Pengaruh Pengawasan Dan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Sakit Umum Daerah Kisaran

(1)

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT

DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN

TESIS

Oleh JONI SIAGIAN

107032125/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT

DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh JONI SIAGIAN 107032125/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PENGAWASAN DAN

KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI

NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN

Nama Mahasiswa : Joni Siagian Nomor Induk Mahasiswa : 107032125

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes) Ketua

(Drs. Eddy Syahrial, M.S) Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 14 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes Anggota : 1.Drs. Eddy Sahrial, M.S

2.dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K 3.Drs. Tukiman, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT

DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak teradapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

JONI SIAGIAN 107032125/IKM


(6)

ABSTRAK

Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada petugas di rumah sakit. Permasalahan adalah apakah ada pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran. Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Hipotesis, ada pengaruh antara pengawasan maupun kepatuhan terhadap penggunaan APD.

Jenis penelitian survei deskriptif analitik dengan teknik cross sectional. Jumlah populasi tenaga perawat sebanyak 247 orang dan sampelnya sebanyak 97 orang. Tahap analisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik ganda.

Hasil penelitian bahwa 88,7% dinyatakan pengawasan rumah sakit kurang baik dan 11,3% dinyatakan pengawasannya baik dan mengenai kepatuhan perawat sebanyak 76,3% dinyatakan patuh, dan 23,7% perawat tidak patuh, hasil observasi penggunaan APD sebanyak 71,1% perawat menggunakan APD dan 28,9% perawat tidak menggunakan APD. Melalui uji chisquare bahwa variabel independen mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap penggunaan APD, pada variabel pengawasan ditemukan hasil p=0,460, dan kepatuhan p=0,000. Berdasarkan uji regresi logistik ganda diketahui variabel pengawasan p=0,103 dan kepatuhan p=0,000. Kesimpulan bahwa variabel pengawasan merupakan variabel yang berkontribusi terbesar dalam memengaruhi perawat dalam menggunakan APD pada pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran

Disarankan pada pihak rumah sakit untuk wajib memfasilitasi, melengkapi sarana APD sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang kesehatan dan keselamatan kerja dan diharapkan kepada pihak rumah sakit khususnya pimpinan atau petugas terkait harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan dalam pengawasan pada penggunaan APD. Dan diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk memberikan sanksi yang tegas dan penghargaan kepada perawat agar termotivasi memakai APD.


(7)

ABSTRACT

APD (Self Protection Device) is a device which is used to protect the body from the danger of job accident. The risk of nosocomial infection does not only affect patients in a hospital, but can also affect nurses. The problem is whether there is the influence of supervision and obedience of the nurses on the use of APD in preventing nosocomial infection at RSUD (Regional General Hospital) Kisaran. The aim of the research was to know the influence of supervision and obedience on the nurses’ use of APD in preventing nosocomial infection. The hypothesis showed that there was the influence of supervision and obedience on the use of APD.

The type of the research was descriptive analytic with cross sectional technique. The population was 247 nurses; 97 of them were used as the samples. The data were analyzed by conducting univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by multiple logistic regression tests.

The result of the research showed that the supervision in the hospital was bad (88.7%), the supervision was good (11.3%), the nurses’ obedience was good (76.3%), and the nurses’ obedience was bad (23.7%). The result of the observation about using APD showed that 71.1% of the nurses used APD, and 28.9% of them did not use APD. The result of chi square test showed that the independent variable had significant influence on the use of APD; in the variable of supervision, the result was p=0.460, and in the variable of obedience, the result was p=0.000. The result of the multiple logistic regression tests showed that the variable of supervision was p=0.103 and the variable of obedience was p=0.000. The conclusion was that the variable of supervision had the biggest contribution in influencing the nurses to use APD in preventing nosocomial infection at RSUD Kisaran.

It is recommended that the management of the hospital should facilitate, improve, and prepare APD device, according to the health law and job safety, the management or the supervisors on duty should examine, inspect, control, and be active in supervising the use of APD. The management of the hospital should give sanction imposed on the nurses who are not obedient in using APD and give reward to those who are obedient in using APD so that they will have motivation in increasing the prevention from nosocomial infection.


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang dan puji syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Allah SWT serta atas rahmat, karunia dan izinNya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PENGARUH PENGAWASAN dan KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN TAHUN 2012” dapat diselesaikan dengan baik.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP) pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr.dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara


(9)

4. Dr.Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 6. Drs. Eddy Syahrial, M.S, Sebagai Anggota Komisi Pembimbing tesis yang

telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 7. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku Ketua penguji yang telah banyak

memberikan masukan dan saran guna untuk penyempurnaan tesis ini.

8. Drs. Tukiman, M.K.M, selaku anggota penguji yang telah memberikan masukan dan saran guna untuk penyempurnaan tesis ini.

9. dr. Nilwan Arif, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran yang memberikan izin bahwa RSUD Kisaran dijadikan sebagai objek penelitian. 10.Ayah M. Siagian dan Ibunda N.Manurung, selaku orang tua yang telah banyak

memberikan bantuan, motivasi dan do’a selama penulis menyelesaikan pendidikan Program S2 Pasca Sarjana IKM – FKM USU.

11.Istriku tercinta Rosmaliza Sinaga, AM.Keb dan putraku tersayang Hafiz Aldwin Siagian, Anggi Al-Kahfi Siagian, Mora Alhady Ahsyar Siagian serta Hatta Rafli Al-Azhar Siagian, yang telah banyak berkorban baik moril, materil selama penulis menyelesaikan pendidikan.

12.H. Sofyan As dan Hj. Hajizah Hasibuan, selaku Pengurus Yayasan Perguruan Gita Matura Abadi Kisaran.


(10)

13.Seluruh Staf dan Dosen pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

14.Staf dan Dosen serta mahasiswa/i Akademi Perawatan Yayasan Perguruan Gita Matura Abadi Kisaran.

15.Rekan-rekan mahasiswa/i Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU khususnya Peminatan Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku (PKIP) Tahun Akademi 2010/2011 yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan serta saling berbagi suka dan duka selama mengikuti pendidikan.

16.Adinda Yulia Rizki, SKM, dan seluruh keluarga yang telah banyak memberikan bantuan, semangat selama mengikuti pendidikan.

Akhir kata penulis menyampaikan “ Tak ada gading yang tak retak “ artinya bahwa penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.

Medan, September 2012 Penulis

Joni Siagian 107032125/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sidomulyo pada tanggal 1 Januari 1966 dan saat ini berdomisili di Jalan Rebung Siumbut-Umbut Kecamatan Kisarann Timur dan putra pertama dari Bapak H.Mahadi Siagian dan Hj. Nursia Manurung. Pendidikan sekolah dasar di SD Taman Siswa Sidomulyo tahun 1972 dan lulus tahun 1978, Sekolah Menengah Pertama di SMP Sepakat Sei Balai tahun 1978 dan lulus tahun 1981, Sekolah Menengah Atas di SMA Pattimura Tanjung Balai tahun 1981 dan lulus tahun 1984. Tahun 1984 melanjutkan pendidikan di Akademi Perawatan (D-III) Universitas Darma Agung tahun 1984 dan lulus tahun 1988.

Tahun 1989 memulai karier sebagai staf pengajar di SPK Pemda Kabupaten Asahan sampai tahun 2006 dan selanjutnya kerja di Akper Yagma Kisaran sebagai dosen tetap sejak tahun 1994 sampai sekarang, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan S1 di FKM USU Medan tahun 2000 dan lulus tahun 2002.

Sejak tanggal 27 Agustus tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi S2 IKM di FKM USU dan pada hari rabu tanggal 2 Mei 2012 penulis mengikuti ujian proposal di ruang 17 FKM dan selanjutnya pada hari sabtu tanggal 21 Juli 2012 ujian seminar hasil penelitian dengan judul : ” Pengaruh Pengawasan dan Kepatuhan terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran ” dan terakhir penulis mengikuti ujian komprehensif pada hari selasa pada tanggal 14 Agustus 2012 dan Alhamdulillah penulis dinyatakan lulus dan sukses sehingga berhak untuk menyandang gelar Magister Kesehatan (M.Kes).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Dasar-dasar Proses Pengawasan ... 8

2.1.1. Pengertian Pengawasan ... 8

2.1.2. Tipe-tipe Pengawasan ... 9

2.1.3. Tahap-tahap dalam Proses Pengawasan ... 10

2.1.4. Karakteristik-karakteristik Pengawasan ... 13

2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian ... 15

2.3. Konsep Kepatuhan ... 19

2.4. Determinan Perilaku ... 21

2.5. Alat Pelindung Diri ... 22

2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 24

2.7. Kerangka Konsep ... 36

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 37

3.1. Jenis Penelitian ... 37

3.2. Lokasi danWaktu Penelitian ... 37

3.3. Populasi dan Sampel ... 38

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 39

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 40

3.6. Metode Pengukuran ... 41


(13)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 45

4.1. Gambaran Umum RSUD Kisaran ... 45

4.2. Karakteristik Responden ... 49

4.3. Analisis Univariat... 50

4.4. Gambaran Kepatuhan terhadap Penggunaan APD ... 54

4.5. Gambaran Observasi Sarana APD ... 59

4.6. Gambaran Observasi Penggunaan APD... 60

4.7. Hasil Analisis Observasi Penggunaan APD ... 61

4.8. Hasil Analisis Bivariat ... 62

4.9. Hasil Analisis Multivariat ... 63

BAB 5. PEMBAHASAN ... 65

5.1. Karakteristik Responden ... 65

5.2. Gambaran Pengawasan di RSU Daerah Kisaran ... 68

5.3. Gambaran Kepatuhan di RSU Daerah Kisaran ... 69

5.4. Gambaran Observasi Sarana dan Prasarana ... 74

5.5. Gambaran Observasi Penggunaan APD... 75

5.6. Pengaruh Pengawasan terhadap Penggunaan APD... 80

5.7. Pengaruh Kepatuhan terhadap Penggunaan APD ... 81

BAB 6. KESIMPULAN dan SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86


(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1. ` Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 49

4.2. Distribusi Frekuensi Pengawasan Penggunaan APD ... 50

4.3. Distribusi Frekuensi pada Kegiatan Pengawasan ... 51

4.4. Distribusi Frekuensi Bentuk Standar Operasional Prosedur ... 51

4.5. Distribusi Frekuensi Cara Pengukuran Pengawasan ... 52

4.6. Distribusi Frekuensi Analisis Penyimpangan atau Kesalahan ... 52

4.7. Distribusi Frekuensi Pengawasan yang Dilakukan ... 53

4.8. Distribusi Hasil Analisis Frekuensi Pengawasan ... 53

4.9. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Intruksi... 54

4.10. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Interaksi ... 55

4.11. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Isolasi ... 56

4.12. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat Berdasarkan Motivasi ... 57

4.13. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Perawat pada Penggunaan APD . 58

4.14. Distribusi Frekuensi Observasi Sarana dan Prasarana APD ... 59

4.15. Distribusi Frekuensi Observasi Penggunaan APD ... 60

4.16. Distribusi Frekuensi Hasil Observasi Penggunaan APD ... 61

4.17. Hasil Analisis Pengaruh Pengawasan Observasi APD ... 62

4.18. Hasil Analisis Pengaruh Kepatuhan pada Penggunaan APD ... 63

4.19. Tingkat Kemaknaan Hasil Analisis Bivariat ... 63


(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Tahap-tahap Pengawasan ... 13 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 35


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuisioner Penelitian ... 94

2. Master Data ... 100

3. Tabel Hasil Pengolahan Data SPSS ... 104

4. Surat Izin Survei Studi Pendahuluan ... 135

5. Surat Izin Penelitian dari Program S2 Pasca Sarjana FKM USU ... 136


(17)

ABSTRAK

Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja. Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada petugas di rumah sakit. Permasalahan adalah apakah ada pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran. Tujuan Penelitian untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial. Hipotesis, ada pengaruh antara pengawasan maupun kepatuhan terhadap penggunaan APD.

Jenis penelitian survei deskriptif analitik dengan teknik cross sectional. Jumlah populasi tenaga perawat sebanyak 247 orang dan sampelnya sebanyak 97 orang. Tahap analisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik ganda.

Hasil penelitian bahwa 88,7% dinyatakan pengawasan rumah sakit kurang baik dan 11,3% dinyatakan pengawasannya baik dan mengenai kepatuhan perawat sebanyak 76,3% dinyatakan patuh, dan 23,7% perawat tidak patuh, hasil observasi penggunaan APD sebanyak 71,1% perawat menggunakan APD dan 28,9% perawat tidak menggunakan APD. Melalui uji chisquare bahwa variabel independen mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap penggunaan APD, pada variabel pengawasan ditemukan hasil p=0,460, dan kepatuhan p=0,000. Berdasarkan uji regresi logistik ganda diketahui variabel pengawasan p=0,103 dan kepatuhan p=0,000. Kesimpulan bahwa variabel pengawasan merupakan variabel yang berkontribusi terbesar dalam memengaruhi perawat dalam menggunakan APD pada pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran

Disarankan pada pihak rumah sakit untuk wajib memfasilitasi, melengkapi sarana APD sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang kesehatan dan keselamatan kerja dan diharapkan kepada pihak rumah sakit khususnya pimpinan atau petugas terkait harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, inspeksi, pengendalian dan berbagai tindakan dalam pengawasan pada penggunaan APD. Dan diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk memberikan sanksi yang tegas dan penghargaan kepada perawat agar termotivasi memakai APD.


(18)

ABSTRACT

APD (Self Protection Device) is a device which is used to protect the body from the danger of job accident. The risk of nosocomial infection does not only affect patients in a hospital, but can also affect nurses. The problem is whether there is the influence of supervision and obedience of the nurses on the use of APD in preventing nosocomial infection at RSUD (Regional General Hospital) Kisaran. The aim of the research was to know the influence of supervision and obedience on the nurses’ use of APD in preventing nosocomial infection. The hypothesis showed that there was the influence of supervision and obedience on the use of APD.

The type of the research was descriptive analytic with cross sectional technique. The population was 247 nurses; 97 of them were used as the samples. The data were analyzed by conducting univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by multiple logistic regression tests.

The result of the research showed that the supervision in the hospital was bad (88.7%), the supervision was good (11.3%), the nurses’ obedience was good (76.3%), and the nurses’ obedience was bad (23.7%). The result of the observation about using APD showed that 71.1% of the nurses used APD, and 28.9% of them did not use APD. The result of chi square test showed that the independent variable had significant influence on the use of APD; in the variable of supervision, the result was p=0.460, and in the variable of obedience, the result was p=0.000. The result of the multiple logistic regression tests showed that the variable of supervision was p=0.103 and the variable of obedience was p=0.000. The conclusion was that the variable of supervision had the biggest contribution in influencing the nurses to use APD in preventing nosocomial infection at RSUD Kisaran.

It is recommended that the management of the hospital should facilitate, improve, and prepare APD device, according to the health law and job safety, the management or the supervisors on duty should examine, inspect, control, and be active in supervising the use of APD. The management of the hospital should give sanction imposed on the nurses who are not obedient in using APD and give reward to those who are obedient in using APD so that they will have motivation in increasing the prevention from nosocomial infection.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Alat pelindung diri (APD) merupakan suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja, dimana secara teknis dapat mengurangi tingkat keparahan dari kecelakaan kerja yang terjadi. Peralatan pelindung diri tidak menghilangkan atau pun mengurangi bahaya yang ada. Peralatan ini hanya mengurangi jumlah kontak dengan bahaya dengan cara penempatan penghalang antara tenaga kerja dengan bahaya (Suma’mur, 2009).

Melihat tingginya risiko terhadap gangguan kesehatan di rumah sakit, maka perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kejadian penyakit atau

traumatic akibat lingkungan kerja dan faktor manusianya. Salah satu diantaranya adalah penggunaan APD.

Kemampuan perawat untuk mencegah transmisi infeksi di rumah sakit dan upaya pencegahan adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan bemutu. Perawat berperan dalam pencegahan infeksi nosokomial, hal ini disebabkan perawat merupakan salah satu anggota tim kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di ruang rawat (Habni, 2009). Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah sakit melalui pencegahan kecelakaan, cidera, trauma dan melalui penyebaran infeksi nosokomial di unit


(20)

perawatan intensif aktifitas perawat tinggi dan cepat, hal ini sering menyebabkan perawat kurang memperhatikan teknik aseptik dalam melakukan tindakan keperawatan (Potter, 2005).

Risiko infeksi nosokomial selain dapat terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, dapat juga terjadi pada para petugas rumah sakit. Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien.

Infeksi nosokomial merupakan salah satu risiko kerja yang dihadapi oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Darah dan cairan tubuh merupakan media penularan penyakit dari pasien kepada tenaga kesehatan. Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B dan Virus Hepatitis C merupakan ancaman terbesar pada tenaga kesehatan. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan terjadi 16.000 kasus penularan virus hepatitis C, 66.000 kasus penularan hepatitis B dan 1.000 kasus penularan HIV pada tenaga kesehatan di seluruh dunia dan Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8.7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik terdapat infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10% (Anggraini, 2000).

Di Amerika Serikat ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial dan menghabiskan biaya lebih dari 4,5 miliar dolar per tahun.


(21)

Smeltzer, (2001). Sedangkan di Asia Tenggara infeksi nosokomial sebanyak 10 %. Data kejadian Infeksi nosokomial di Malaysia sebesar 12,7%, Taiwan 13,8% (Marwoto dkk, 2007).

Di Indonesia penelitian yang dilakukan Utji, (2004) yang dikutip Habni (2009) bahwa di sebelas rumah sakit di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 9,8% pasien dirawat inap mendapat infeksi baru selama dirawat. Hasil penelitian Simanjuntak (2001) yang berjudul upaya perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial pneumonia pada pasien yang melakukan menggunakan ventilator di

intensive care unit dalam tindakan mencuci tangan dan pelaksanaan prosedur

trakheal tube di rumah sakit St. Boroneus Bandung dengan hasil penelititan pada prosedur mencuci tangan secara aseptic sebelum melakukan tindakan perawatan

invasive hanya 25% kegiatan dilaksanakan baik, 12,5% cukup baik, dan 62,5% kurang baik dalam melakukan tindakan mencuci tangan secara aseptic, pada pelaksanaan prosedur trakheal tube hanya 28,6 kegiatan dilaksanakan dengan baik, 14,3% cukup baik, dan 57,1% kurang baik.

Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan terjadinya infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit adalah di RS Hasan Sadikin Bandung 9,9%, di RS Pirngadi Medan 13,92%, RS. Karyadi Semarang 7,3%, Dr. Soetomo Surabaya 5,32 dan RSCM 5,4 % (Depkes, 2003).

Ada beberapa hal yang menyebabkan pengawasan semakin diperlukan dalam setiap organisasi antara lain karena perubahan kondisi yang saat ini selalu banyak mengalami perubahan, banyaknya persaingan akibat munculnya rumah


(22)

sakit swasta baru, adanya alat – alat canggih yang baru, peraturan baru dan kemungkinan banyak ditemukan kesalahan dikalangan staf maupun manajer, oleh karena itu semakin besar organisasi makin kompleks / rumit masalah yang dihadapi sehingga membutuhkan pengendalian dan pengawasan yang baik (Adikoesoemo, 2003).

Infeksi yang berasal dari petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan. Semua kegiatan perawat, dokter dan tenaga profesi lainnya yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasiennya, semakin patuh tenaga profesi menjalankan standarts of good practice yang telah diterima dan diakui oleh masing-masing ikatan profesi akan semakin tinggi pula mutu asuhan terhadap pasien (Nurmantono, 2005).

Untuk menilai kepatuhan perawat tentang penggunaan standar penggunaan alat pelindung diri dibutuhkan adanya pengawasan dari pihak rumah sakit sesuai dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2010 tentang rumah sakit yang tercantum pada pasal 54 mengenai pembinaan dan pengawasan.

Berdasarkan survei awal penulis dirumah sakit umum daerah Kisaran (RS Tipe C) bahwa penggunaan fasilitas pelindung diri pada tenaga perawat tergolong belum optimal dilaksanakan dan kurangnya kedisiplinan atau kepatuhan perawat untuk menggunakan APD tersebut dalam upaya mencegah terjadinya

cross infection. Sesuai dengan wawancara awal yang dilakukan bahwa yang dihadapi perawat tidak menggunakan APD karena diduga tidak optimal dilakukan pengawasan dan beberapa faktor lain seperti kelengkapan fasilitas pelindung diri


(23)

yang kurang memadai dan hal lainnya perawat merasa malas, merasa tidak nyaman dan merasa direpotkan saat menggunakan APD karena rutinitas kerja yang selalu berhubungan dengan pasien setiap harinya. Dari berbagai alasan tersebut tentu akan berdampak buruk pada perawat sehingga seperti yang terjadi pada salah seorang perawat di ruang perawatan penyakit menular (ruang paru) telah terjadi infeksi silang sehingga perawat tersebut mengalami penyakit tuberkulosis (TBC).

Profesi perawat di rumah sakit merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diposisikan sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien yang setiap saat selalu kontak langsung dengan pasien sehingga berpotensi akan terjadi infeksi nosokomial. Dengan demikian bila tidak dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pelindung diri dan kepatuhan perawat untuk menggunakan APD maka sangat dikhawatirkan akan terjadi resiko infeksi nosokomial dan sangat diharapkan peran pihak rumah sakit untuk tetap melakukan pengawasan yang melekat pada perawat dalam penggunaan APD setiap melakukan tindakan keperawatan. Pihak rumah sakit juga berupaya meningkatkan cara untuk menghindari terjadinya infeksi silang dengan cara melakukan pendidikan dan pelatihan pada tenaga perawat dan petugas kesehatan lainnya dalam pemakaian APD.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh pengawasan pihak rumah sakit dan kepatuhan perawat dalam


(24)

penggunaan APD sehingga diharapkan perawat dapat dilindungi dan dicegah dari bahaya dan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

1.2. Permasalahan

Untuk itu peneliti dapat memuat rumusan permasalahan yaitu sejauh mana pengaruh pengawasan dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan APD dalam pencegahan infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran. 1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial.

1.4. Hipotesis

1. Ada pengaruh antara pengawasan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial.

2. Ada pengaruh antara kepatuhan terhadap penggunaan APD pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan pengawasan dan kepatuhan APD dalam tindakan pencegahan infeksi nosokomial.

2. Sebagai masukan bagi perawat untuk mengetahui potensi bahaya penyakit infeksi nosokomial dan pentingnya penggunaan APD.


(25)

3. Sebagai masukan bagi tim tenaga kesehatan untuk mengenal dan mengetahui potensi bahaya penyakit infeksi nosokomial dalam pentingnya penggunaan APD serta mampu mengurangi terjadinya cross infektion.

4. Sebagai masukan bagi peneliti lebih lanjut dalam penggunaan APD dan upaya pencegahan infeksi nosokomial pada tenaga kesehatan khususnya perawat.


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan

Pengawasan dapat di definisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Hal ini berkaitan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan (Muninjaya, 2004).

Pengawasan adalah memantau atau memonitor pelaksanaan rencana apakah telah dikerjakan dengan benar atau tidak atau seuatu proses yang menjamin bahwa tindakan telah sesuai dengan rencana.

Menurut Robert J, yang dikutip oleh Imam, (2007), menyatakan bahwa Pengawasan manajemen adalah suatu usaha untuk menerapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efesien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.


(27)

2.1.2. Tipe – Tipe Pengawasan

Ada tiga tipe dasar pengawasan, yaitu :

1. Pengawasan pendahuluan (feedforward control) atau sering disebut steering controls, dirancang untuk mengantisipasi masalah-masalah atau penyimpangan-penyimpangan dan standar atau tujuan dan memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu tahap kegiatan tertentu diselesaikan. Pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum suatu masalah terjadi. 2. Pengawasan yang dilakukan bersamaaan dengan pelaksanaan kegiatan

(concurrent control), sering disebut pengawasan ”Ya-Tidak”, screening control berhenti-terus” dilakukan selama kegiatan berlangsung, tipe pengawasan ini merupakan proses di mana aspek tertentu dari suatu prosedur harus disetujui dulu, atau syarat tertentu harus dipenuhi dulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan ” double-check” yang lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.

3. Pengawasan umpan balik (feedback control). Pengawasan umpan balik juga dikenal sebagai past-action controls, mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan. Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar ditentukan dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-kegiatan serupa di masa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat historis, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi (Adikoesoemo, 2003).


(28)

2.1.3. Tahap - tahap dalam Proses Pengawasan

Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit 5 tahap (langkah), seperti pada gambar 2.1.3. Tahap-tahap pengawasan sebagai berikut :

1. Penetapan Standar Pelaksanaan (Perencanaan)

Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan. Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan. Untuk penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran kuota dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar.

Tiga bentuk standar yang umum adalah :

a) Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang atau jasa, jumlah langganan, atau kualitas produk.

b) Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam rupiah dan mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor, pendapatan penjualan, dan sejenisnya.

c) Standar-standar waktu, meliputi kecepatan produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan.

Setiap tipe standar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk-bentuk hasil yang dapat dihitung. Ini memungkinkan manajer untuk mengkomunikasikan pelaksanaan kerja yang diharapkan kepada para bawahan secara lebih jelas dan tahapan-tahapan lain dalam proses perencanaan dapat ditangani dengan lebih efektif. Standar harus ditetapkan secara akurat dan diterima mereka yang bersangkutan.


(29)

Standar-standar yang tidak dapat dihitung juga memainkan peranan penting dalam proses pengawasan. Pengawasan dengan standar kualitatif lebih sulit dicapai tetapi hal ini tetap penting untuk mencoba mengawasinya. Misal, standar kesehatan personalia, promosi karyawan yang terbaik, sikap kerjasama, berpakaian yang pantas dalam bekerja dan sebagainya.

2. Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan

Penetapan stsandar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat. 3. Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan

Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan, pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang - ulang dan terus-menerus. Ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:

a. Pengamatan (observasi)

b. Laporan-laporan, baik lisan dan tertulis, c. Metode-metode otomatis dan,

d. Inspeksi, pengujian (test), atau dengan pengambilan sampel. Banyak perusahaan sekarang mempergunakan pemeriksa intern (internal auditor) sebagai pelaksana pengukuran.


(30)

4. Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisis Penyimpangan Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan (deviasi). Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisis untuk menentukan standar tidak dapat dicapai.

5. Pengambilan Tindakan Koreksi Bila Diperlukan

Bila hasil analisis menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan.

Tindakan koreksi berupa :

1. Mengubah standar mula-mula (barangkali terlalu tinggi atau terlalu rendah). 2. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekuensinya atau

kurang atau bahkan mengganti sistem pengukuran itu sendiri).

3. Mungubah cara dalam menganalisis dan menginterpretasikan penyimpangan-penyimpangan (Imam dan Siswandi, 2007).


(31)

Gambar 2.1. Tahap-Tahap Pengawasan 2.1.4. Karakteristik – karakteristik Pengawasan yang Efektif

Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria – kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya :

1. Mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, 2. Tepat waktu,

3. Dengan biaya yang efektif, 4. Tepat-akurat, dan

5. Dapat diterima oleh yang bersangkutan.

Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan. Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dan lebih diperinci sebagai berikut :

a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil Penetapan

standar pelaksanaan

Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan

Pengukuran pelaksanaan

kegiatan

Perbandingan dengan standar evaluasi

Pengambilan tindakan koreksi bila


(32)

tindakan koreksi yang keliru atau bahkan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.

b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera.

c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah dipahami dan bersifat objektif serta lengkap.

d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan harus memusatkan perhatian pada bidang-bidang dimana penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang mengakibatkan kerusakan paling fatal. e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan sistem pengawasan harus lebih

rendah, atau sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut.

f. Realistik secara organisasional. Sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi.

g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, karena (1) setiap tahap dari proses pekerjaan dapat memengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi, dan (2) informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya.

h. Fleksibel. Pengawasan harus mempunyai fleksibilitas untuk memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari lingkungan.


(33)

i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus menunjukkan, baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil.

j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota dengan mendorong perasaan otonomi, tanggung jawab dan berprestasi (Imam dan Siswandi, 2007).

2.2. Proses Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Proses Pengawasan

Langkah umum yang diikuti dalam proses pengawasan yang dikutip dan dikemukakan oleh Harahap (2001) adalah :

a. Penyusunan tujuan. b. Penetapan standar. c. Pengukuran hasil kerja.

d. Perbandingan fakta dengan standar. e. Perbaikan tindakan.

Kelima tahap ini bisa juga diringkas dalam bentuk 5P. Dari sudut lain pengawasan dapat dirumuskan sebagai ERMC yaitu: Expectation (tujuan atau standar), Recording (pencatatan kinerja), Monitoring (perbandingan antara

expectation dan catatan), dan correction (tindakan koreksi) terhadap penyimpanan yang ada.


(34)

Standar bisa bermacam-macam. Misalnya tujuan, budget perusahaan dapat dijadikan sebagai standar atau indikator yang akan dituju dicapai oleh manajemen. Untuk dapat melaksanakan pengawasan maka harus ada standar atau yardstick

yang akan dibandingkan dengan hasil kerja. Standar ini memang sebaiknya dapat dikuantitatifkan agar mudah mengukurnya dan menghitung “varience” nya secara objektif.

3. Tujuan Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)

Tujuan dan manfaat pengawasan dan pengendalian menurut Usman, (2006) antara lain :

a. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.

b. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidakadilan.

c. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik.

d. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi dan akuntabilitas organisasi.

e. Meningkatkan kelancaran operasi organisasi. f. Meningkatkan kinerja organisasi.

g. Memberikan opini atas kinerja organisasi.

h. Mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada.


(35)

4. Pelaksanaan Pengawasan dan Kegunaan

Mulanya dan bahkan sementara pihak saat ini menganggap bahwa fungsi pengawasan itu tidak perlu, dilupakan, dan disalah artikan. Namun, dalam organisasi modern dan dalam perusahaan besar dan kompleks semakin disadari pentingnya fungsi kontrol ini yang sebenarnya bermaksud baik yaitu sebagai fungsi manajemen untuk menjamin bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan organisasi dapat dicapai dengan semestinya.

Perkembangan organisasi modern dan karena semakin kompleksnya dimensi yang berkaitan dengan kontrol ini menyebabkan fungsi kontrol juga berkmbang dari segi teori maupun penerapannya.

Mulanya kontrol ini dianggap sebagai kegiatan yang sifatnya pemaksaan kekuasaan sampai akhirnya merupakan fungsi yang difokuskan pada sikap perilaku individu yang mempunyai multidimensi dan berbagai sifat. Teknik kontrol semakin diperjelas dan di sederhanakan.

5. Keuntungan Pelaksanaan Kontrol yang Baik

Apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai keuntungan sebagai berikut:

a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai. b. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran.

c. Menimbulkan saling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi. d. Menumbuhkan perasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga


(36)

e. Menumpuk perasaan memiliki atas perusahaan/organisasi f. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil.

g. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi akan lebih dihargai.

h. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkatkan laba perusahaan.

i. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang perusahaan karena operasi kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik.

j. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan (transparan).

k. Merupakan persyaratan dalam “good corporate governance”.

2.3. Konsep Kepatuhan 2.3.1. Definisi Kepatuhan

Kepatuhan adalah ketaatan seseorang pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan merupakan suatu permasalahan bagi semua disiplin kesehatan, salah satunya pelayanan perawatan di rumah sakit.

Menurut Ali Mukti dalam Ley, (1999). Patuh adalah suka menurut perintah, taat kepada pemerintah dan disiplin sedangkan menurut Aditama (1998),


(37)

Patuh adalah suatu sifat yang berfungsi untuk mendorong seseorang taat terhadap suatu ketentuan atau aturan.

2.3.2. Faktor - Faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan

Faktor – faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan Niven (2008) antara lain :

1. Pemahaman tentang Intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan singkat dan jelas.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

4. Motivasi

Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan, dan lingkungan sekitarnya.


(38)

2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) dalam Niven (2008) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah:

1. Dukungan Profesional Kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi.

3. Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

4. Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang di deritanya serta cara pengobatannya.


(39)

2.4. Determinan Perilaku

Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan respons (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan kata lain, perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam maupun dari luar subjek.

Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan. Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green (1980) membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors

(faktor perilaku), dan non-behavioral faktor atau non-perilaku. Selanjutnya Green (1980) menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu :

1) Faktor predisposisi (disposing factors), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai, tradisi dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang dan sebagainya.

3) Faktor – faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang–kadang, meskipun seseorang


(40)

tahu dan mampu untuk berperilaku sehat tetapi tidak melakukannya. (Notoatmodjo, 2005).

2.5. Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekrjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004).

Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja.

Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki. Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan. Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu :

a. Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan “menularkan” penyakit;


(41)

b. Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene

lainnya.

c. Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat.

Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas: 1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan :

a) Tidak sadar/ tidak dimengerti. b) Panas

c) Sesak

d) Tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang e) Berat

f) Mengganggu pekerjaan

g) Tidak sesuai dengan bahan yang ada

h) Tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya i) Atasan juga tidak memakai

2. Sisi instansi

a. Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada.

b. Sikap dari instansi yang mengabaikan alat pelindung diri. c. Dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai). d. Pengadaan alat pelindung diri yang asal beli.


(42)

2.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Menurut Tiedjen (2004) bahwa prosedur standar kewaspadaan universal bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien kepada perawat, terdiri dari :

1. Mencuci Tangan

Sejalan dengan alat bantu untuk pengendalian infeksi perawat harus mengingat bahwa mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting dan mendasar dalam mencegah dan mengendalikan infeksi karena dapat melindungi perawat dan pasien dari mikroorganisme.

Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam mencuci tangan yaitu menggunakan air mengalir / tersedianya wastafel melakukan proses membasuh, menggosok dan membilas tangan menggunakan sabun atau cairan antiseptik sekurang-kurangnya 10 detik, mengeringkan tangan dengan handuk yang bersih dengan tujuan agar terhindar dari infeksi silang antar pasien dengan perawat serta menjaga tangan yang sudah dicuci agar tidak terkontaminasi. Cuci tangan harus dilakukan pada saat melakukan tindakan dan setelah melakukan tindakan, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan. 2. Memakai Masker

Masker digunakan untuk melindungi perawat dari penyakit infeksi saluran pernapasan seperti tuberkolosis. Perawat harus memakai masker dengan menutup area sekitar wajah dan hidung, hal ini di lakukan dengan efektif kalau tidak maka masker tidak dapat mengontrol nuklai doplet udara. Masker digunakan bila berada


(43)

dalam jarak 1 meter dari pasien, sehingga petugas dapat melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya seperti tindakan membersihkan luka, membalut luka, mengganti kateter serta dekomentasi alat bekas pakai (Tiedjen, 2004).

3. Memakai Sarung Tangan

Sarung tangan merupakan salah satu alat pelindung tubuh yang digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Apabila sarung tangan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, dan benda-benda yang terkontaminasi hendaknya perawat atau petugas kesehatan segera melepaskan sarung tangan dengan cepat setelah digunakan, sebelum menyentuh benda-benda yang tidak terkontaminasi dan permukaan lingkungan, dan sebelum ke pasien lainnya. Cuci tangan dengan segera bertujuan untuk

menghindari pemindahan mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain (Goul, 2003).

4. Memakai Celemek/ Gaun

Pemakaian celemek / gaun pelindung bertujuan untuk melindungi kulit dan mencegah pakaian basah selama tindakan perawat terhadap pasien seperti : perawat terkena semburan atau percikan darah, cairan tubuh, sekresi, atau ekskresi yang menyebabkan pakaian menjadi basah. Secepat mungkin perawat dapat melepaskan celemek dan cuci tangan sehingga dapat terhindar dari kontaminasi mikroorganisme dari pasien atau lingkungan. Indikasi dari pemakaian celemek


(44)

yaitu saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan ataupun menangani pasien dengan pendarahan.

2.6.1. Prosedur Tetap Pencegahan Infeksi Nosokomial 1. Cuci Tangan

Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan yaitu transien dan residen (Simajuntak, 2001).

1. Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus-menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik.

2. Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti species acinetobacter, dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik.

Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu : 1. Sabun, cleanser dan deterjen

Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat pertumbuhan dan mengurangi jumlah mikroorganisme. Jumlah bakteri berkurang seiring


(45)

dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi hanya sampai titik tertentu karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu. Kulit yang kering dan retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat.

2. Larutan antiseptik

Jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat : a. Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit

perawatan khusus dan ruang gawat darurat.

b. Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti kateter.

c. Sebelum memasang peralatan seperti kateter. d. Cuci tangan bedah.

e. Sebelum memegang bayi.

f. Personil ruang operasi sebelum merawat pasien.

g. Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised.

Larutan antiseptik atau juga diesebut antimikroba topikal adalah produk yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri pada kulit. Sementara, desinfeksi adalah bahan kimia yang ditujukan untuk membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati, seperti peralatan, instrumen, meja atau lantai.


(46)

Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya, efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit.

Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya.

Antisieptik biasa digunakan untuk :

1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi).

2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan lengan.

3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain.

4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain.

Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus. Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza,

cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B.

Spora adalah yang paling resisten dari semua mikroorganisme dan kadang tidak bisa dibunuh dengan antiseptik. Tetapi antiseptik cukup efektif dalam mencegah pertumbuhan selanjutnya dan bisa menghilangkannya dari kulit.


(47)

Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien.

Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara :

a. Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan memperbanyak diri terhambat.

b. Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan penghancuran sel

c. Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak komponen sel dengan cara lisis.

Kriteria untuk memilih antiseptik :

1. Aksi yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram negatif, virus lipofili dan hidrofili, bachilus dan tuberkulosa,

fungi, endospora). 2. Efektivitas.

3. Kecepatan aktifitas awal.

4. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan 5. Tidak mengakibatkan iritasi kulit dan tidak menyebabkan alergi.

6. Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang. 7. Dapat diterima secara visual maupun estetik. A. Cuci Tangan Medis


(48)

1. Cuci tangan sosial ; untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme

transien dari tangan, dilakukan dengan sabun atau deterjen paling tidak selama 10 sampai 15 detik.

2. Cuci tangan prosedural ; untuk menghilangkan atau mematikan mikroorganisme transien, disebut juga antisepsi tangan, dilakukan dengan sabun antiseptik atau alkohol paling tidak selama 10 sampai 15 detik.

3. Cuci tangan bedah ; proses menghilangkan atau mematikan mikroorganisme

transien dan mengurangi mikroorganisme residen, dilakukan dengan larutan antiseptik dan diawali dengan menyikat paling tidak 120 detik.

B. Hal–hal Pokok yang Perlu Diperhatikan Saat Mencuci Tangan Medis

a) Membersihkan jari, kuku, telapak tangan hingga pergelangan tangan ; untuk cuci tangan bedah harus dilakukan hingga siku.

b) Idealnya menggunakan air yang mengalir, hangat, air yang tidak tercemar, sabun yang bersih, kikir kuku (tidak harus) dan handuk / tissue tebal bersih dan kering.

c) Menghilangkan kotoran dan mikroorganisme dengan friksi, larutan antiseptik, dan pengeringan.

d) Menggunakan larutan antiseptik atau subsitusinya untuk membersihkan dan menghilangkan kontaminasi.

Ditempat yang tidak tersedia fasilitas cuci tangan yang cukup boleh digunakan bahan yang seperti handrub, tissue antimikrobia, atau foam antiseptik,


(49)

setelah itu biarkan kering di udara. Tetapi cara tersebut bukan substitusi dari cuci tangan, hanya berupa suplemen.

C. Masker dalam Pengendalian Infeksi

Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui udara dan droplet, atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh. Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau

droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin dan bayi.

Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik. Masker sekali pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet.

Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali.

Teknik yang tepat dalam memakai dan melepas masker merupakan bagian penting dari pengendalian infeksi. Masker dipakai sebagai bagian dari usaha kewaspadaan isolasi. Beberapa prinsip penting dalam pemakaian yang harus dipatuhi:


(50)

a. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.

b. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.

1. Teknik Memakai Masker

a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan mencegah pengembunan kaca mata).

b. Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah. c. Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung.

d. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.

e. Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu. f. Begitu masker lembab harus segera diganti.

g. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan bergelantungan di leher.

2. Teknik Melepas Masker

a. Ingat selalu untuk membuka sarung tangan lebih dahulu (jika memakai) dan cuci tangan, untuk mencegah kontaminasi dari tangan ke muka.


(51)

b. Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher.

c. Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang telah disediakan.

d. Cuci tangan.

D. Gaun dalam Pengendalian Infeksi 1. Tipe Gaun

Pada prinsipnya ada dua macam gaun , yaitu yang steril dan non-steril. Gaun steril biasanya dipakai oleh ahli bedah dan para asistennya di kamar bedah saat melakukan pembedahan, sedangkan gaun non-steril dipakai diberbagai unit beresiko tinggi, misalnya pengunjung kamar bersalin, ruang pulih di kamar operasi, ICU, rawat darurat dan kamar rawat bayi (Schaffer dkk, 2000).

Gaun dapat dibuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang (kain), tetapi dapat juga dibuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat dipakai sekali saja (disposable). Gaun sekali pakai biasanya dipakai dalam kamar bedah, karena lebih banyak terpapar cairan tubuh yang dapat menyebarkan infeksi.

Ada beberapa bentuk gaun yang saat ini dipakai. Gaun konvensional kancingnya berada dipunggung pemakai dan biasanya memakai tali.


(52)

2. Prinsip Pemakain Gaun Pelindung

Pada prinsipnya, hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun adalah untuk melindungi pemakai dari infeksi. Khusus gaun bedah, hanya bagian depan atas (di atas pinggang) saja yang dianggap steril

dan boleh bersinggungan dengan lapangan pembedahan. 3. Teknik Memakai Gaun Bedah

Dalam memakai gaun bedah, teknik yang digunakan adalah teknik tanpa singgung. Yaitu dengan mengusakan agar bagian luar gaun tidak bersinggungan langsung dengan kulit tubuh pemakai. Gaun bedah dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.

E. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi

Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008). Pemakaian sarung tangan non-steril.

1. Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh,

2. Sarung tangan juga harus dipakai bila seorang tenaga medis memiliki luka terbuka pada tangannya.


(53)

3. Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama). 4. Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung

tangan bukan pengganti cuci tangan. Sarung tangan steril.

1. Sesuai prinsip – prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil.

2. Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut. 3. Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap

pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.

2.7. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian PENGAWASAN :

- Tipe Pengawasan

- Tahap-tahap pengawasan - Karakteristik Pengawasan

KEPATUHAN : - Intruksi

- Interaksi - Isolasi Sosial - Motivasi

PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG

DIRI PERAWAT - Masker - Sarung tangan - Kemeja/gaun - Antiseptik


(54)

Penggunaan APD yang seharusnya digunakan oleh perawat terkadang tidak terlaksana dengan baik, adapun penggunaan alat pelindung diri seperti : masker, sarung tangan, kemeja/gaun dan antiseptik dengan baik diharapkan dapat mengurangi dan mengantisipasi terjadinya infeksi nosokomial pada perawat, oleh karena itu diperlukan pengawasan dari pihak rumah sakit sehingga perlu dilihat tipe pengawasan, tahap-tahap pengawasan dan karakteristik pengawasan dalam penggunaan APD dan konsep ini disebut sebagai variabel independen.

Disisi lain perlu ada komitmen dari perawat untuk mematuhi prosedur yang ditetapkan (SOP) dalam penggunaan APD, konsep kepatuhan ini terdiri dari intruksi, interaksi, isolasi sosial dan motivasi, hal ini disebut sebagai variabel dependen.

Dengan adanya pengawasan dan pengendalian (wasdal) pihak RSUD Kisaran serta kepatuhan perawat dalam penggunaan APD, dapat terhindar terjadinya infeksi nosokomial.


(55)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif analitik yang menggunakan studi cross sectional untuk mengetahui pengaruh pengawasan dan kepatuhan terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) pada perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di RSUD Kisaran Kabupaten Asahan. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran Kabupaten Asahan dengan asumsi bahwa pengawasan pihak rumah sakit dan kepatuhan perawat terhadap penggunaan alat pelindung diri dalam pencegahan infeksi nosokomial belum pernah diteliti dan hal lain lokasi ini dijadikan sebagai lokasi penelitian karena diduga adanya kasus penularan pada salah seorang perawat yang terinfeksi dari pasien sehingga yang bersangkutan mengalami infeksi paru (Tuberkulosis).

3.2.2. Waktu Penelitian

Penulisan dan penyusunan penelitian ini dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2012.


(56)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran yang berjumlah 247 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebahagian perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Kisaran, diambil berdasarkan rumus untuk sampel tunggal (satu populasi), dengan pengambilan sampel secara sistematic random sampling (Lemeshow, 1997).

}

{

2 2

2 /

1

(

1

)

d

p

P

Z

n

=

−α

×

Keterangan :

n = Besar sampel minimum

P = estimasi proporsi sampel pengguna APD

1-p = estimasi proporsi sampel yang tidak menggunakan APD 2

/ 1−α

Z = deviasi normal standar, yang digunakan 1,96

d = posisi yang diukur dalam setengah dari interval kepercayaan yang diinginkan. Karena perawat yang menggunakan APD dan tidak menggunakan APD belum diketahui secara pasti, maka digunakan rumus : p=q = 50%, dasarnya adalah dengan tingkat presisi yang diinginkan atau d =10% dan Z = 1,96.


(57)

}

{

2 2

)

1

,

0

(

25

,

0

)

96

,

1

(

×

=

n

}

{

)

01

,

0

(

25

,

0

8416

,

3

×

=

n

)

01

,

0

(

9604

.

0

=

n

04

,

96

=

n

Didapatkan besar sampel minimal 96 orang dengan teknik pengambilan sampel dilakukan secara sistematic random sampling. Pengambilan sampel menurut kelipatan angka/interval sampel. Maka anggota populasi yang dijadikan sampel adalah setiap elemen yang mempunyai nomor kelipatan 3, yakni 3,6,9,12 dan seterusnya sampai mencapai jumlah 96 sampel (Singarimbun dan Effendi, 1995). Untuk mengantisipasi responden yang tidak bersedia maka dilakukan penambahan 10 % dari jumlah sampel yang sudah ditentukan.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu : 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden melalui teknik

wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.

2. Data sekunder yaitu data diperoleh melalui wawancara tentang objek dan subjek yang di teliti serta mempelajari dokumentasi-dokumentasi terkait yang dimiiliki oleh pihak rumah sakit.


(58)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

a. Pengawasan adalah suatu proses pengamatan pelaksanaan terhadap penggunaan APD dan untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana (Siagian, 2001).

b. Kepatuhan adalah suatu prilaku manusia yang taat terhadap aturan, perintah, prosedur dan disiplin dalam penggunaan APD (Niven, 2008).

c. Alat Pelindung Diri adalah salah satu alat kendali resiko yang diterapkan oleh perawat untuk melindungi dirinya dan terhindar dari bahaya-bahaya infeksi di lingkungan kerjanya (Suma’mur, 2009).

d. Intruksi adalah suatu perintah kepada seseorang atau sekelompok orang dengan jelas, sehingga orang yang diperintah dapat menggunakan APD agar terhindar dari potensi bahaya kerja atau terjadinya infeksi.

e. Interaksi di definisikan sebagai hal saling melakukan aksi, berhubungan atau saling memengaruhi atau disebut juga dengan hubungan timbal balik berupa aksi saling memengaruhi.

f. Isolasi sosial adalah merupakan faktor yang sangat berpengaruh dan menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu.

g. Motivasi adalah serangkaian sikap, nilai-nilai yang memengaruhi individu untuk terdorong dan bertindak terhadap penggunaan APD (Maslow, 1994). h. Perawat adalah seseorang yang berperan dalam memberikan bantuan

perawatan, memelihara, dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses penuaan (Depkes RI, 2002).


(59)

3.6. Metode Pengukuran

Pada variabel pengawasan disusun kuisioner 6 pertanyaan dan variabel kepatuhan tentang intruksi, interaksi, isolasi sosial disusun pertanyaan masing-masing sebanyak 4 soal, dan motivasi disusun pertanyaan sebanyak 6 pertanyaan sementara untuk sarana APD serta penggunaannya dilakukan dengan teknik observasi. Metode pengukuruan dilakukan dengan ketentuan jika patuh bernilai 1 dan tidak patuh bernilai 0. Berdasarkan total skor jawaban, kepatuhan perawat dikategorikan sebagai berikut (Hidayat, 2010).

1. Baik, jika total skor jawaban responden > 50 %

2. Kurang baik, jika total skor jawaban responden < 50 %. Tabel. 3.1. Metode Pengukuran NO Nama Variabel Cara Ukur Skala

Ukur Kategori

1. Tipe

Pengawasan

Wawancara Nominal 1.Pengawasan Pendahuluan (feed forward control) 2.Pengawasan dilakukan

secara bersamaan dengan kegiatan (concurent control)

3.Pengawasan umpan balik (feedback control)

2. Standar Pelaksanaan

Wawancara Nominal 1.Kualitas barang dan jasa yang diberikan

2. Biaya dan tenaga kerja 3. Batas waktu pekerjaan yang harus diselesakan 3. Pengukuran

Standar Pelaksanaan

Wawancara Nominal 1.Pengamatan 2.Laporan 3.Inspeksi


(60)

Tabel 3.1. (Lanjutan) 4. Analisis

Penyimpangan

Wawancara Nominal 1.Mengubah standar (SOP) 2.Mengubah Pengukuran

pelaksanaan kegiatan 3.Mengubah cara analisis dan

interpretasi penyimpangan 5. Pengambilan

Tindakan Koreksi

Wawancara Nominal 1. Teman sejawat 2. Direktur/ Pimpinan 3. Petugas pengawas K3 6. Pendidikan Wawancara Ordinal 1. SPK

2. Akper (D-III)

3. S1 Keperawatan /SKM 7. Intruksi Wawancara Ordinal 1. Ada (1)

2. Tidak ada (0) 9. Interaksi Wawancara Ordinal 1. Ada (1)

2. Tidak ada (0) 10. Isolasi Sosial Wawancara Ordinal 1. Ada (1)

2. Tidak ada (0) 11 Motivasi Wawancara Ordinal 1. Ada (1)

2. Tidak ada (0) 12. Pengawasan

penggunaan APD

Wawancara Ordinal 1. Ya (1) 2. Tidak (0) 13. Penggunaan

APD

Observasi Ordinal 1. Ya (1) 2. Tidak (0) 14. Ketersediaan

sarana prasarana

Observasi Ordinal 1. Ada (1) 2. Tidak Ada (0)

3.7. Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan maka dilakukan tahapan editing, coding dan

tabulating. Kemudian data dianalisis dengan bertahap yaitu : 1. Analisis Univariat

Analisis ini untuk mendeskripsikan masing-masing variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.


(61)

2. Analisis Bivariat

Analisis dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Statistik uji yang digunakan adalah Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% (α =5%). Keputusan uji ; Tolak Ho, jika P ≤ α atau

χ

2

H

χ

2

C , sebaliknya terima Ho. Bila hasil analisis bivariat mempunyai nilai p<0.25, maka variabel tersebut dapat masuk dalam analisis multivariat.

3. Analisis Multivariat

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui variabel bebas yang paling memengaruhi variabel terikat secara bermakna. Statistik uji yang digunakan adalah regresi logistik ganda.

3.7.1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum penyebaran kuesioner pada sampel penelitian, butir-butir pertanyaan pada kuesioner harus diuji validitas dan reliabilitas melalui uji

Pearson Product Moment (Hidayat, 2010).

Untuk menginterpretasikan hasil statistik uji reliabilitas dan validitas, dipergunakan nilai koefisien korelasi (r) hitungan yang dibandingkan dengan nilai rtabel (tabel Pearson Product Moment). Dikatakan reliable dan valid jika nilai rHitunglebih besar dari rtabel. Pada uji reliabilitas dan validitas ini, responden bukan bagian dari sampel penelitian atau perawat rumah sakit umum Kisaran.


(62)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran

Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran adalah rumah sakit Kelas C (Type C) satu-satunya milik pemerintah daerah Kabupaten Asahan yang merupakan pusat rujukan untuk Kabupaten Asahan dan Kabupaten Batubara (yang sebelumnya pemekaran dari Kabupaten Asahan dan juga bagi Kabupaten pemekaran lainnya).

Sebagai salah satu institusi pemerintah di bidang kesehatan, RSU Daerah Kisaran terus proaktif dalam mengelola dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan berbagai upaya meningkatkan kualitas pelayanannya terutama dalam mendukung visi, misi dan kebijakan pemerintah Kabupaten Asahan yaitu membina kesehatan masyarakat agar dapat berperan sebagai motivator pembangunan yang akhirnya dapat mewujudkan rakyat Asahan sehat dan mandiri pada tahun 2015.

4.1.1 Sejarah dan Kedudukan

Berdasarkan struktur pemerintahan masa lalu (15 Maret 1945) bahwa Ibukota Kabupaten Asahan berada di Tanjung Balai dan Kisaran merupakan salah satu kecamatan yang berada di daerah Kabupaten Asahan. Pada saat itu Rumah Sakit Umum Pemerintah hanya ada 2 (dua) unit yaitu berada di Tanjung Balai dan Labuhan Ruku.


(63)

Sesuai dengan Surat Keputusan DPRGR Tingkat II Kabupaten Asahan Nomor :3. DPRD/GR/1963, tanggal 16 Februari 1963 diusulkan perpindahan ibukota Kabupaten Asahan dari Tanjung Balai ke Kisaran, dan baru terealisasi tanggal 20 Mei 1968, yang dengan hal tersebut terjadi perpindahan Pusat Pemerintahan Kepala Daerah beserta seluruh Dinas/Jawatan ke Kisaran yang pada saat itu Bupati Kepala Daerah dijabat oleh H. Abdul Manan Simatupang.

Sejalan dengan perpindahan Ibukota Kabupaten Asahan maka terfikirlah Bapak H. Abdul Manan Simatupang selaku Bupati Asahan untuk membangun sarana pelayanan kesehatan untuk kebutuhan masyarakat Asahan yang memerlukan pelayanan kesehatan. Maka pada tahun 1968/1969 oleh Bupati Kepala Daerah dibangunlah Rumah Sakit Umum Kisaran yang berada di atas areal tanah seluas ± 3,82 Ha, dengan tahap awal dibangun Gedung Induk yang berfungsi untuk pelayanan pasien rawat jalan dan P3K beserta 2 (dua) unit bangunan rawat inap pasien umum untuk laki-laki dan perempuan.

4.1.2. Letak dan Kondisi

Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran terletak di Kota Kisaran yang merupakan Ibukota Kabupaten Asahan ± 1 km dari Kantor Bupati Asahan tepatnya di Jl. Sisingamangaraja No. 310, Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Kota Kisaran Barat, Nomor Telepon : (0623)-41785, Faximile : (0623)-44815, email


(64)

Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran ditetapkan sebagai rumah sakit Type C pada tahun 1982. Saat ini luas bangunan rumah sakit ±7398 m2. Luas keseluruhan Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran sekitar 30.802 m2.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Sisingamangaraja. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Silau.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Sei Suka. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Tahu. 4.1.3 Visi, Misi dan Motto

VISI

Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran terhadap masyarakat maka ditetapkan Visi Rumah Sakit adalah : ”TERSELENGGARANYA PELAYANAN KESEHATAN YANG BERKUALITAS, CEPAT, TEPAT, PROFESIONAL DAN MEMUASKAN ”.

MISI

Misi Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran adalah sebagai berikut :

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu secara profesional dengan dilandasi kebutuhan manusiawi serta terjangkau dan menjangkau masyarakat Kabupaten Asahan.

2. Menyelenggarakan pelayanan dokter jaga 24 jam.

3. Menyelenggarakan pelayanan prima dan cepat tanggap kepada pasien gawat darurat dengan tersedianya obat-obatan emergency.


(65)

MOTTO

Motto Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran adalah 3S : 1. Senyum yang manis

2. Sapa yang ramah

3. Sentuh dengan kasih sayang 4.1.4 Sumber Daya Manusia

Untuk menggerakkan unit-unit pelayanan, Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran didukung oleh Sumber Daya Manusia yang sudah cukup terampil dibidangnya masing-masing seperti tenaga medis dan tenaga para medis keperawatan.

4.1.5 Kegiatan Pelayanan

Sebagai rumah sakit rujukan, Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran pada saat ini dapat memberikan beberapa pelayanan sebagai berikut :

1 Instalasi Rawat Jalan 2 Instalasi Rawat Inap 3 Instalasi Gawat Darurat 4 Instalasi Bedah Umum 5 Instalasi Farmasi

6 Instalasi/Unit Tranfusi Darah 7 Ruang Tindakan Persalinan/VK 8 Pemeriksaan Penunjang berupa :


(66)

 Ambulance.

4.1.6 Kegiatan Instalasi Rawat Inap

Pelayanan rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kisaran meliputi beberapa ruang perawatan dengan jumlah kapasitas tempat tidur sebanyak 157 tempat tidur. Adapun ruang rawat inap terdiri dari ruang yaitu :

1. Ruang I (Penyakit Dalam Wanita) : Ruang Mawar 2. Ruang II (Kebidanan) : Ruang Anggrek

3. Ruang III (Penyakit Dalam Pria) : Ruang Melati 4. Ruang IV (Anak / Baby) : Ruang Tulip

5. Ruang V (Bedah) : Ruang Anyelir

6. Ruang VI (Pasien Penyakit Paru) : Ruang Kecubung 7. Kelas : Ruang Flamboyan

8. Ruang Intensive Care Unit ( ICU) 9. Ruang VIP Lama : Berlian 10. Ruang VIP Anak : Mutiara 11. Kelas Kebidanan : Nusa Indah 12. VIP Kebidanan : Intan 13. VIP Baru : Zamrud

14. Ruang Kamar Bedah Umum 15. Ruang KBK

16. Ruang Baby


(67)

4.2. Karakteristik Responden

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

No Karakteristik Responden Jumlah %

1 Usia

a. <25 Tahun 20 20,6

b. 25 – 30 Tahun 31 32,0

c. > 30 Tahun 46 47,4

2 Jenis Kelamin

a. Laki-laki 23 23,7

b. Perempuan 74 76,3

3 Masa Kerja

a. < 5 Tahun 39 40,2

b. 5 – 10 Tahun 23 23,7

c. > 10 Tahun 35 36,1

4 Pendidikan

a. SPK 4 4,1

b. D-III (Akper) 78 80,4

c. S1 Keperawatan/ Kesehatan Masyarakat 15 15,5 5 Status Kepegawaian

a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 54 55,7

b. Honorer 4 4,1

c. Tenaga Kerja Sukarela (TKS) 39 40,2 6 Pelatihan

a. Pernah 25 25,8

b. Tidak Pernah 72 74,2

Pada Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas umur responden ≥ 35 tahun sebanyak 46 orang (47,4 %) dan umur 25-30 tahun sebanyak 31 orang (32 %) dan umur ≤ 25 tahun sebanyak 20 orang (20,6 %).

Distribusi frekuensi jenis kelamin ditemukan mayoritas perempuan sebanyak 74 orang (76,3%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 23 orang (23,7%) dan mayoritas masa kerja responden kurang dari 5 tahun sebanyak 39 orang (40,2%) dan masa kerja lebih dari 10 tahun sebanyak 35 orang (36,1%) dan


(1)

KEPATUHAN * Hasil Observasi Penggunaan APD Crosstabulation

Hasil Observasi Penggunaan APD

Total Tidak Menggunakan

APD

Menggunakan APD

KEPATUHAN TIidak Patuh Count 16 7 23 Expected Count 6.6 16.4 23.0 % within KEPATUHAN 69.6% 30.4% 100.0% % within Hasil Observasi

Penggunaan APD

57.1% 10.1% 23.7%

% of Total 16.5% 7.2% 23.7%

Patuh Count 12 62 74

Expected Count 21.4 52.6 74.0 % within KEPATUHAN 16.2% 83.8% 100.0% % within Hasil Observasi

Penggunaan APD

42.9% 89.9% 76.3%

% of Total 12.4% 63.9% 76.3%

Total Count 28 69 97

Expected Count 28.0 69.0 97.0 % within KEPATUHAN 28.9% 71.1% 100.0% % within Hasil Observasi

Penggunaan APD

100.0% 100.0% 100.0%


(2)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 24.321a 1 .000

Continuity Correctionb 21.792 1 .000 Likelihood Ratio 22.717 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association

24.070 1 .000

N of Valid Cases 97

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.64. b. Computed only for a 2x2 table

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent Selected Cases Included in Analysis 97 100.0

Missing Cases 0 .0 Total 97 100.0 Unselected Cases 0 .0

Total 97 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding


(3)

Tidak Menggunakan APD 0 Menggunakan APD 1

Categorical Variables Codings

Frequency

Parameter coding (1) KEPATUHAN TIidak Patuh 23 1.000

Patuh 74 .000

Pengawasan kurang baik 86 1.000

Baik 11 .000

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted Hasil Observasi Penggunaan APD

Percentage Correct Tidak Menggunakan

APD

Menggunakan APD Step 0 Hasil Observasi

Penggunaan APD

Tidak Menggunakan APD 0 28 .0 Menggunakan APD 0 69 100.0

Overall Percentage 71.1

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant .902 .224 16.201 1 .000 2.464


(4)

Variables not in the Equation

Score df Sig. Step 0 Variables ptt(1) 3.985 1 .046 TK(1) 24.321 1 .000 Overall Statistics 26.511 2 .000

Block 1: Method = Backward Stepwise (Wald)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig. Step 1 Step 25.332 2 .000 Block 25.332 2 .000 Model 25.332 2 .000 Step 2a Step -2.615 1 .106 Block 22.717 1 .000 Model 22.717 1 .000 a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-squares value has decreased from the previous step.

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 91.252a .230 .329


(5)

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square

1 91.252a .230 .329

2 93.866a .209 .299

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted Hasil Observasi Penggunaan APD

Percentage Correct Tidak Menggunakan

APD

Menggunakan APD Step 1 Hasil Observasi

Penggunaan APD

Tidak Menggunakan APD 16 12 57.1 Menggunakan APD 7 62 89.9

Overall Percentage 80.4

Step 2 Hasil Observasi Penggunaan APD

Tidak Menggunakan APD 16 12 57.1 Menggunakan APD 7 62 89.9

Overall Percentage 80.4

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a ptt(1) 1.231 .754 2.665 1 .103 3.425 .781 15.013 TK(1) -2.463 .563 19.143 1 .000 .085 .028 .257 Constant .572 .706 .657 1 .417 1.773


(6)

Step 2a TK(1) -2.469 .552 19.997 1 .000 .085 .029 .250 Constant 1.642 .315 27.115 1 .000 5.167

a. Variable(s) entered on step 1: ptt, TK.

Variables not in the Equation

Score df Sig. Step 2a Variables ptt(1) 2.778 1 .096 Overall Statistics 2.778 1 .096 a. Variable(s) removed on step 2: ptt.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

17 158 133

Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Deli Serdang

3 59 90

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Umum Daerah Djoelham Binjai

14 122 86

Supervisi Kepala Ruangan dan Kepatuhan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan

9 64 94

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP DAN KEPATUHAN PERAWAT TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SARI MUTIARA MEDAN TAHUN 2014

0 0 18

Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang

1 1 13

Gambaran Pengetahuan Perawat Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Umum Daerah Djoelham Binjai

0 0 12

Lampiran 1 : Instrumen Penelitian Kuisioner PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN Instrumen Penelitian Kuisioner

0 2 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar – dasar Proses Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan - Pengaruh Pengawasan Dan Kepatuhan Terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri Pada Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Sakit Umum Daerah Kisaran

0 0 29

PENGARUH PENGAWASAN DAN KEPATUHAN TERHADAP PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI PADA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KISARAN TESIS

0 1 16