Tabel 3 Daya rosot karbondioksida pada 25 jenis tanaman hutan kota
No. Jenis Tanaman
Daya rosot bersih CO
2
tiap pohon gjam
Daya rosot bersih CO
2
per ha × 10
3
gjam
1. Flamboyan
1,430 0,572
2. Johar
2,750 1,100
3. Merbau pantai
0,356 1,420
4. Asam
0,118 0,047
5. Kempas
4,970 1,990
6. Sapu tangan
0,107 0,043
7. Bunga merak
0,743 0,297
8. Cassia
1280,000 511,000
9. Krey payung
11,800 4,704
10. Matoa
7,180 2,870
11. Rambutan
0,064 0,026
12. Tanjung
0,102 0,041
13. Sawo kecik
1,840 0,734
14. Angsana
0,217 0,087
15. Dadap
0,136 0,056
16. Trembesi
66,300 26,500
17. Saga
7,400 2,960
18. Asam kranji
0,218 0,087
19. Mahoni
2,500 1,000
20. Khaya
0,605 0,242
21. Pingku
99,300 39,700
22. Beringin
622,000 2490,000
23. Nangka
3,410 5,980
24. Kenanga
22,600 9,030
25. Sirsak
25,500 10,200
Sumber : Purwaningsih 2007
Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah biomasa tanaman
ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah bahan organik tanah. Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang
paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan, hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur.
2.5 Efek Rumah Kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk
cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya
menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini
berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah
gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan
Bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang
terperangkap di bawahnya. Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang
ada di bumi. Menurut Soemarwoto 1994, tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang
ada sekarang tidak mungkin ada. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C 59 °F, bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C 59 °F dari suhunya semula, jika tidak
ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi.
Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon
dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15. Murdiyarso 1999 menyatakan
bahwa rata-rata konsentrasi CO
2
di atmosfer saat ini adalah 358 ppmv part per million by volume. Nilai ini merupakan peningkatan yang cukup besar sejak masa
pra-industri yang pada masa itu konsentrasinya sekitar 280 ppmv. Pada tahun 1980-an, laju peningkatan konsentrasi CO
2
adalah sekitar 1,5 ppmvth 0,4, kemudian menurun pada awal tahun 1990-an menjadi 0,6 ppmvth. Penyebab
utama peningkatan laju konsentrasi CO
2
ini adalah kegiatan manusia yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan penggundulan hutan yang
merupakan cadangan karbon dalam ekosistem daratan. Emisi neto global karbon pada tahun 1980-an yaitu 1,5 GtCth.
Meningkatnya konsentrasi CO
2
dapat pula disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain pembakaran hutan dalam skala luas secara
bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan pertanian. Penambahan CO
2
tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi dan mengakibatkan pemanasan global.
2.6 Perubahan Iklim