d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen
1. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa
tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan
dalam dunia bisnis, penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah yang dapat berlangsung cepat dan murah. Di samping itu, penyelesaian sengketa
dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa. Hal ini
tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan litigasi, akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya. Di samping itu, secara umum dapat
dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yaitu karena:
22
a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat
22
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.240-247
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang pada umumnya lambat atau disebut buang waktu lama diakibatkan oleh proses
pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan
pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak. b.
Biaya perkara yang mahal Biaya perkara dalam proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dirasakan sangat mahal, lebih-lebih jika dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa, karena semakin lama
penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Biaya ini akan semakin bertambah jika
diperhitungkan biaya pengacara yang juga tidak sedikit. c.
Pengadilan pada umumnya tidak responsif Tidak responsif atau tidak tanggapnya pengadilan dapat dilihat
dari kurang tanggapnya pengadilan dalam membela dan melindungi kepentingan umum. Demikian pula pengadilan
dianggap sering berlaku tidak adil, karena hanya memberi pelayanan dan kesempatan serta keleluasaan kepada “lembaga
besar” atau “orang kaya”. Dengan demikian, timbul kritikan yang menyatakan bahwa “hukum menindas orang miskin, tapi
orang berduit mengatur hukum”. d.
Putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah Putusan pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah,
bahkan dianggap semakin memperumit masalah karena secara
Universitas Sumatera Utara
objektif putusan pengadilan tidak mampu memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada
para pihak. e.
Kemampuan para hakim yang bersifat generalis Para hakim dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama
dalam abad iptek dan globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimilki hanya di bidang hukum, sedangkan di luar itu
pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian, sangat mustahil mampu menyelesaikan sengketa yang
mengandung kompleksitas berbagai bidang. Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan itulah, sehingga dalam dunia bisnis, pihak yang bersengketa dapat lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga dikenal dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa di luar pe
ngadilan tersebut adalah “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, bahwa: “pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan. Sedangkan tugas dan wewenangnya diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi: a.
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran dalam
ketentuan ini; e.
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen; g.
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
j. mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan; k.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m.
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam
Surat Keputusan Menteri Pasal 53 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution ADR dapat ditempuh dengan
berbagai cara. ADR tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference serta bentuk lainnya.
23
23
Ibid, hal.186-169
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase dibedakan
dari alternatif penyelesaian sengketa, karena yang termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli. Walaupun terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, namun yang akan dibahas lebih lanjut hanya arbitrase, konsiliasi, dan mediasi sebagaimana yang dikenal
dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen. 1
Arbitrase Arbitrase dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa “Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.”
24
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase:
25
a Penyelesaian lebih cepat
Umumnya prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa.
Disamping itu, keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat final and binding sehingga tidak tersedia upaya naik banding.
24
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal.142
25
Ibid, hal. 145
Universitas Sumatera Utara
b Terjaga kerahasiaannya
Proses pemeriksaan sengketa melalui arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup Pasal 27 dan tidak ada publikasi.
Para arbiter juga terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak
yang bersengketa. c
Biaya lebih rendah Biaya arbitrase ditentukan oleh arbiter Pasal 76. Biaya itu
meliputi: a
Honorarium; b
Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
c Biaya administrasi.
Disamping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi dibidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi
tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif.
2 Negosiasi
Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering kita dengar yang sepadan dengan istilah “berunding”, “bermusyawarah”, atau
“bermufakat”. Kata negosiasi ini berasal dari bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
“negotiation” yang berarti perundingan. Adapun orang yang melakukan perundingan dinamakan dengan negotiator.
26
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negosiasi: a
Proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan
bersama antara satu pihak kelompok atau organisasi dan pihak kelompok atau organisasi yang lain;
b Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan
antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, tidak menjelaskan secara jelas mengenai pengertian negosiasi, namun dalam Pasal 6 ayat 2 disebutkan :
“Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat 1
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 empat belas hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.” Kata “pertemuan langsung” sebagaimana tersebut dalam
ketentuan Pasal 6 ayat 2 tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapat dilakukan melalui
negosiasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negosiasi itu adalah
cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara
langsung, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa langsung melakukan perundingan
atau tawar-menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan
26
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
bersama. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.
27
3 Mediasi
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mediasi adalah pengikutsertaan pihak ketiga dalam proses
penyelesaian sengketa. Dalam proses itu pihak ketiga bertindak sebagat penasihat.
Steven Rosenberg, Esq. Mengartikan mediasi sebagai : “Method of dispute resolution that is voluntery, confidencial
generaly, and cooperative. Yang secara bebas diartikan bahwa mediasi adalah metode penyelesaian masalah yang dilakukan
secara sukarela, rahasia dan kooperatif, tidak ada unsur
paksaan.”
28
Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan sebagai berikut :
“Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.” Dari beberapa rumusan pengertian mediasi diatas, dapat
disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang bersikap netral non-intervensi dan tidak berpihak impartial kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima
kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tugas pihak
27
Ibid, hal. 66
28
Salim HS, Op.cit, hal. 156
Universitas Sumatera Utara
ketiga hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang
dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan
sebagai kesepakatan
bersama. Pengambilan
keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.
29
4 Konsiliasi
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah konsiliasi. Konsiliasi diatur dalam Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternarif Pilihan Penyelesaian Sengketa. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan pengertian konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih
untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.
30
Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah “Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan
kepada suatu
komisi orang-orang
yang bertugas
menguraikanmenjelaskan fakta-fakta dann biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka
mencapai suatu kesepakatan, membuat usulan-usulan suatu penyelesain, namun keputusan tersebut tidak mengikat.”dalam
Huala Adolf dan A. Chanderawulan, 1995: 186.
29
Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 99
30
Salim HS, Op.cit, hal.155
Universitas Sumatera Utara
Inti konsiliasi dalam definisi diatas adalah penyelesaian sengketa kepada sebuah komisi dan keputusan dibuat oleh
komisi tersebut tidak mengikat para pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak isi keputusan tersebut.
5 Penilaian ahli
Dalam proses penyelesaian sengketa melalui penilaian ahli, para pihak yang bersengketa menunjuk seorang ahli yang netral
untuk membuat penemuan fakta-fakta yang mengikat ataupun tidak, atau bahkan membuat pengarahan materi tersebut secara
mengikat. Penunjukan ini dilakukan sebelum memulai ligitasi. Bilamana suatu sengketa sudah benar-benar dalam litigasi, ahli
yang netral yang ditunjuk oleh para pihak dapat mengarahkan para pihak untuk melakukan re-evaluasi estimasi apa kiranya
yang akan mereka peroleh dan dalam menjembatani memperpendek perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Di samping dikenalnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, usaha lainnya yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen
secara lebih cepat adalah dikenalnya class action dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu suatu prosedur hukum yang memungkinkan
banyak orang bergabung untuk menuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.
Ketentuan dalam Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai class action tersebut dapat dilihat pada ketentuan
Universitas Sumatera Utara
mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, yaitu:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan; b.
Sekelompok konsumen yang memiliki kepentingan yang sama; c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah danatau instansi terkait apabila barang danatau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dasar hukum gugatan kelompok class action semakin kuat, karena gugatan kelompok yang diajukan
selama ini belum memiliki ketentuan tertulis, walaupun dalam kenyataan, gugatan kelompok tersebut diterima untuk diperiksa oleh pengadilan.
Penyelesaian sengketa yang sederhana bagi konsumen yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah small claim
court atau small claim tribunal, yaitu pengadilan yang tujuan utamanya adalah untuk mengadakan penyelesaian secara cepat dan murah terhadap
sengketa yang tuntutannya dalam jumlah kecil. Pengadilan ini walaupun banyak membantu konsumen, namun bukan hanya diperuntukkan bagi
Universitas Sumatera Utara
konsumen semata, akan tetapi bahkan pengusaha pun dapat menggunakan pengadilan ini.
Perbedaan utama antara gugatan melalui small claim tribunal, dengan pengajuan gugatan pada pengadilan biasa adalah karena pengajuan gugatan
pada small claim tribunal memberikan keuntungan dari segi waktu dan biaya.
Penyelesaian sengketa melalui small claim tribunal ini melalui dua tahap utama, tahap pertama adalah tahap konsultasi dengan panitera yang
bertindak sebagai mediator, di mana para pihak mengadakan pertemuan untuk berusaha mencapai penyelesaian sengketa yang dapat diterima.
Apabila tahap konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil, maka gugatan diteruskan ke tahap yang kedua, yaitu pemeriksaan di depan hakim, di mana
hakim memberikan putusan berdasarkan fakta dan hukum. Selain kemudahan-kemudahan yang telah disebutkan di atas, UUPK
juga memberikan kemudahan terhadap konsumen yang dirugikan dan produsen tidak secara sukarela memenuhi tuntutan ganti kerugiannya karena
apabila konsumen mengajukan tuntutan ganti kerugian tersebut kepada produsen, maka baik pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang berwenang menyelesaikan tuntutan ganti kerugian tersebut adalah pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di wilayah
tempat tinggal konsumen. Hal ini berarti bahwa biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk menghadiri persidangan dalam kasus
sengketa konsumen dengan produsen akan dapat dihemat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berbagai kemudahan konsumen dalam penyelesaian sengketa di atas, berarti bahwa prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan sebagian dapat diwujudkan.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN