atau konotator-konotator, yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama; sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi Barthes, 1981: 91. 23 Kajian semiotik ini pada perkembangannya tidak hanya berkutat di ranah bahasa atau sastra yang identik dengan simbol-simbol, namun meluas ke ranah lain seperti musik dan juga film yang di dalamnya juga terdapat simbol-simbol yang dapat dikaji dengan pendekatan semiotik. In recent years a considerable degree of interest has developed in the semiology of the cinema, in the question wether it is possible to dissolve cinema criticism and cinema aesthetics into a special province of the general science of signs. It has become increasingly clear that traditional theories of film language and grammar, wich grew up spontaneously over the years, need to be reexamined and related to the established discipline of linguistic s. If the concep is „language’ is to be used scientifically and not simply as a loose, though suggestive, methapor. The debated which has arisen in France and Italy, round the work of Roland Barthes, Christian Metz, Pier Paolo Pasolini and Umberto Eco, points of this direction. 24 Dalam beberapa tahun terakhir banyak para akademisi tingkat atas yang tertarik untuk meneliti kajian semiotika dalam film, yang kajian pertanyaannya 23 Kris Budiman. Semiotika Visual Jogjakarta: Penerbit Buku Baik dan Yayasan Seni Cementi 2004 h. 63 24 Peter Wollen. Signs and Meaning in the Cinema London: Indiana University Press and British Film Institute 1976 h.116. entah memungkinkan untuk meleburkan antara kritik terhadap film dan juga seni keindahan dalam film untuk menjadi bagian dari tema umum dalam kajian ilmu tentang tanda-tanda. Hal ini jelas menjadi sebuah perkembangan yang pesat dibandinkan teori tardisional tentang film dan struktur bahasa, yang berkembang spontan selama bertahun-tahun, dibutuhkan kajian ulang untuk mencari kaitannya dengan munculnya disiplin ilmu lingustik, meskipun konsep „bahasa’ digunakan untuk dunia akademis serta tidak mudah mengendur, seperti hanlnya menyugesti dan mengumpamakan. Perdebatan mengenai hal ini telah terjadi di Perancis dan Italia, selama masa penelitian Roland Barthes, Christian Metz, Pier Paolo Pasolini dan Umberto Eco yang merupakan poin penunjuk arah atas hal ini. Melalui pemaparan tersebut terlihat jelas bahwa Roland Barthes merupakan salah satu orang yang mencoba untuk memperlebar kajian semiotika ke ranah yang lebih luas. Jika sebelumnya kajian semiotika hanya berkutat di ranah bahasa atau sastra, maka seiring perkembangan dunia seni khususnya film, kajian semiotika yang berkaitan dengan filmpun mulai berkembang. Hal ini dikarenakan dalam film juga terdapat berbagai macam elemen tanda yang bisa diteliti menggunakan metode semiotika.

G. Konsep Peliputan Dalam Keadaan Konflik atau Perang

Reporter dan juru kamera televisi terkadang harus menerima tugas untuk meliput di kawasan atau daerah yang rawan konflik dengan tingkat keamanan yang rendah. Melakukan liputan ke kawasan konflik tentu saja memiliki resiko, namun demikian resiko tersebut dapat diperkecil jika reporter melakukan persiapan dan memiliki pengetahuan yang cukup terhadap daerah yang akan diliput. 25 Reporter dan juga juru kamera tidak bisa memilih lokasi mana yang akan mereka jadikan lokasi peliputan. Lokasi peliputan akan ditentukan oleh koordinator liputan yang berdiskusi dengan para redaktur liputan untuk menentukan lokasi mana saja yang akan menjadi tempat peliputan sebuah berita. Jika koordinator liputan telah menentukan lokasi yang harus diliput oleh reporter dan juga juru kameranya, maka mereka tidak bisa menolak tugas peliputan tersebut, sekalipun tempat liputan tersebut adalah lokasi yang rawan konflik ataupun wilayah yang sedang berkecamuk perang di dalamnya. Dan mereka harus melakukan tugas tersebut berdasarkan tanggung jawab mereka sebagai seorang jurnalis profesional. Meliput di daerah perang atau konflik memang memiliki tantangan tersendiri dan cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih berat dibandingkan dengan meliput di daerah yang tingkat keamanannya terkendali. Tingkat keamanan yang rendah dan tidak bisa diprediksi menjadi tantangan utama bagi para jurnalis selain tantangan untuk mendapatkan berita atau tayangan eksklusif dari wilayah tersebut. Dibutuhkan persiapan yang matang bagi para jurnalis untuk menuju medan tempur tersebut. Selain faktor kesiapan fisik yang memadai, kesiapan mental juga mutlak diperlukan untuk mengatasi tekanan yang kerap terjadi ketika meliput aksi baku tembak dan juga kekerasan yang tidak bisa diprediksi kapan peristiwa tersebut akan terjadi. 25 Morissan, M.A. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta:Kencana Prenada Media Group 2008 h.74 Dalam buku Jurnalistik Televisi Kontemporer, Morrisan, M.A. menjelaskan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan ketika seorang jurnalis akan melakukan sebuah liputan di daerah perang atau daerah berkonflik. 1. Persiapan Cari informasi mengenai daerah konflik yang akan didatangi. Caranya antara lain dengan bertanya kepada wartawan lain yang baru pulang dari tempat itu atau mengubungi mereka yang masih ada di sana. Selain itu, reporter dapat menghubungi pihak-pihak lainnya, misalnya para relawan yang bekerja di daerah yang dimaksud, diplomat dan pihak lainnya yang menurut Anda mengerti betul daerah-daerah konflik itu. Simpan baik-baik paspor, visa, kartu pers, surat kendaraan dan dokumen lainnya. Bawalah pasfoto dalam jumlah lebih untuk keperluan tak terduga. Bila akan menyewa kendaraan, periksalah apakah membutuhkan surat izin. Bawa sepatu yang nyaman dan tahan air serta pakaian yang sesuai untuk keperluan siang dan malam. Barang-barang yang berwarna mencolok sangat dianjurkan untuk kasus-kasus tertentu, namun dalam situasi tertentu justru sebaliknya. Sediakan perlengkapan kesehatan P3K dengan instruksi pemakaian yang jelas untuk setiap obat-obatan yang tersedia. Sertakan termometer, gunting dan pisau tajam, obat anti infeksi, obat pembunuh rasa sakit dan tablet anti diare. Di negara tertentu, tim liputan mungkin membutuhkan perlengkapan kesehatan sendiri seperti jarum suntik, tablet anti malaria, tablet penyaring air atau obat anti serangga. Periksa peralatan yang akan dibawa, pastikan tidak ada yang tertinggal sehingga tidak perlu bolak-balik untuk mengambilnya.