1. Pengertian Pernikahan
Duvall dan Miller 1986 mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri.
Suami dan istri membawa budaya dan kebiasaan asli mereka kemudian membangun budaya baru di dalam keluarga
mereka sendiri di dalam pernikahan. Pasangan suami istri mendamaikan perbedaan nilai-nilai dan dan pemahaman yang telah mereka sosialisasikan di
dalam perkembangan pribadi masing-masing Godman Nanba dalam Yabuki, 2005.
Gardiner Myers dalam Papalia, 2007 menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang,
pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat
yang bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung
jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya.
2. Tahap-Tahap Pernikahan
Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga
mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle Hill Rodgers, dalam Sigelman Rider, 2003. Secara umum, Anderson, Russel Schumn
dalam Hoyer Roodin, 2003 membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak setelah keluarnya anak dari
rumah. Sementara, Cole dalam Lefrancois, 1993 membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran mengasuh anak emptynest sampai usia
tua.
a. Tahap I : Pasangan Awal Married Couple
Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah berakhir ketika anak
pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama Hurlock, 1999, yaitu:
a Penyesuaian dengan pasangan
Penyesuaian dengan pasangan merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan
dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan- kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah
kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.
b Penyesuaian seksual
Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak
dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita
sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu
menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami Rubin, dalam Hurlock, 1999
c Penyesuaian keuangan
Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri
harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi
awal percekcokan antara suami dan istri d
Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis
memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenekkakek, yang
kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya.
Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.
b. Tahap II: Membesarkan Anak Childrearing
Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun
Duvall,dalam Lefrancois, 1993. Rata-rata masa awal menjadi orangtua
merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif Cowan Cowan; Monk et al, dalam Sigelman Rider,
2003. Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita
dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak Levy Shiff, dalam Sigelman Rider, 2003.
Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic Booth dalam
Sigelman Rider, 2003 bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat
stres orangtua O‟ Brien, dalam Sigelman Rider, 2003. Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun
sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua
dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. Kurdek, 1999.
c. Tahap III: Kekosongan Emptynest
Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan
atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah Hoyer Roodin, 2003. Tahap emptynest
dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun Duvall, dalam Lefrancois, 1993. Usia
rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah, sedangkan menurut Hurlock 1999, tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49
tahun. Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua
mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom Emptynest Hoyer Roodin, 2003. Hal ini didukung oleh penelitian Rubin
dalam Lefrancois, 1993 bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak
orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat
dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benarbenar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka
kembali lagi ke rumah Glick Lin, dalam Lefrancois, 1993. Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka
berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja.
Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun Rollin Feldman, dalam Lefrancois, 1993 dan usia tua
Foner Schwab, dalam Lefrancois, 1993.
3. Pernikahan Beda Etnis Batak Toba-Tamil
a. Pengertian Pernikahan beda etnis
Menurut Tseng dalam McDermott Maretzki, 1977, pernikahan beda etnis intercultural marriage adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki
dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam perkawinan juga disatukan dua
budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku yang berbeda Koentjaraningrat, 1981. Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan
ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga
Purnomo dalam Natalia Iriani, 2002. Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan
beda etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Secara khusus, pernikahan beda etnis Batak
Toba-Tamil adalah perkawinan yang terjadi antara priawanita yang berasal dari latar belakang etnis Batak Toba dengan wanitapria etnis Tamil.
b. Etnis Tamil
Sejak pertengahan abad ke-19, buruh-buruh dari Cina, India, Arab dan pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Migran dari India yang
datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan Tamil dan juga orang Bombay serta Punjabi Mani, 1980. Sebuah laporan menyebutkan
bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 yang menganut agama Hindu, 28 agama Budha,
4,5 beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 yang beragama Islam Napitupulu, 1992.
Suku Tamil memiliki hubungan yang harmonis dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara karena latar belakang budaya dan ekonomi yang tidak
terlalu berbeda. Hal ini disebabkan karena proses-proses adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan berlangsung lebih intensif dengan komunitas-
komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjabi. Kenyataan bahwa orang-orang Tamil lebih terfragmentasi berdasarkan agama membuat
mereka lebih terbuka untuk berubah sehingga sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur memudar. Salah satu contoh adaptasi tersebut antara
lain pernikahan eksogami dari dua generasi terakhir suku Tamil di kota Medan dengan kelompok suku lain seperti etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak
Toba Lubis, 2005. Pernikahan dalam suku Tamil dipercaya menjadi suatu ikatan dan
hubungan seumur hidup sehingga mereka tidak mudah memutuskan untuk bercerai. Suku Tamil lebih menyukai pernikahan yang sederhana dan seadanya
dibandingkan suku India lainnya. Hal yang terutama dalam pernikahan Tamil adalah kehadiran semua keluarga, teman dan tetangga untuk mendoakan
kebahagiaan pengantin pria dan wanita di masa yang akan datang. Gopal, 2010
c. Etnis Batak Toba
Masyarakat di luar suku Batak menggambarkan orang Batak Toba sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani,
rentenir, preman, suka minum tuak, suka main catur, pandai main gitar, inang- inang, dan perantau Irmawati, 2007. Suku Batak Toba merupakan masyarakat
patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk perkawinan eksogami marga yaitu
perkawinan dengan orang di luar kelompokklan marga Bangun, 1982. Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah
perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba. Jika seorang yang
bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga. Pemberian marga kepada laki-laki disebut
manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon Bruner, 1994. Pernikahan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral.
Hal ini dikarenakan pemahaman bahwa pernikahan bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan parboru yang memberikan satu nyawa manusia
yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yaitu pihak pengantin pria paranak. Kedua pihak akan menjadi besan sehingga pihak pria juga harus
menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan sapi atau kerbau yang kemudian
mejadi santapan dalam pesta pernikahan. Bangun, 1982.
4. Masalah-masalah dalam Pernikahan Beda Etnis