Penetapan Kadar Epinefrin Dalam Sediaan Injeksi Obat Pemacu Kerja Jantung Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

(1)

PENETAPAN KADAR EPINEFRIN DALAM SEDIAAN INJEKSI

OBAT PEMACU KERJA JANTUNG DENGAN METODE

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

KARYA ILMIAH

SITI HARITSAH

082401004

PROGRAM STUDI D3 KIMIA ANALIS

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENETAPAN KADAR EPINEFRIN DALAM SEDIAAN INJEKSI OBAT PEMACU KERJA JANTUNG DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI (KCKT)

KARYA ILMIAH

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh gelar Ahli Madya.

SITI HARITSAH 082401004

PROGRAM STUDI D3 KIMIA ANALIS DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENETAPAN KADAR EPINEPHRINE DALAM SEDIAAN INJEKSI OBAT

PEMACU KERJA JANTUNG DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI (KCKT) Kategori : KARYA ILMIAH

Nama : SITI HARITSAH

Nomor Induk Mahasiswa : 082401004

Program Studi : DIPLOMA III KIMIA ANALIS

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU

PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di Medan,

Diketahui /Disetujui Oleh

Ketua Program Studi D3 Kimia FMIPA USU Pembimbing,

Dra. Emma Zaidar, M.Si Dr. Rumondang Bulan, MS. NIP : 195512181987012001 NIP : 195408301985032001

Ketua Departemen Kimia FMIPA USU

Dr. Rumondang Bulan, MS. NIP : 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

PENETAPAN KADAR EPINEFRIN DALAM SEDIAAN INJEKSI OBAT PEMACU KERJA JANTUNG DENGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR

KINERJA TINGGI (KCKT)

KARYA ILMIAH

Saya mengakui bahwa Karya Ilmiah ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan,

SITI HARITSAH 082401004


(5)

(6)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan untuk dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini. Dimana tujuan penulis dalam menyelesaikan Kaya Ilmiah ini adalah sebagai salah satu persyaratan akademis untuk menyelesaikan program studi D-III Kimia Analis Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Shalawat beriring salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang mana berkat beliau lah ilmu pengetahuan yang begitu luas sampai kepada kita saat ini.

Adapun judul dari karya ilmiah yang saya susun adalah : “Penentuan Kadar Epinefrin Dalam Sediaan Injeksi Obat Pemacu Kerja Jantung Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ”. Pengambilan judul ini merupakan inisiatif penulis dalam melihat bagaimana cara penentuan kadar obat dan pengaruhnya dalam obat yang berhubungan dengan jantung.

Dalam penulisan Karya Ilmiah ini tidak hanya berasal dari kerja keras penulis tetapi tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dorongan dari pihak keluarga, pihak-pihak tertentu serta dari teman-teman seperjuangan. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang teristimewa untuk kedua orang tua tercinta, ayahanda Zulkarnaen, BE dan ibunda Dra. Nuratiah yang telah bersabar dalam mengasuh, mendidik, memberikan kasih dan cinta serta doa yang tak pernah putus kepada penulis sehingga penulis dapat bersemangat dan dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini dengan baik. Juga untuk Adinda Ayu Fitria dan Wahid Hadi, yang juga selalu memberi motivasi tak henti-hentinya kepada penulis, beserta seluruh keluarga besar penulis.

Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada :

1. Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS., Selaku Dosen Pembimbing yang banyak meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

2. Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si, selaku ketua Program Studi Diploma III Kimia. 3. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc., selaku Dekan FMIPA USU

4. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm, Apt., selaku koordinator PKL di Balai Besar POM yang telah banyak meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan PKL.

5. Kepada seluruh staf di laboratorium Obat Balai besar POM di Medan, terkhusus kepada kak Dewi dan bang Awal yang banyak membantu saya dalam menyusun karya ilmiah ini.


(7)

6. Dan tak terlupakan untuk Cut Laiya Maghazi, Dessy Irfi Jayanti, Tri Annisa Irsan sahabat yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya. Serta untuk rekan-rekan se-KAN lainya.

Dan akhirnya demikianlah Karya Ilmiah ini penulis perbuat dan penulis menyadari bahwa Karya Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun susunannya dikarenakan keterbatasan kemampuan serta pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan penulisan Karya Ilmiah ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan berguna bagi pihak-pihak yang menggunakannya.

Medan, 2011


(8)

ABSTRAK

Telah dilakukan penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan menggunakan detector UV-Vis dengan panjang gelombang 280 nm. Dari data diperoleh kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah 91,60 % , ini berarti bahwa kadar epinefrin injeksi tersebut memenuhi syarat sesuai dengan USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 115,0%.


(9)

DETERMINATIONOFEPINEPHRINEININJECTIONFORMDRUGOF THEHEARTPACEMAKER

ABSTRACT

Have been carried out determination of epinephrine in injection form drug of the heart pacemaker by high performance liquid chromatography method using UV-vis detector with wavelength 280 nm. From data was obtained the content of epinephrine in

injection form drug of the heart pacemaker that was 91.60%, it means that the content of epinephrine injection is eligible in accordance with USP 32 volume 2 that is not less than 90,0 % and not more than 115,0 %.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak vi

Abstrac vii

Daftar Isi viii

Daftar Lampiran x

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 3

1.3Tujuan 3

1.4 Manfaat 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Obat 4

2.1.1 Sejarah Perkembangan Obat 5

2.1.2 Klasifikasi Obat 6

2.1.3 Obat Adrenergik

2.2 Epinefrin 9

2.2.1 Defenisi Epinefrin 9

2.2.2 Proses Sintesis Epinefrin 9

2.2.3 Farmakodinamik Epinefrin 10

2.2.4 Farmakokinetik Epinefrin 11

2.2.5 Pathoendokrinologi Epinefrin 11

2.2.6 Indikasi Epinefrin 13

2.2.7 Kontraindikasi Epinefrin 14

2.2.8 Dosis Pemakaian Epinefrin 14

2.3 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) 15

2.3.1 Komponen Dalam KCKT 16

2.3.2 Keuntungan KCKT 22

Bab 3 Bahan dan Metode 26

3.1 Alat 26

3.2 Bahan 27

3.3 Prosedur Percobaan 27

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 32

4.1 Data 32

4.2 Perhitungan 32


(11)

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 36

1.4Kesimpulan 36

1.5Saran 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 UKS Baku Epinephrine Bitartrat 38


(13)

ABSTRAK

Telah dilakukan penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan menggunakan detector UV-Vis dengan panjang gelombang 280 nm. Dari data diperoleh kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah 91,60 % , ini berarti bahwa kadar epinefrin injeksi tersebut memenuhi syarat sesuai dengan USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 115,0%.


(14)

DETERMINATIONOFEPINEPHRINEININJECTIONFORMDRUGOF THEHEARTPACEMAKER

ABSTRACT

Have been carried out determination of epinephrine in injection form drug of the heart pacemaker by high performance liquid chromatography method using UV-vis detector with wavelength 280 nm. From data was obtained the content of epinephrine in

injection form drug of the heart pacemaker that was 91.60%, it means that the content of epinephrine injection is eligible in accordance with USP 32 volume 2 that is not less than 90,0 % and not more than 115,0 %.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan napas dapat disebabkan oleh banyak hal, diantaranya penyakit dan kecelakaan. Gangguan napas bisa berakibat fatal kalau kita tidak tahu cara menolongnya. Gangguan napas yang mungkin saja terjadi di lingkungan atau di rumah kita adalah gangguan akibat suatu kecelakaan atau tersedak, yang dapat menyebabkan terhentinya jantung dan paru-paru. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh kita akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Hipoksia ini dikenal dengan istilah sesak napas. Frekuensi napas pada keadaan sesak napas lebih cepat daripada keadaan normal. Oleh karena itu, bila sesak napas ini berlangsung lama maka akan memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2. Gas CO2 yang tinggi ini akan mempengaruhi susunan saraf pusat dengan menekan pusat napas yang ada di sana. Keadaan ini dikenal dengan istilah henti napas. Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas maka oksigen tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya terjadi keadaan yang disebut henti jantung (Jusuf, 2006).


(16)

Pada saat seseorang mengalami henti nafas atau pun henti jantung, salah satu pertolongan pertama yang dapat diberikan adalah dengan penyuntikan adrenalin atau disebut juga dengan epinefrin. Dimana pada dasarnya adrenalin atau epinefrin merupakan hormon yang terdapat dalam tubuh yaitu hormon yang disintesis pada kelenjar adrenal bagian medulla oleh sel-sel kromafin yang memiliki efek menimbulkan tanggapan yang sangat luas, yaitu: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat, kadar gula darah dan laju metabolisme meningkat, bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru lebih mudah. Molekul-molekul epinefrin memiliki fungsi khusus dalam pembuluh vena dan arteri yang memastikan bahwa organ-organ penting menerima lebih banyak aliran darah di saat bahaya, dan karena itu, molekul-molekul ini melebarkan pembuluh darah menuju jantung, otak, dan otot. Sel-sel yang mengelilingi pembuluh merespon epinefrin dan mengalirkan lebih banyak darah yang dibutuhkan jantung. Dengan cara ini, darah tambahan yang dibutuhkan oleh otak, otot, dan jantung dapat dipasok.

Oleh karena itu, untuk mengganti fungsi dari hormon adrenalin tersebut diperlukan pemicu jantung pada saat mengalami henti jantung atau henti nafas yaitu Epinefrin Injeksi.

Dengan melihat kasus diatas, penulis tertarik untuk mengembangkannya menjadi karya ilmiah dengan judul “Penentuan kadar Epinefrin Dalam Sediaan Injeksi Obat Pemacu Kerja Jantung Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dimana akan diketahui kadar dari Epinefrin Dalam sediaan Injeksi yang


(17)

dipergunakan untuk obat pemicu kerja jantung dan sudah sesuaikah dengan kadar yang diperbolehkan dan tertera dalam USP 32 Volume 2.

1.2. Permasalahan

Permasalahanya adalah apakah kadar epinefrin dalam sediaan injeksi telah memenuhi syarat sesuai dengan USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 115,0 %.

1.3. Tujuan

− Untuk mengetahui kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung.

− Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung secara laboratorium.

1.4. Manfaat

− Memberikan informasi tentang kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung dan mengetahui apakah telah memenuhi syarat sesuai dengan USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 115,0 %

− Memberikan informasi tentang metode yang digunakan pada penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat

2.1.1. Sejarah Perkembangan Obat

Masyarakat sering menamakan obat untuk segala sesuatu yang dapat menyembuhkan. Tidak selalu berupa materi tetapi juga hal- hal yang non materi, seperti tenaga dalam, mantra, doa, dan lain sebagainya. Saat ini upaya pengobatan telah berkembang amat luas, pengobatan pengobatan tradisional pun mulai banyak dikembangkan sehinggga muncullah istilah-istilah pengobatan alternatif seperti pengobatan herbal, aromaterapi, terapi air, terapi urin, dan lain sebagainya. Pada awalnya orang-orang terdahulu menemukan obat dengan jalan mencoba-coba. Melalui serangkaian pengalaman yang turun-temurun, mereka mempercayai bahwa akar-akaran atau dedaunan tertentu dapat digunakan untuk mengobati penyakit. Setelah ilmu pengetahuan berkembang, mulailah dilakukan penelitian-penelitian ilmiah. Banyak di antara penelitian tersebut pada awalnya mengacu pada obat tradisional yang ada, dan memang pada kenyataanya banyak juga yang benar-benar mengandung senyawa obat yang diinginkan (Widodo, 2004).

Namun tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti-penyakit. Contohnya strychnine dan kurare pada awalnya digunakan sebagai racun panah pribumi Arfika dan Amerika Selatan. Obat-obat yang semula diperoleh secara ilmiah


(19)

itu memiliki aktivitas dan efek yang seringkali berbeda satu sama lain, tergantung dari asal tanaman dan cara pembuatannya. Hal ini dianggap kurang memuaskan dan sulit menentukan dosis yang tepat. Melalui penelitian yang terus berkembang, ahli-ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang terkandung dalam tanaman-tanaman. Hasil percobaan mereka adalah zat kimia, yang terkenal diantaranya ialah efedrin dari tanaman Ephedra vulgaris, atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu (Papaver somniferum) dan digoksin dari Digitalis lanata. Tidak puas dengan mendapatkan obat dari ekstraksi tumbuhan atau hewan maka pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetik mulai dikenal seperti Salvarsan dan Aspirin.

Sejak tahun 1945 ilmu-ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang dengan pesat, dan ha ini menguntungkan sekali bagi penyelidikan yang sistematis dari obat-obat baru. Beribu-ribu zat sintetik telah ditemukan, rata-rata 500 obat-obat setiap tahunnya, yang mengakibatkan perkembangan revolsioner di bidang farmako-terapi. Kebanyakan obat kuno ditinggalkan diganti dengan obat-obat modern (Yahya et al, 1992).

2.1.2. Klasifikasi Obat

Berdasarkan fungsinya dalam pengobatan, obat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Obat yang bekerja pada system saluran cerna

2. Obat yang bekerja untuk penyakit sistem kardiovaskuler (jantung) 3. Obat yang bekerja pada saluran pernapasan

4. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat (otak) 5. Obat bius


(20)

7. Obat untuk mengobati infeksi 8. Obat-obat hormonal

9. Obat-obat kandungan, saluran kemih, kelamin 10.Obat kanker

11.Obat yang mempengaruhi gizi dan darah 12.Obat-obat untuk penyakit otot dan sendi 13.Obat-obat luar

14. Obat kekebalan tubuh dan vaksin

Menurut bentuknya, ada empat macam bentuk obat :

1. Bentuk padat : Serbuk, tablet, kapsul, pil, suppositoria, ovula dan basila. 2. Bentuk semia padat : Salep, pasta, krim, gel dan lotion.

3. Bentuk cairan : Sirup, Injeksi, infus dan obat tetes.

4. Bentuk gas : dengan cara disemprotkan dengan suatu alat (aerosol)

(Widodo,2004)

2.1.3. Obat Adrenergik

Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkankannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor epinefrin (yang disebut adrenalin) dari susunan sistem saraf sistematis.

Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis ;

1. Perangsang perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa dan terhadap kelenjar liur dan keringat

2. Penghambat perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka


(21)

3. Perangsang jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi

4. Perangsang Sistem saluran pernapasan

5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenilisis dihati dan otot dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak

6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin dan hormon hipofisis

7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan neurotransmitor (Setiawati, 1995).

Obat adrenergik dapat digolongkan menjadi dua yaitu berdasarkan mekanisme kerja dan efek farmakologinya. Menurut mekanisme kerja dapat dibagi menjadi :

1. Adenergik yang berefek langsung

Golongan ini bekerja secara langsung, membentuk kompleks dengan reseptor khas. Contohnya epinefrin.

2. Adrenergik yang berefek tidak langsung

Adrenergik ini bekerja dengan melepaskan katekolamin, terutama norepenefrin, dari granul-granul penyimpanan diujung saraf simpatetik atau menghambat pemasukan norepinefrin pada membran saraf.

Contoh : amfetamin, etilamfetamin. 3. Adrenergik yang berefek campuran

Adrenergik ini dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoreseptor dan melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan katekolamin. Contoh : efedrin, fenilpropanolamin.


(22)

Berdasarkan efek farmakologis atau penggunaan terapi, obat adrenergik dibagi menjadi lima golongan :

1. Vasopresor, digunakan untuk pengobatan syok, dengan cara mengembangkan jaringan perfusi. Contoh : dobutamin HCl, dopamine HCl, isoproterenol HCl, fenilefrin HCl.

2. Bronkodilator, menyebabkan relaksasi otot polos bronkiola, dan digunakan sebagai penunjang pada pengobatan asma, bronchitis, emfisema dan gangguan pada paru-paru. Contoh : salbutamol sulfat, terbutalin sulfat, klenbuterol, metaproterenol sulfat, fenoterol HBr, prokaterol HCl, efedrin HCl, epinefrin. 3. Dekongestan hidung, digunakan untuk mengurangi aliran darah pada daerah

yang bengkak karena menyebabkan vasokonstriksi arteriola pada mukosa hidung. Contoh : efedrin HCl, epinefrin, nafazolin HCl.

4. Midriatik, menyebabkan midriasis dengan cara menimbulkan kontraksi otot pelebaran iris mata.

5. Dekongestan mata, menimbulkan efek vasokonstriksi, midriasis dan menurunkan tekanan dalam mata. Digunakan untuk mengontrol pendarahan selama operasi mata, pengobatan glaucoma tiper tertentu, pengobatan beberapa penyakit mata dan untuk penjernih mata. Contoh : divefrin HCl, efedrin sulfat, epinefrin HCl, fenilefrin HCl, nafazolin HCl (Siswandono et al, 1995).


(23)

2.2. Epinefrin

2.2.1. Defenisi Epinefrin

Epinefrin atau adrenalin hanya gerak, hormon ini pun memicu reaksi terhadap derau tinggi atau

detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan

Gambar 2.1 Struktur Epinefrin/ Adrenalin

Epinefrin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 101,0% C9H13NO3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Memiliki Berat molekul 183,21. Sifat-sifat dari epinefrin adalah sukar larut dalam air, tidak larut dalam etanol (95%) dan dalam eter, mudah larut dalam larutan ammonia dan dalam alkali karbonat. Tidak stabil dalam alkali atau netral, berubah menjadi merah jika terkena udara

( Farmakope Indonesia, 1979).

2.2.2. Proses Sintesis Epinefrin

Epinefrin disintesis dari norepinefrin dalam sebuah jalur sintesis yang terbagi atas keseluruhan katekolamin, termas (Ganong, 2005).


(24)

Epinefrin atau adrenalin disintesis dengan cara berikut: di dalam hati, asam amino tirosin akan dibentuk dari fenilalanin. Senyawa ini akan diambil dari darah masuk kedalam aksoplasma disini dengan bantuan tirosinhidroksilase akan dihidroksilasi pada cincin aromatisnya menjadi dihidroksifenilalanin (Dopa) dan akhirnya senyawa ini oleh dopa-dekarboksilase didekarboksilasi menjadi dopamine. Dengan cara transport aktif, dopamine kemudian akan dibawa ke organel sel yang khusus (granula cadangan, vesikel) dan di sini dengan bantuan dopamin-β -hidroksilase akan dihidroksilasi pada rantai sampingnya menjadi noradrenalin (norepinefrin). Sedangkan pengubahan selanjutnya menjadi adrenalin, hanya dapat terjadi didalam otak dan tidak mungkin terjadi pada ujung saraf simpatis, karena enzim N-metiltransfarase yang mengubah noradrenalin menjadi adrenalin tidak ada. Sebaliknya dalam sel kromafin medulla adrenal, tempat N-metiltransfarase ada, maka dari noradrenalin dengan metilasi pada N akan terbentuk adrenalin (Mutschler, 1991).

2.2.3. Farmakodinamik Epinefrin 1. kardiovaskular

Kerja utama epinefrin adalah pada sistem kardiovaskular. Senyawa ini memperkuat

daya kontraksi otot jantung (miokard) (inotropik positif : kerja β1) dan mempercepat

kontraksi miokard (kronotropik positif : kerja β1). Oleh karena itu, curah jantung

meningkat pula. Akibat dari efek ini maka kebutuhan oksigen otot jantung jadi meningkat juga. Epinefrin mengkonstriksi arteriol di kulit, membrane mukosa, dan

visera (efek α) dan mendilatasi pembuluh darah ke hati dan otot rangka (efek β2).

Aliran darah ke ginjal menurun. Oleh karena itu, efek kumulatif epinefrin adalah peningkatan tekanan sistolik bersama dengan sedikit penurunan tekanan diastolik (Mycek et al, 2001).


(25)

Pada jantung, adrenalin atau epinefrin bekerja meningkatkan kekuatan kontraksi dan frekuensi jantung. Curah jantung akan naik. Selama tekanan darah rata-rata (harga rata-rata-rata-rata antara tekanan sistol dan tekanan diastol) tidak naik, tidak terjadi pengaturan lawan reflektrolik dari parasimpatis. Pada penggunaan adrenalin, harus pula dipertimbangkan bahwa senyawa ini akan meninggikan pemakaian oksigen dan oleh karena itu walau terjadi dilatasi arteria koronaria, dapat timvbul serangan angina pektoris ( Mutschler, 1991).

2. Respirasi

Epinefrin menimbulkan bronkodilatasi kuat dengan bekerja langsung pada otot polos

bronkus (kerja β2). Pada kasus syok anafilaksis, obat ini dapat menyelamatkan nyawa

(Mycek et al, 2001).

2.2.4. Farmakokinetik Epinefrin

Epinefrin mempunyai awitan cepat tetapi kerjanya singkat. Pada situasi gawat, obat ini diberikan secara intravena. Untuk memperoleh awitan yang sangat cepat dapat pula diberikan secara subkutan, pipa endotrakeal, inhalasi, atau topikal pada mata. Pemberian peroral tidak efektif, karena epinefrin dapat dirusak oleh enzim dalam usus (Mycek et al, 2001)

2.2.5. Pathoendokrinologi Epinefrin Berbagai gejala negatif pada aktivitas atau metabolisme organ tubuh karena pengaruh epinefrin bisa disebabkan karena 2 kemungkinan : sekresi yang berlebihan atau sebaliknya kekurangan sekresi. Masalah tersebut di antaranya :


(26)

a. Palpitasi

Merupakan gejala abnormal pada kesadaran detak jantung, bisa terlalu lambat, terlalu cepat, tidak beraturan, atau berada dalam frekuensi normal. Gejala ini disebabkan akibat sekresi epinefrin yang berlebihan. Tapi bisa juga karena konsumsi alkohol, kafein, kokain, amfetamin, atau obat-obatan yang lain, penyakit (seperti hipertiroidisme), atau efek panik.

b. Tachychardia

Perningkatan kecepatan aktivitas jantung. Kelainan endokrin seperti feokromositoma dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dan tachychardia bebas dari sistem syaraf. c.

Keadaan abnormal pada aktivitas elektrik jantung. Jantung bisa berdetak lebih cepat atau sebaliknya malah lebih lambat. Sama seperti palpitasi, kelainan ini dipicu oleh sekresi epinefrin yang berlebihan.

d.

Kondisi sakit pada kepala, pada bagian leher ke atas. Umumnya disebabkan oleh ketegangan, migrain, ketegangan mata, dehidrasi, gula darah rendah dan sinusitis. Beberapa sakit kepala juga karena kondisi ancaman hidup seperti meningitis, ensephalatis, aneuisme cerebral, tekanan darah sangat tinggi, dan tumor otak.

e.

Ritme, pergerakan otot melibatkan pergerakan menuju dan dari (osilasi) salah satu bagian tubuh. Kebanyakan tremor terjadi pada tangan. Pada beberapa orang, tremor adalah gejala kelainan saraf yang lain. Umumnya disebabkan karena masalah pada bagian otak atau spinal cord yang mengontrol otot melalui tubuh atau area tertentu, seperti tangan. Penyebabnya adalah stres yang teralu banyak sehingga sekresi epinefrin menjadi tidak terkendali.


(27)

f.

Merupakan suatu kondisi medis dimana tekanan darah naik secara kronis. Hipertensi adalah karakter khas dari berbagai abnormalitas kortikal adrenal.

g. Edema paru-paru akut

Akumulasi fluida dalam paru-paru, disebabkan kegagalan jantung melepaskan fluida dari sirkulasi paru-paru, akibat disnormalitas sekresi epinefrin.

h. Alergi

Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal.Alergi dikaitkan dengan peningkatan hormone epinefrin dan progesterone. Peningkatan hormon epinefrin menimbulkan manifestasi klinis perubahan suasana hati, dan kecemasan

2.2.6 Indikasi Epinefrin

Epinefrin digunakan sebagai menambah pada anestetika lokal, dan selain itu pada syok anafilaktik dan serangan Adamstokes.

Pada jantung berhenti, penyuntikan adrenalin dilakukan setelah penanganan primer yaitu pernapasan buatan dan massage jantung, kedua penanganan ini tetap tidak dihentikan.


(28)

2.2.7 Kontraindikasi Epinefrin

Epinefrin tidak boleh diberikan pada penderita hipertireosis , sklerosis koronar, selebral, hipertensi berat, narkosis dengan hidrokarbon terhalogenasi atau dengan eterserta setelah pemakaian digitalis (Mutschler, 1991).

2.2.8 Dosis Pemakaian Epinefrin

Tambahkan 4 ml (4 mg) dari ampul epinephrine ke dalam 1.000 ml larutan yang mengandung 4 mcg epinefrin basa. Berikan larutan ini dengan infus intravena. Masukkan kateter plastik intravena melalui jarum yang dimasukkan dengan baik ke dalam vena dan direkatkan dengan plester, jika mungkin, hindari teknik catheter tie-in, karena teknik ini mudah menyebabkan stasis. IV drip chamber atau alat ukur lain yang sesuai diperlukan untuk mengukur kecepatan aliran dalam tetes per menit secara akurat. Setelah mengamati responnya pada pemberian dosis awal 2-3 ml (dari 8-12 mcg bentuk basa) per menit, atur kecepatan aliran untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal yang rendah (biasanya, tekanan sistoliknya 80-100 mmHg) cukup untuk mempertahankan sirkulasi ke organ vital.

Pada pasien dengan riwayat hipertensi, dianjurkan menaikkan tekanan darahnya tidak lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan sistolik sebelumnya. Dosis pemeliharaan rata-rata adalah 0,5-1 ml per menit (2 mcg sampai 4 mcg bentuk basa).

Tiap-tiap individu membutuhkan dosis yang berbeda-beda untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang cukup. Pada semua kasus, dosis epinefrin harus dititrasi sesuai dengan respon pasien. Adakalanya dosis harian yang jauh lebih besar atau bahkan sangat besar (sebesar 68 mg basa atau 17 ampul) mungkin dibutuhkan


(29)

jika pasien tetap menderita hipotensi, tetapi adanya kehilangan volume darah yang tersembunyi harus dicurigai dan bila itu terjadi, harus diperbaiki. Monitoring tekanan vena sentral biasanya sangat membantu dalam mendeteksi dan mengobati kondisi ini.

Pengobatan tambahan pada henti jantung

Infus epinefrin biasanya diberikan secara intravena selama resusitasi jantung untuk memulihkan dan mempertahankan tekanan darah yang cukup setelah denyut jantung efektif dan ventilasi jantung terjaga dengan dengan cara lain. (Kemampuan epinefrin yang kuat dalam merangsang β-adrenergik juga diduga meningkatkan kekuatan dan keefektifan kontraksi sistolik yang terjadi) (http://dexa-medica.com/printview.php.html).

2.3. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair, dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat. Kita biasanya menganggap Tswett sebagai penemu kromatografi, yang pada tahun 1903 menguraikan karyanya mengenai pemakaian kolom kapur untuk memisahkan pigmen dalam daun. Istilah ‘kromatografi’ dipakai oleh Tswett untuk menggambarkan daerah yang berwarna yang bergerak kebagian bawah kolom. Perlu diketahui bahwa D.T. Day pada kira-kira saat yang sama memakai kromatografi untuk memisahkan berbagai fraksi minyak bumi tetapi Tswett-lah yang pertama kali mengenali dan menafsirkan proses tersebut.

Kromatografi merana selama bertahun-tahun, biasanya dipakai dalam bentuk cair-padat (KCP). Kemudian, pada akhir tahun 1903an dan pada awal tahun 1940an,


(30)

cara ini mulai berkembang. Dasar Kromatografi lapis tipis (KLT) diletakkan oleh Izmailov dan Schraiber pada tahun 1938, dan kemudian diperhalus oleh Stahl pada tahun 1958. Karya Matin dan Synge, yang pada tahun 1941 membuahkan hadiah Nobel, tidak hanya merevolusi kromatografi cair, tetapi juga secara umum meletakkan landasan bagi perkembangan kromatografi gas dan kromatografi kertas. Pada tahun 1952, Martin dan James mempublikasikan makalah pertamanya mengenai kromatografi gas. Antara tahun 1952 dan akhir tahun 1960an kromatografi gas berkembang menjadi alat analisis yang canggih.

Kromatografi cair dilakukan dalam kolom kaca bergaris tengah besar pada kondisi atmosfer. Waktu analisis panjang dan keseluruhan tatakerja biasanya menjemukan. Pada akhir tahun 1960an perhatian makin besar dicurahkan pada pengembangan kromatografi cair sebagai cara yang melengkapi kromatografi gas. Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (atau kromatografi cair ’bertekanan tinggi’, ‘berkecepatan tinggi’, dan ‘modern’) berkembang dari usaha tersebut. Kemajuan dalam instrumentasi dan kemasan kolom terjadi begitu cepat sehingga sukar untuk mempertahankan keahlian yang sesuai dengan kemajuan mutakhir. Memang, bahkan sekarang pun cara tersebut dengan cepat menjadi matang dan memperoleh kedudukan yang sama dengan kromatografi gas ( Johnson, 1991).

2.3.1. Komponen-komponen penting dari KCKT 1. Pompa

Fase gerak dalam KCKT sudah tentu zat cair, dan untuk menggerakkannya melalui kolom diperlukan alat. Ada dua jenis utama pompa yang digunakan tekanan-tetap dan pendesakan-tetap. Pompa pendesakan tetap dapat dibagi lagi menjadi pompa torak dan pompa semprit. Pompa torak menghasilkan aliran yang berdenyut,


(31)

jadi memerlukan peredam denyut atau peredam elektronik untuk menghasilkan garis alas detector yang stabil jika detector peka terhadap aliran.

Kelebihan utamanya adalah tandonnya tidak terbatas. Pompa semprit menghasilkan aliran yang tak berdenyut, tetapi tandonnya terbatas ( Johnson, 1991).

Pompa yang cocok untuk KCKT mempunyai beberapa ciri. Seperti tandon pelarut, pompa harus dibuat dari bahan yang lembam terhadap semua macam pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas, baja nirkarat, teflon dan batu nilam. Untuk kondisi analisis, pompa harus mampu menghasilkan tekanan tinggi sampai 5000 psi pada kecepatan sampai 3ml/menit. Pompa yang digunakan untuk skala preparatif perlu kecepatan alir sampai 20ml/menit (Munson, 1991).

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reproducible, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada dua jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan.

Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan tipe pompa dengan tekanan konstan( Rohman, 2007).

2. Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom), diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom. Ada dua ragam utama : aliran henti dan pelarut mengalir.


(32)

Ada tiga jenis dasar injector, yaitu:

− Aliran-henti: aliran dihentikan, penyuntikan dilakukan pada tekanan atmosfer; system ditutup, dan aliran dilanjutkan lagi (biasanya system aliran utama tetap berada pada tekanan kerja). Cara ini dipakai karena difusi di dalam zat cair kecil, jadi umumnya daya pisah tidak dipengaruhi.

− Septum: ini adalah injector langsung pada aliran, yang sama dengan injector yang lazim dipakai pada kromatografi gas. Injektor tersebut dapat dipakai pada tekanan sampai sekitar 60-70 atmosfer. Sayang sekali, septum tidak dapat dipakai untuk semua pelarut KC. Selain itu, partikel kecil terlepas dari septum dan cendrung menyumbat.

− Katup jalan-kitar : jenis injector ini, biasanya dipakai untuk menyuntikkan volum yang lebih besar dari 10 l dan sekarang dipakai dalam system yang diotomatkan.(volum yang lebih kecil dapat disuntikkan secara manual memakai adaptor khusus). Pada kedudukan mengisi, jalan-kitar cuplikan diisi pada tekanan atmosfer. Jika katup dijalankan (dibuka), cuplikan didalam jalan-kitar teralirkan ke dalam kolom ( Johnson, 1991).

3. Kolom

Kolom merupakan jantung kromatograf. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok :

− Kolom analitik : garis tengah dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan felikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm


(33)

− Kolom preparatif; umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dari panjang 25-100 cm ( Johnson, 1991).

Ada 2 jenis kolom pada KCKT yaitu kolom konvensional dan kolom mikrobor. Kolom mikrobor mempunyai 3 keuntungan yang utama dibanding dengan kolom konvensional, yakni:

− Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding dengan kolom konvensional karena pada kolom mikrobor kecepatan alir fase gerak lebih lambat (10- 100 µl/ menit )

− Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih ideal jika digabung dengan spectrometer massa.

− Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solute lebih pekat, karenanya jenis kolom ini sangat bermanfaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel klinis ( Rohman, 2007).

4. Detektor

Detektor yang merupakan tulang punggung kromatografi cair kecepatan tinggi modern (KCKT) ialah detektor UV 254 nm. Detektor UV-tampak dengan panjang gelombang yang berubah-ubah sekarang menjadi popular karena dapat dipakai untuk mendeteksi senyawa dalam lingkup lebih luas. (Johnson, 1991)

Beberapa jenis detektor yang umumnya digunakan untuk KCKT adalah: detektor Ultra violet (UV), detektor fluoresensi dan detektor elektrokimia ( Rohman, 2007).

Untuk sebagian besar analisis obat dalam formulasi, digunakan detektor panjang gelombang UV atau diode array UV yang bervariasi. Detektor UV umumnya


(34)

memiliki sel yang sempit dengan diameter sekitar 1 mm dengan panjang 10 mm, memberikannya suatu volume internal sekitar 8 µ l. Rentang linier detektor tersebut adalah antara 0,0001 dan 2 unit absorbans dan sampel-sampel harus diencerkan dengan baik agar masuk dalam kisaran tersebut ( Watson, 2005).

Detektor-detektor selektif cenderung digunakan jika terdapat sedikit analit dalam matriks kompleks seperti prosedur-prosedur bioanalisis, dengan komponen-komponen yang diekstraksi dari matriks biologis bersama dengan analit tersebut dapat menyebabkan interferensi. Beberapa senyawa terformulasi hanya memiliki kromofor yang sangat buruk – ini mencakup : gula, lipid, surfaktan, asam amino, dan beberapa golongan obat, misalnya sejumlah obat antikolinergik yang tidak memiliki kromofor. Dalam kasus-kasus ini, salah satu deteksi UV dapat digunakan sebagai alternatif (Watson, 2005).

5. Elusi Landaian

Elusi landaian ialah peningkatan kekuatan fase gerak selama analisis kromatografi. Hasil elusi landaian ialah perpendekan waktu tambat senyawa yang ditahan dengan kuat dalam kolom.

Elusi landaian mempunyai beberapa keuntungan :

− Waktu analisis keseluruhan dapat dikurangi secara berarti

− Daya pisah keseluruhan per satuan waktu campuran ditingkatkan;

− Bentuk puncak diperbaiki (pembentukan ekor lebih kecil);

− Kepekaan efektif ditingkatkan karena bentuk puncak kurang beragam ( Johnson, 1991).


(35)

6. Fase Gerak

Pada kromatografi cair, susunan pelarut atau fase gerak merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi pemisahan. Berbagai macam pelarut dipakai dalam semua ragam KCKT, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang berlaku umum.

Fase gerak haruslah:

a. Murni, tanpa cemaran;

b. Tidak bereaksi dengan kemasan; c. Sesuai dengan detector;

d. Dapat melarutkan cuplikan; e. Mempunyai viskositas rendah

f. Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan; g. Harganya wajar.

Pada umumnya pelarut dibuang setelah dipakai karena tata kerja pemurnian memakan waktu dan mahal ( Johnson, 1991).

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi.

Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel.Untuk fase normal ( fase diam lebih polar daripada fase gerak ), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut.Sementara untuk fase terbalik ( fase diam kurang polar daripada fase gerak ), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan methanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase normal, fase gerak yang paling sering-


(36)

digunakan adalah campuran pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut-pelarut jenis alkohol. Pemisahan dengan fase normal ini kurang umum dibanding dengan fase terbalik ( Rohman, 2007).

7. Wadah fase gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing ( penghilangan gas ) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama dipompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis. Pada saat membuat pelarut untuk fase gerak, maka sangat dianjurkan untuk menggunakan pelarut, buffer, reagen dengan kemurnian yang sangat tinggi, dan lebih terpilih lagi jika pelarut-pelarut yang akan digunakan untuk KCKT berderajat KCKT ( HPLC grade ). Adanya pengotor dalam dapat terkumpul dalam kolom atau dalam tabung yang sempit, sehingga dapat mengakibatkan suatu kekosongan pada kolom atau tabung tersebut. Karenanya, fase gerak sebelum digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil ini ( Rohman, 2007).

2.3.2. Keuntungan KCKT

KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi, memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa dalam suatu


(37)

campuran, memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas, dan mengikuti jalannya reaksi sintetis (Rohman, 2007).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk : pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian; analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap; penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion; isolasi dan pemurnian senyawa; pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama; pemisahan senyawa-senyawa dalam jumlah sekelumit, dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis kualitatis maupun kuantitatif ( Rohman, 2007).

KCKT dapat dianggap pelengkap Kromatografi gas (KG). Dalam banyak hal keduanya dapat dipakai untuk menghasilkan pemisahan yang sama. Untuk KG diperlukan pembuatan turunan senyawa, sedangkan KCKT dapat dilakukan tanpa itu. Untuk senyawa yang tidak tahan panas atau tidak atsiri, KCKT merupakan pilihan yang masuk akal. Bagaimanapun, KCKT tidak akan menggantikan KG, sekalipun memang peranannya di lab analisis makin lama makin besar ( Johnson, 1991).

Pembuatan turunan senyawa menjadi populer pula pada KCKT karena cara itu dapat dipakai untuk meningkatkan kepekaan detektor UV-tampak yang biasa dipakai. KCKT mempunyai banyak keuntungan jika dibandingkan dengan KG tradisional, yaitu:


(38)

a. Cepat

b. Daya pisahnya baik

c. Kolom dapat dipakai kembali d. Peka; detector unik

e. Ideal untuk molekul besar dan ion f. Mudah memperoleh kembali cuplikan

Kecepatan

Waktu analisis yang kurang dari satu jam merupakan hal yang lazim. Banyak analisis dapat dilakukan dalam 15-30 menit. Memang, untuk analisis yang tidak rumit, dapat dicapai waktu analisis kurang dari 5 menit ( Johnson, 1991).

Daya Pisah

Berbeda dengan KG, kromatografi cair mempunyai dua fase tempat terjadinya antaraksi. Pada KG, gas yang mengalir berantaraksi sedikit dengan linarut; pemisahan tercapai terutama karena antaraksi dengan fase diam saja.

Kemampuan larut berinteraksi secara selektif dengan fase diam dan fase gerak memberikan parameter tambahan untuk mencapai pemisahan yang dikehendaki (Johnson, 1991).

Kepekaan

Detektor serapan UV yang biasa dipakai dalam KCKT dalam mendeteksi berbagai jenis senyawa jumlah pikogram (10-12 g). Detektor, seperti spektrometer massa, indeks bias, radiometri, semuanya telah dipakai pada KCKT ( Johnson,1991).


(39)

Kolom yang dapat dipakai kembali

Berbeda dengan KC klasik, kolom KCKT dapat dipakai kembali. Banyak analisis dapat dilakukan pada kolom yang sama sebelum kolom itu harus diganti. Akan tetapi, kolom tersebut turun mutunya; laju penurunan mutu bergantung pada jenis cuplikan yang disuntikkan, kemurnian pelarut, dan jenis pelarut yang dipakai ( Johnson, 1991).

Molekul besar dan ion

Secara khusus senyawa jenis ini tak dapat dipisahkan dengan KG karena keatsiriannya rendah. KG biasanya menggunakan senyawa turunannya untuk menganalisis ion. KCKT dalam ragam eksklusi dan pertukaran ion ideal untuk menganalisis molekul besar dan ion ( Johnson, 1991).

Mudah memperoleh kembali cuplikan

Sebagian besar detector yang dipakai pada KCKT tidak merusak sehingga komponen cuplikan dapat dikumpulkan dengan mudah ketika mereka melewati detector. Biasanya pelarut dihilangkan dengan mudah dengan cara penguapan, kecuali pada pertukaran ion yang memerlukan tata kerja khusus (Johnson, 1991).


(40)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Alat

− HPLC Shimadzu LC 20 AD

− Timbangan Analitik Denver Instrument Analitical Balance Digital

− Pipet Volume Pyrex

− Bola Karet

− Labu Takar 100 ml; 50 ml; 25 ml Pyrex

− Batang Pengaduk

− Spatula

− Botol aquadest

− Beaker Glass Pyrex

− Gelas Ukur Pyrex

− Mortir dan Stamfer

− Pipet Tetes

− Ultrasonic Cleaner Bransonic B-2000

− Vaccum Pump Apparatus Bast Suction Vessel Advantic Toyo,Syringe Perfection 100F-LC

− Botol Vial

− Syringe Injector


(41)

− Botol Fase Gerak

− Kolom L7 ( C 8 = Oktasilane ) 4,6mm x 25 cm

− Kertas Aluminium Foil

− Kertas Saring Whatman PTFE 0,5 µm

− Kertas Perkamen

3.2 Bahan

− Epinephrine injeksi PT. Ethica (GKL 0106703043 A1)

− Aquadest

− Sodium dihidrogen phospat

− Sodium 1-octanesulfonate

− Edetate disodium

− Asam pospat

− Metanol grade for HPLC Merck

− Baku pembanding ASEAN Epinephrine Bitartrat No I 100112

− Buffer pH 7 dan pH 4

3.3 Prosedur

1. Pembuatan Larutan Fase Gerak = Dapar posfat : methanol (85 : 15)

− Larutan monobasic sodium phospat 0,05 M untuk 1 L yaitu ditimbang 6,8995 gram sodium dihidrogen phospat

− Ditambahkan dengan 519 mg sodium 1-octanesulfonate dan 45 mg edetate disodium kemudian dicampur


(42)

− Dibuat campuran larutan Sodium Pospat 0,05 M : Metanol ( 85:15 )

− Disaring dengan penyaring membran filter berukuran 0,5µ m

− Dimasukkan kedalam botol fase gerak

− Disonikasi

2. Pembuatan Larutan Baku

− Ditimbang 2,5 mg epinephrine bitartrat

− Dimasukkan kedalam labu 25 ml

− Dilarutkan dengan fase gerak dan disonifikasi

− Disaring larutan

− Dimasukkan kedalam botol vial

3. Pembuatan larutan sampel

− Diambil 10 botol sampel epinephrine injeksi

− Dimasukkan kedalam beaker glass

− Dihomogenkan

− Dipipet 1,0 ml kedalam Labu tentukur 10 ml

− Dilarutkan dengan fase gerak

− Diencerkan sampai garis tanda

− Disaring


(43)

4. Cara Penetapan

− Dialirkan fase gerak (Dapar posfat : methanol (85:15) dengan menggunakan pompa dengan laju alir 2 ml/menit ke dalam kolom yang berisi fase diam oktasilane

− Disuntikkan secara terpisah larutan baku epinephrine bitartrat dan larutan sampel epinephrine injeksi ke dalam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dengan volume penyuntikan masing-masing 20 µ l

− Pemisahan zat aktif terjadi melalui mekanisme kromatografi

− Hasil pemisahan dibaca oleh detektor dengan panjang gelombang 280 nm

− Dicatat di rekorder

− Dihitung luas area puncak utama masing-masing larutan baku dan larutan sampel

5. Prosedur Kerja

− Di hubungkan alat dengan sumber arus

− Di hidupkan DGU 12A, LC-10 ATvp, RF-10Axl, SCL-10Avp

− Di hidupkan CPU, monitor, printer

− Pada menu windows, klik dua kali icon class Vp

− Di klik file, method dan new

− Dilakukan pencucian piping (purging) dengan cara sebagai berikut :

a. Di klik methode instrument setup, klik taskbar pumps, isi parameter a flow 5 ml/min

b. D klik download, klik OK


(44)

d. Di klik icon instrument on/off, tunggu hingga kira-kira 3 menit e. Di klik icon turn pumps On/Off

f. Di buka katup DRAIN pada LC-10 Atup

− Di klik taskbar pumps, isi parameter A flow dengan laju alir yang diinginkan (catatan: naikkan laju alir tahap demi tahap)

− Di klik taskbar RF-10 Axl, isi parameter panjang gelombang beri checklist pada kolom Acquisition Chanel On, isi parameter Run time sesuai dengan waktu analisis

− Di klik download, klik OK

− Di klik icon turn pump on/off

− Di tunggu hingga kira- kira 15 menit

− Di klik file, method, save as, isi nama file method, klik save

− Di lihat posisi baseline dengan cara mengklik control, preview run

− Untuk mengganti skala tampilan monitor, klik tombol kanan mouse, pilih properties, isi taskbar scale to dengan user defined, isi parameter y min dengan -0,01 y max dengan 0,04, klik OK

− Di klik icon zeros dan perhatikan kelurusan baseline, jika sudah lurus lakukan test slope dengan cara mengklik icon threshold, klik waktu awal dan waktu akhir test. Nilai slope akan muncul, jika nilai slope kecil dari 500 berarti analisis bisa dilakukan

− Jika sudah lurus, klik control, klik stop run

− Untuk memulai analisis, klik control, klik stop run

− Untuk memulai analisis, klik control, klik single run, isi file data. Pastikan data path sebagai C: /Class Up/Data, untuk menspesifikasikan folder data


(45)

− Di klik start, tunggu hingga muncul tampilan waiting for tringger pada monitor putar posisi tras injector rheodyne pada posisi load, diinjeksikan larutan baku pembanding ASEAN Epinephrine Bitartrat No I 100112

− Dengan menggunakan mycrosyringe, lalu diputar posisi tuas pada posisi inject. Analisis akan mulai berlangsung dan telah diatur secara otomatis sesuai dengan waktu yang telah diatur atau dapat di stop secara manual dengan cara mengklik control, klik top run

− Untuk mengganti skala tampilan monitor, di klik tombol kanan mouse, pilih properties isi taskbar scale to dengan normalize, klik run

− Dilakukan perlakuan yang sama untuk larutan uji.

6. Interpretasi Hasil

PK = x 100 %


(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data

Nama zat Bobot

Baku(Penimbangan)

Faktor Pengenceran

Volume Penyuntikan

Respons Puncak

Luas Area

Baku Epinephrine

Bitartrat 3,182 mg 25 kali 20 µl 280 nm 860031

Sampel Epinephrine

Injeksi Pipet 1 ml 10 kali 20 µl 280 nm 1125662

Pipet 1 ml 1135484

4.2. Perhitungan

1. Baku Epinephrine Bitartrat

Kadar Kemurnian Baku = 99,79 % Kadar Air = 0,03 %


(47)

Bobot Baku Sebenarnya = x Kadar Kemurnian Baku x Bobot Baku

= x 99,79 % x 3,182

= x 0,9979 x 3,182

= 3,174 mg

2. BM Epinephrine Base = 183,20 3. BM Epinephrine Bitartrat = 333,29 4. Kadar Epinefrin

W = x Bobot Baku x x

PK = x 100 %

Sampel 1

W A = x 3,174 x x

= 0,912 mg

PKA = x 100 %

= x 100 %


(48)

Sampel 2

WB = x 3,174 x x

= 0,920 mg

PKB = x 100 %

= x 100 %

= 92,00 %

Kadar Sampel rata-rata =

= 91,60 %

4.3. Pembahasan

Penentuan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung dengan metode KCKT yang dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan bertujuan menentukan kadar sampel Epinephrine dalam sediaan injeksi yang berbentuk ampul, dimana pada umumnya digunakan sebagai obat pemacu kerja jantung pada pasien yang menderita henti jantung.

Penentuan kadar epinefrin dilakukan dengan menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dimana, KCKT merupakan tehnik yang paling banyak digunakan untuk mengukur kuantitas obat-obat dalam formulasi ( Watson, 2005).


(49)

Sampel yaitu Epinephrine Injeksi yang berbentuk ampul. Baku pembanding yang digunakan adalah Baku pembanding ASEAN Epinephrine Bitartrat No I 100112. Fase gerak adalah Dapar posfat : methanol (85 : 15). Kemudian fase gerak akan dialirkan dengan laju 2 ml/menit kedalam kolom yang berisi fase diam oktasilane. Baku Epinephrine dan larutan sampel disuntikkan secara terpisah dengan volume penyuntikan masing-masing 20 µ l dan pada sampel dilakukan perlakuan dua kali penyuntikan (duplo). Kemudian hasil pemisahan akan dibaca oleh detektor dengan panjang gelombang 280 nm. Dari hasil percobaan diperoleh luas area sampel Epinephrine Injeksi adalah I= 1125662 dan II= 1135484, kemudian dengan rumus ditentukan kadar dari epinefrin tersebut yaitu diperoleh PKI= 91,20 % dan PKII= 92,00% sehingga dirata-ratakan menjadi 91,60 %. Hal ini berarti kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung memenuhi syarat sesuai dengan yang tertera pada USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 115,0 %.


(50)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

− Kadar Epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah 91,60%

− Metode yang digunakan untuk menentukan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

5.2. Saran

Sebaiknya penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung tidak hanya dilakukan dengan metode KCKT tetapi juga dilakukan dengan metode lain seperti Spektrofotometri agar dapat dibandingkan hasil analisa yang diperoleh dari kedua metode tersebut.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Farmakope Indonesia. 1979. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Ganong, W. F. 2005. Review of Medical Physiology. 22nd edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Diakses tanggal 29 Maret 2011.

Johnson, E.L. dan Stevenson, R. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung:

Penerbit ITB.

Jusuf, F. 2006. Mengatasi Gangguan Pernapasan Kasus Henti Jantung Dan Paru. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi. Bagian B. Terjemahan Drs.Harjana, M.Sc. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Terjemahan Mathilda B Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Bandung: Penerbit ITB.

Mycek, M. J. dan Harvey, R. A. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Terjemahan Azwar Agoes. Jakarta: Widya Medika.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jakarta: UGM.

Setiawati, A. 1995. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Gaya Baru. Siswandono. dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga

University Press.

USP 32. 2009. Volume 2. United State : Committee of Revision Of the United States

Pharmacopoeia Convention Inc.

Watson, D.G. 2005. Analisis Farmasi. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

Widodo, R. 2004. Panduan Keluarga Memilih Dan Menggunakan Obat. Cetakan pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.


(52)

(53)

(1)

Sampel 2

WB = x 3,174 x x

= 0,920 mg

PKB = x 100 %

= x 100 %

= 92,00 %

Kadar Sampel rata-rata =

= 91,60 %

4.3. Pembahasan

Penentuan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung dengan metode KCKT yang dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan bertujuan menentukan kadar sampel Epinephrine dalam sediaan injeksi yang berbentuk ampul, dimana pada umumnya digunakan sebagai obat pemacu kerja jantung pada pasien yang menderita henti jantung.

Penentuan kadar epinefrin dilakukan dengan menggunakan alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dimana, KCKT merupakan tehnik yang paling banyak digunakan untuk mengukur kuantitas obat-obat dalam formulasi ( Watson, 2005).


(2)

Sampel yaitu Epinephrine Injeksi yang berbentuk ampul. Baku pembanding yang digunakan adalah Baku pembanding ASEAN Epinephrine Bitartrat No I 100112. Fase gerak adalah Dapar posfat : methanol (85 : 15). Kemudian fase gerak akan dialirkan dengan laju 2 ml/menit kedalam kolom yang berisi fase diam oktasilane. Baku Epinephrine dan larutan sampel disuntikkan secara terpisah dengan volume penyuntikan masing-masing 20 µ l dan pada sampel dilakukan perlakuan dua kali penyuntikan (duplo). Kemudian hasil pemisahan akan dibaca oleh detektor dengan panjang gelombang 280 nm. Dari hasil percobaan diperoleh luas area sampel Epinephrine Injeksi adalah I= 1125662 dan II= 1135484, kemudian dengan rumus ditentukan kadar dari epinefrin tersebut yaitu diperoleh PKI= 91,20 % dan PKII= 92,00% sehingga dirata-ratakan menjadi 91,60 %. Hal ini berarti kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung memenuhi syarat sesuai dengan yang tertera pada USP 32 Volume 2 yaitu tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 115,0 %.


(3)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

− Kadar Epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah 91,60%

− Metode yang digunakan untuk menentukan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

5.2. Saran

Sebaiknya penetapan kadar epinefrin dalam sediaan injeksi obat pemacu kerja jantung tidak hanya dilakukan dengan metode KCKT tetapi juga dilakukan dengan metode lain seperti Spektrofotometri agar dapat dibandingkan hasil analisa yang diperoleh dari kedua metode tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Farmakope Indonesia. 1979. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Ganong, W. F. 2005. Review of Medical Physiology. 22nd edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Diakses tanggal 29 Maret 2011.

Johnson, E.L. dan Stevenson, R. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Bandung:

Penerbit ITB.

Jusuf, F. 2006. Mengatasi Gangguan Pernapasan Kasus Henti Jantung Dan Paru. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Munson, J.W. 1991. Analisis Farmasi. Bagian B. Terjemahan Drs.Harjana, M.Sc. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press.

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Terjemahan Mathilda B Widianto dan Anna Setiadi Ranti. Bandung: Penerbit ITB.

Mycek, M. J. dan Harvey, R. A. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Terjemahan Azwar Agoes. Jakarta: Widya Medika.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jakarta: UGM.

Setiawati, A. 1995. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Gaya Baru. Siswandono. dan Soekardjo, B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga

University Press.

USP 32. 2009. Volume 2. United State : Committee of Revision Of the United States Pharmacopoeia Convention Inc.


(5)

(6)