Tabel 5.24. Hubungan antara Lama Menderita DM Terhadap Tindakan Perawatan Kaki Pada Pasien DM Tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Haji
Adam Malik Medan Tindakan Perawatan Kaki
Jumlah Baik
Kurang Baik Lama
Menderita DM
≤ 10 Tahun 67
23 90
10 Tahun 4
6 10
Jumlah 71
29 100
p 0,05 ; p = 0,023.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama menderita DM dengan tindakan perawatan kaki p 0,05 ; p = 0,023.
5.2. Pembahasan
5.2.1. Karakteristik Demografi Responden pada Pasien DM Tipe 2
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 termasuk kategori usia lansia akhir 56-65 tahun sebanyak 51 orang 51, dan
paling sedikit kategori dewasa akhir 36-45 tahun sebanyak 2 orang 2. Rata- rata usia pasien DM tipe 2 adalah 59,96 tahun. Rata-rata usia yang berobat ke
Poliklinik Endokrin adalah 41 tahun sampai dengan 79 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariani 2011 yang menyatakan rata-rata responden
berusia 59.32 tahun dengan median 58 tahun dan ternyata umur sangat mempengaruhi resiko dan kejadian DM. Hal ini disebabkan karena resistensi
insulin pada DM tipe 2 cenderung meningkat pada usia 56 – 65 tahun, disamping adanya riwayat obesitas dan faktor keturunan. Umur sangat erat
kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat umur maka prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 70 orang 70 sedangkan laki-laki
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 30 orang 30. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Kott 2008 yang menjelaskan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Kusniawati 2011 yang menjelaskan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan 61.
Berdasarkan teori, hal ini disebabkan karena beberapa faktor resiko, seperti obesitas, kurang aktivitas atau latihan fisik, genetik, usia dan riwayat DM saat
hamil, sehingga menyebabkan tingginya kejadian DM pada perempuan
PERKENI, 2011.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Responden paling banyak merupakan
tamatan PTAkademik sebanyak 55 orang 55, dan paling sedikit adalah tamatan SMP sebanyak 3 orang 3. Begitu juga hasil penelitian Yuntari 2011
dimana dari 48 responden terdapat tamatan SMA sebanyak 41,7 dan tamatan AkademiPT sebanyak 22,9 dan sisanya adalah tamatan SMP dan SD. Menurut
Perry 2005, tingkat pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang tentang kesehatan. Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin
banyak pengetahuan yang dimiliki dan dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada, termasuk melakukan tindakan perawatan kaki pada penderita diabetes
melitus. Menurut Notoatmodjo 2010 secara teori, tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan perubahan perilaku
kesehatan. Sebagian besar pasien DM tipe 2 dalam penelitian ini adalah tidak bekerja
atau pensiunan yaitu sebanyak 44 orang 44, dan paling sedikit adalah golongan lain-lain sebanyak 8 orang 8. Menurut penelitian Ariani 2011
sebanyak 65 pasien DM tipe 2 tidak bekerja dalam arti sesungguhnya atau sudah pensiun. Pada penelitian Wu et al., 2006 juga didapatkan bahwa sebagian
besar responden tidak bekerja yaitu sebanyak 84.1. Berdasarkan teori, hal ini disebabkan karena pada umumnya pasien yang bekerja memiliki waktu yang
terbatas dalam melakukan perawatan diri DM, dan menghabiskan waktu untuk bekerja daripada memperhatikan kondisi kesehatannya. Sedangkan pasien yang
Universitas Sumatera Utara
tidak bekerja dapat menggunakan waktu yang ada untuk memperlihatkan kondisi kesehatannya, sehingga mampu melakukan perawatan diri diabetesnya.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 memiliki tingkat penghasilan keluarga perbulan antara Rp.2.037.000 hingga
Rp.4.000.000 yaitu sebanyak 55 orang 55, selanjutnya penghasilan lebih dari Rp.4.000.000 sebanyak 22 orang 22, dan penghasilan perbulan kurang dari
Rp.2.037.000 sebanyak 23 orang 23. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bai et al., 2009 menyatakan bahwa status sosioekonomi tingkat penghasilan
berpengaruh positif terhadap perawatan kaki pasien DM tipe 2. Hal ini demikian karena sebagian responden menyatakan bahwa pemeriksaan kadar gula darah,
menyiapkan makanan khusus diet, obat-obatan DM dan insulin membutuhkan biaya yang cukup besar untuk menyediakannya sehingga dapat mengurangi
terjadinya komplikasi di kemudian hari. Butler 2002 menyatakan bahwa status sosioekonomi mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan perawatan diri
DM. Dengan keterbatasan finansial akan membatasi pasien untuk melakukan perawatan diri sehingga mengganggu terapi medis dan perawatan DM. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Yusra 2011 yang menyatakan bahwa pasien DM dengan penghasilan baik berpengaruh positif terhadap kesehatan dan
kontrol glikemik. Sebagian besar responden dalam penelitian ini telah menikah yaitu 97
orang 97 dan hanya 3 orang 3 yang tidak menikah. Berdasarkan penelitian Ariani 2011 ternyata bahwa semua responden dalam penelitian telah menikah
dan sebagian besar 78,2 masih memiliki pasangan. Widhiarsi 2012 juga menyatakan bahwa sebanyak 43 orang 87,8 telah menikah dan ternyata
responden yang masih berstatus bernikah dapat melakukan kunjungan pemeriksaan di poliklinik rawat jalan banyak ditemani oleh pasangan hidup.
Menurut Setiadi 2008, ternyata semua responden telah menikah dan ternyata dukungan keluarga dapat berpengaruh pada perilaku perawatan DM.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 telah menderita DM selama
≤ 10 tahun yaitu sebanyak 90 orang 90 dan pasien yang menderita DM selama 10 tahun adalah sebanyak 10 orang 10. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini sejalan dengan penelitian Ariani 2011, yang menyatakan lama menderita DM tipe 2 yang dialami responden adalah rata-rata 6 tahun. Hal ini
sesuai dengan teori dimana pengalaman selama sakit dan mekanisme koping dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam melakukan aktivitas dan melakukan
perawatan dirinya termasuk perawatan kaki Wu et al., 2006. Sepanjang waktu seiring dengan lamanya penyakit yang dialami, pasien juga dapat belajar
bagaimana seharusnya melakukan pengelolaan penyakitnya dan pengalaman langsung pasien merupakan sumber utama terbentuknya efikasi diri Bandura,
1997. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bai et al., 2009 yang menyatakan bahwa kebanyakan pasien dalam penelitiannya telah menderita
DM lebih dari 10 tahun dan lama menderita DM berhubungan secara positif terhadap perawatan diri pasien DM.
5.2.2. Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2
Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori sosial kognitif pada tahun 1977. Efikasi diri merupakan keyakinan individu
terhadap kemampuannya untuk mengelola penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah akan memulai atau tidak untuk melakukan
perawatan dirinya. Efikasi diri adalah prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri DM, seseorang yang hidup dengan DM yang memiliki tingkat efikasi diri
yang lebih tinggi akan berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri DM yang
lebih baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat efikasi diri baik yaitu sebanyak 66 orang 66, dan responden dengan
tingkat efikasi diri kurang baik sebanyak 34 orang 34. Menurut Ariani 2011, yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki efikasi diri baik
sebanyak 58 orang 52,7, dan efikasi diri yang tidak baik sebanyak 52 orang 47,3. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Aditama, Pramono
Rahayujati 2011, menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat efikasi diri rendah sebanyak 40 orang 71,43, dan yang memiliki tingkat efikasi
diri tinggi sebanyak 16 orang 28,57. Hal ini disebabkan karena efikasi diri
Universitas Sumatera Utara
seseorang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga masing-masing pasien memiliki tingkat efikasi diri yang berbeda.
Berdasarkan pendapat peneliti, pada penelitian ini tingkat efikasi diri yang tinggi pada responden menunjukkan bahwa responden telah memiliki keyakinan
diri yang tinggi serta mampu berpartisipasi aktif dalam melakukan perawatan diri diabetes secara maksimal. Hal ini dapat disebabkan karena edukasi yang sudah
baik diberikan dokter dan dapat dipahami dengan baik oleh pasien, hal ini dapat disebabkan tingkat pendidikan responden yang cukup sehingga dapat menangkap
setiap hal yang disampaikan oleh dokternya dengan baik, serta adanya kemauan dan kesadaran tinggi pasien tentang penyakitnya.
5.2.3. Tindakan Perawatan Kaki pada Pasien DM Tipe 2
Perawatan kaki pada pasien DM merupakan upaya pencegahan primer terjadinya luka pada kaki diabetes. Perawatan kaki yang teratur akan mencegah
atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Perawatan kaki pada pasien DM tipe 2 merupakan salah satu manajemen perawatan diri yang bertujuan
untuk menghindari terjadinya ulkus diabetik yang dapat terjadi pada kaki. Hal yang menjadi penyebab seorang pasien dengan DM beresiko lebih tinggi
mengalami masalah pada kaki yaitu sirkulasi darah kaki dari tungkai yang menurun, berkurangnya perasaan pada kedua kaki, dan berkurangnya daya tahan
tubuh terhadap infeksi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh bahwa 71 responden 71 yang memiliki tindakan perawatan kaki yang baik, sedangkan 29 responden 29
memiliki tindakan perawatan kaki yang kurang baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rakesh et al., 2013 melaporkan bahwa 67 responden memiliki
tindakan perawatan kaki yang baik. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Desalu et al., 2009 di Nigeria melaporkan bahwa hanya 10,2
responden yang memiliki tindakan perawatan kaki yang baik dan sisanya memiliki tindakan perawatan kaki yang buruk.
Studi lain yang dilakukan oleh Rocha et al., 2008 melaporkan bahwa kebanyakan pasien DM menganggap bahwa tindakan perawatan kaki adalah
sangat penting untuk pencegahan kaki diabetik tetapi hanya setengah dari mereka
Universitas Sumatera Utara
yang memeriksa kaki setiap hari. Alasannya adalah kesulitan mereka dalam melakukan tindakan perawatan kaki dalam waktu singkat sejak diagnosis kurang
dari satu tahun, kurangnya kesadaran pasien akan kondisi kaki, pemeriksaan kaki dilakukan hanya dalam kunjungan tindak lanjut, pasien DM yang tidak menyadari
kebutuhan untuk memeriksa kaki mereka, usia yang semakin menua membuat pemeriksaan kaki sulit, dan tidak ada dukungan keluarga. Menurut Bakker 2005
sebanyak 49 – 85 dari semua masalah terkait kaki diabetik dapat dicegah dengan tindakan perawatan kaki yang tepat.
Tindakan perawatan kaki yang tepat dan benar akan mengurangi kemungkinan komplikasi pada kaki di kemudian hari. Jika pasien DM tidak
melakukan tindakan perawatan kaki dengan baik dan benar, maka akan lebih mudah terkena infeksi pada kaki.
5.2.4. Hubungan antara Efikasi Diri terhadap Tindakan Perawatan Kaki pada Pasien DM Tipe 2
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan tindakan perawatan kaki p 0,05 ; p = 0,024. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara efikasi diri terhadap tindakan perawatan kaki pada pasien DM tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik
Medan dimana sebagian besar responden memiliki tingkat efikasi diri yang baik dengan tindakan perawatan kaki yang baik. Menurut pendapat peneliti, hal ini
dikarenakan keyakinan diri seseorang menjadi baik atau kurang baik dapat dibentuk oleh individu itu sendiri. Rasa efikasi diri ini memberikan keyakinan
pada diri pasien DM itu sendiri untuk menunjukkan sebuah perilaku atau tindakan tertentu dan mengubah pola pikir tertentu, dengan demikian dapat melakukan
tindakan perawatan kaki. Menurut Garrod 2008 menyatakan bahwa ada hubungan antara efikasi
diri dengan perawatan diri pada pasien DM, sehingga efikasi diri terbukti mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan tindakan perawatan diri
meliputi perawatan kaki. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rini 2011 yang menyatakan bahwa efikasi diri dapat
memberikan prediksi terhadap kepatuhan seseorang dalam melakukan perawatan dirinya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
5.2.5. Hubungan antara Karakteristik Demografi Responden terhadap Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara klasifikasi umur dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,177. Hasil
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wu et al., 2006 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan efikasi diri. Tetapi
hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Mystakidou et al., 2010 yang menyatakan bahwa umur berhubungan secara positif dengan efikasi diri. Dalam
penelitian ini, pasien dengan klasifikasi umur lansia awal dan akhir memiliki efikasi diri lebih tinggi dalam melakukan koping dan secara umum lebih terarah
dibandingkan dengan responden dalam klasifikasi umur dewasa akhir. Menurut peneliti, tidak adanya hubungan antara umur dengan efikasi diri disebabkan
karena berdasarkan data poliklinik endokrin RSUP H. Adam Malik Medan diketahui bahwa lebih dari 50 pasien DM tipe 2 memiliki komplikasi.
Kemungkinan pada responden yang lebih tua memiliki komplikasi atau penyakit penyerta yang akan semakin menurunkan fungsi fisiknya sehingga pasien merasa
tidak mampu untuk melakukan perawatan dirinya dengan baik. Sedangkan pada responden dalam kategori lansia awal dan akhir, kemungkinan lebih berfokus
pada pekerjaan dan berusaha untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan dan rumah tangganya.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,712. Hal ini
dapat diartikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam menyelesaikan berbagai masalah atau melakukan koping, serta dalam
berprilaku sesuai dengan yang diharapkan. Laki-laki dan perempuan memiliki efikasi diri dan keyakinan yang sama akan kemampuan mereka dalam berprilaku
sesuai dengan yang diharapkan untuk mengelola penyakitnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat pendidikan dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,033. Hasil ini didukung oleh penelitian Stipanovic 2002 yang menjelaskan bahwa ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan efikasi diri dimana responden yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki pendidikan tinggi memiliki efikasi diri yang baik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wu et al., 2006 yang menyimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2. Menurut peneliti, sesuai hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat
pendidikan berhubungan positif dengan efikasi diri dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden, semakin baik efikasi diri.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan responden dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,202.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Wu et al., 2006 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan efikasi diri pada pasien DM
tipe 2. Hal ini dapat disimpulkan bahwa efikasi diri responden yang bekerja dan tidak bekerja adalah sama. Menurut peneliti, tidak adanya hubungan antara
pekerjaan dengan efikasi diri bisa disebabkan karena kondisi pekerjaan dapat menjadi sumber stressor yang dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Berdasarkan teori, kondisi stress merupakan salah satu faktor resiko yang dapat memperberat kondisi pasien DM
tipe 2, yang akan berdampak terhadap penurunan efikasi diri dan kemampuaan untuk melakukan perawatan diri Aditama, Pramono Rahayujati, 2011.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,363.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Polly 1992 dalam Butler, 2002 yang menyatakan bahwa keterbatasan finansial sering menjadi hambatan untuk patuh
terhadap penatalaksanaan DM. Berdasarkan penelitian Butler 2002, status sosial ekonomi dan pengetahuan tentang diabetes mempengaruhi seseorang untuk
melakukan manajemen perawatan diri DM. Dengan keterbatasan finansial akan membatasi pasien mencari informasi tentang penyakitnya dan mempengaruhi
efikasi diri pasien untuk melakukan perawatan sehingga mengganggu dalam terapi medis dan perawatan DM.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status pernikahan dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,980. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian Wu et al., 2006 yang menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
tidak ada hubungan antara status pernikahan dengan efikasi diri. Hal itu juga diperkuat oleh penelitian Kott 2008 yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara status pernikahan dengan efikasi diri dan kontrol glikemik. Tetapi hasil ini berbeda dengan penelitian Ariani 2011 yang menyatakan bahwa
ada hubungan antara status pernikahan dengan efikasi diri. Menurut peneliti, status pernikahan tidak berhubungan dengan efikasi diri karena keberadaan
pasangan tidak selalu dapat mendukung apalagi jika pernikahan tersebut memiliki masalah maka akan menjadi sumber stressor bagi pasien. Semakin banyaknya
stressor yang dialami dapat menurunkan kemampuan pasien untuk menyelesaikan masalah atau koping individu tidak efektif sehingga akan mempengaruhi efikasi
diri pasien. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara lama menderita DM dengan efikasi diri p 0,05 ; p = 0,011. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wu et al., 2007 yang menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri dengan durasi penyakit diabetes. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bai, Chiou
Chang 2009, yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara lama menderita diabetes dengan efikasi diri. Adanya persamaan dan perbedaan pada
beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa walaupun seseorang baru terdiagnosis diabetes, akan tetapi hal tersebut memunculkan keyakinan diri atau
tanggung jawab dalam menangani penyakit mereka. Bagi penyandang diabetes yang baru, maka hal ini merupakan pengalaman pertama dan tantangan yang
harus dihadapi dan dijalani sepanjang hidupnya, sehingga mereka memiliki efikasi diri yang kuat sehingga dapat mengontrol status glikemik dan mencegah
terjadinya komplikasi diabetes. Sedangkan pasien yang sudah lama menderita diabetes, mereka sudah beradaptasi dengan kondisi tersebut sehingga perawatan
diri diabetes sudah menjadi kebiasaan atau pola hidup yang sehat bagi mereka.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik demografi responden di RSUP Haji Adam Malik Medan
dalam penelitian ini adalah sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dengan usia rata-rata 59,96 tahun, mayoritas tingkat pendidikan
PTAkademik, kebanyakkan responden tidak bekerja, dengan penghasilan perbulan Rp.2.037.000 - Rp.4.000.000,-. Mayoritas responden telah
menikah serta lama menderita DM rata-rata ≤10 tahun.
2. Sebagian besar responden memiliki tingkat efikasi diri yang baik yaitu
sebanyak 66. 3.
Sebagian besar responden melakukan tindakan perawatan kaki dengan baik yaitu sebanyak 71.
4. Ada hubungan signifikan antara efikasi diri terhadap tindakan perawatan
kaki pada pasien DM tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan nilai p 0,05 ; p = 0,024.
1.2.Saran
Saran-saran yang dapat penulis sampaikan pada penelitian ini adalah: 2.
Kepada Dokter : Perlu dilakukan program pendidikan kesehatan yang terencana, terorganisir, dan berkesinambungan yang diberikan kepada
pasien DM mengenai efikasi diri dan tindakan perawatan kaki pada pasien DM.
3. Kepada Perawat : Perawat harus meningkatkan efikasi diri dengan
meningkatkan pengetahuan pasien melalui pendidikan kesehatan yang terstruktur tentang DM dan penatalaksanaannya termasuk tindakan
perawatan kaki.
Universitas Sumatera Utara
4. Kepada Pihak Rumah Sakit : Berharap agar petugas kesehatan di RSUP
Haji Adam Malik Medan sebaiknya memberikan pengetahuan dan edukasi mengenai pentingnya tindakan perawatan kaki bagi pasien diabetes agar
resiko terjadinya ulkus kaki dapat dicegah. 5.
Kepada Pasien : Penulis mengharapkan bahwa pasien harus mematuhi dan melaksanakan dengan teratur perawatan kaki yang sudah diajarkan oleh
tenaga kesehatan. 6.
Kepada Peneliti Selanjutnya : Peneliti berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian selanjutnya
dengan memperluas variabel-variabel lainnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus