Profil Informan DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

38 polisi, rutan, sekolah, dan pasar yabg menjadi pusat perdagangan dikecamatan Pancur Batu dan sarana jalan raya yang di lalui transportasi umum seperti angkot dan becak dan berbagai kendaran –kendaraan beroda dua sampai beroda empat lainnya sehingga mempermudahkan masyarakat di Desa Tengah untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.

4.2. Profil Informan

1. Sudaryono

Informan ini adalah salah satu informan kunci yang melakukan perkawinan campuran Amalgamasi. Pak Sudaryono beretnis Jawa ini seorang laki-laki yang berperawakan tinggi besar, kulit sawomatang, telah berusia 48 tahun, agama Islam, pendidikan terakhirnya SMP , bertempat tinggal di dusun I dan kesehariannya bekerja sebagai wiraswasta menjadi salah satu staf di kantor kepala desa tengah. Pak Sudaryono sejak kecil sudah bertempat tinggal di desa tengah, orang tuanya berasal dari Solo, karena pekerjaan orang tuanyayang mengharuskan mereka pindah ke desa tengah sehingga pak Sudaryono ikut pindah ke Desa Tengah bersama orang tuanya dan beliau dibesarkan di Desa Tengah. Walaupun merupakan pendatang di Desa tengah pak Sudaryono mengaku sangat nyaman tinggal di desa ini dan tidak memiliki niat untuk pindah ke Solo atau kembali ke daerah asalnya. Di tambah lagi di desa tengah ini beliau menemukan pujaan hatinya, dan membangun sebuah keluarga bersama seorang wanita yang merupakan penduduk asli di Desa Tengah. Pak Sudaryono menikah pada umur 22 tahun dengan istrinya yang bernama Tetap Ulina br Bukit, dan sudah dikaruniai dua orang anak laki –laki dan Universitas Sumatera Utara 39 perempuan. Mereka bertempat tinggal di Desa Tengah tepatnya di dusun I. Istrinya beretnis Karo yang sudah bertempat tinggal lama di desa tengah, bu Ulina bukit beragama Islam, walapun menurut pendapat pak Sudaryono, ayah istrinya adalah seorang mualaf karena menikah dengan istri keduanya, yaitu ibu mertua pak sudaryono sendiri. Awal pertemuan mereka di mulai dari tahap pengenalan, dimana pak Sudaryono mengaku berkenalan dengan istrinya di sebuah balai desa, pada saat itu istrinya berjualan di sebuah warung kopi tidak jauh dari balai desa, dan pak sudaryono sering mampir di warung kopi tersebut bersama teman- temannya yang lain. Kemudian teman-temannya memperkenalkan pak sudaryono dengan istrinya, dari perkenalan tersebut mereka merasa nyaman satu sama lain sehingga mereka memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka kejenjang yang lebih serius. Menurut pak Sudaryono, ia dan istrinya menikah secara agama Islam dan menggunakan adat Karo danJawa. Tetapi, karena istri pak Sudaryono beretnis Karo, ia mengaku telah diberikan sebuah merga dari pihak keluarga istrinya yaitu Ginting, melalui prosesi adat Karo. Hidup dengan pasangan yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda menurut pak sudaryono tentunya memiliki banyak perbedaan, dari segi kebiasaan, bahasa, dan adat. Menurut beliau, misalnya dari sisi adat, adat Jawa sebagai sukunya tidak terlalu kuat jika dibandingkan adat istrinya yang beretnis Karo, ia menambahkan, Etnis Karo memiliki adat yang sangat kental yang harus benar-benar dipatuhi. Dari segi Bahasa ia mengaku dapat berbahasa Karo dengan fasih, dan istrinya juga dapat berbahasa Jawa dengan baik, bahkan lebih baik dari dirinya. Walaupun dengan latar belakang perbedaan tersebut, mereka mengaku Universitas Sumatera Utara 40 dapat mengatasi perbedaan itu dan tidak menimbulkan sebuah konflik atau masalah. Mereka hidup rukun sampai saat ini dan mengaku akan terus mempertahakan keutuhan keluarganya.

2. Hendri Keliat

Informan ini adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang, berambut klimis, dan murah senyum serta berkulit putih ini berumur 38 tahun yang bekerja sebagai wiraswasta dan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Pak Hendri Keliat bersuku Karo dan beragama Kristen Protestan. Beliau merupakan warga asli di daerah ini yang sudah bertempat tinggal sejak tahun 1982 yang pada saat itu Desa Tengah masih dibagi menjadi dua desa. Pak Hendri menikah pada umur 28 tahun dengan Maria Surbakti, usia perkawinan mereka yang sudah berjalan 10 tahun belum dikaruniai anak. Beliau menceritakan awal mula ia dan istrinya bertemu, bu Maria Surbakti beretnis Melayu, dan beragama Islam, dari kecil ia menjadi seorang yatim piatu, dan dirawat oleh neneknya yang tinggal di Desa Tengah. Awal mula perkenalan mereka yaitu di mulai tahap perkenalan mengingat karena mereka tinggal di satu desa yang sama, dan pada saat itu tidak sengaja berjumpa di pasar pancur batu, dari situlah mereka saling bertegur sapa dan mengenal satu sama lain. Dengan kecocokoan dan rasa cinta yang timbul mereka memutuskan untuk menikah, melalui pernikahan tersebut buMaria masuk ke agama Kristen, dan menjalankan pernikahan secara agama Kristen, pemberkatan pernikahan mereka berlangsung di pekanbaru karena pada saat itu pak Hendri bekerja disana. Pernikahan juga dilakukan secara adat Karo, yang dimana bu Maria diberikan Marga sebagai br Surbakti dari beru singumban nande. Universitas Sumatera Utara 41 Menurut pak Hendri walaupun awalnya berbeda suku dan agama dengan istrinya, tetapi sejauh ini tidak ada perdebatan antara istrinya dan dia sendiri, begitu juga dengan pihak keluarganya, sangat menyayangi dan menganggap bu Maria seperti anak kandungnya sendiri. Bu Maria juga sudah memposisikan dirinya sebagai “orang karo” yang dimana hal itu ditunjukkan dari sikapnya yang malah lebih sering menghadiri acara adat sanak saudara dari pihak suaminya dan juga beliau sangat taat beribadah ke gereja. Mereka tetap hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain.

3. Muhammad Nasir

Informan ini adalah salah satu pasangan perkawinan campuran yang merupakan salah satu informan kunci. Perawakan informan ini, berperawakan tinggi, kurus, berkulit gelap. Informan ini berusia 65 tahun, beretnis Melayu,beragama Islam,dan berasal dari Desa Tengah dusun II. Informan merupakan pendatang di desa Tengah yang di awali dari orang tua beliau yang pindah dan bekerja di desa Tengah. Pendidikan terakhir informan adalah SMP, pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai salah satu staf di balai Desa Tengah. Informan menikah dengan salah satu warga asli di Desa tengah yang bernama ibu Rosleni Sembiringmeilala, yang dimana informan menceritakan awal pertemuannya dengan istrinya dulu. Usia saya menikah yaitu 21 tahun dengan istri saya yang pada saat itu berumur 17 tahun, perkenalan kami dimulai dari pertemanan, yang dimana pak Nazir mengaku bahwa hubungan pertemanan mereka berlanjut menjadi tahap berpacaran 3 bulan yang kemudian mereka memutuskan untuk menikah. Universitas Sumatera Utara 42 Pernikahan mereka melalui pernikaahan agama saja. Menurut cerita informan, pernikahaannya belum di lakukan secara adat dikarenakan pada saat itu terkendala biaya adat yang membutuhkan banyak uang, ujarnya. Sementara, pada saat itu saya masih perlu uang untuk biaya kebutuhan sehari- hari makanya saya undur niatan untuk mengadati pernikahan saya dengan istri karena mertua saya menginginkan hal yang sama juga, tetapi lambat laun mertua saya dapat mengerti dengan kondisi tersebut. Menurutnya, marga diberikan kepadanya dari mertua pak Nazir yaitu marga Ginting, tetapi saya tidak pernah memakai marga itu karena saya merasa belum di adati secara adat jadi belum sah saya menjadi orang karo, ujarnya. Walaupun tidak diadati dalam adat Karo, pak nasir mengaku sangat mengerti tentang adat Karo, informan sering diminta untuk menngurus pernikahan adat Karo warga di sekitar rumahnya, saya sering diminta untuk membicarakan tentang adat perkawinan suku Karo dari tetangga saya. Keahlian itu di dapatnya dari masyarakat sekitar yang bersuku Karo sehingga lambat laun saya dapat mengerti bagaimana adat suku Karo, dari mulai perkawinan, orang meninggal yang di adati dan juga bahasanya, saya dapat berbahasa karo dengan fasih, ujarnya.

4. Modesta Rumapae

Informan ini berusia 40 tahun, merupaka salah satu pasangan perkawinan beda budaya etnis. Perawakan informan, berbadan sedang, berambut pendek dan berkulit sawo matang. Agamanya Kristen Khatolik, pendidikan informan yaitu tamat SMA, infroman berasal dari dusun I Desa Tengah dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Infroman menikah dengan warga asli di Desa Tengah yang bernama Bp Fery Surbakti yang juga merupakan seorang kepling di dusun I. Universitas Sumatera Utara 43 Awal perkenalan mereka pada saat bu Modesta dan Bp Fery Surbakti sama sama tinggal di Jakarta, saat itu bu Modesta kuliah dan pak Fery bekerja, di awali hubungan pertemanan dan kemudian berpacaran mereka akhirnya memutuskan menikah. Keluarga saya tidak setuju awalnya saat saya menikah dengan suami saya, karena dia orang karo, bapak saya dulu maunya saya selesaikan kuliah dulu dan menikah dengan pariban saya, tapi lama kelamaan keluarga menyetujui hubungan kami” ujar bu Modesta. Informan pindah ke Desa Tengah bertempat tinggal di Desa Tengah selama 12 tahun, dulunya infoman tinggal di Percut sei tuan dan pindah ke Desa Tengah dikarenakan menikah dengan warga asli Desa Tengah yang bernama Bp Fery Surbakti. “Saya pindah ke sini 12 tahun yang lalu, dikarenakan ikut suami, karena suami orang sini”, ujarnya. Pernikahan informan dulunya dilakukan secara agama Khatolik dan secara adat Karo dan Batak.Saya di kampung suami saya diberi marga br Perangin-angin, dan suami saya diberi marga dari etnis Batak yaitu marga Sihombing. Pernikahan yang sudah berjalan 20 tahun ini sudah dikaruniai 3 orang anak. Informan mengaku dalam pernikahannya yang berbeda budaya dengan pasangannya yaitu Bp Fery Surbakti terdapat banyak perbedaan, dari segi kebiasaan, cara hidup, makanan, dan juga Adat. Saya tidak suka makanan karo, dan saat menikah saya harus menyesesuaikan makanan yang saya masak dengan lidah suami saya, tapi syukurlan sekarang sudah bisa karena banyak belajar dari orang sini” ujarnya. Dari segi bahasa informan mengaku sekarang lebih fasih berbahasa Karo, saya lebih sering pakai bahasa Karo, bahasa Batak saya juga bisa tapi terkadang saya campur dengan bahasa Karo, kalau suami saya tidak tahu Universitas Sumatera Utara 44 bahasa Batak, dirumah kami komunikasi pakai bahasa Karo dicampur bahasa Indonesia. Informan mengaku dalam perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan bagi keluarganya, baik antara dirinya dengan Bp Fery Surbakti selaku suaminya tidak ada masalah dan sebaliknya, mereka tetap saling menghormati adat satu sama lain. Saya sering menghadiri upacara adat perkawinan ataupun adat Karo lainnya dari pihak keluarga suami saya, sebisa mungkin saya pasti hadiri, dan beradaptasi dengan ketentuan adat mereka yang menurut saya memiliki banyak sekali perbedaan dari budaya saya, tapi sampai saat ini saya rasa tidak ada masalah dengan itu, begitu juga dengan suami saya, dia juga sangat meghormati Adat istiadat dari suku saya. Informan juga mengaku sebisa mungkin akan terus saling menghormati dan terus mempelajari budaya pasangannya agar dapat terhindar dari konflik dan kesalahpahaman, ujarnya. 5. Irawati Simanjuntak Informan ini merupakan salah satu informan kunci yang menjadi pasangan perkawinan berbeda etnis di dusun III desa Tengah. Usianya 25 tahun, berperawakan tinggi berisi, berambut lurus dan kulit sawomatang, beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhirnya SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Informan menikah dengan pria yang berasal dari Desa Tengah yang bernama Bp Efendi Ginting, beragama Kristen Protestan dan bekerja di Metro tempat jual beli barang kebutuhan sehari-hari. Pernikahan mereka sudah berjalan 6 tahun dan telah dikaruniai satu anak lelaki yang masih berumur 4 tahun. Universitas Sumatera Utara 45 Bu Irawati yang merupakan pendatang di desa ini, pindahan dari Jakarta semenjak menikah dengan Bp effendi informan ikut pindah dan menetap di Desa tengah. Dulunya mereka mengaku bertemu dan saling kenal diJakarta, saat itu saya kerja diJakarta dan bertemu dengan dia, lalu kami berkenalan dan mulai berpacaran. Setelah memutuskan menikah kami pindah ke Desa Tengah dan menempati rumah orang tua suami saya. Dan kami tidak ada rencana pindah lagi ke Jakarta, dan akan menetap disini selamanya. Pernikahan kami dilakukan secara agama Kristen Protestan, belum dilakukan secara adat, tetapi kami berdua memiliki niatan untuk mengadatinya nanti, sedang dalam proses untuk kesana ujarnya. Menurut Bp. Effendi, memang harus di adati karena dalam adat karo itu penting biar ada nanti tempat kami di mata keluarga. Mereka mengaku banyak sekali terdapat perbedaan dalam pernikahan yang berlatar belakang berbeda etnis ini, awalnya orang tua saya tidak setuju saya menikah dengan orang karo, tetapi karena saya tetap ngotot akhirnya mereka menerima juga, asalkan masih satu agama. Dalam menyatukan perbedaan kami hanya saling meghormati budaya satu sama lain, saya sering juga mewakili suami saya untuk menghadiri pesta adat karo dari keluarganya, begitu juga sebaliknya. Banyak hal yang berbeda saya bandingkan dari suku Karo dengan suku saya yaitu Batak, dari sisi Bahasa dan cara hidup, tetapi sejauh ini saya juga malah lebih lancar berbahasa Karo sekarang.

6. Ringgit br Ginting

Informan ini bertempat tinggal di dusun II desa Tengah, beliau juga merupakan informan kunci yang menikah dengan warga pendatang yang beretnis Universitas Sumatera Utara 46 mandailing yaitu Bp Zainal Nasution. Informan Berperawakan sedikit gemuk, dan berambut panjang ikal, berkulit sawo matang ini berusia 63 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhirnya SMP, dan merupakan pensiunan dari PNS dulunya informan bekerja dipuskesmas desa. Menikah di tahun 1988 silam mereka telah dikarunia satu anak yang juga sudah berkeluarga. Awal petemuan kami dulu suami saya berjualan didepan puskesmas tempat saya bekerja, dan kami sering berjumpa, setelah itu berpacaran karena saling mencintai kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan kami dilakukan secara agama islam dan dengan adat Karo, suami saya sudah di adatati dan diberikan marga yaitu Karo-karo. Suami saya merasa senang karena diberikan marga dan tidak ada pernolakan atau pun permasalahan dari pihak keluarga suami, karena ibunya mertua saya juga orang Karo. Informan mengaku perbedaan dalam keluarga yang berbeda suku ini memang butuh banyak penyesesuaian dari masing-maasing keluarga, tetapi sejauh ini mereka dapat menerima satu sama lain etnis pasangannya. “Ya tidak ada masalah, malah sekarang suami saya lebih lancer berbahasa Karo dari saya sendiri. Dan anak saya juga lebih mengerti bahasa Karo karena mungkin mengikuti bahasa ibu sejak kecil.

7. Dewi sartika

Informan berikut merupakan salah satu pendatang di desa ini yang beretnis Jawa yang dulunya bertempat tinggal di perbatasan Medan-Aceh. Perempuan berkulit hitam dan berambut keriting dengan lesum pipi ini berusia 30 tahun, beragama Islam, mengecap pendidikan terakhir dibangku SMP, dan bekerja sebagai pedagang warung asongan disebelah rumahnya. Universitas Sumatera Utara 47 Informan pindah ke Desa Tengah setelah menikah dengan suaminya yang bernama Bp Sejahtera Kaban yang merupakan warga asli di Desa Tengah. Pertemuan mereka awalnya hubungan pertemanan, karena mereka pada saat itu sama sama berjualan dipasar pancur batu. Kami berkenalan awalnya dipasar karena sering ketemu karena sesama pedagang kami muali dekat dan berpacaran. Bp Sejahtera Kaban yang notabene adalah beragama Kristen dan beretnis Karo memutuskan untuk menikahi Dewi Sartika yang pada saat itu beurmur 19 tahun, karena selama tahap pacaran saya merasa ada kecocokan jadi saya memutuskan menikahi dia walaupun saya sadar agama kami berbeda. Tetapi, karena saya cinta saya memutuskan untuk masuk ke Agama Islam mengikuti agama istri saya. Awalnya memang ditolak oleh keluarga saya, tetapi lambat laun keluarga dapat mengerti, karena mereka berfikir itu sudah menjadi pilihan saya. Pernikahan mereka dilakukan secara agama Islam dan sudah berjalan selama 11 tahun dikaruniai tiga orang anak lelaki. Perbedaan dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda membuat mereka saling melengkapi masing-masing perbedaan yang ada. Saya juga mulai mengenal agama Islam masih baru jadi saya juga belum terlalu mengerti ujar Bp Sejahtera Kaban. Yang terpenting istri saya mendidik agama yang baik kepada anak-anak saya, dan dia juga dapat menerima keadaan saya, sekrang juga dia sudah fasih berbahasa Karo karena sering mengahdiri acara adat Karo dari pihak keluarga kami.

8. Fransisca

Fransisca adalah warga asli di Desa Tengah tepatnya di dusun II, yang sudah bertempat tinggal sejak kecil di Desa tengah. Perempuan beretnis Karo ini berperawakan tinggi, kurus dan berkulit putih usianya sudah menginjak 31 tahun, Universitas Sumatera Utara 48 pendidikan terakhirnya yaitu Diploma dari Universitas Medicom Sumatera Utara. Informan beragama Kristen Protestan dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Infroman menikah dengan Bp Ardi Simbolon yang beretnis Batak, awal mula perkenalan mereka di Medan, saya dulu bekerja di salah satu perusahaan bio gas dimedan dan suami saya kebutulan supervisor saya dikantor, kami dekat dan kemudian berpacaran. Namun, hubungan kami tidak direstui oleh ibu saya, karena ibu saya mau saya tetap bekerja di perusahaan tersebut, karena peraturan di perusahaan tidak memperbolehkan karyawannya menikah. Karena menikah dengan Bp Ardi, maka informan pun berhenti dari pekerjaannya, begitu juga dengan suaminya. Dan mereka pun berdua memutuskan keluar dari kantornya bersamaan Pernikahan mereka sudah berlangusng dua tahun dan dikaruniai satu orang anak perempuan. Pernikahaan mereka dilangsungkan secara agama dikampung halaman Bp Ardi sihombing, iya saat itu kan orang tua saya tidak setuju, jadi saya kawin lari dengan suami saya dan melangsungkan pernikahan di kampung halamannya yaitu di Brandan Pangkalan susu. Informan mengaku diberikan marga dari pihak suami yaitu marga Simamora, dan pemberian marga itu sebelumnya tidak diketahui oleh orang tua saya, karena sewaktu saya menikah orang tua saya tidak hadir karena tidak menyetujui hubungan kami. Namun, setelah anak pertama kami lahir ibu saya sudah dapat menerima saya, setahun lalu saya dan suami saya pindah ke kampung halaman saya yaitu Desa Tengah, untuk mencari pekerjaan, karena kami bedua sudah keluar dari pekerjaan kami semula, sekarang suami saya sudah bekerja sebagai tukang becak, dan saya masih belum bisa bekerja karena anak saya masih sangat kecil. Universitas Sumatera Utara 49

9. Ana Bangun

Informan juga merupakan informan kunci yang menjadi pasangan Amalgamasi. Perempuan berwajah oriental, bekulit agak gelap dan berambut keriting ini sudah berusia 57 tahun, pendidikan terakirnya yaitu dibangka SMA beliau berasal dari dusun II dan merupakan warga asli di Desa Tengah, saya sudah dari kecill tinggal disini, orang tua saya juga orang sini. Pernikahan informan yang sudah berjalan selama 35 tahun ini dikaruniai satu orang anak yang juga sudah berkeluarga. Pernikahannya dengan lelaki yang merupakan warga pendatang yang bernama Bp J.Sitangang. awal mula pertemuan mereka yang dimana Bp J sitanggang bekerja di desa Tengah dulunya beliau merupakan warga Siantar. Kami kenal disini saat suami saya bekerja disini kami sering ketemu dan menemukan kecocokan lalu kami memutuskan menikah. Perniakhan mereka sudah di adati menurut adat Karo dan Batak, saya sudah diberi marga dari pihak suami saya yaitu Situmorang, sedangkan suami saya juga sudah diberikan marga di Karo yaitu bermarga Ginting. Mereka mengaku untuk beradaptasi dengan masing-amsing keluarga yang berlatar belakang adat dan etnis yang berbeda sangat sulit, ya awalnya saya merasa asing tentunya dengan Bahasa keluarga dari pohak suami saya yang sama sekali saya tidak dapat mengerti, begitu juga dengan dia, api kami selalu saling mengajari dan mencoba memahami, saya sekarang sudah bias sediit ahasa Batak, dan suami saya juga sudah fasih berbahasa Karo, kalau dirumah kami ngobrol pakai Bahasa Karo atau Bahasa Indonesia. Dari penyesuaian upacara adat informan mengaku juga mendapati banyak perbedaan antara adatnya dnegan adat suaminya, iya dari upacara adat dan ketentuan pemakaian ulos itu sangat terdapat Universitas Sumatera Utara 50 banyak perbedaan, keluarga saya kebetulan memang adat Karonya sangat kental jadi saya dibesarkan dari keluarga yang memang sangat beradat jadi untuk mempelajari adat suami saya pun saya dengan senang hati mempelajarinya dengan ikhlas, bahkan anak saya juga menikah dengan suku lain bukan karo, tapi saya tetap membayar uang adat anak saya kepada kalimbubu saya di Karo walaupun anak saya tidak menikah dengan orang karo agar tetap menghargai keluarga saya dan menjaga nama baik keluarga sayadi suku Karo.

10. Drs S. Alamsyah Sebayang

Informan ini termasuk informan kunci ia mengetahui adat istiadat Batak Karo dan menjadi pemuka adat di desa Tengah. Informan ini berperawakan tinggi besar, rambut memutih, kulit sawomatang, ramah, usianya 61 tahun, beragama Islam. Pendidikan terakhir S1 disalah satu perguruan tinggi dimedan, pekerjaan sehari-harinya pensiuan PNS dan mempunyai lima orang anak. Tanggapan pemuka adat tentang perkawinan Amalgamasi ini, menurutnya mengenai perkawinan Amalgamasi tersebut sudah tidak dapat dielakkan lagi karena mengingat dizaman modern ini, kita tidak bisa lagi bertahan dalam posisi berdasarkan kesukuan saja, karena persentuhan dan pergaulan lintas suku di desa Tengah ini khusunya, dan lintas bangsa di negara ini pada umumnya, tidak bisa dihindari jika kita ingin mencapai kemajuan. Oleh sebab itu perkawinan Amalgamasi itu sah-sah saja dalam suku karo dan sama sekali tidak dilarang dalam kaidah adat suku karo. Namun, dalam pelaksanannya guna kelancaran tata cara perkawinan menurut budaya karo, pihak laki-lakiperempuan yang melakukan perkawinan dengan secara adat Karo maka sebaiknya pihak laki- lakiperempuan itu diberikan margaberu, yang biasanya dirembukkan dengan Universitas Sumatera Utara 51 keluarga yang bersangkutan secara adat. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan adat budaya Karo di setiap keluargarumah tangga yang baru. 4.3. Keluarga Kerabat Dekat Pada masyarakat batak karo, segala hubungan kekerabatan baik berdasarkan pertalian darah maupun hubungan perkawinan dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis kekerabatan, yaitu, Kalimbubu pemberi Gadis, Senina saudara, dan Anak beru penerima gadis. Ketiga jenis kekerabbatan ini biasa disebut dengan istilah dalikan sitelu tungku yang berkaki tiga atau telu sendalanen tiga seiring, ataupun snagkep sitelu tiga yang legkaptri tunggal. Dalam masyarakat Batak Karo, ketiga jenis kekerabatan ii tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena ketiga-tiganya mempunyai fungsi yang berbeda-beda dimana kesemuannya itu saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain. Apabila ada salah satu dari ketiga jenis kekerabatan ini hilang maka hubungan kekerabatankekeluargaan dalam masyarakat Batak Karo sama dengan pincang. Disetiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo baik dalam perkawinan, memasuki rumah baru dan kemalangan kematian, ketiga jenis kekerabatan ini diharuskan untuk hadir dalam acara tersebut karena tanpa ketiganya acara peradatan dalam masyarakat karo tidak dapat terlaksanakan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah keeluarga kerabat dekat dari pasangan perkawinan amalgamasi, seperti orang tua, saudara, dan mertua dari salah satu pasangan Amalgamasi. Universitas Sumatera Utara 52

4.4. Orang Tua Dari Pasangan Perkawinan Campuran