Pencantuman Budaya Pada Pasangan Amalgamasi Dalam Etnis Karo.

63 yang berbeda dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka factor tersebut mempercepat asimilasi. Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukug oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengikuti kelemahan-kelmahannya, kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakat-masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudyaan tersebut. apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya suatu proses amalgamasi tersebut.

4.6.1. Pencantuman Budaya Pada Pasangan Amalgamasi Dalam Etnis Karo.

Di dalam masyarakat Karo perkawinan lintas budaya Amalgamasi memiliki ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaanya di dalam perkawinan menurut Adat Karo, dimana ketentuan-ketentuan tersebut sudah di atur dan dijaga kelestariannya sejak zaman nenek moyang dahulu. Etnis Karo yang menikah dengan Etnis pendatang secara Adat harus memenuhi tata cara perkawinan beda budaya dalam suku Karo yaitu dengan “pemberian marga” pada pihak laki- laiperempuan dari Etnis lain tersebut, bahkan arti pemberian margapencantuman budaya terhadapnya ini juga sebagai tanda bahwasanya si pelaku Amalgamasi tersbut sudah di anggaap sebagai keluarga di dalam masyarakat Karo itu sendiri. Menurut Robert R.Bell dalam ihromi 1999:91 yang berjudul bunga rampai sosiologi keluarga menyatakan ada 3 jenis hubungan keluarga yakni: 1. Kerabat dekat Conventional Kin Kerabat dekat terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah. Adopsi, perkawinan, seperti suami istri, orang tua-anak dan antar saudara. Universitas Sumatera Utara 64 2. Kerabat Jauh discretionary kin Kerabat jauh terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, perkawinan, tetapi ikatan keluarga lebih lemah daruipada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. huungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi, keponakan dan sepupu. 3. Orang yang dianggap kerabat fictive kin Seseorang yang dianggap kerabat karena adanya suatu hubungan yang khusus, misalnya hubungan antara seseorang yang diberikan marga dalam perkawinan amalgamasi dengan kerabat pasangannya tersebut. berikut wawancara infroman mengena pencantuman marga budaya pada prosesi perkawinann Amalgamasi pada Etnis Karo: “ 1. Dilakukan pengesahan seseorang itu menyandang margaberu tertentu sesuai dengan struktur kalimbubu anak beru dikeluarga karo yang bersangkutan. Misalnya, yang terjadi pada tanggal 10 Oktober 2016 yang lalu, sebagai berikut:Calon pengantin perempuan yang menyandang beru tarigan bre Sebayang. Klen traigan ini anak berunya bermarga ginting maka disarankanlah agar calon penganten laki-laki yang bersuku batak agar diberikan marga ginting. 2.Prosesi selanjutnya pihak laki-laki yag ingin mempersunting beru targian ini meminta kesediaan orang tua yang bermarga ginting tersebut untuk menerimanya sebagai anak.3.Setelah orang tua bermarga ginting tersebut beserta klennya menyetujui permintaan itu, maka laki-laki calo pengantin tersebut menyerahakan satu “uis adat” beka buloh dan satu uis adat uis nipes kepada marga ginting dan istri yang telah menyetujui pihak mempelai lelaki tersebut untuk menyandang marga ginting bebere Tarigan kempu Sembiring.4.Selanjutnya sebagai tanda calon pengantin laki-laki tersebut berhak menyandang marga ginting, maka kalimbubu Ginting margana tadi yakni, marga tarigan dan marga semibiring memberikan uis adat beka buluh yang dikenakan dibahu calon pengantin laki-laki tersebut melalui kata sambutan Universitas Sumatera Utara 65 singkat sebagai penegasan. Selanjutnya sebagai penguat dan perkokoh pengesahan marga ini, kepada anakberu marga Ginting juga diberikan oleh calon pengantin laki-laki yang sudah sah bermarga Ginting tersebut sejenis pisauparang sebagai symbol sudah bertambahnya marga ginting yang harus diayomi, dilayani, dan dilindungi oleh pihak anak beru.5.Pada beberapa acara seperti ini, ada juga diberikan sejumlah uang yang disebut “batunna” yaitu sebagai pembuktian atau penguat untuk menjadi bukti konkrit oleh sembuyak-kalimbubu dan anakberu yang berupa “uang” dari keluarga calon pengantin laki-laki kepada marga Ginting yang sudah menjadi keluarga sembuyaknya, kepada marga Tarigan dan rombongannya serta kepada rombongan anak beru Ginting. Beginilah tata cara yang paling sederhana menyangkut pengesahan seseorang menjadi penyandang salah satu marga suku Karo. Pada beberapa kejadian atau prosesi adat dpaat juga dilakukan lebih komplit dan lebih ramai pesertanya” S.A Sebayang, laki-laki, 61 tahun, Oktober 2016. Berdasarkan wawancara dengan salah satu tokoh adat Karo diatas, bahwasanya perkawinan Amalgamasi pada pasangan yang berasal dari budaya karo dengan suku lain sebelum memutuskan untuk menikah secara adat, melewati suatu prosesi adat Karo yaitu “pemberian marga” kepada si pasangan yang beretnis lain tersebut. margaberu yang diberikan oleh pihak pengantin priawanita sesuai dengan ketentuan Marga beru yang seharusnya sesuai dengan silsilah kalimbubu-anakberu dan sembuyak dalam adat Karo. Hal ini dilakukan demi mempersatu “rangkut sitelu” dalam adat Karo. Amalgamasi yang terjadi dilakukan oleh penduduk secara sadar dan prosesnya dapat diperoleh melalui pencatuman budaya dan perkawinan campur. Penyesesuaian diri dan rasa saling menghormati menjadikan perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sesuatu yang bisa dihilangkan. Menghilangkan rasa perbedaan dan lebih mementingkan persatuan tindak menciptakan hubugan kekerabatan dilingkungan desa Tengah. Dalam pelaksanan prosesi adat pemberian margaberu tersebut juga antara pendatang dengan si manteki kuta, maka pihak yang terkait Universitas Sumatera Utara 66 tersebut harus membayar denda kepada adat karena sudah menikah dengan seseorang yang bukan dari suku karo yang disebut “utang adat”. Dalam hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh informan berikut: “ waktu aku nikah sama suamiku dulu, kami kan beda suku nak, jadi mamakku dulu bayar uang adat ke kalimbubu ku, supaya itulah penghargaan bagi mereka, kan aku seharusnya kawin sama anaknya, jadi dibayar utang adat itu ke dia supaya tetap ada ikatan keluarga antara kami, anakku pun dulu yang paling besar, kawin dia sama orang batak juga, utang adatnya tetap kubayar sama kalimbubu kami, itu mesti dilakukan kalo kita beradat kan harus gituu.” Ana Bangun, Septemer 2016. Berdasarkan wawancara di atas dengan bu Ana Bangun bahwasanya terlihat perkawinan bagi masyarakat karo tidak semata hanya mengawinkan antara mempelai laki-laki dan perempuan, tetapi memiliki makna sosial yang lebih mendalam, yaitu untuk mengawinkan keluarga besar dari kedua belah pihak. Disinilah berkembang sesuatu ikatan kekeluargaan dari keluarga inti nuclear family menajdi keluarga besar extended family. Perkawinan yang begitu sacral, penting dan berat karena mempertemukan dua keluarga sehingga diadakan lah pesta. Pelaksanaan pesta perkawinan antara etnis pendatang dengan etnis Karo memiliki suatu keunikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan yang mengalami amalgamasi, maka dalam proses acara perkawinan, acara tersebut dilangsungkan dengan mengguakan dua tema budaya. Misalnya saja dalam pesta perkawinan Hendri Keliat dengan Maria. Berikut hasil wawancara dengaan informan: “ waktu nikah ku dulu seru dek, rame yang datang, acara nikah kemaren sampek dua harilah, itu acara dikaampung abang, uuuuh.. capek kali. Waktu itu selesai dari gereja hari perteama, terus besoknya kami pakai kostum lah pake tudung sama kebaya merah istriku, aku pake bulang-bulang, pakai adat karo dari jam Universitas Sumatera Utara 67 sembilanan sampai makan sianglah siap itu pakai baju melayu karna kan adat istriku, terus alat musiknya pakai music karo aja, satu keyboard, sama adalah music modernnya. Tapi untuk acara selanjutnya it uterus ikuti adat abang, adat karo. Kayak makan dikamar itu, terus ebberapa hari kemudian datang jemput baju kerumah perempuan gitu, ngasih makan anak beru juga habis pesta.” Hendri Keliat. Beranjak dari teori asimilasi yang dinyatakan oleh Koentjarangningrat bahwa dalam peristiwa seperti ini biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesesuaikan diri dengan golongan mayoritas sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun beruah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas. Hal tersebut relevan dengan hasil wawanara dengan salah satu informan di desa Tengah berdasarkan penjelasan Bp. Hnedri Keliat dapat kita lihat bahwa, istrinya yang merupakan pendatang mengalami perubahan dalam budayanya, mereka juga terlihat cenderung mendominasi kebudayaan Karo itu sendiri. Misalnya dalam acra pelaksaan pesta perkawinan pendatang dengan si manteke kuta berbeda dengan yag umumnya, pesta dilaksanakan dengan menggunakan tema budaya campuran, adanya pembagian waktu dalam penggunaan tema tersebut misalnya dari pagi sampai siang acara pesta dilaksanakan dengan adat karo dan siang sampai selesai dengan tema adat lain yaitu melayu, misalnya saja dalam iringan music diteumakan paduan yang lebih cenderung ke music campuran contohnya seperti ditemukannya lagu hare-hare dimana lagu di Inida yang diaransemen kemusik melayu namun di nyanyiakan dengan Bahasa Karo. Hal tersebut juga ditemukan dalam acara pesta pernikahan masyarakat pendatang yang berasal dari etnis lainya. Acara pernikahannya menggunakan adat Karo, namun seperti lagu-lagu yang di nyanyikan, iringan music, dekorasi tempat Universitas Sumatera Utara 68 serta sajian makanan yang dihidangkan juga cenderung berkombinasi dengan dua budaya yang bersatu namun masih terlihat lebih mendominankan adat karonya sendiri.

4.6.2. Bentuk-bentuk Amalgamasi di Desa Tengah