. Budaya Aji Mumpung Non-Partisipatif

6.2 . Budaya Aji Mumpung

Tak jarang kita mendengar istilah “setoran bos”, “uang rokok”, atau “uang jajan” menjadi hal yang tidak perlu disembunyikan lagi jika ada proyek-proyek pembangunan dari pemerintah untuk memperlancar urusan melobi ke masyarakat. Terdapat praktik yang berkembang di masyarakat jika uang mengatur segalanya. Praktek ini tidak hanya terjadi di kalangan instansi pemerintah saja, tetapi masyarakat pun bisa merasakan “mumpung lagi dapat rejeki” seperti biasanya yang dialami kalangan para pejabat, namun hal semacam itu juga bisa terjadi di masyarakat lokal. Budaya aji mumpung ini berakar dari budaya feodal yang dalam prakteknya rakyat harus “ngemongi pamong”, artinya masyarakat kelas bawah yang bukan berasal dari kalangan elite harus tunduk dan patuh terhadap perintah dari atasannya. Rakyat miskin yang selama ini dianggap tidak memiliki kualitas SDM untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan seakan dikelabui oleh pemerintah bisa berbentuk uang, barang bahkan fasilitas. 59 Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies baca: penelitian pesanan lalu di kerjakan oleh para ”intelektual tukang” maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek Rosnida,2012. Sehingga pembangunan lebih cenderung mengandalkan proses mobilisasi daripada partisipasi. Dampak yang dikhawatirkan ialah uang menjadi tolak ukur atau daya dorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. 59 Thoby Mutis, Trubus Rahardiansah, H.A.Prayitno, Keadaban Publik Trisakti:Jakarta,2007hal.199 Universitas Sumatera Utara Ada dua sisi keuntungan dari “aji mumpung” perihal pembangunan sarana sanitasi gratis di Kelurahan Belawan Bahagia diantara kelompok masyarakat. Pertama dari sisi masyarakat sebagai penerima manfaat yang kebanyakan mau menerima bantuan tersebut karena gratis seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. “Mending saya terima saja mumpung gratis” atau “saya mau terima bantuan ini karna gratis” pernyataan dari masyarakat tersebut menyiratkan makna mereka senang dan dengan mudah menerima sarana WC gratis tanpa mengetahui dengan pasti apakah model WC yang akan dibangun nanti sesuai dengan kondisi rumah panggung mereka. Pada akhirnya masyarakat menegeluh merasa kurang puas dengan hasil pekerjaan tukang. Selanjutnya, dari sisi yang kedua yaitu praktek mobilisasi antara stakeholders dengan masyarakat. Terlihat ada kekeliruan yang terjadi antara tukang dan koordinator lapangan yang ditugaskan untuk mengkoordinasi kerja mereka. Pekerjaan tukang yang menjadi buruh kasar dalam kegiatan pembangunan ini tidak mengimplemantasikan bentuk partisipasi yang sebenarnya. Proses belajar mengenai teknis pembangunan septictank biofiter hanya sampai pada ranah pertukangan saja. Sementara masyarakat setempat sebagai penerima manfaat tidak menerima proses tersebut. Pekerjaan pertukangan ini pun mendapatkan upah sebesar Rp.300.000,- per bulannya. Pekerjaan pertukangan membangun WC dikerjakan selama 3 bulan dari Agustus-November 2014. Kesempatan proyek pertukangan seperti ini kebetulan menjadi ladang rejeki bagi mereka yang selama ini pekerjannya mocok-mocok saja. Untuk memenuhi perintah atasan yang mengharuskan pembangunan selesai selama 2 Universitas Sumatera Utara bulan, pekerjaan mereka yang tanpa pengawasan oleh koordinantor menjadi tidak beres. WC individual tidak dibangun dekat dengan sarana sanitasi air, ada juga MCK yang dibangun tanpa penutup pintu. Masalah yang sering saya jumpai di lapangan ialah kayu sebagai material penyangga WC untuk rumah panggung tidak dibangun dengan kokoh sehingga masyarakat enggan menggunakannya karena takut jatuh. Praktek budaya aji mumpung yang menjadi proyek kecil-kecilan buat si tukang sedikit bersinggungan dengan budaya kerja ABS. Pada kasus ini yang meng-ABS- kan adalah pekerja tukang dan yang di-ABS-kan adalah koordinator lapangan. Asalkan semua pekerjaan bangunan WC sesuai target dan tepat waktu, pekerjaan mereka dibayar sesuai upah dan berharap tenaga mereka akan dipakai lagi pada kesempatan proyek-proyek selanjutnya. Universitas Sumatera Utara

6.3 . Pentingnya Partisipasi