Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak

(1)

GAMBARAN KONFLIK PERNIKAHAN PADA PASANGAN

BERLATAR BELAKANG ETNIS JAWA-BATAK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

MAWADDAH HASANAH

081301016

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

GAMBARAN KONFLIK PERNIKAHAN PADA PASANGAN

BERLATAR BELAKANG ETNIS JAWA-BATAK

Dipersiapkan dan disusun oleh:

MAWADDAH HASANAH 081301016

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 20 Juli 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog Penguji I

NIP. 198107232006042004 Merangkap Pembimbing

2. Eka Ervika, M.Si, psikolog Penguji II NIP. 197710142002122001

3. Meutia Nauly, M.Si, psikolog Penguji III NIP. 196711272000032001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 14 Juli 2012

MAWADDAH HASANAH NIM : 081301016


(4)

Gambaran Konflik pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak

Mawaddah Hasanah dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Pernikahan multikultur merupakan pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Tseng, 1997), dimana dalam kasus ini menyatukan antara pria Jawa dengan wanita Batak. Menurut Bratawijaya (1997) orang Jawa dikenal dengan sifat yang ramah, sabar dan tidak mau berkonflik. Berbeda dengan Jawa, orang Batak cenderung bersifat tegas, bersuara keras dan tidak mau mengalah (Tinambunan, 2010). Ketika pasangan ini menikah, akan terjadi penyatuan pola fikir dan perbedaan cara hidup sehingga harus melakukan penyesuaian pernikahan dan apabila gagal akan muncul konflik. Konflik pernikahan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan (Sadarjoen, 2005). Terdapat tiga metode menghadapi konflik dalam pernikahan, yaitu avoidance, ventilation & catharsis, dan constructive & destructive. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap konflik ada sumber yang melatarbelakanginya. Terdapat empat sumber konflik, yaitu sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan (Degenova, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konflik pernikahan pada pasangan yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik. Jumlah responden adalah empat orang, yang terdiri dari dua pasang suami istri Jawa dan Batak. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri, dimana suami Jawa dan istri Batak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata individu yang berlatar belakang etnis Jawa yaitu suami cenderung menghadapi konflik dengan cara avoidance, sedangkan pada individu yang berlatar belakang etnis Batak yaitu istri cenderung menghadapi konflik dengan cara destructive dengan menyerang pasangannya. Namun begitu, metode constructive dan ventilation and catharsis beberapa kali ditemukan muncul pada setiap individu tetapi tidak dominan. Secara umum sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal, dan lingkungan melatarbelakangi terjadinya konflik pada pasangan I. Namun pada pasangan II, sumber yang mendominasi terjadinya konflik adalah sumber fisik dan hubungan interpersonal.


(5)

The Description of Marital Conflict on the Javanese-Bataknese Couples

Mawaddah Hasanah and Rahma Yurliani

ABSTRACT

Multicultural marriage is a marriage between couples who come from different cultural background (Tseng, 1997), which in this case unite between Javanese male and Bataknese female. According Bratawijaya (1997) the Javanese people are recognized friendly, patient and avoid conflict. Contrast to Javanese, Bataknese people tend to be assertive, loud and will not budge (Tinambunan, 2010). When the couple married, there will be union mindset and different ways of life so that have to make adjustment if they fail there will be conflict. Marital conflict is a conflict involving a married couple which will give effect of conflict or a significant influence on the couple’s (Sadarjoen, 2005). There are three methods dealing with conflict, namely avoidance, ventilation and catharsis, and also the constructive and destructive. Further it is said that every conflict there is a source. There are four sources of marital conflict, namely personal, physical, interpersonal relationships and the environment (Degenova, 2008). The goal of this research is to know the description of marital conflict on the Javanese-Bataknese couples.

This research used a qualitative approach to the intrinsic case study method. The amount of respondent are four people, consist of two pairs of husband and wife from Javanese and Bataknese. The characteristics of respondent in this research is a couple, where the Javanese male and Bataknese female.

The results of this research showed that the average individual who belong to the Javanese ethnic that is husbands tend to show avoidance behavior, while the individual who belong to the Bataknese ethnic that is wife tend to show destructive behavior. However, the methods of constructive, and ventilation & catharsis appeared several times on each individual but not dominant. Generally, the sources like personal, physical, interpersonal relationships, and environmental cause of conflict in couple I. But the sources of conflict from couple II are physical and interpersonal relationships.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya hingga

akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran

Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak”, guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Berbagai proses telah penulis alami selama ini. Perlu banyak usaha, kerja keras dan kemauan yang sangat tinggi untuk bisa menyelesaikan penelitian ini. Bagi penulis penyelesaian penelitian ini merupakan titik awal untuk mencapai kesuksesan yang sesungguhnya. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Terutama sekali penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda penulis H. Lazuardi Ismail dan Suryani Rangkuti yang telah memberikan banyak perhatian, dukungan baik secara moril dan materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis, Kakanda Azmi Suryadi, Amd, Kakanda Mhd.Khairul Umam, Amd beserta istri dan Adinda Mawar Hilda Khairunnisa atas setiap perhatian, dukungan, doa dan berbagai hiburan aneh yang diberikan selama penulis mengerjakan penelitian ini.


(7)

Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.Adapun orang-orang yang berjasa dalam penelitian ini adalah:

1. Ibu Porf. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog selaku dosen yang membimbing penulis selama pengerjaan penelitian ini. Mulai dari penentuan judul, kerangka berfikir, pembuatan bab I, II dan III hingga akhirnya ujian seminar, kemudian berlanjut kepada pembuatan bab IV dan V sehingga dapat dipertanggungjawabkan pada ujian sidang skripsi. Tanpa bimbingan dan arahan dari beliau, penulis tidak akan sampai di akhir proses ini.

3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, selaku dosen penguji, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan banyak saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis demi kesempurnaan penelitian ini.

4. Ibu Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademi yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas sumatera Utara.

5. Para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk berbagi cerita dan pengalamannya kepada penulis. Tanpa ada mereka, penulis tidak akan mampu menyelesaikan penelitian ini.


(8)

6. Ibu Nuriatul Hifni Rangkuti, selaku ibu dari penulis yang senantiasa memberikan keluangan waktu untuk membantu penulis dalam proses wawancara dengan responden pasangan II.

7. Ayunda Rahmah, S.Psi dan Aprizal Nst, Amd yang telah memberikan dukungan dan semangat saat penulis mengalami kesulitan dan down dalam proses pengerjaan penelitian ini. Kalian berdua adalah sahabat terbaik yang dimiliki penulis selama empat tahun perjalan perkuliahan baik suka maupun duka. Khususnya Ayunda Rahmah, masa depan yang cerah sedang menunggu kita. Semangat buat kita berdua ya!

8. Sahabat-sahabat penulis di masa SMA yaitu MUVIK, Silvira, Irma Handayani, Rizka Oetami, Amd, Nurhikmah Sinaga, Veny Pratiwi, Anastasia R. Ardiyanti, Amd dan Melisa Kristina. Walaupun tidak semua dari kalian yang ada saat peneliti merasa penat, bosan dan butuh hiburan, akan tetapi kalian tetap ada di hati penulis. Mari sama-sama berjuang untuk memperoleh kesukesan di masa mendatang. Amin.

9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang tidak dapat penulis tulis satu persatu, baik yang sudah duluan maupun yang masih berjalan yang selalu memberikan semangat serta motivasi untuk terus maju dan berusaha dalam penyelesaian penelitian ini. Semoga kita semua bisa meraih kesuksesan masing masing ya!!

10.Buat Kakanda Andini Mirandita, S.Psi dan Kakanda Rizty Desta Mahestri Ginting, S.Psi yang telah bersedia membantu penulis dalam memahami


(9)

metode kualitatif yang cukup rumit namun menyenangkan. Terima kasih ya kakak-kakak senior yang baik hati.

11.Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU, yang telah membantu dan mempermudah segala urusan yang berkaitan dengan administrasi, baik saat masa perkuliahan maupun yang berhubungan dengan penelitian.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun agar penelitian ini menjadi lebih baik lagi.

Harapan penulis, mudah-mudahan penelitian ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantudalam menyelesaikan penelitian ini.

Medan, Juli 2012 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK

KATAPENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 17

D. Manfaat Penelitian ... 17

1. Manfaat teoritis ... 17

2. Manfaat praktis ... 17

E. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik ... 20


(11)

3. Sumber-sumber konflik pernikahan ... 21

4. Metode-metode menghadapi konflik pernikahan ... 23

B. Pernikahan ... 25

1. Pengertian pernikahan ... 25

2. Pernikahan antar budaya (interculture) ... 26

C. Budaya Jawa ... 27

1. Pengertian budaya Jawa ... 27

2. Nilai-nilai budaya Jawa... 28

D. Budaya Batak ... 30

1. Pengertian budaya Batak... 30

2. Nilai-nilai budaya Batak ... 31

E. Dewasa Awal ... 34

1. Pengertian dewasa awal ... 34

2. Tugas-tugas perkembangan dewasa awal ... 35

F. Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak ... 35

G. Paradigma Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 42

B. Responden Penelitian ... 43

1. Karakteristik responden penelitian ... 43

2. Jumlah responden penelitian ... 44

3. Prosedur pengambilan responden penelitian... 45


(12)

C. Metode Pengumpulan Data ... 46

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 47

1. Alat perekam ... 48

2. Pedoman wawancara ... 48

3. Pedoman observasi ... 49

4. Alat tulis dan kertas untuk mencatat ... 49

E. Kredibilitas Penelitian ... 49

F. Prosedur Penelitian ... 50

1. Tahap persiapan penelitian... 50

2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 52

3. Tahap pencatatan data ... 54

G. Teknik dan Prosedur Analisa Data ... 54

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 58

1. Responden A ... 59

a. Identitas diri ... 59

b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 59

c. Data observasi ... 59

2. ... Respo nden B ... 63

a. Identitas diri ... 63

b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 64

c. Data observasi ... 64


(13)

(1). Latar belakang kehidupan pernikahan dan konflik –

konflik yang terjadi ... 67

(2). Metode-metode konflik pernikahan ... 74

(3). Sumber-sumber konflik pernikahan ... 96

(4). Kaitan konflik dengan budaya yang dimiliki ... 112

(a). Budaya Batak ... 112

(b). Budaya Jawa ... 115

3. Responden C ... 138

a. Identitas diri ... 138

b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 138

c. Data observasi ... 138

4. Responden D ... 141

a. Identitas diri ... 141

b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 142

c. Data observasi ... 142

d. Data wawancara pasangan II ... 144

(1). Latar belakang kehidupan pernikahan dan konflik - konflik yang terjadi ... 144

(2). Metode-metode konflik pernikahan ... 151

(3). Sumber-sumber konflik pernikahan ... 169

(4). Kaitan konflik dengan budaya yang dimiliki ... 185

(a). Budaya Batak ... 185

(b). Budaya Jawa ... 188


(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 237

B. Saran... 241

1. Saran Praktis ... 242

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 242

DAFTAR PUSTAKA ... 244 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jadwal wawancara responden A ... 59

Tabel 2. Jadwal wawancara responden B ... 64

Tabel 3. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden A pada pasangan I ... 120

Tabel 4. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden B pada Pasangan I ... 125

Tabel 5. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan pada pasangan I ... 129

Tabel 6. Jadwal wawancara responden C ... 138

Tabel 7. Jadwal wawancara responden D ... 142

Tabel 8. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden C pada Pasangan II ... 192

Tabel 9. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden D pada Pasangan II ... 196


(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Gambaran Konflik Pernikahan Pasangan I ... 136 Bagan 2. Gambaran Konflik Pernikahan Pasangan II ... 203


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Pedomana Wawancara ... 247 Lampiran 2. Pedomana Observasi ... 248 Lampiran 3. Lembar Persetujuan (Informed Consent) ... 249


(18)

Gambaran Konflik pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak

Mawaddah Hasanah dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Pernikahan multikultur merupakan pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Tseng, 1997), dimana dalam kasus ini menyatukan antara pria Jawa dengan wanita Batak. Menurut Bratawijaya (1997) orang Jawa dikenal dengan sifat yang ramah, sabar dan tidak mau berkonflik. Berbeda dengan Jawa, orang Batak cenderung bersifat tegas, bersuara keras dan tidak mau mengalah (Tinambunan, 2010). Ketika pasangan ini menikah, akan terjadi penyatuan pola fikir dan perbedaan cara hidup sehingga harus melakukan penyesuaian pernikahan dan apabila gagal akan muncul konflik. Konflik pernikahan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan (Sadarjoen, 2005). Terdapat tiga metode menghadapi konflik dalam pernikahan, yaitu avoidance, ventilation & catharsis, dan constructive & destructive. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap konflik ada sumber yang melatarbelakanginya. Terdapat empat sumber konflik, yaitu sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan (Degenova, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konflik pernikahan pada pasangan yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik. Jumlah responden adalah empat orang, yang terdiri dari dua pasang suami istri Jawa dan Batak. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri, dimana suami Jawa dan istri Batak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata individu yang berlatar belakang etnis Jawa yaitu suami cenderung menghadapi konflik dengan cara avoidance, sedangkan pada individu yang berlatar belakang etnis Batak yaitu istri cenderung menghadapi konflik dengan cara destructive dengan menyerang pasangannya. Namun begitu, metode constructive dan ventilation and catharsis beberapa kali ditemukan muncul pada setiap individu tetapi tidak dominan. Secara umum sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal, dan lingkungan melatarbelakangi terjadinya konflik pada pasangan I. Namun pada pasangan II, sumber yang mendominasi terjadinya konflik adalah sumber fisik dan hubungan interpersonal.


(19)

The Description of Marital Conflict on the Javanese-Bataknese Couples

Mawaddah Hasanah and Rahma Yurliani

ABSTRACT

Multicultural marriage is a marriage between couples who come from different cultural background (Tseng, 1997), which in this case unite between Javanese male and Bataknese female. According Bratawijaya (1997) the Javanese people are recognized friendly, patient and avoid conflict. Contrast to Javanese, Bataknese people tend to be assertive, loud and will not budge (Tinambunan, 2010). When the couple married, there will be union mindset and different ways of life so that have to make adjustment if they fail there will be conflict. Marital conflict is a conflict involving a married couple which will give effect of conflict or a significant influence on the couple’s (Sadarjoen, 2005). There are three methods dealing with conflict, namely avoidance, ventilation and catharsis, and also the constructive and destructive. Further it is said that every conflict there is a source. There are four sources of marital conflict, namely personal, physical, interpersonal relationships and the environment (Degenova, 2008). The goal of this research is to know the description of marital conflict on the Javanese-Bataknese couples.

This research used a qualitative approach to the intrinsic case study method. The amount of respondent are four people, consist of two pairs of husband and wife from Javanese and Bataknese. The characteristics of respondent in this research is a couple, where the Javanese male and Bataknese female.

The results of this research showed that the average individual who belong to the Javanese ethnic that is husbands tend to show avoidance behavior, while the individual who belong to the Bataknese ethnic that is wife tend to show destructive behavior. However, the methods of constructive, and ventilation & catharsis appeared several times on each individual but not dominant. Generally, the sources like personal, physical, interpersonal relationships, and environmental cause of conflict in couple I. But the sources of conflict from couple II are physical and interpersonal relationships.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa (multietnik), dengan derajat keberagaman yang tinggi dan mempunyai peluang besar untuk terjadinya pernikahan multikultural. Pernikahan yang dilangsungkan mengandung nilai-nilai atau norma-norma budaya yang sangat kuat dan luas (Abu dalam Natalia & Iriani, 2002).

Budaya yang berbeda akan melahirkan standar masyarakat yang berbeda pula dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu contoh hubungan yang dapat dilihat secara adat istiadat suku setempat yang dapat diterima serta diakui secara universal (Duvall dalam Natalia & Iriani, 2002).

Duvall dan Miller (1986) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI tentang Perkawinan, 1976).

Pernikahan beda budaya sudah menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern sekarang ini dan dampak dari semakin berkembangnya sistem


(21)

komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain. Pernikahan beda budaya adalah suatu pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dimana terdapat penyatuan pola pikir dan cara hidup yang berbeda (McDermott & Maretzki, 1977).

Berdasarkan data yang ditemukan pada BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 2.109.339 jiwa penduduk di provinsi Sumatera Utara khususnya di kota Medan dan memiliki keanekaragaman suku bangsa diantaranya Melayu, Batak, Karo, Jawa, Tionghoa dan India. Artinya, tidak dapat dihindari bahwa akan banyak pernikahan multikultural yang terjadi, tidak hanya pada WNI yang berbeda etnis, tetapi juga pernikahan WNI dengan WNA dari budaya Barat yang ditemukan di provinsi ini khususnya di Kota Medan (BPS, 2010).Sejalan dengan penuturan Ibu Suri (47 tahun) mengenai pernikahan multikultural.

“Zaman sekarang ya sudah lumrah lah jika pasangan menikah itu berasal

dari suku yang berbeda, malahan ya bagus agar campuran tersebut menghasilkan keturunan yang bagus pula. Bahkan sudah tidak sedikit juga dijumpai pasangan yang menikah beda Negara kan. Namun begitu saya tetap merasa masih ada lah beberapa orang tua yang mengharapkan jika anaknya itu menikah dengan orang yang satu suku hanya beda marga, seperti sama-sama suku batak tapi satu hasibuan satu lagi nasution. Ya wajarlah kalau

begitu mah”

(Komunikasi Personal, 27 Agustus 2011)

Menjalani suatu hubungan dalam ikatan pernikahan tidak segampang seperti menjalani hubungan ketika masih belum menikah (Degenova, 2008). Banyak hal baru yang akan ditemukan oleh individu pada diri pasangannya saat menikah. Individu harus mulai belajar untuk saling menyesuaikan diri agar dapat menerima pasangannya apa adanya. Terlebih jika pasangan pernikahan tersebut berasal dari


(22)

latar belakang etnis yang berbeda, akan banyak dijumpai berbagai jenis perbedaan seperti nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, prasangka, stereotype, dll (Matsumoto, D. & L. Juang, 2008). Perbedaan yang muncul inilah menyebabkan pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai kesepahaman bersama dalam pernikahan mereka (Degenova, 2008). Berikut kutipan wawancara kepada Ibu Suri sehubungan dengan pengalaman pernikahannya yang multikultural.

“saat pertama saya menikah, saya merasa senang sekali karena saya dapat

suami yang pengertian, sepaham, dan awal-awal pernikahan kami tenang. Tapi setelah sudah lama hidup satu rumah baru tau deh kalau kita itu juga memiliki perbedaan. Saat itulah kami mencoba untuk saling sharing, melakukan penyesuaian lah mencoba memahami kebiasaan masing-masing pasangan. Tapi ya kadang-kadang capek juga kalau kami gak nemukan titik tengahnya. Ujung-ujungnya ya berantem lah”

(Komunikasi Personal, 12 Oktober 2011)

Menikah merupakan proses menyatunya dua individu dalam ikatan yang sakral (Hurlock, 2004), dimana ketika menikah akan terjadi penyatuan pola pikir dan ditemukannya perbedaan cara hidup antara keduanya. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pasangan adalah dengan melakukan penyesuaian pernikahan (Degenova, 2008). Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Ibu Suri di awal-awal pernikahannya setelah mengetahui adanya perbedaan yang ditemukan pada pasangannya.

Umumnya individu memutuskan untuk menikah saat ia berada pada tahap perkembangan dewasa awal yaitu pada usia 20-40 tahun (Papalia, 2008). Hal ini sejalan dengan teori Havighurs (dalam Hurlock, 2004), yang menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan usia dewasa awal adalah mencari dan menemukan


(23)

calon pasangan hidup. Dewasa awal merupakan masa krisis antara intimasi dan isolasi, artinya selama usia dewasa awal akan merasa lebih aman identitasnya apabila individu mampu membangun keintiman dirinya dengan pasangannya dalam ikatan pernikahan (Erikson, dalam Papalia, 2008).

Pasangan yang menikah pada usia dewasa awal akan berbeda dalam melakukan penyesuain pernikahan dibandingkan dengan pasangan yang menikah di usia dewasa madya ataupun usia remaja. Pasangan yang menikah pada usia remaja tentu akan lebih sulit dalam melakukan penyesuaian dan sulit dalam mengartikan konflik-konflik yang muncul. Hal ini karena tugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock, 2004). Sejalan dengan ini, Monks (2001) menyebutkan bahwa remaja yang telah menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas perkembangannya juga mengalami penyesuaian.

Berbeda dengan dewasa madya yang merupakan individu dengan rentang usia 40-60 tahun, sudah tentu pengalaman hidup yang dilalui lebih banyak dan pada akhirnya kedua individu akan lebih mudah melakukan penyesuaian dalam pernikahan mereka, ditambah lagi pada dasarnya tujuan dewasa madya yang menjalani pernikahan adalah untuk mendapatkan teman hidup di hari tua mereka maka akan lebih mudah menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pasangan mereka (Papalia, 2008).

Penjelasan di atas membuktikan bahwa usia masing-masing individu saat menikah akan mempengaruhi penyesuain dalam pernikahan mereka dimana hal


(24)

ini tidak akan terlepas dari konflik yang dihadapi nantinya. Terlebih jika individu tersebut menikah dengan pasangan yang berbeda etnis dengan dirinya. Sebenarnya, baik pasangan yang menikah satu etnis maupun beda etnis akan tetap melakukan penyesuaian dalam pernikahan mereka. Hanya saja proses dalam melakukan penyesuaian pernikahannya yang berbeda dimana pasangan satu etnis cenderung lebih mudah melakukan penyesuaian pernikahan daripada pasangan beda etnis. Hal ini karena pasangan yang menikah satu etnis secara umum memiliki kesamaan khususnya terhadap nilai-nilai budaya yang dianut dan dipahami sehingga dalam melakukan penyesuaian pernikahan untuk mendapatkan kesepahaman menjadi lebih mudah. Hal ini juga tampak dari penuturan kak Tasya (25 tahun) dan bang Andi (28 tahun) seputar penyesuain pernikahan yang mereka lalui dan sama-sama berlatar belakang etnis Jawa.

“penyesuaian pasti kami lakukan. Namun itu semua tidak sulit. Karena harus

dibekali ilmu pernikahan dan mempelajari benar karakter pasangan hidup kita, misalnya apa yang paling dia suka dan tidak suka. Apalagi kami sama-sama orang Jawa, sudah tentu tidak sedikit persama-samaan yang kami temukan.

Jadi tidak sulit lah.”

Kak Tasya (Komunikasi Personal, 29 Februari 2012)

“tidak sulit karena harus ada pihak yang siap mengalah dengan adanya

benturan sikap dan sifat dalam rumah tangga.”

Bang Andi (Komunikasi Personal, 29 Februari 2012)

Berbeda dengan pasangan beda etnis yang merupakan pasangan dari latar belakang budaya berbeda harus menyatukan dua persepsi, nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, prasangka, stereotype yang masing-masing individu berbeda (McDermott & Maretzki, 1977). Pasangan yang menikah beda etnis harus membutuhkan usaha yang lebih besar dalam melakukan penyesuaian pernikahan


(25)

muncul konflik selama proses penyesuaian yang dilakukan. Sejalan dengan ungkapan dari kak Eli (27 tahun) dan bang Sekar (30 tahun) yang menikah beda etnis.

“…iya kami beda suku, saya Batak sedangkan abang Jawa. Sulitlah pasti

melakukan penyesuaian setelah menikah karena banyak perbedaan kehidupan diantara kami. Itu semua membutuhkan waktu untuk bisa saling memahami satu sama lain ya. Kalau berapa lama kami melakukan penyesuaian ya tidak terbatas ya. Tapi bisa dibilang semenjak saya hamil suami baru terlihat berubah, maksudnya bisa mengerti keadaan saya.”

Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)

“kalau berbicara tentang penyesuaian pernikahan tentulah sudah pasti tidak

mudah dek. Kami berasal dari budaya yang berbeda. Abang kan Jawa, taulah gimana orang Jawa kan, nah disandingi dengan orang Batak kayak kakak, udah deh payah bilang. Jelasnya harus saling pengertian dan saling

bisa menerima kekurangan maupun kelebihan lah biar bisa rukun dan puas.”

Bang Sekar (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)

Terkadang penyesuaian tertentu yang dilakukan bukanlah dianggap terbaik oleh seseorang, tapi hal itu merupakan yang terbaik untuk dapat mencapai tingkat kepuasan tertinggi dalam keadaan tersebut. Tentunya penyesuaian tidaklah bersifat statis dan bukan juga langkah yang diambil hanya sekali. Penyesuaian tersebut merupakan proses dinamis yang terus menerus terjadi pada kehidupan pernikahan pasangan (Degenova, 2008).

Penyesuaian pernikahan didefenisikan sebagai proses memodifikasi, beradaptasi, dan mengubah individu, pola perilaku dan interaksi pasangan untuk mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan (Degenova, 2008). Menurut Bernard (dalam Santrock, 2009) ada 2 dimensi dalam penyesuaian pernikahan, yaitu (1) adanya derajat kesepahaman & kesepakatan, (2) komunikasi yang intim antar pasangan. Hurlock (2004) mengatakan ada empat hal pokok dalam


(26)

penyesuaian penikahan yang paling umum dan penting bagi kebahagiaan pernikahan, yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan. Penyesuaian yang sehat akan membawa pada suatu kondisi pernikahan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan mengalami masalah dalam pernikahan mereka (Degenova, 2008). Hal ini sejalan dengan penuturan ibu Suri dan kak Eli.

“saat saya dan suami berbeda pendapat tentang suatu hal, pasti deh kami

saling adu mulut berantam gitu, tapi itu gak lama kok. Karena biasanya suami saya yang selalu mengalah. Tapi tidak jarang juga kami adu mulut sampai panjang lebar permasalahannya kemana-mana dan tidak ada yang mau mengalah, terakhir ya saya diamin suami saya karena kesal dan kalau uda gitu bawaannya mau marah aja.”

Ibu Suri (Komunikasi Personal, 25 Agustus 2011)

“Banyak jugalah dijumpai hal-hal yang kadang kami gak sepaham, adanya perbedaan pendapat dan sifat masing-masing yang ujung-ujungnya membuat kami jadi ribut. Tapi kadang nih ya kalau dua-duanya sama-sama akur, salah satu mau mengalah atau ada yang mencairkan suasana, nanti akhirnya baikan kan. Jadi tenang rumah.”

Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)

Kutipan wawancara di atas, merupakan salah satu gambaran kehidupan dalam pernikahan bahwa perselisihan, pertentangan dan konflik dalam suatu rumah tangga merupakan sesuatu yang terkadang tidak bisa dihindari, tetapi harus dihadapi. Hal ini karena dalam pernikahan terdapat penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa sistem kayakinan masing-masing dari latar belakang budaya serta pengalaman yang berbeda. Perbedaan yang ada tersebut perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi mereka. Proses inilah yang seringkali menimbulkan ketegangan, ditambah lagi dengan


(27)

sejumlah perubahan yang harus mereka hadapi seperti perubahan kondisi hidup, kebiasaan atau perubahan sosial (Dewi & Basti, 2008).

Fenomena pernikahan beda etnis memiliki pengalaman cerita yang berbeda-beda. Dalam pernikahan disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan suku yang berbeda yang dapat menimbulkan ketidakcocokan (Koentjaraningrat, 1981 dalam Sedyawati, 2003). Terlebih lagi di Indonesia terdiri atas banyak pulau yang didiami oleh banyak suku bangsa, misalnya Pulau Jawa terdiri dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi. Bahkan dalam suku bangsa secara lebih khusus terdiri dari sub-sub suku bangsa, misalnya suku Batak di Sumatera terdiri dari sub suku bangsa Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Angola, dan Mandailing. Banyaknya suku bangsa yang ada sudah tentu masing-masing memiliki kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, karsa, dan karya dari suku-suku bangsa tersebut.

Suku Batak dan suku Jawa adalah salah satu dari delapan etnis budaya asli di provinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk corak adat istiadat serta kebiasaan diantara kelompok masyarakat, namun terdapat hal-hal dasar yang universal seperti aspek-aspek dimana adat istiadat dan kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respon, cara pandang, dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden.

Pada sekitaran tahun 2000, provinsi Sumatera Utara khususnya kota Medan memiliki jumlah penduduk sebesar 2.109.339 jiwa. Jumlah seluruh penduduk Jawa di kota Medan mengambil bagian sekitar 33,03% dan dibawahnya diikuti oleh suku Batak sebanyak 20,93% dimana setiap tahun bahkan bulan persentasi


(28)

jumlah suku Batak di Medan semakin meningkat (Data Stistika Kependudukan Kota Medan, 2010). Banyaknya jumlah penduduk bersuku Jawa dan Batak yang bermukim di kota Medan menjadi salah satu faktor yang dapat menyatukan mereka ke dalam suatu ikatan pernikahan.

Orang Jawa cenderung memiliki sikap nrimo dan pasrah terhadap kehidupan yang sedang berjalan karena itu merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Mulder (1985) bahwa nrimo berarti tahu tempatnya sendiri, berarti percaya pada nasib sendiri dan berterima kasih pada Tuhan karena ada kepuasan dalam memenuhi apa yang menjadi bagiannya dengan kesadaran bahwa semuanya telah ditetapkan. Lebih lanjut Suseno (2001) menambahkan bahwa budaya Jawa sudah menyebar secara luas di Indonesia dan cukup menjadi icon bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, keramahtamahan khas suku ini juga menjadi kesan yang cukup mendalam dikarenakan tingginya nilai kerukunan dan penghormatan

Orang Jawa dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar. Orang Jawa menghendaki keselarasan, kerukunan dan keserasian pola pikir untuk hidup saling menghormati (Bratawijaya, 1997). Ciri utama yang khas dari kebudayaan Jawa yaitu sifat gotongroyong, apabila dilihat dari kacamata psikologi hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat Jawa memiliki motif untuk bersosialisasi. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki kemampuan menerima, bekerja sama, dan membuka diri, baik terhadap orang-orang yang berasal dari dalam golongannya sendiri (in-group) maupun yang berasal dari luar golongannya (


(29)

out-group). Lebih lanjut Susena (dalam Adyanto, 2005) menjelaskan bahwa masyarakat Jawa dalam kehidupan bermasyarakat menuntut agar setiap individu selalu dapat mengontrol diri dan dapat membawa diri dengan sopan dan tenang. Hal ini sejalan dengan ungkapan bang Sekar dan ibu Ida (50 tahun).

“karena abang orang Jawa kali ya jadi kalau ada masalah, misalnya ribut

sama kakak, abang lebih banyak mengalah karena gak mau jadi panjang masalahnya. Lagi pula kan enak hidup rukun toh”

Bang Sekar (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)

“dalam hal ini bapak yang Jawa. Kalau ibu perhatikan, bapak itu jarang

sekali mau terlibat dalam konflik. Kalaupun ada masalah, dia lebih baik diam dan tidak mau ribut. Ya….walaupun terkadang muncul juga emosinya, mungkin karena sebagai laki-laki kali ya jadi dia harus juga berani bersikap keras. Tapi yang ibu perhatikan kali yaitu sifat bapak yang selalu

nggeh-nggeh (mengangguk iya) setiap ibu bicara apalagi kalau ibu sedang marah.

Ibu Ida (Komunikasi Personal, 9 Januari 2012)

Berbeda dengan Jawa, Batak adalah suatu etnis dari daerah Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing. Orang Batak tidak seperti paradigma sebagian orang yang menganggap bahwa penampilan atau cara berinteraksinya kasar. Sebenarnya

“kasar” itu berarti orang Batak bicara dan bertindak dengan tegas, dimana mereka

memiliki sikap saling menguatkan, mempengaruhi dan dominan (Tinambunan, 2010). Lebih lanjut dikatakan bahwa orang Batak digambarkan sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, egois, terbuka, spontan, agresif, pemberani pada orang di luar suku Batak. Hal ini diperkuat dengan penuturan dari kak Eli mengenai kriteria orang Batak dan juga pada pasangan pernikahan beda etnis yaitu bapak Dedi (50 tahun) dan ibu Yani (48 tahun).

“Saya egois orangnya. Lebih tepatnya gak mau mengalah kalau lagi ribut…..


(30)

itu keras kepala. Iya benar, saya keras dek. Makanya mungkin abang banyak

mengalahnya sama saya.”

Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)

“Ibu orang Batak dan Om orang Jawa, ya kalau dalam rumah tangga kami

tidak bisa dipungkiri kalau tidak ada masalah. Masalah pasti datang lah, apalagi Ibu orangnya keras tuh dan Om sedikit sabar dan tidak banyak

bicara. Jadinya kalau kami bertengkar ya Ibu yang lebih cerewet.”

Bapak Dedi (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)

“saya sih sebenarnya memang seperti itu bawaannya dek, suara saya memang sedikit keras makanya kalau kami lagi berdebat ketika saya

ngomong kami jadi kelihatan berantam dan suasana jadi memanas”

Ibu Yani (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)

Teori yang telah dipaparkan di atas tentang karakter dan sikap orang Jawa dan Batak serta fenomena yang terjadi pada pasangan pernikahan Bapak Dedi dan Ibu Yani serta Bang Sekar dan Kak Eli, menguatkan bahwa orang Jawa memiliki sikap yang lemah lembut sementara orang Batak memiliki sikap yang lebih keras dalam berperilaku yang mereka tunjukkan. Secara umum ditemukan bahwa kebanyakan orang Jawa lebih memilih untuk diam dan menghindari konflik daripada bertengkar, karena cenderung menekankan pada kerukunan dan keharmonisan dalam hidup. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andayani (2001) bahwa di dalam keluarga Jawa ditemukan, ketika konflik pernikahan terjadi mereka cenderung menghadapinya dengan cara menghindari konflik tersebut. Berbeda dengan orang Batak yang terkenal spontan dan tidak takut berkonflik dengan orang lain karena mereka memiliki ajaran bahwa manusia adalah sederajat, tidak ada manusia istimewa lebih dari orang lain (Bangun, 1986 dalam Minauli, 2006). Hal ini tampak dalam keyakinan mereka bahwa setiap orang dapat memiliki kekuasaan sebagaimana tercermin dalam konsep “dalihan


(31)

na tolu” dimana setiap orang dapat berganti peran sesuai posisinya dalam berhadapan dengan seseorang (Tinambunan, 2010).

Menarik untuk diteliti ketika mengetahui bahwa suami adalah suku Jawa dan istri suku Batak. Menurut Hurlock (2004), pada dasarnya laki-laki dikenal dengan sisi maskulin, gagah dan berani (male power), berbeda dengan persepsi terhadap wanita yang dikenal dengan sisi feminim, lembut, dan lebih penakut. Seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga diharapkan akan menjadi figure yang disegani dan dihormati, akan berbeda maknanya apabila ditemukan suami yang lebih lemah daripada istri. Sesuai dengan pemaparan teori tentang suku Jawa dan Batak, maka peran yang seharusnya dimiliki suami sebagai seorang pemimpin menjadi hilang dengan didominasinya peran dari sang istri yang pada dasarnya bersuku Batak yang memiliki karakter sifat yang lebih keras dan tegas (Tinambunan, 2010). Berikut kutipan wawancara dengan ibu Yani dan bapak Dedi.

“misalnya nih kami lagi ribut masalah keuangan, ketika kami lagi berselisih faham saya tidak mau kalah dengan suami saya. Saya terus saja ngomel. Bahkan suara saya sampai keras sekeras-kerasnya, wajah saya pun mungkin sudah merah karena marah. Kalau uda seperti itu ya suami saya yang diam

dek”

Ibu Yani (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)

“ya kalau uda seperti itu ya Om pergi aja lah, dari pada dimarahi terus sama Ibu kan.”

Bapak Dedi (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)

Adanya perbedaan yang muncul pada pasangan pernikahan tentunya akan menimbulkan konflik bagi keduanya apabila mereka tidak mampu mengatasinya. Terlebih ketika kedua pasangan tidak mampu mencari solusi dari konflik yang


(32)

terjadi. Hal ini akan menuntun terjadinya konflik yang tiada hentinya dan pada akhirnya pertengkaran tidak dapat dielakkan (Sadarjoen, 2005).

Konflik merupakan kondisi ketika individu memiliki dorongan-dorongan yang tidak sejalan dan berlainan arah dengan yang harus dipenuhi secara bersamaan (Lewin, dalam Lindzey & Hall 1985: Shaw & Costanzo, 1982). Lebih lanjut Sadarjoen (2005) mengatakan konflik pernikahan merupakan konflik yang melibatkan suami istri dimana keduanya memiliki pandangan, nilai-nilai ataupun dorongan-dorongan yang tidak sejalan.

Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994)menyatakan bahwa dalam pernikahan akan ada tiga tahap yang dilalui pasangan, yaitu (1) fase blending yang terjadi pada tahun pertama yaitu pasangan belajar hidup bersama dan memahami satu sama lain, (2) fase nesting yang terjadi pada tahun kedua dan ketiga yaitu pasangan mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga mulai timbul konflik, (3) fase maintaining yang terjadi pada tahun keempat yaitu pasangan mulai dapat mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam pernikahan mereka. Berdasarkan dari ketiga fase dari tahap dalam pernikahan yang dilalui pasangan, fase kedua menjelaskan bahwa ada masa krisis yang dilalui oleh pasangan pada tahun kedua dan ketiga pernikahan dimana akan muncul konflik yang akan dihadapi oleh pasangan. Hal ini sejalan dengan penuturan dari Degenova (2008) bahwa konflik merupakan sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan dan tidak dapat dihindari.

Setiap konflik yang terjadi tentu ada cara-cara tersendiri dalam menghadapinya.Degenova (2008) menjelaskan tiga metode pengelolaan atau


(33)

menghadapi konflik dalam hububungan dengan orang lain khususnya hubungan pernikahan, yaitu avoidance, ventilation and catharsis, dan constructive and

destructive. Metode avoidance adalah metode dimana pasangan mencoba

mencegah konflik dengan menghindari orang yang bersangkutan. Metode

Ventilation dan catharsis artinya mengekspresikan/menyalurkan emosi dan

perasaaan negatif. Metode constructive merupakan bentuk dimana pasangan mengatasi konflik dengan memahami dan menghadapi masalahnya dan berkompromi dengan pasangan, sementara destructive adalah dengan menyerang orang yang bermasalah denganya (Degenova, 2008).

Menurut Degenova (2008), ketiga konflik ini berpeluang terjadi pada setiap pasangan pernikahan multikultural, dimana berdasarkan hasil wawancara kepada pasangan bapak Dedi dan ibu Yani terlihat jelas bahwa bapak Dedi yang merupakan orang Jawa menunjukkan perilaku yang avoidance dalam menghadapi konflik, hal ini terlihat pada wawancara di atas yang menunjukkan tindakan bapak Dedi saat mereka berkonflik, ia hanya diam dan pergi meninggalkan istrinya ketika selesai marah. Sementara ibu Yani yang merupakan orang Batak lebih menunjukkan perilakudestructivedimana ia tidak mau kalah saat berkonflik dengan suaminya, hal ini terlihat pada hasil wawancara yang dilakukan dimana ketika dirinya berselisih faham dengan suaminya, ia cenderung marah-marah dan terus menyerang suaminya.

McGonagle dkk (1994, dalam Dewi dan Basti 2008) menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan keadaan yang sudah biasa


(34)

terjadi dan akan senantiasa terjadi dalam kehidupan pernikahan. Sejalan dengan ungkapan bapak Dedi.

“Dalam pernikahan, kalau gak ada konflik itu diibaratkan seperti makan

sayur tanpa garam. Malah menurut saya agak aneh kalau ada pernikahan yang sama sekali bebas masalah. Yang seperti itu wajar-wajar aja lah”

(Komunikasi Personal, 25 November 2011)

Secara umum konflik yang muncul pada pasangan pernikahan tidak terlepas dari sumber yang melatarbelakanginya. Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik pernikahan memiliki empat sumber, yaitu (a) sumber pribadi, yaitu konflik yang berasal dari dorongan diri individu, naluri dan nilai-nilai yang berpengaruh serta saling berlawanan satu sama lain, (b) sumber fisik, yaitu konflik muncul akibat kelelahan fisik yang terjadi pada individu, (c) sumber hubungan interpersonal, yaitu konflik yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain, (d) sumber lingkungan, yaitu konflik diakibatkan oleh kondisi tempat tinggal, tekanan sosial dari keluarga, ketegangan budaya, dll. Setiap konflik yang muncul tentunya memiliki sumber, hal ini menjadi penting untuk diteliti karena dengan mengetahui sumber dari terjadinya konflik dapat membantu pasangan dalam menangani konflik pernikahannya.

Berdasarkan penuturan di atas, dapat diketahui bahwa konflik dalam pernikahan adalah hal yang wajar dialami setiap pasangan. Bahkan seorang terapis pernikahan menekankan bahwa dalam kondisi yang tepat, pertengkaran justru merupakan sesuatu yang cukup produktif yang dapat membuat kedua pasangan menjadi semakin dekat dan tidak membuat mereka semakin jauh, apalagi berpisah atau bercerai (Bach dn Wyden, 1970, dalam Sadarjoen 2005).


(35)

Namun bukan berarti setiap konflik yang muncul harus ditanggapi secara positif dan pasrah menerima keadaan (Sardarjoen, 2005). Konflik dalam pernikahan tentunya harus dihadapi dan diselesaikan oleh pasangan agar tidak berujung pada hasil yang tidak diharapkan. Setiap pasangan tentunya memiliki cara yang berbeda-beda dalam menghadapi konflik dalam rumah tangganya.

Pemaparan fenomena di atas membuat peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran konflik yang terjadi pada pasangan pernikahan, dimana pasangan pernikahan yang akan diteliti adalah yang berasal dari etnis Jawa-Batak. Penelitian yang dilakukan akan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat mengetahui gambaran dari konflik pernikahan yang sesuai dengan kehidupan pasangan beserta bukti empiris yang ada dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat (Bogdan & Taylor, dalam Moloeng, 2005).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana konflik pernikahan yang terjadi pada pasangan berlatarbelakang etnis Jawa-Batak?

2. Bagaimana metode menghadapi konflik yang dilakukan pada pasangan berlatar belakang etnis Jawa-Batak?

3. Apakah sumber yang melatarbelakangi terjadinya konflik pernikahan pada pasangan etnis Jawa-Batak?


(36)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalahuntuk memperoleh pengetahuan mengenai gambaran konflik pernikahan pada pasangan yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

1. Memberi masukan yang bermanfaat dan informasi bagi disiplin ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi perkembangan.

2. Menjadi masukan dan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti selanjutnya.

2.Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Para pasangan pernikahan multietnik akan mendapatkan informasi tentang gambaran konflik pernikahan, metode menghadapinya serta sumber-sumber yang menimbulkan konflik tersebut sehingga dapat meminimalisir konflik yang terjadi dalam pernikahan.


(37)

2. Masyarakat umum akan mengetahui dan memahami gambaran-gambaran konflik yang ada di dalam pernikahan sehingga dapat menjadi pertimbangan dan proses belajar untuk nantinya menjalani suatu pernikahan.

3. Para konselor pernikahan akan mendapatkan referensi dalam mencari data-data untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam pernikahan yang terjadi pada pasangan pernikahan multietnik.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur

dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.

BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan prosedur penelitian.

BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat mengenai hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang


(38)

tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.


(39)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konflik

1. Pengertian konflik

Secara umum Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik merupakan hal yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.

Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik (2005) bahwa konflik sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif yang lain. Bahkan


(40)

2. Konflik pernikahan

Finchman (1999) mendefenisikan konflik pernikahan sebagai keadaan suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan hal tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik. Konflik dalam pernikahan terjadi dikarenakan masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang unik dan berbeda(Sprey dalam Lasswell & Laswell, 1987).

Menurut Sadarjoen (2005) konflik pernikahan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi-persepsi dan harapan-harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan pernikahan.

Jadi konflik pernikahan adalah perselisihan yang terjadi antara suami istri yang disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan, tempramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usahan, keinginan atau tuntutan dari luar yang tidak sesuai.

3. Sumber-sumber konflik pernikahan

Degenova (2008) menyatakan bahwa konflik bisa muncul karena empat sumber. Sumber-sumber konflik tersebut terdiri dari:


(41)

1. Sumber pribadi

Konflik pribadi yang berasal dari dorongan dalam diri individu, naluri (instinct) dan nilai-nilai yang berpengaruh dan saling berlawanan satu sama lain. Adanya ketakutan irasional dan kecemasan neuroticyang terjadi pada individu seperti terlalu posesif menjadi sumber dasar dari perselisihan suami istri. Penyakit emosional lainnya seperti depresi juga bisa menjadi sumber perselisihan. Penyebab konflik utama individu melibatkan jauh di dalam jiwa individu tersebut, apalagi kecemasan yang berasal dari pengalaman pada masa kanak-kanak.

2. Sumber fisik

Kelelahan fisik adalah salah satu sumber lainnya. Kelelahan dapat menyebabkan individu cepat marah, tidak sabar, sedikitnya toleransi dan frustasi. Hal ini menyebabkan seseorang dapat berkata atau melakukan sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. Kelaparan, beban kerja berlebih, gula darah yang menurun dan sakit kepala juga merupakan beberapa sumber lainnya yang dapat menyebabkan konflik dalam pernikahan.

3. Sumber hubungan interpersonal

Konflik ini terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang tidak bahagia dalam pernikahannya lebih sering mengeluh tentang perasaan diabaikan, kekurangan cinta, kasih sayang, kepuasan seksual dan lainnya daripada orang-orang yang bahagia dalam pernikahannya. Individu merasa bahwa pasangan mereka terlalu membesar-besarkan masalah dan menganggap kecil usaha yang dilakukan serta menuduh mereka akan sesuatu. Kesulitan


(42)

menyelesaikan perbedaan dan kekurangan komunikasi juga menyebabkan pernikahan tersebut menjadi penuh konflik dan tidak bahagia.

4. Sumber lingkungan

Konflik ini meliputi kondisi tempat tinggal, tekanan sosial pada anggota keluarga, ketegangan budaya diantara keluarga dengan kelompok minoritas seperti diskriminasi dan kejadian yang tidak diharapkan yang dapat mengganggu fungsi keluarga. Sumber stress utama bagi keluarga adalah saat wanita yang memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, merawat anggota keluarga yang mengalami penyakit kronik. Hal ini dapat menyebabkan stress dan kesejahteraan dirinya menjadi berkurang dan pada akhirnya menimbulkan konflik dalam hidupnya.

4. Metode-metode menghadapi konflik pernikahan

Degenova (2008) membagi konflik ke dalam beberapa metode. Metode-metode ini digunakan individu untuk menghadapi konflik yang terjadi dengan pasangannya, metode-metode tersebut adalah:

a. Avoidance conflict

Konflik pertama ini merupakan metode dimana pasangan menghadapi konflik yang terjadi dengan cara menghindar. Mereka mencoba mencegah konflik dengan menghindari orang yang bersangkutan, situasinya dan hal-hal yang berhubungan dengan hal tersebut. Dengan menghindari masalah, untuk sementara keadaan memang cukup tenang tetapi masalahnya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-larut dan dapat merusak hubungan.


(43)

Pasangan yang tidak pernah melakukan usaha untuk menghindari pertentangan secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan-lahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lainnya. Sebagai hasilnya, akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya seperti sexual intercourse.

b. Ventilation and catharsis conflict

Metode konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu individu mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation artinya mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.

c. Constructive and destructive conflicts

Setiap pasangan tentu memiliki konflik, dan bagaimana seseorang mengatasi konflik mempengaruhi perkembangan pribadi mereka. Metode konstruktif

(constructive) yaitu pasangan mengahadapi masalah pernikahannya dengan lebih

memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisir emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.


(44)

Metode destruktif (destructive) yaitu menyerang orang yang bermasalah dengan dirinya. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkannya.

B. Pernikahan

1. Pengertian pernikahan

Pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa pribadi masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu, tetapi lebih pada persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru (Santrock, 2009).

Duvall dan Miller (1986) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami istri. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI tentang Perkawinan).

Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) menambahkan bahwa pernikahan menawarkan intimasi, komitmen, persahabatan, kasih sayang,


(45)

pemuasan seksual, pendampingan, dan peluang bagi pertumbuhan emosional serta sumber identitas dan kepercayaan diri yang baru.

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin yang sah antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran suami istri, adanya komitmen, keintiman, persahabatan, cinta dan kasih sayang dimana dua individu tersebutmembawa pribadi masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya.

2. Pernikahan antar budaya (Interculture)

Menurut Tseng (dalam McDemott & Maretzki, 1997) pernikahan antar budaya (intercultural marriage) adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek penting dalam pernikahan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, keyakinan dan kebiasaan, adat-istiadat dan gaya hidup budaya.

Koentjaraningrat (1981, dalam Sedyawati, 2003) menyatakan bahwa di dalam pernikahan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda dan suku yang berbeda. Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan, dimana ketidakcocokan tersebut memungkinkan dapat menimbulkan konflik di dalam hidup berumah tangga, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan maupun campuran tangan keluarga (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2


(46)

C. Budaya Jawa

1. Pengertian budaya Jawa

Budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah cukup tua, dianut secara turun temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa tersebut (Sedyawati, 2003). Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan, dimana setiap wilayah kebudayaan memiliki karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan falsafah-falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian (Sujamto, 1997 dalam Sedyawati, 2003).

Salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya oleh masyarakat Jawa adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat yang biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat (Sedyawati, 2003).

Endraswara (2003) mengatakan bahwa watak dasar orang Jawa adalah sikap

nrima. Nrima adalah menerima segala sesuatu dengan kesadaran


(47)

Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan. Mereka cenderung menerima dengan kesungguhan hati apapun hasilnya asalkan ada usaha yang lebih dulu dilakukan. Jika usaha yang dilakukan gagal, orang Jawa cenderung menerimanya sebagai sebuah pelajaran. Nrima bukan berarti tanpa upaya yang gigih, namun hanya sebagai sandaran psikologis. Hal ini berarti orang Jawa mempunyai kewajiban moral untuk menghormati tata kehidupan yang ada di dunia ini. Mereka harus menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil berusaha sebaik-baiknya dan menumbuhkan kedamaian jiwa serta ketenangan emosi. Ketika orang Jawa dihadapkan dengan suatu konflik, mereka cenderung menghadapinya dengan memilih untuk diam dan tidak rewel (melawan) karena

prinsip dasar dari kebanyakan orang Jawa adalah “lebih baik hidup rukun daripada harus berulah dengan orang lain”. Artinya orang Jawa begitu menjunjung tinggi sifat keramahtamahan dan nilai kerukunan antar sesama sehingga begitu menghindari konflik demi mencapai kedamaian dalam hidup (Suseno, 2001). Lebih lanjut Bratawijaya (1997) mengatakan bahwa orang Jawa dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar.

2. Nilai-nilai budaya Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1981 dalam Sedyawati, 2003) masyarakat Jawa memiliki sistem nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat pokok, yaitu:


(48)

1. Hakekat hidup

Orang Jawa memandang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan konsep religiusitas yang bernuansa mistis. Mereka sangat menghormati budaya, agama (Hindu dan Islam), dan kondisi geografis. Pada dasarnya masyarakat Jawa menerima yang telah diberikan Tuhan secara apa adanya, harus tabah dan pasrah dengan takdir serta ikhlas menerima segala hal yang diperolehnya.

2. Hakekat kerja

Bagi masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan cenderung beranggapan bahwa mereka harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya bagi masyarakat kelas menengah dan atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Bagi mereka bekerja adalah segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh, artinya untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya dan pengorbanan.

3. Hakekat waktu

Banyak orang berpendapat bahwa orang Jawa itu kurang menghargai waktu. Hal ini disebabkan karena ada pemahaman mereka bahwa melakukan segala sesuatu tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu pekerjaan dengan perlahan-lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa.


(49)

4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya

Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat. Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konfik. 5. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya

Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Artinya mereka berkewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia.

D. Budaya Batak

1. Pengertian budaya Batak

Batak adalah suatu suku atau etnis dari daerah Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing. Orang Batak Toba menyebutkan kampung halaman mereka sebagai Bonani

Pasogit atau tanah Batak yaitu daerah kelahiran yang menjalani kehidupan

sehari-hari berdasarkan falsafah-falsafah Batak yang dipegang kuat (Tinambunan, 2010). Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang cirri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi antara yang satu dengan yang lainnya yang saling mempengaruhi, saling


(50)

menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan yang diikat dengan sistem Dalihan Natolu (Tinambunan, 2010).

Orang Batak tidak seperti paradigma sebagian orang yang menganggap

bahwa penampilannya atau cara berinteraksinya kasar. Sebenarnya “kasar” itu

berarti orang Batak bicara dan bertindak tegas. Orang Batak digambarkan sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, egois, terbuka, spontan, agresif dan pemberani kepada orang-orang yang khususnya di luar suku Batak (Tinambunan, 2010). Dengan demikian, orang Batak terkenal tidak takut berkonflik dengan orang lain karena memiliki ajaran bahwa manusia adalah sederajat, tidak ada manusia istimewa lebih dari orang lain.

2. Nilai-nilai budaya Batak

Menurut Tinambunan (2010), orang Batak berpegang teguh pada nilai-nilai yang ditanamkan kepada mereka melalui 7 falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup, antara lain:

1. Mardebata

Mempunyai kepercayaan kepada Tuhan. Sejak zaman batu, orang Batak telah mengenal adanya Tuhan yang disebut Ompu Mulajadi Nabolon.Oleh karena itu, orang Batak selalu memperlihatkan hubungan yang dalam kepada Maha Pencipta. Adanya kepercayaan inilah yang membuat mereka selalu menjalin keakraban kepada sesama manusia yang diyakini bahwa setiap orang Batak yang semarga adalah saudara dan sesama saudara tidak boleh saling menyakiti sesuai dengan ajaran Tuhan.


(51)

2. Marpinompar

Mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya keturunan sebagai generasi penerus, khususnya anak laki-laki agar silsilahnya tidak terputus atau hilang. Oleh sebab itu, orang Batak yang belum punya anak laki-laki belum bisa dianggap mimiliki hagabeon (memiliki anak lengkap, perempuan dan laki-laki), walaupun sudah memilki hasangopan (terpandang) di masyarakat dan memiliki hamoraon (punya harta). Oleh karena itu tentunya sebagai orang Batak akan sangat diusahakan untuk memiliki keturunan terutama laki-laki. Ketika hal ini tidak terjadi maka keluarga ataupun suami istri akan selalu mempermasalahkan keadaan ini dalam kehidupan keluarga mereka. Terkadang hal inilah yang menjadi akar permasalahan dari pertengkaran yang terjadi pada pernikahan mereka.

3. Martutur

Mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga yang dikuatkan dengan

Dalihan Natolu, yaitu dongan sabutuha (semarga) dengan panggilan

kekerabatan. Martutur (saling memberitahukan marga dan urutan generasi ke generasi dalam susunan kekerabatan marga) sejak anak-anak telah diajarkan oleh orangtua. Oleh karena itu kekerabatan masyarakat Batak dalam setiap pertemuan baik dalam suka dan duka merupakan konsepsi sistem dalam menjalankan Dalihan Notulu.

4. Maradat

Mempunyai adat-istiadat dengan pelaksanaan dalihan notulu (tiga tungku) yang implementasinya hormat kepada keluarga pihak istri, hati-hati kepada


(52)

yang semarga, dan mengasihi kepada boru (anak perempuan kita beserta keluarga). Hal ini membuktikan bahwa orang Batak saling menghormati dan mengasihi antar sesama keluarga.

5. Marpangkirimon

Mempunyai pengharapan (cita-cita), yakni mencapai hamoraon (pencapaian harta/materi), hagabeon (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan), dan

hasangapon (punya kedudukan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat).

Hal ini yang menyebabkan orang Batak sangat begitu antusias dan keras dalam menghendaki dan memperoleh sesuatu.

6. Marpatik

Mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat semua masyarakat Batak untuk tidak berbuat anarkis, dan lengkap dengan sanksi, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan raja-raja dan harus dihormati semua pihak. Umumnya ini terjadi pada masyarakat Batak yang masih menganut sistem tradisional. Walaupun begitu tetap pada masyarakat Batak, ada aturan yang ditetapkan kepada mereka untuk tidak berperilaku kasar dan berbuat anarkis kepada orang lain. Pada dasarnya yang membuat orang Batak sering marah-marah dan berperilaku anarkis adalah karena hal tersebut sudah di luar batas kewajaran dan tidak dapat ditolerir lagi.

7. Maruhum

Mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja huta (raja kampung) berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua pihak dan tidak boleh diubah-diubah atau dilanggar oleh siapa pun.


(53)

Dari hukum yang berlaku, masyarakat Batak harus siap menghadapi dan mengatasi 8 (delapan) penyakit hati, yaitu buruk sangka, buruk lisan, dengki, dendam, marah, menggunjing, serakah, dan ria/pamer. Selain itu memiliki kemampuan mewujudkan 7 (tujuh) sasaran utama jati diri, yaitu jati diri jelas, semangat tinggi, wawasan luas, pengendalian diri, dapat membaca situasi, persuasive dan soleder (setia kawan.

E. Dewasa Awal

1. Pengertian dewasa awal

Hurlock (2004) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18 sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Berbeda dengan Vaillant (dalam Papalia, 2008) yang membagi tiga masa dewasa awal yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan pernikahan. Masa transisi (sekitar usia 40 tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam


(54)

masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis sesuai dengan tugas-tugas perkembangan dan berusia antara 20 hingga 40 tahun.

2. Tugas-tugas perkembangan dewasa awal

Havighurs (dalam Hurlock, 2004) mengatakan bahwa dewasa awal memiliki tugas-tugas perkembangan yang akan dipenuhi, yaitu:

1.Mencari dan menemukan calon pasangan hidup

2. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak

3. Meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga. 4. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab

5. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

F. Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak

Pernikahan merupakan hubungan sakral yang terjadi pada suami istri. Hubungan pernikahan tidak pernah statis, namun secara konstan berubah-ubah dan semakin berkembang. Terkadang hubungan ini membuat frustasi, tidak memuaskan dan bermasalah karena pada dasarnya terdapat dua individu dari latar belakang dan nilai yang berbeda disatukan dalam ikatan pernikahan (Degenova, 2008).

Pada pernikahan perlu ada penyesuaian pernikahan, agar pasangan dapat menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik dan tentram. Oleh karena itu, penyesuaian dalam pernikahan adalah penting untuk dilakukan. Menurut


(55)

Degenova (2008) banyak pasangan mengetahui bahwa pernikahan tidak berjalan seperti yang mereka inginkan karena akan ada konflik yang menghampiri pernikahan mereka. Akibatnya, mereka perlu melalui beberapa penyesuaian dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai tingkatan kepuasan paling tinggi dengan frustasi paling rendah.

Penyesuaian pernikahan dilakukan oleh semua pasangan, tidak terbatas pada pasangan yang memiliki perbedaan. Hanya saja akan ditemui perbedaan dalam melakukan penyesuaian pernikahan ketika terdapat pasangan yang memiliki karakter, etnis serta nilai-nilai yang sama satu sama lain dimana akan lebih dengan pasangan yang menikah beda etnis. Perbedaannya terletak pada adanya kesepahaman dan kesepakatan yang lebih mudah dilakukan oleh pasangan satu etnis daripada pasangan beda etnis (Bernard, dalam Santrock, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin dkk (dalam Dewi dan Basti, 2008) diperoleh bahwa konflik akan senantiasa terjadi dalam kehidupan pernikahan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitiannya dimana 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai masalah, dan 32% pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan dan konflik dalam pernikahan.

Pernikahan umumnya terjadi pada masa dewasa awal yaitu pada rentang usia 20-40 tahun (Papalia, 2008). Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan yang dituturkan oleh Havighurs (dalam Hurlock, 2004), yang menjelaskan bahwa


(56)

salah satu tugas perkembangan usia dewasa awal adalah mencari dan menemukan calon pasangan hidup.

Secara umum banyak dijumpai pernikahan yang terjadi dari penyatuan dua budaya atau latar belakang etnis yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penuturan McDermott dan Maretzki (1997) bahwa pernikahan beda budaya merupakan suatu hal yang biasa terjadi pada masyarakat Indonesia. Terlebih dengan keadaan geografis Indonesia dimana banyak ditemui wilayah-wilayah yang tentunya masing-masing memiliki keragaman suku dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan besarnya kemungkinan untuk terjadinya pernikahan antar budaya dimana disatukannya dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan suku yang berbeda yang dapat menimbulkan ketidakcocokan (Koentjaraningrat, 1981 dalam Sedyawati 2004).

Salah satu fenomena pernikahan beda etnis yang terjadi adalah pasangan pernikahan beda etnis pada suku Jawa dan Batak. Suku Jawa merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia dan sampai sekarang masih merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia karena hampir menyebar merata di seluruh pelosok tanah air. Keunikan dari masyarakat Jawa yang dikenal dengan sikap yang sopan santun, lamban, lemah lembut, ramah dan sabar menjadikan suku ini memiliki khas dengan nilai keramahtamahan n kerukunan yang tinggi (Bratawijaya, 1997). Berbeda dengan Jawa, suku Batak dikenal dengan anggapan kebanyakan masyarakatnya adalah orang-orang yang keras dan cenderung secara tegas dan langsung dalam menjalani suatu pekerjaan tanpa ada toleransi dari apa pun,selain itu juga orang Batak digambarkan sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara


(57)

keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani pada orang di luar suku Batak (Tinambunan 2010).

Adanya perbedaan yang muncul pada pasangan pernikahan dari latar belakang etnis Jawa dan Batak, pastinya akan membuat pasangan ini melakukan penyesuaian dalam pernikahan mereka dimana dalam proses ini akan muncul konflik di dalam pernikahan mereka. Terlebih ketika kedua pasangan tidak mampu mencari solusi dari konflik yang terjadi (Sadarjoen, 2005).

Menurut Hurlock (2004), laki-laki merupakan seseorang yang harus memiliki male power dengan sifatnya yang maskulin, gagah, tegas dan berani, sebaliknya perempuan yang dikenal dengan lebih feminim dan lembut. Hal ini menarik untuk diteliti ketika male power yang harus dimiliki laki-laki menjadi hilang ketika ada pengaruh dari latar belakang etnis Jawa yang dikenal sebagai orang yang lemah dan menurut. Berbeda dengan perempuan yang seharusnya lemah lembut serta menurut kepada suami, tetapi karena adanya pengaruh dari budaya Batak yang karakternya keras, tekun dan tegas menjadikan istri memiliki peran yang lebih dominan daripada suami (female power). Hal inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan ketegangan sehingga memunculkan konflik.

Konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan dimana dua orang tidak pernah selalu setuju pada sesuatu. Banyak keputusan yang bisa saja membuat pasangan kecewa, frustasi dan membutuhkan penyesuaian antara satu sama lain. Beberapa pasangan memiliki konflik lebih banyak dibandingkan pasangan lainnya, dan beberapa pasangan bisa mengatasinya dengan cara yang


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adyanto. (2005). Hubungan antara Prasangka Etnis dengan Sikap Terhadap Pernikahan Campuran pada Etnis Jawa-Tionghoa. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Andayai, Budi. (2001). Marital Conflict Resolution of Middle Class Javanese Couples.Jurnal Psikologi Ilmiah. No. 1.

Bangun, T. (1986). Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Idayu Press.

Bratawijaya, Thomas. (1997). Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Pramita.

Degenova, Maty Kay. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families.NewYork: The Mc Graw – Hill Companies.

Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitative Research. Newbury Park: CA: Sage.

Dewi, E.M., & Basti. (2008). Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri. Ejournal Gunadarma (Online).

Available FTP:

http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/243/184. tanggal akses: 16 Oktober 2011.

Duvall, E.M.,& Miller, B.C. (1985). Marriage and Family Development. 6th Edition.New York : Harper & Row Publishers.

Edi, Sedyawati, Prof., Dr. (2004). Budaya Jawa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT. Endraswara, S. (2003). Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita

Graha Widya.

Hall, C. S., Lindzey, G., Loehlin, J. C., Manosevitz, M. (1985). Introduction to Theories of Personality. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Hoffman, L.N., Paris, S.G., & Hall, E. (1994). Developmental Psychology Today. NewYork: McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. (2004). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.


(2)

Koentjaraningrat. (1981). Manusia Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan Laswell, M., & Laswell, T. (1987). Marriage and the Family. Inc California:

Wadsworth.

Matsumoto, D.,& L. Juang. (2008). Culture and Psychology. United States: Wadsworth.

McDermott, J.F., & Maretzki, T.W. (1977). Adjustment Intercultural Marriage.Honolulu : The University of Hawaii.

Minauli, Irna.,Desriani, Nilva., & Tuapattinaya, Yossetta, M.R. (2006). Perbedaan Penanganan Kemarahan pada Situasi Konflik dalam Keluarga Suku Jawa, Batak dan Minangkabau.Jurnal Ilmiah Psikologi.Volume 2, No. 1.

Mulder, N. (1985). Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rodakarya Offset.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Natalia, D., & Iriani, F. (2002). Penyesuaian Perempuan Non-Batak TerhadapPasangan Hidupnya Yang Berbudaya Batak. Jurnal Ilmiah Psikologi.No.VII.27-36.

Papalia, D.E., Old, S.W, & Feldman, R.D. (2008). Human Development (Ed. 9). Jakarta: Kencana.

Patton, M.Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (Ed. 2). Newbury Park, CA: Sage.

Plotnik, R. (2005). Introduction to psychology, 7th ed. New York : Wadsworth. Poerwandari, K. (2009). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku

Manusia.Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia.

Prabowo, M.R.,& Puspitawati, I. (2006). Marriage Adjustment in Couples That Has Background Batakness and Javaness. (Online). Available FTP: http://gunadarma.ac.id/index.php/psychology/article/view/265/241. tanggal akses: 29 Agustus 2011.


(3)

Sadarjoen, S.S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif Solusinya. Bandung: Refika Aditama.

Santrock, John W. (2009). Life SpanDevelopment (12th Ed). New York: McGraw-Hill International.

Tinambunan, Djapiter. (2010). Orang Batak Kasar? Membangun Citra dan Karakter. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN). (Online). Available FTP: sdm.ugm.ac.id/main/sites/sdm.ugm.ac.id/arsip/…/UU_1_1_1974.pdf.

Tanggal akses: 02 Januari 2012.

Weiten, W. (2004). Psychology, Themes and Variations. New York : Wadsworth. Wuryandari, Mya, dkk. (2010). Perbedaan Persepsi Suami Istri terhadap Kualitas

Pernikahan antara yang Menikah dengan Pacaran dan Ta’aruf. Eprints

Undip (Online). Available FTP:

http://eprints.undip.ac.id/24792/1/jurnal_MYA_WURYANDARI_M2A003 044.pdf.

Tanggal akses: 15 November 2011.

www.bps.go.id. (2010). Penduduk Indonseia menurut Provinsi. (tanggal akses 29 Februari 2012).


(4)

PEDOMAN WAWANCARA

Wawancara yang akan dilakukan meliputi:

1. Latar belakang dari kehidupan pernikahan responden 2. Konflik pernikahan yang dialami responden

3. Faktor-faktor yang menjadi sumber terjadinya konflik dalam pernikahan responden

Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan meliputi: 1. Konflik pernikahan

a. Pandangan mengenai perbedaan maupun persamaan yang terjadi pada anda dan pasangan yang mengakibatkan konflik

b. Pandangan mengenai konflik yang terjadi dalam pernikahan c. Bagaimana menyikapi konflik yang terjadi dalam pernikahan

d. Hal-hal yang dilakukan oleh anda dan pasangan ketika muncul konflik dalam pernikahan

2. Sumber-sumber konflik pernikahan

a) Secara umum, kebanyakan konflik yang muncul bersumber dari mana? b) Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konflik dalam

pernikahan anda?


(5)

LEMBAR OBSERVASI

Responden : Hari/Tanggal : Waktu : Tempat :

Hal-hal yang diobservasi : 1. Penampilan fisik partisipan 2. Tempat wawancara

3. Perilaku partisipan saat wawancara

4. Perilaku pastisipan kepada peneliti yang mewawancarai 5. Perubahan ekspresi wajah selama wawancara berlangsung


(6)

INFORMED CONSENT

Lembar Pernyataan Persetujuan oleh Responden

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA :

ALAMAT :

UMUR :

TELP :

Dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun bersedia untuk diwawancarai sebagai partisipan dan berperan serta dari awal hingga selesai dalam penelitian saudari :

NAMA :

ALAMAT :

UMUR :

TTL :

Dengan persyaratan :

1. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta tujuan dan manfaat penelitiannya.

2. Menjaga kerahasian dari identitas diri dan informasi yang diberikan dan hanya untuk tujuan penelitian saja.

Demikianlah surat pernyataan persetujuan saya setujui dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Semoga surat ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Medan, Maret 2012

Responden. Peneliti,

( ) (Mawaddah Hasanah)