15 Menurut Weaver 2001 ekowisata merupakan konsep wisata yang
memelihara apresiasi dan pengalaman untuk belajar dari lingkungan alami atau beberapa komponen termasuk budaya di dalamnya. Tampak bahwa keberlanjutan
lingkungan alam dan sosial budaya perlu dipromosikan sebagai kegiatan wisata, karena lebih diminati wisatawan dan diperkirakan akan berkembang.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata menekankan tujuan untuk mencari pengalaman maupun bersifat pendidikan
dengan memperhatikan faktor alam dengan cara konservasi dan proteksi. Dengan definisi demikian pengembangan ekowisata sangat tepat jika diterapkan pada
kawasan kars seperti Kawasan Wediombo dengan melihat segi biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
2.1. Potensi Biofisik, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
Kawasan kars merupakan kawasan yang mempunyai bentang lahan yang komplek dan mempunyai keanekaragaman habitat kars yang unik sehingga
penting untuk dikonservasi Infield, 2004. Keanekaragaman yang unik ini adalah sebagai akibat formasi geologinya yang tersusun terutama oleh batuan kapur atau
limestone . Kawasan kars memiliki karakter hidrologi yang khas yang cenderung
kering di permukaan, tetapi terdapat sumber air bawah tanah seperti sungai bawah tanah. Sifat inilah yang akan menghasilkan proses pembentukan suatu kawasan
yang akan menghasilkan potensi-potensi tujuan wisata, yang dapat dikembangkan sesuai dengan sifat kerapuhannya. Struktur batuan yang mudah larut oleh air akan
menghasilkan fenomena alam yang menarik, oleh karena itu potensi untuk wisata kawasan kars dapat diperkirakan sesuai dengan proses pembentukannya
sebagaimana diuraikan berikut. Kawasan Kars Wediombo membentang sepanjang pegunungan selatan
Jawa dan secara morfologi dibagi menjadi dua yaitu Eksokars dan Endokars. Eksokars merupakan kenampakan yang dapat diamati dan ditemui secara
langsung di permukaan. Sedangkan Endokars merupakan kenampakan yang dapat dijumpai di bawah permukaan yang berupa goa-goa ataupun luweng yang dapat
dimasuki oleh manusia. Geomorfologi Kawasan Kars Gunung Sewu yang dikembangkan oleh Van Bemmelen 1970 disajikan pada Gambar 5.
16
Keterangan: 1.PerbukitanPlateau Kars
5. Lembah Uvala 2.BukitPerbukitanKubahKerucut kars Konikal, Sinoid,
Pepino 6. Lembah Polje
3. BukitPerbukitan Menara Kars Mogote 7. Lembah Kering
4. Lembah Dolina 8. Dataran Kars
Gambar 5. Skema Geomorfologi Kars Van Bemmelen, 1970 Wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan yang berada
pada sistem kars dari geologi Pegunungan Selatan. Kelompok batuan yang tertua pada sistem kars ini berumur Oligo-Miocene ± 22,5 juta tahun dan termuda
berumur Pliosen ± 5 juta tahun Verstappen, 1997. Wilayah tersebut tersusun oleh batuan volkanik klastik asam, batuan sedimen klastik, dan batuan sedimen
karbonat. Namun demikian, batuan sedimen karbonat limestone paling banyak ditemukan di permukaan.
Menurut Surono et al. 1992, wilayah pantai selatan dan sekitarnya, merupakan kawasan yang seluruhnya terbentuk oleh Formasi Wonosari.
Penyusun utama batuan Formasi Wonosari adalah batu gamping yang kompak, keras, namun rapuh. Selain itu dijumpai batu gamping napalan, batu gamping
konglomeratan, batu pasir dan batu lanau Surono et al., 1992. Walaupun kawasan pantai selatan ini terbentuk dari Formasi Wonosari yang didominasi oleh
batuan kapur, dijumpai anomali yaitu adanya bentuk lahan struktural denudasional di Pantai Wediombo Surono et al., 1992. Anomali ini adalah adanya kenyataan
17 bahwa batuan penyusun Pantai Wediombo bukan batuan kapur, melainkan terdiri
dari batuan beku andesit, dan termasuk bagian dari Formasi Nglanggran. Lebih spesifiknya, kawasan Pantai Wediombo sebelah barat tersusun oleh formasi
semilir, sedangkan selain kawasan tersebut semua tersusun oleh formasi kepek Surono et al., 1992. Verstappen 1977 mengelompokkan proses dan asal
tenaga eksogen dalam proses pembentukan bentuk lahan landform menjadi sembilan, satu diantaranya adalah proses pelarutan. Proses pelarutan inilah yang
menghasilkan bentuk lahan kars. Karakteristik bentuk lahan kars menurut King 1975 meliputi konfigurasi permukaan, struktur atau penyusun bentuk lahan, dan
proses yang menyebabkan terjadinya bentuk lahan. Bentuk lahan kars yang dapat dijumpai di Kabupaten Gunungkidul adalah
dolin, uvala, ponor, kegel kars, turm kars, dan lembah kering. Kars di Gunungkidul dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakteristik
dolin dan perkembangannya yaitu kars polygonal, kars labirin, dan kars tower yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan Lehman dalam Haryono dan
Day, 2004. Sebagai akibat pelarutan oleh air, pada permukaan kawasan kars ditemukan lubang-lubang yang tidak teratur, permukaan kars yang terkikis air,
dan hancurnya saluran dan jaringan yang mempunyai kompleksitas tinggi dan berlanjut hanya beberapa meter dari batuan permukaan. Gambar 6 menunjukkan
proses terbentuknya goa dan proses pengikisan batuan gamping menurut beberapa teori, yaitu abandon flank margin cave, pit cave dan collapsed phreatic cave
forms a banana hole.
Gambar 6. Proses Pengikisan Batuan Karbonat Membentuk Struktur Goa Ford dan William, 1989
ABANDONED PHREATIC
DEVELOPING PHREATIC
DIFFUSE VADOSE
COLLAPSED PHRETIC CAVE
FORMER SEA
CURRENT SEA
FRESHWATER DIFFUSE PHREATIC
FLOW PIT
PIT PIT
BURIED PALEOSOL
ABANDONED FLANK MARGIN
PALEOSOL WITH
18 Teori awal tentang perkembangan kars menjelaskan bahwa goa
berkembang dalam zone vados oleh pergerakan air melalui rekahan batuan. Dalam hal ini, air bergerak atau mengalir pada rekahan bidang perlapisan dan
atau struktur batu kapur sambil melarutkannya, kemudian sungai bawah tanah mulai terbentuk. Tahapan berikutnya sungai mengikis saluran hingga membentuk
goa. Namun demikian, Davies dalam Haryono, 2007 berpendapat bahwa tidak mungkin goa terbentuk dalam mintakat zone vados karena yang terjadi adalah
pembentukan ornamen goa karena proses pengendapan. Dengan argumen tersebut maka Davies mengemukakan teori baru yang dikenal dengan deep phreatic
theory yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di bawah muka air tanah oleh
pergerakan hidraulik air. Teori ini diperkuat oleh Seinnerton dalam Haryono, 2007 yang mengatakan bahwa air tanah tidak mungkin mampu melarutkan batu
gamping, karena pada umumnya telah jenuh, sehingga muncul teori water table yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di dekat muka air tanah water table dan
teori ini didukung oleh teori baru karena sebagian goa berbentuk goa horizontal. Ford dan William dalam Mylroie dan Carew, 2003 lebih lanjut menjelaskan
bahwa berdasarkan hasil penelitian modern dan laboratorium, goa dapat terbentuk baik di mintakat vados, phreatik maupun dekat muka air tanah. Mereka
menjelaskan terdapat empat tipe goa berdasarkan proses pembentukannya, yaitu bathyphreatic cave, phreatic cave with multiple loops, cave with
mixture of phreatic and watertable level components,
dan ideal water table cave
. Menurut Ford dan Wiliam dalam Haryono, 2007 tahapan akhir
perkembangan kars setelah kars poligonal adalah terjadinya proses perataan permukaan planasi yang dominan, sehingga cekungan-cekungan sudah tidak
ditemukan lagi karena sudah berhubungan membentuk dataran dengan kubah- kubah tersebar acak di tengahnya. Beberapa kars berciri labirin ditemukan di
sebelah barat dan tengah Wediombo yang bercirikan oleh lembah-lembah kering memanjang yang dibatasi oleh jajaran kubah kars di kanan kirinya dengan dinding
yang terjal canyon. Kawasan kars mempunyai 3 ciri Haryono dan Day, 2004. Pertama,
mudah terjadi pelapukan yang sangat tinggi dan tingginya proses pelarutan di bawah permukaan yang membentuk goa-goa, sungai bawah tanah, dan bentuk
19 lahan dengan banyak patahan-patahan pada batuan sebaran pegunungan. Kedua,
cadangan air yang sempat terjebak di permukaan akan mengakibatkan pelarutan bagian lebih tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah dengan membawa
sedimen-sedimen halus dari hasil pelapukan. Ketiga, dapat diidentifikasi secara umum adanya bentuk pegunungan berupa persegi ketupat yang berpasangan
karena adanya pengaruh tenaga endogen dari dalam bumi. Karena sifatnya yang sangat fragile, mudah larut dalam air, maka
topografi kars memiliki sistem air bawah permukaan yang dominan berupa lorong-lorong solusional dan sangat rentan terhadap degradasi, terutama
disebabkan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini disebabkan karena cepatnya aliran air serta minimnya mekanisme filtrasi pada lorong-lorong sistem bawah
tanah Haryono, 2007. Beberapa habitat kars hidup di bawah permukaan dan di atas permukaan.
Biota bawah permukaan banyak dijumpai di goa, maka muncul biospeleologie yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehihupan bawah tanah. Berdasarkan
sebaran biota goa dikenal beberapa istilah Vermeullen dan Whitten, 1999, yaitu: Site endemic
, local endemic dan regional endemic. Site endemic yaitu jenis yang sebarannya dapat mencapai 100 km
2
tetapi ada yang dari kurang 1 km, biasanya terdapat dalam satu kawasan kars. Sebagai contoh Stenasellus javanicus,
ditemukan di goa kars Cibinong Magniez dan Rahmadi, 2006. Local endemic, jenis yang mempunyai sebaran luasan sekitar 10-100 km
2
, yang biasanya mencakup dua atau lebih kawasan kars yang terpisah secara geologis dan
tergabung dalam satu deretan pegunungan. Contohnya kepiting goa, isopoda, ditemukan di Gunung Sewu dan bukit kapur selatan. Regional endemic,
mempunyai sebaran 10.000 km
2
sampai 1 juta km
2
atau dalam satu pulau. Contohnya Xeniaria jacobsoni Burr merupakan jenis dermaptera yang
melimpah di guano kelelawar. Kondisi sosial ekonomi kawasan Wediombo sama dengan kawasan kars
lain yang berada di kawasan Pegunungan Seribu. Sebagian besar kegiatan industri masih sangat terbatas pada industri kecil dan menengah sebanyak 96 catatan
desa, pola industri ini baik untuk pemerataan penghasilan bagi masyarakat, tetapi tidak strategis untuk pengembangan kegiatan perekonomian secara makro.
20 Pertanian lebih mengarah kepada pertanian lahan kering karena kawasannya
merupakan kawasan marginal yang sulit air, maka pola penanaman sistem tanam pertanian dengan cara tumpang sari. Kesempatan untuk memenuhi kebutuhan
dasar merupakan sumber pendapatan petani dan tersedianya tenaga untuk menentukan penggarapan lahan. Petani dengan beberapa pilihan berusaha untuk
menghasilkan panen untuk memenuhi kebutuhan pokok dari sedikit tanah yang tersedia, mengolah lahan di sekitar tempat tinggal banyak dilakukan di kawasan
kars Soemarwoto dan Conway, 1992. Untuk bisa bertahan, masyarakat kawasan kars pada umumnya
mengembangkan dasar bekerja secara sosial antar masyarakat, dengan filosofi menghindari konflik rukun dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
lain saling menghormati hormat, serta sifat kegotongroyongan sangat tinggi. Kawasan Gunung Sewu yang bekerja di ladang sebagian besar orang tua, kondisi
ini disebabkan oleh anaknya yang belajar di sekolah dan meninggalkan aktivitas pertanian, maupun kampung halaman Collier et al., 1996.
2.2 Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata