Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (ARIS MUNANDAR as Chairman
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS
BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG
KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
WIDODO ISMANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA KARS BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Maret 2009 Widodo Ismanto NRP. P062050674
(3)
WIDODO ISMANTO. Wediombo Sustainability Karst Ecotourism Development Model in Gunungkidul District at Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). (ARIS MUNANDAR as Chairman. ANDRY INDRAWAN and SYAIFUL ANWAR as members of the Advisory Committee).
Wediombo Karst is part of Gunung Sewu Mountain Karst Area which had been decided as the world heritage since 1994 by the International Speleology Mac Donald British Cave Research Association. Due to its beautiful land- and seascape panorama, beautiful caves, and unique flora and fauna, this area is potential to be developed as ecotourism area. The objective of this research is to provide a model to develop Wediombo as Karst Ecotourism Area. The research was conducted in 3 steps, i.e. (1) identification of biophysics, socio-economics, socio-culture, legal review, and tourist typology; (2) analysis of demand-supply, cost-benefit priority, and area-zoning; and (3) model development. In identifications step, data was analyzed descriptively. Area-zoning was analyzed using micro-ROS method. Model was developed using AHP and SWOT (AWOT) analysis. The results showed that Wediombo Karst Area has many potential places to be developed as ecotourism area, including beaches, caves, forests, traditional agriculture, and mountain areas. In addition socio-cultural, socio-economics, and legal aspects as well as analysis of tourist typology; demand-supply, cost-benefit priority support the development of karst ecotourism. Micro-ROS analysis shows that Wediombo area spreads over zoning scale 1 to 6, suggesting the natural condition still dominant. Zone development priority analyses suggests that zone A (Wediombo Beach) is the first priority, followed consecutively by zone B (cave and beach), zone E (local culture), zone C (Lowo Cave), zone D (forest area) and zone F (roadside area, stretching from rural boundary to Wediombo Beach). The AWOT analysis shows that Strengths and Threats (S-T) are the main factor for development of strategy. These results suggest that ecotourism development strategy concern in diversification based on local community. The first priority for the development of ecotourism is education tourism, which is expected will derive community awareness on sustainability of the environment including local culture.
Key words: Model,Gunungsewu karst, Wediombo, micro-ROS, AWOT, S-T Strategy, karst ecotourism
(4)
Kawasan Wediombo memiliki potensi kekayaan alam yang dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata dan mempunyai daya jual yang tinggi. Salah satunya adalah potensi kars-nya yang merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi. Untuk menjaga kawasan kars ini agar tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata, diperlukan pengembangan ekowisata. Permasalahan yang muncul bahwa sampai saat ini belum ada konsep yang jelas mengenai pengembangan ekowisata kars sehingga terancam keestariannya.
Penelitian bertujuan untuk membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah :
1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars.
2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya.
3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan
4. Menyusun model pengembangan ekowisata kars di Wediombo dan sekitarnya.
Penelitian ini dilakukan di kawasan kars Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama delapan (8) bulan yaitu sejak bulan Oktober 2007 hingga Juni 2008. Analisis data meliputi : analisis deskriptif, analisis statistika, analisis supply dan demand, eckenrode, Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), micro Recreational Opportunity Spectrum (micro-ROS), dan analisis AWOT yang merupakan gabungan antara metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, dan Threats)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Kars Wediombo mempunyai banyak potensi yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang meliputi pantai, goa, hutan alam, perladangan tradisional, kawasan pegunungan, flora dan fauna. Komponen-komponen yang mendukung meliputi, kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat lokal, dan tipologi wisatawan yang diperkuat oleh aspek hukum. Hasil identifikasi demand menunjukkan bahwa semua wisatawan yang datang ke kawasan kars Wediombo pada umunya bersama keluarga. Wisatawan tersebut berasal dari luar Kota Yogyakarta dan tingkat pendapatan berkisar 1,6-2 juta/bulan. Umumnya wisatawan sanggup membayar biaya masuk kawasan lebih besar dari biaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Dilihat dari hubungan antara pendapatan, kesanggupan membayar, dan umur menunjukkan adanya korelasi sedang antar ketiganya. Ini berarti bahwa semua pengunjung yang memiliki kesanggupan membayar lebih dari yang ditentukan karena faktor pendapatan dan umur. Dari sisi supply, terlihat bahwa banyak objek wisata yang dapat menarik wisatawan di kawasan ekowisata kars Wediombo seperti pantai, suasana alam, goa-goa, pegunungan, dan berbagai jenis flora dan fauna. Namun demikian,
(5)
masih kurang terutama atraksi budaya dan kebersihan, serta tempat-tempat ibadah. Dalam rangka menuju pembangunan ekowisata kars yang berkelanjutan, maka prioritas manfaaf (benefit) yang diharapkan dalam pengembangannya lebih diprioritaskan pada manfaat ekonomi dan selanjutnya manfaat lingkungan dan sosial. Ini berarti bahwa pengembangan ekowisata kars Wediombo setidaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pendapatan asli daerah (PAD) dengan tetap memperhatikan kelestarian linfgkungan dan kondisi sosial masyarakat. Adapun pilihan keputusan prioritas manfaat adalah perubahan pola hidup. Sementara dilihat dari prioritas biaya (cost) yang dikeluarkan dari pengembangan ekowisata kars, maka biaya perbaikan lingkungan menempati posisi pertama, kemudian diikuti faktor ekonomi dan sosial mempunyai. Adapun pilihan keputusan prioritas adalah biaya perencanaan kawasan dan konservasi sedimen.
Kawasan Wediombo secara kealamiahan masuk dalam skala 1 sampai 6 (micro-ROS), yang artinya didominasi oleh kawasan alami. Pantai Jungwok, Dadapan, Hutan Alam, Goa dan pegunungan pada skala 1 sampai 4, untuk Pantai Wediombo pada skala 3 sampai 6. Pengembangan kawasan wisata kars Wediombo dibagi enam zone dengan peringkat pertama Zone A (Pantai Wediombo), kemudian berturut-turut Zone B (Pantai dan Goa), Zone E (Pusat Budaya), Zone C (Goa Lowo), Zone D dan Zone F masing-masing kawasan Hutan alam dan Kawasan sepanjang jalan menuju Pantai Wediombo. Setiap zone memiliki kantong-kantong rekreasi yang menarik untuk dikembangkan sebagai objek wisata
Strategi pengembangan wisata di kawasan kars Wediombo adalah “Pengembangan Wisata Pendidikan” pada setiap jenis atraksi wisata yang dikembangkan pada kantong-kantong rekreasi di semua zone pemanfaatan dan selanjutnya wisata penelitian, wisata petualang, wisata spiritual dan wisata massa. Melalui wisata pendidikan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungannya dengan menempatkan alam dan budaya lokal sebagai nilai utama, sehingga masyarakat bisa tetap memperoleh keuntungan melalui wisata tersebut dan kawasan kars serta keanekaragaman hayati yang unik dapat terpelihara dan terlindungi dengan baik. Komponen yang paling berperan adalah diversifikasi kekuatan (Strengths) dan ancaman (threats), artinya strategi pengembangan ekowisata kars bertumpu kepada diversifikasi dan melibatkan masyarakat lokal. Tujuan yang paling diharapkan dalam pengembangan wisata pendidikan adalah adanya keberlanjutan baik keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial sebagaimana tiga pilar dalam pembangunan berkelanjutan hasil KTT Bumi tahun 1992 yang dikuatkan dengan keluarnya UU No. 23 tahun 1999 tentang Lingkungan Hidup. Melalui keberlanjutan ini, dalam jangka panjang dapat membantu mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan melalui kegiatan konservasi yang berjalan terus selaras dengan pembangunan ekonomi dan kondisi sosial masyarakat. Dalam pengembangan wisata ini perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan stakeholder pada beberapa institusi kelembagaan terkait sehingga kawasan dapat dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan tetap mengacu pada tata ruang wilayah yang ada sebagaimana diatur dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan daerah yang ada.
(6)
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang.
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
BERKELANJUTAN WEDIOMBO KABUPATEN GUNUNG
KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
WIDODO ISMANTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Judul Disertasi : Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Nama Mahasiswa : Widodo Ismanto Nomor Pokok : P062050674
Program Studi : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Ketua
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam Institut Pertanian Bogor dan Lingkungan IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
(9)
Disertasi ini dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS PSL-IPB). Tema dari penelitian ini adalah ekowisata kars, sedangkan judul yang dipilih adalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan Wediombo Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Alasan pokok yang mendasari judul yaitu masih sedikitnya pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata, sehingga kawasan kars masih dianggap sebagai kawasan yang tandus, kering, kekurangan pangan dan kawasan miskin.
Kawasan kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan kars Gunungsewu yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Assosiation dan Keputusan menteri ESDM tahun 1993 sebagai kawasan kars yang dilindungi dan tahun 1994 ditetapkan sebagai kawasan eko-kars.
Untuk mengoptimalkan Kawasan Wediombo sebagai kawasan ekowisata, maka dilakukan identifikasi biofisik untuk mengetahui potensi dan penyebaran kawasan wisata, sedangkan untuk mendukung pengembangan ekowisata dilakukan identifikasi sosial-budaya, sosial-ekonomi masyarakat setempat, aspek legal dan tipologi wisatawan.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS dan Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc selaku pembimbing dengan sabar memberikan berbagai masukan dan saran yang sangat berharga. Juga kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA sebagai penguji luar komisi ujian tertutup. Penghargaan juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng dan Ibu Dr. Ir. S. Sekartjakrarini, MSc. Sebagai penguji luar komisi ujian terbuka, yang banyak memberikan masukan. Selain itu penulis menyampaikan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H Sutjahjo, MS yang telah mengarahkan dan memotivasi penulis untuk melakukan penelitian
(10)
Dr. Ir. Etty Riyani, MS yang membantu memberikan masukan. Penulis juga merasa berhutang budi kepada Dr. Ir. Hikmad Ramdan, MS dan Dr. Ir. Thamrin Rasyid, MS yang membuka pikiran penulis sebelum dan sesudah melakukan penelitian mengenai ekowisata kars. Juga kepada Dr. Ir. Suaedi, MS maupun Sdr. Rahman Kurniawan mahasiswa S3 PSL yang telah meluangkan waktu untuk berkenan berdiskusi dengan penulis dan memberikan masukan yang sangat berarti. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih terhadap kawan-kawan program S3 PSL dan rekan mahasiswa yang lain yang telah memberikan saran dari saat kolokium maupun seminar yang merupakan tambahan yang berarti. Tidak lupa kepada Sdri. Ririn, Sdri Suli dan staf sekretariat program S3 PSL yang lain yang sejak awal menjadi “perantara” antara penulis dan pembimbing karena keterbatasan waktu. Terakhir kepada kedua orangtua yang setiap saat mendoakan untuk kemudahan anaknya dalam menjalankan proses pembelajaran, dan tak lupa kepada mertua yang mendorong dan memotivasi untuk menyelesaikan S3; istriku tercinta Tresni Prayetni Dewi, teman setia yang dengan sabar memotivasi dan mendorong untuk menyelesaikan disertasi ini; serta anak-anakku tersayang, Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro, yang sabar telah menunggu ayahnya mengurangi waktu untuk menemani mereka.
Bogor, 2009 Widodo Ismanto
(11)
Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Juli 1963 di Nganjuk Jawa Timur, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Markijo dan Wardjinah (Alm). Pendidikan Akademi ditempuh di Jurusan Geofisika, Akademi Meteorologi dan Geofisika, lulus tahun 1986. Sarjana ditempuh di Jurusan Statistik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UT, lulus tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan S2 Kajian Energi Program Studi Pembangunan, Fakultas Teknologi Industri ITB, lulus tahun 2003. Pada tahun 2005 penulis diterima di Program S3 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Sebelumnya penulis pernah bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika setelah menyelesaikan dari Akademi Meteorologi dan Geofisika sampai tahun 1990. Kemudian penulis mengundurkan diri atas permintaan sendiri dan bekerja di Petromer Trend Companies in Indonesia hinga PetroChina International Companies in Indonesia Ltd. sampai sekarang.
Penulis menikah dengan Tresni Prayetni Dewi, putri ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Sumardjo dan Srimulyani pada tahun 1994 dan dikarunia dua putra Arif Eko Putranto dan Haris Jati Kuncoro.
Pada tahun 1986-1989 aktif di Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) selain sebagai anggota juga menulis mengenai kegempaan di Indonesia di Jurnal HAGI. Pernah menulis di Suara Karya dan Kompas mengenai Gempa bumi yang dihubungkan dengan penataan lingkungan.
Bagian disertasi yang telah dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kepariwisataan Indonesia terakreditasi B (ISSN 1907-9419) pada bulan Maret 2008 volume 3, nomor 1, halaman 101-113, dengan judul Identifikasi Potensi Wediombo Sebagai Kawasan Ekowisata Kars di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk bagian disertasi yang lain dalam proses pemuatan.
(12)
Halaman
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
GLOSARIUM... xviii
BAB I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Kerangka Pemikiran... 6
1.3. Perumusan Masalah ... 9
1.4. Tujuan Penelitian ... 11
1.5. Manfaat Penelitian ... 12
1.6. Novelty (Kebaruan)... 13
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA... 14
2.1. Potensi Biofosik, Sosial ekonomi, dan sosial Budaya ... 15
2.2. Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata ... 20
2.3. Tipologi Pengunjung ... 23
2.4. Aspek Permintaan (Demand) dan Penawaran (Supply) Wisata ... 25
2.5. Analisis Micro-ROS ... 27
2.6. Analisis Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya ... 27
2.7. Strategi Pengembangan Ekowisata ... 28
BAB III. METODE PENELITIAN... 31
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31
3.2. Tahapan Penelitian ... 32
3.3. Metode Penelitian ... 33
3.3.1. Identifikasi Potensi Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars ... 33
3.3.2. Studi Supply dan Demand, serta Prioritas Manfaat dan Prioritas Biaya Ekowisata Kars Wediombo ... 38
(13)
3.3.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo
Berkelanjutan ... 44
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52
4.1. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars ... 52
4.1.1. Kondisi Biofisik, Sosial Ekonomi, dan Sosial Budaya ... 52
4.1.2. Aspek Legal ... 79
4.1.3. Tipologi Wisatawan ... 83
4.2. Besarnya Demand dan Supply, serta Manfaat dan Biaya Pengembangan Ekowisata Kars di Kawasan Wediombo ... 92
4.2.1. Hasil Demand dan Supply ... 93
4.2.2. Prioritas Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) ... 106
4.3. Pembagian Zone Kawasan Kars Wediombo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta ... 112
4.4. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Gunungkidul Yogyakarta ... 139
4.4.1. Penentuan dan Peringkat Faktor-Faktor Internal dan Eksternal dalam Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo ... 139
4.4.2. Model Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo... 144
4.5. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo ... 167
4.5.1. Kebijakan Umum ... 167
4.5.2. Kebijakan Operasional ... 168
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 171
5.1. Kesimpulan ... 171
5.2. Saran-Saran ... 173
DAFTAR PUSTAKA... 175
(14)
Halaman
1. Perbandingan cara pengelolaan ekowisata ... 21
2. Tipologi wisatawan dalam Micro-ROS ... 25
3. Penentuan bobot faktor manfaat (Benefit) ... 41
4. Penentuan bobot faktor biaya (Cost) ... 41
5. Nilian penataan kawasan rekreasi alam ... 44
6. Faktor-faktor dalam analisis SWOT ... 47
7. Kategori wisata dalam skala Micro-ROS ... 48
8. Matrik perbandingan berpasangan berdasarkan skala Saaty... 50
9. Nilai indeks random untuk penentuan consistency ratio (CR) ... 51
10. Karakteristik fauna di kawasan Wediombo ... 56
11. Keberadaan fauna di Kawasan Wediombo (catatan desa dan Wawancara ... 58
12. Tanaman endemik yang dikembangkan ... 60
13. Tanaman produksi yang dikembangkan ... 60
14. Kegiatan pendukung wisata di kawasan kars Wediombo ... 62
15. Status kawasan di Desa Jepitu ... 71
16. Kondisi profesi masyarakat Jepitu ... 71
17. Karakteristik masyarakat lokal ... 72
18. Jenis budaya tradisional kawasan Wediombo ... 74
19. Persepsi masyarakat lokal kawasan kars Wediombo ... 76
20. Partisipasi masyarakat local di sekitar kawasan kars Wediombo ... 79
21. Motivasi dan kegiatan wisatawan di kawasan Wediombo ... 86
22. Persepsi wisatawan ... 89
23. Kemauan membayar wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 91
24. Analisis Pearson hubungan antar variable ... 102
25. Matrik manfaat dari pendapat pakar sisi ekonomi, lingkungan dan sosial... 107
26. Matrik biaya dari sisi ekonomi, lingkungan, dan sosial ... 108
27. Manfaat pengembangan ekowisata kars Wediombo... 110
(15)
Biofisik... 115
30. Hasil evaluasi setting kawasan wisata Wediombo secara sosial... 115
31. Hasil evaluasi setting potensi kawasan wisata Wediombo secara administratif ... 116
32. Daftar fauna yang berada di kawasan Wediombo... 119
33. Matrik kategori zone kawasan dan objek pengelolaan menurut IUCN ... 126
34. Zone kawasan kegiatan wisata di kawasan kars Wediombo ... 128
35. Matrik penentuan nilai jumlah wisatawan berkunjung ... 129
36. Matrik penentuan nilai banyaknya kesempatan berekreasi ... 130
37. Matrik penentuan nilai persaingan kawasan wisata ... 130
38. Nilai kelayakan kawasan Wediombo ... 131
39. Matrik analisa viabilitas zone-zone kawasan Wediombo ... 132
40. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone A)... 133
41. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone B) ... 134
42. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone C) ... 135
43. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone D)... 136
44. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone E) ... 137
45. Deskripsi zone produk ekowisata di kawasan ekowisata kars Wediombo (zone F)... 138
46. Hasil identifikasi faktor-faktor kekuatan (Strength) ... 139
47. Hasil identifikasi faktor-faktor kelemahan (Weaknesses)... 140
48. Hasil identifikasi faktor-faktor peluang (opportunities) ... 141
49. Hasil identifikasi faktor-faktor ancaman (Threats)... 141
50. Formulasi rancangan pengembangan ekowisata kars Wediombo Matrik SWOT ... 143
51. Matrik strategi pengembangan dengan pewilayahan (zone)... 150
52. Daya tarik alternatif kegiatan ekowisata di kawasan kars Wediombo ... 153
(16)
Halaman 1. Kluster pengembangan wisata di Pantai Selatan Yogyakarta,
Kawasan Wediombo termasuk dalam kluster Pantai Rongkop ... 3
2. Tiga pilar sistem manajemen lingkungan (SML) ... 8
3. Kerangka pemikiran penelitian ... 9
4. Skema perumusan masalah model pengembangan kawasan Ekowisata kars yang berkelanjutan di wediombo... 12
5. Skema deomorfologi kars ... 16
6. Proses pengikisan batuan karbonat membentuk struktur goa ... 17
7. Lokasi penelitian kawasan Wediombo ... 31
8. Tahapan penelitian pengembangan kawasan ekowisata Wediombo . ... 32
9. Hierarkhi mekanisme pemilihan pengembangan wisata ... 49
10. Peta kelerengan kawasan Wediombo ... 53
11. Letak goa berdasarkan proses pembentukan ... 55
12. Potensi penyebaran kawasan wisata Wediombo ... 67
13. Potensi pergerakan wisatawan di kawasan Wediombo ... 68
14. Lingkaran optimalisasi ekowisata dan kelembagaan ... 69
15. Stakeholder yang berperan dalam bisnis ekowisata ... 70
16. Pendapatan masyarakat lokal per bulan ... 73
17. Beberapa rangkaian upacara Ngalangi ... 75
18. Diagram hari puncak kunjungan wisatawan ... 84
19. Diagram motivasi dan aktivitas wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 87
20. Diagram jenis kelompok wisatawan ... 94
21. Diagram kelompok umur wisatawan yang berkunjung ke Wediombo ... 95
22. Diagram pendpatan wisatawan di kawasan kars Wediombo ... 95
23. Diagram kemauan membayar wisatawan ... 96
24. Diagram lamanya jarak tempuh wisatawan ... 97
25. Peta waktu perjalanan ke kawasan Wediombo Gunungkidul ... 98
(17)
28. Jenis transportasi wisatawan ke kawasan Wediombo... 100
29. Tempat yang paling menarik menurut wisatawan ... 103
30. Kondisi sarana dan prasarana di kawasan Wediombo ... 103
31. Kekurangan kondisi infrastruktur ... 104
32. Kantong-kantong potensi kawasan wisata berdasar Micro-ROS... 112
33. Pembagian zoning kawasan kars Wediombo... 125
34. Hierarkhi model pengembangan kawasan ekowisata kars Berkelanjutan di Wediombo ... 146
35. Prioritas komponen SWOT dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 148
36. Prioritas faktor SWOT (Kekuatan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 156
37. Prioritas faktor SWOT (Ancamann) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 157
38. Prioritas faktor SWOT (Peluang) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 158
39. Prioritas faktor SWOT (Kelemahan) dalam pengembangan kawasan Ekowisata kars Wediombo... 159
40. Prioritas masing-masing aktor yang berperan dalam pengembangan Kawasan ekowisata kars Wediombo ... 160
41. Optimalisasi pengembangan ekowisata ... 162
42. Prioritas masing-masing tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo... 164
43. Prioritas masing-masing strategi pengembangan kawasan ekowisata Kars Wediombo ... 165
44. Lingkaran optimalisasi ekowisata kars Wediombo dan Kelembagaan (Pengembangan dari Weaver, 2001) ... 167
45. Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang Berkelanjutan ... 170
(18)
xvii
Halaman
1.
Kuesioner pengembangan ekowisata kars di Wediombo ...
182
2.
Pembobotan kriteria prioritas manfaat dan biaya ...
207
3.
Kuesioner penilaian variabel pengembangan kawasan ekowisata kars.
208
4.
Peta tematik curah hujan ...
209
5.
Peta tematik tingkat erosi ...
210
6.
Peta tematik kepadatan penduduk ...
211
(19)
xviii
Istilah-istilah
Ampyang
: Makanan yang terbuat dari kacang tanah dengan gula merah, sehingga
membentuk seperti rempeyek
Asum Dahar:
Prosesi ziarah ke tempat Gusti Ibu Kanjeng Nganglang Jagad Noto
Kusumo, dilaksanakan setiap tahun sehabis panen di dusun Manukan pada sebuah
watu dukun
dilaksanakan pada Jumat wage atau Jumat legi
Conical
:
pegunungan di kawasan kars yang berbentuk kerucut
Critically Endangered (CR)
:
Kategori ditujukan kepada spesies yang menghadapai
resiko tinggi menuju kepunahan dalam waktu dekat.
Dolin
:
merupakan cekungan-cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan
diameter beberapa meter hingga lebih kurang satu kilometer.
Endangered (EN
)
:
Tidak masuk dalam spesies CR tetapi menghadapi resiko kepunahan
di alam liar dalam waktu yang agak dekat (rentang waktunya lebih lama dari CR)
Extinct (EX):
Kategori untuk spesies yang dapat dipastikan tidak ada lagi
individunya yang masih hidup.
Extinct in the wild (EW):
Berlaku untuk spesies yang tidak dapat diketemukan lagi di
habitat/lingkungan aslinya. Keberadaan hidupnya berada di wilayah aslinya,
dengan tujuan pengembangbiakkan.
Gawar Kentheng/Sriatan:
adalah pasang batas dusun dengan menggunakan tali dari
bambu yang diberi ijuk. Dilaksanakan bulan Shuro (Muharom) hari Jum’at legi.
Gumbreg:
dilaksanakan setiap tahun 2 kali, fungsinya untuk sesaji hewan ternak dan alat
pertanian, dengan makanan khas ketupat dan jadah.
Jadah:
Ketan yang sudah matang, selama proses pematangan ketan dicampur dengan
santan kelapa kemudian ketan yang matang digiling sampai halus.
Kars
:
kawasan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang
mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik.
Kawasan kars:
kawasan batuan karbonat (batuan gamping dan atau dolomit) yang
memperlihatkan morfologi kars yang ditandai oleh bukit berbangun kerucut dan menara,
lembah dolina, gua, dan stalagtit serta sungai bawah tanah.
(20)
xix
kliwon atau senin wage
Least Concern (LC
)
:
Tidak termasuk spesies dalam CR, EN, VU dan LC.
Keberadaannya masih tersebar dalam wilayah tertentu.
Memule:
doa yang dilakukan setiap keluarga yang akan menikahkan anak atau untuk
awal mulai pertanian atau pembangunan rumah. Pelaksanaan setiap hujan turun
atau akan menikahkan anak atau membangun rumah.
Near Treathened (NT
):
Tidak masuk dalam spesies VU tetapi menghadapi resiko punah
dalam jangka waktu panjang.
Ngalangi:
Ucapan rasa sukur setelah selesai panen dilakukan dengan cara melakukan
ritual laut dengan cara melabuh tumpeng, ayam, kain, benang, gunting, jarum di
Pantai Wediombo, sedangkan waktu ritual menagkap ikan di Pantai Jungwok
Nyadran:
Nadar yang dipenuhi dan mengunjungi peristirahatan Gusti Worawari dalam
satu tahun sekali setelah panen bersama waktu Rosulan.
Ngirim Pari
: mengirim padi dengan kunyit, asem, dan bedak dari padi (rujak asem)
ketika padi mau berisi.
Polje
:
merupakan kawasan yang berlantai datar, dapat berupa batuan dasar atau batuan
lepas seperti alluvium, cekungan tertutup dengan lereng terjal paling tidak pada
salah satu sisinya, dan mempunyai drainase kars.
Pit Cave
: goa yang mempunyai kedalaman tegak lurus
Red list data book
: Buku merah yang berisi tentang fauna yang berpotensi akan punah
menurut IUCN
Resan:
tempat yang masih banyak ditumbuhi pohon dan menurut kepercayaan ada
“penghuninya” tidak boleh dirusak, ketika acara rosul dibersihkan daun yang
berada di bawah pohon tersebut
Satelit Ketela:
Makanan terbuat dari ketela yang diparut kemudian di kukus dan
mempunyai bentuk tipis seperti lempeng.
Speleology
:
ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dan ekosistem yang
tejadi di dalam goa
Srimping:
Jadah dicetak tipis bulat dikeringkan, setelah itu di goreng
Uvala
:
merupakan gabungan dari dolin-dolin dengan diameter 500-1000 m dan
kedalaman 100-200 m.
(21)
xx
Vulnerable (VU
):
Tidak masuk dalam spesies EN tetapi menghadapi resiko punah dalam
jangka waktu menengah.
Worang:
makanan terbuat dari ketan yang di kukus samapai matang dan cara makan
dengan menggunakan parutan kelapa
Operasional
Daya dukung adalah:
kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen
biotic (mahluk hidup) yang terkandung di dalamnya, dengan juga memperhitungkan
factor lingkungan dan factor lainnya yang berperan di alam.
Ekosistem adalah:
sebuah entitas yang terdiri dari tumbuhan, hewan serta lingkungan
disekitarnya, serta pertukaran energi dan materi pada lingkungan tersebut (Barbour dalam
UU N0.67/2004 tentang pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil).
Ekowisata adalah
: kegiatan wisata berdasarkan lingkungan yang menitikberatkan aspek
konservasi dan aspek pemberdayaan masyarakat lokal dari unsure social, ekonomi dan
budaya serta mengandung aspek pendidikan.
Kebijakan adalah
: serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau
kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut
dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para
pembuatnya (William
Jenkins, 1978).Kawasan adalah:
wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya (UU No.
26/2007 tentang Penataan Ruang)
Klasifikasi kawasan kars adalah
: kegiatan menentukan atau membagi suatu kawasan
kars menjadi satu atau beberapa kelas sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dan potensi
yang dimilikinya
Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah
: pembangunan yang mampu
memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan tetap
menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan di masa yang akan datang.
Pengembangan kawasan adalah:
upaya adaptif mengembangkan kawasan yang dapat
menyesuaikan dengan lingkungan untuk mencapai keserasian antarsektor dan
antarwilayah, serta antarnegara yang bertetangga sehingga dapat mensejajarkan diri
dengan negara yang lebih maju.
Konservasi sumber daya alam:
pengelolaan sumber alam terbaharui dan tak terbaharui
untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
(22)
xxi
perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.
Pengelolaan berkelanjutan adalah
: pengelolaan yang dapat memenuhi kebutuhan dan
aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan
aspirasi manusia di masa mendatang
(23)
1.1. Latar Belakang
Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang membutuhkan kompensasi untuk menikmati waktu luangnya (leisure time) dengan melakukan perjalanan wisata. Naisbit (1994) telah memperkirakan bahwa mulai tahun 2000 sektor pariwisata akan menjadi industri terbesar di dunia dan menyumbang ekonomi global. Sebagai penyumbang ekonomi global, pakar ini menyatakan bahwa sektor pariwisata tidak ada tandingannya dikarenakan mampu mempekerjakan 204 juta orang di seluruh dunia, atau 10,6% dari angkatan kerja global, menghasilkan 10,2% produk nasional bruto dunia, dengan keluaran bruto mendekati US$ 3,4 triliun, dan menjadi produsen terkemuka dengan pendapatan pajak terbesar mencapai US$ 655 milyar (WTO, 2000). Kondisi ini terus mengalami kenaikan, sebagaimana ditunjukkan dengan pendapatan pajak yang mencapai US$ 733 milyar (WTO, 2006).
Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai salah satu sumber penerimaan devisa maupun sebagai pencipta lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 4.871.351 orang, dan penerimaan sebesar US$ 4.447,98 Juta (BPS, 2006). Wisatawan yang mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berjumlah 2.139.540 orang (BPS Yogyakarta, 2006).
Sumbangan sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Gunungkidul semakin meningkat. Pada tahun anggaran 1993/1994, sumbangan sektor pariwisata terhadap PAD mencapai Rp.111 juta (5,9%), kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 meningkat Rp.304 juta (6,8%). Selain itu kunjungan wisata tahun 1993 berjumlah 179.374 orang (termasuk 393 wisata mancanegara), sedangkan pada tahun 1998 meningkat menjadi 300.847 orang (termasuk 453 wisata mancanegara). Ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi kenaikan kunjungan wisata rata-rata 12% per tahun (Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, 2000).
Kekayaan alam dan keajaiban alam yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan potensi yang dapat dikembangkan dan mempunyai
(24)
daya jual yang tinggi. Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi kars-nya, merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi dan kelestarian lingkungan. Selain unik, kars merupakan kawasan yang cukup langka di Indonesia bahkan di dunia dan belum banyak dikembangkan sebagai daerah ekowisata. Keputusan Menteri ESDM N0. 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan tanggal 1 Desember 2004 telah menetapkan bahwa kawasan kars Pegunungan Seribu Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan eko-kars. Kawasan ini merupakan kawasan kars tropik dan telah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (The World Heritage) pada tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, dan menyebutkan bahwa Kars Gunung Sewu merupakan salah satu kars terbaik di dunia.
Untuk menjaga kawasan kars tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata maka, diperlukan pengembangan ekowisata, karena ekowisata merupakan bagian dari semua jenis wisata antara lain: wisata masa, wisata alternatif dan wisata berkelanjutan (Weaver, 2001). Pariwisata di Yogyakarta dikembangkan sebagai wisata budaya dan konservasi, serta menempatkan jenis wisata lain sebagai wisata pendukung, dan berdasarkan keseimbangan pasar dan potensi yang tersedia, termasuk kawasan di Kabupaten Gunungkidul (Bapeda Yogyakarta, 2000).
Bapeda Gunungkidul (2005) mengelompokkan kawasan pesisir Wediombo termasuk daerah wisata yang masuk dalam kategori pengembangan E, yaitu wisata dan konservasi skala nasional, sedangkan di sebelah utara pengembangan I yaitu hutan produksi jati, di sebelah barat merupakan pusat pengembangan D sebagai panjat tebing skala internasional dan di sebelah timur adalah pengembangan F yaitu sektor industri perikanan. Berdasarkan kluster pengembangan wisata, wilayah ini disebut sebagai kluster pengembangan pantai Rongkop (Gambar 1). Kawasan Wediombo memiliki unsur strategis yang tinggi, yang mencakup aspek ilmiah, ekonomi, kemanusiaan dan konservasi yang merupakan dasar bagi kegiatan pengelolaan kawasan yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sasarannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang telah menghuni kawasan
(25)
tersebut secara turun temurun, yang pada umumnya merupakan komunitas marginal. Saptosari Goa Maria Tritia Pt. Ngobaran Pt. Nguyahan Pt. Subuh Pt. Langkap Pt. Grigik Goa Sodo Pt. Ngicahan Goa Topan Pegunungan Karik Sandang Beji Pesanggrahan Gembirawati Pantai Parang Rodeo Goa Cirme Pallyan Aortapaar Wonokobaran Panggang Tepus Pt. Boran
Pt. Kukla Pt. SepanjangPt. Krakel Pt. Sandak Pt. Stik
Pt. Dhini Gunung Batur
Pantai Slang Pantai Wedlember
Kluster Pantai Rongkop dan sekitarnya
Pantai Sadeng Pantai Ngungap
Rongkop
Kluster Pantai Tepus dan sekitarnya Kluster Pantai Saptosari
dan sekitarnya Kluster Panggang dan sekitarnya
Samudera Hindia
North
Gambar 1. Kluster Pengembangan Wisata di Pantai Selatan Yogyakarta; Kawasan Wediombo termasuk dalam Kluster Pantai Rongkop
Wediombo merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Gunungkidul yang sedang dikembangkan sebagai kawasan wisata (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2000). Pemanfaatan yang dilakukan pada saat ini adalah sebagai wisata pantai, tetapi kawasan ini belum tertata dengan baik. Jumlah pengunjung rata-rata 13.510 wisatawan/tahun dengan pemasukan Rp. 17.656.000/tahun (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2008).
Kawasan Wediombo, merupakan wilayah kars yang mempunyai potensi wisata berbasis alam, yang meliputi goa dan kars, pantai yang dikelilingi tebing kars, sungai bawah tanah, dan hutan. Tumbuhan seperti kina, segawe, nyamplung (Callophylum inophylum), lowo merupakan tumbuhan endemi pada habitat ini. Fauna yang ada meliputi trenggiling (Manis javanica), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), lutung (Trachy pithechus cristatus), kijang (Muntiacus muntjak), ular phyton (Phyton reticulatus), bajing goa (Rheithrosciurus), penyu hijau (Chelonia mydas) dan berbagai fauna lain yang hidup di dalam goa maupun diluar goa.
(26)
Kawasan Wediombo mempunyai dataran yang luas yang dikelilingi bukit-bukit kars dan berpotensi untuk kegiatan camping ground, trekking, hiking, dan kegiatan wisata lainnya. Masyarakat lokal Kawasan Wediombo mempunyai kebudayaan khas yang bersifat tradisionil, dan merupakan potensi yang menarik untuk dikembangkan sebagai pendukung kegiatan wisata. Berbagai potensi daya tarik alam (lanskap) pada Kawasan Kars Wediombo mendukung pengembangan konsep ekowisata yang berbasis kepada kawasan kars.
Permasalahannya adalah kawasan kars merupakan ekosistem yang fragile (Aurighi et al., 2004), sehingga kalau dikembangkan harus memperhitungkan daya dukungnya. Strateginya adalah mengembangkan bentuk wisata yang mempunyai fungsi penyangga, sehingga tekanan kegiatan wisata ke obyek kars secara langsung dapat dikurangi, sekaligus sumbangan terhadap perekonomian dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu perencanaan spatial kawasan dengan mempertimbangkan nilai lingkungan alami penting dilakukan.
Beberapa metode pengelolaan ekowisata antara lain adalah: (1) Limit of Acceptable Change (LAC) (Stankey et al. dalam Farrel dan Marion JL, 2002) menekankan terhadap perlindungan kawasan, tetapi dari sisi ekonomi tidak optimal. (2) Visitor Impact Management (VIM) (Susan et al., 2003), menekankan mengenai dampak kondisi sekarang tetapi tidak mengkaji potensial yang menyebabkan dampak tersebut. (3) Visitor Experience Resources Protection (VERP) (Hof dan Lime, 1997), yang berisi gambaran kondisi sumberdaya alam ke depan dan kondisi sosial, menentukan tingkat penggunaan sumberdaya yang tersedia, dimana, kapan dan mengapa. Pada lingkungan yang berbeda perlu dilakukan percobaan, dan kemampuan pengawasan untuk menyiapkan informasi mengenai cara pengelolaan yang harus diuji. Metode micro-ROS tetap mengutamakan perlindungan lingkungan, dan dapat digunakan untuk menilai pada kawasan yang sempit, memberikan kesempatan rekreasi se-optimum mungkin untuk mendapatkan pengalaman berwisata (Parkin et al., 2000). Metode ini diperkirakan sesuai diterapkan di Kawasan Wediombo. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan identifikasi potensi kawasan secara biofisik, sosial-ekonomi, sosial-budaya, tipologi wisatawan dan aspek legal, kemudian analisis demand
(27)
supply, analisis prioritas manfaat-biaya dan analisis spasial untuk ekowisata dengan micro-ROS. Model pengembangan ekowisata dianalisis dengan analisis SWOT dan analisis AHP.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di kawasan karst antara lain; Penelitian di kawasan kars Belize di Amerika Tengah dan Caribia membahas mengenai peningkatan tekanan penduduk dan menekankan kepada perlindungan lingkungan (Day, 1996), penelitian ekowisata di kepulauan Ogasawara (Ichiki, 2002), membahas mengenai identifikasi kawasan yang potensial sebagai kawasan ekowisata. Penelitian lain adalah sistem keberlanjutan Kars dilihat dari sisi managemen kebiasaan masyarakat dan lingkungan fisik, yang ditekankan pada kemampuan masyarakat untuk menyelaraskan kehidupan sesuai lingkungannya (Sunkar, 2004). Beberapa penelitian tersebut ternyata hanya menekankan kepada perlindungan lingkungan pada kawasan fragile, kemampuan masyarakat bertahan dan identifikasi kawasan tanpa menyinggung maksimalisasi kesempatan berekreasi pada kantong kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya pada suatu wilayah (region) yang luas. Penelitian di Kawasan Wediombo ini merupakan penelitian dengan pendekatan terpadu selain melakukan perencanaan konservasi, juga menganalisis prioritas manfaat dan biaya, keselarasan permintaan dan kesediaan, menganalisis SWOT objek wisata, dan penentuan alternatif jenis wisata.
Upaya untuk mengembangkan Kawasan Kars Wediombo sebagai wilayah ekowisata masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar antara lain adalah belum adanya sarana dan prasarana yang memadai sebagai kawasan ekowisata, belum lengkapnya inventarisasi dan informasi spasial mengenai potensi kawasan wisata dan belum terumuskannya aspek aspek strategi pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo secara optimal.
Kondisi ini dapat teridentifikasi dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Wediombo masih terbatas pada hari-hari besar dan libur. Wisatawan hanya mengenal wisata Pantai Wediombo dengan waktu kunjungan relatif singkat. Banyak kawasan yang mempunyai nilai wisata tinggi belum dimanfaatkan secara optimal, baik kawasan pantai, kawasan hinterland maupun budaya daerah
(28)
Wediombo dan sekitarnya. Semua potensi yang ada belum dikemas sebagai atraksi wisata yang menarik. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut supaya dapat merancang model pengembangan wilayah Kars Wediombo dan sekitarnya sebagai kegiatan ekowisata yang terpadu.
1.2. Kerangka Pemikiran
Secara konseptual, ekowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk wisata yang berbasis kepada sumberdaya alam dan keberlanjutan, difokuskan kepada pengalaman dan pembelajaran tentang sumberdaya alam, mengendalikan dampak negatif yang rendah, tidak konsumtif dan berorientasi kepada masyarakat lokal (kontrol, manfaat, dan skala). Tipenya adalah kawasan alam dan mempunyai konstribusi untuk mencari pengalaman dan konservasi atau perlindungan kawasan (Fennel, 1999). Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, yang meliputi alam maupun budaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Ditjen Pariwisata, 1995). Kawasan Kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan Kars Gunungsewu yang ditetapkan sebagai warisan dunia (International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, 1994).
Ditinjau dari segi pengelolaan, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan berupaya mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Suhandi, 2001). Ekowisata dapat dikatakan lahir karena kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata untuk dikunjungi. Wisatawan tidak hanya sekedar ingin melihat dan menikmati daya tarik objek wisata, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah mendapatkan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru.
Ekowisata kawasan kars masih sangat sedikit yang dikembangkan, bahkan belum diperhitungkan sebagai potensi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan penduduk lokal. Pantai kars yang terdapat di Gunungkidul, khususnya
(29)
kawasan Wediombo merupakan tujuan utama pengunjung yang berupa pantai teluk dengan batuan vulkanik atau disebut pantai gunung api (Sunarto, 2000).
Selain mempunyai potensi wisata alam dan pantai, terdapat potensi taman laut, wisata penelitian dan diving zone. Di sebelah barat di luar Kawasan Wediombo terdapat wisata panjat tebing yang bertaraf internasional(tebing yang curam di Pantai Siung). Potensi lainnya adalah terdapatnya bentukan bentang alam pada batuan karbonat (batu gamping) yang mempunyai bentuk sangat khas berupa bukit berbentuk kerucut (conical), lembah, cekungan tertutup berbentuk lonjong atau bulat (dolin), sungai bawah tanah dan goa.
Karena sifatnya yang sangat porous batu gamping tidak mampu menahan air permukaan lebih lama meresap ke bawah membentuk sungai-sungai bawah tanah. Karakteristik lainnya adalah kondisi kering dengan hutan yang ditumbuhi vegetasi jati, akasia, mahoni, semua jenis tumbuhan yang tahan terhadap kondisi kekurangan air dan beberapa habitat fauna yang tidak ditemukan di kawasan lain. Sebagai kawasan kars, Wediombo sering diidentikkan sebagai kawasan tandus, kekurangan air dan kondisi perekonomian masyarakatnya rendah (Fryerand Jacson dalam Nibbering, 1991). Dikawasan ini, sebagian penghasilan hidup petani berasal dari pertanian tadah hujan, yang menghasilkan tanaman dengan produktivitas rendah, dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Jika terdapat vegetasi atau hutan, hanya tanaman tahan kekeringan yang dapat tumbuh, seperti pohon jati, sengon, akasia, jambu mete dan pohon-pohon lain yang bersifat tahan kekeringan. Namun demikian sesungguhnya secara ekonomi kawasan kars dapat dikembangkan secara produktif, dengan melihat setidaknya 4 potensi. Pertama, potensi pertanian lahan kering. Kedua, potensi hutan yang cukup baik bagi industri manufaktur yaitu kayu jati, mahoni, akasia, jambu mete dan lain-lain yang sifatnya tahan terhadap iklim dan morfologi kars. Ketiga, adalah potensi tambang berupa kars (batu gamping), untuk pemenuhan industri kerajinan batu marmer, bahan baku semen dan lain-lain. Namun demikian apabila kegiatan penambangan tidak terkontrol maka kelestarian kawasan kars akan rusak, sehingga terjadi degradasi lingkungan. Keempat, adalah potensi pemandangan alam dan keunikan kawasan kars untuk dijadikan kawasan wisata. Untuk mengembangkan kawasan kars sebagai kawasan wisata, maka konsep ekowisata
(30)
merupakan konsep yang sesuai, karena mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan alam serta, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal sesuai dengan tujuan ekowisata.
Blamey (1997; 2001) mengidentifikasi elemen kriteria ekowisata meliputi elemen pendidikan, berbasis alam dan keberlanjutan. Konsep dan program pengembangan ekowisata berkelanjutan pada dasarnya menuntut adanya kerjasama dan pelibatan antara pihak-pihak yang berkepentingan meliputi berbagai keahlian mulai dari perencanaan sampai ke implementasi. Sementara pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi membutuhkan kerja sama yang sinergi, adaptif antara pemangku kawasan pelestarian alam, masyarakat sekitar serta pihak swasta, maka ekowisata merupakan alat yang mampu sebagai kunci konservasi, berdasarkan ketiga pilar manajemen lingkungan (Gambar 2).
Gambar 2. Tiga Pilar Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
Dikembangkannya kawasan kars sebagai kawasan ekowisata diharapkan akan meningkatkan PDRB, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, konservasi sumberdaya alam, menyerap tenaga kerja, mengurangi tingkat urbanisasi yang tinggi dan melestarikan budaya lokal, sehingga kawasan kars menjadi daerah yang maju dan dapat membangun secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian sebagaimana telah diuraikan dirangkum pada Gambar 3.
Aspek Biofisik
Aspek Ekonomi
Aspek Sosial Budaya
(31)
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.3. Perumusan Masalah
Secara potensi kawasan Wediombo merupakan kawasan yang sangat fragile, mempunyai keunikan dan kelengkapan keanekaragaman hayati yang tidak ditemukan di kawasan lain. Kawasan Wediombo sangat sesuai jika dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kondisi yang terjadi adalah bahwa pengembangan wisata kawasan Wediombo tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena jumlah kunjungan wisatawan pada hari-hari biasa sangat sedikit.
Potensi kawasan kars Wediombo dan sekitarnya yang dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars belum banyak diketahui oleh wisatawan, penduduk lokal, pihak swasta (sebagai pengelola kawasan wisata) maupun
Kawasan KARST Wediombo
Potensi Pengembangan Ekowisata Kars 1. Goa kars
2. Pantai
3. Bentuk pengunungan 4. Flora dan fauna 4. Sungai bawah tanah
Nilai Kawasan yang Tinggi
Ekologi Ekonomi Sosial
Wisata Spiritual
Wisata Penelitian Wisata
Petualang Wisata
Pendidikan
Wisata Massa
PERMASALAHAN - Terfragmentasi (tdk terpadu) - Konflik kepentingan
- Pemanfaatan kars tidak optimal
Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang
(32)
pemerintah daerah. Hal ini ditinjau dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan maupun wisata khusus. Potensi kawasan kars secara ekonomi dapat dikembangkan secara produktif, jika dilakukan identifikasi biofisik, identifikasi sosial budaya dan identifikasi sosial ekonomi. Agar pengembangan dapat tertata dengan baik dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pewilayahan (zoning) pengembangan. Identifikasi kawasan unggulan kars dan kawasan pendukung kars sebagai kawasan wisata, membantu untuk membuat zoning kawasan, maka pengembangan ekowisata kars dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa Permasalahan mendasar antara lain adalah pengelolaan kawasan masih terfragmentasi (tidak terpadu) dan hanya pada pengembangan ekowisata tertentu saja, munculnya konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan ekowisata terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan konservasi kawasan disamping partisipasi masyarakat masih kurang dalam ikut mengembangkan ekowisata kars karena tingkat sumberdaya manusia yang masih rendah, tidak adanya data inventarisasi kawasan potensi wisata termasuk hasil analisis supply dan demand. Hal ini disebabkan oleh belum dilakukannya identifikasi potensi secara biofisik, sosial budaya dan sosial ekonomi termasuk tipologi wisatawan, potensi permintaan maupun penawaran wisatawan dan potensi penawasan dan permintaan ekowisata. Permasalahan lain adalah belum dilakukan zoning kawasan untuk mengetahui besarnya pengalaman yang bisa diperoleh wisatawan dan belum adanya kebijakan konservasi kawasan dalam rangka pengembangan ekowisata kars yang berbasis ekologi dan perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya degradasi lingkungan dapat terjadi akibat perbuatan masyarakat lokal maupun akibat kondisi alam, seperti kondisi hutan, goa, pantai, menipisnya jumlah flora dan fauna tertentu dan kondisi batuan yang tidak dapat menampung air hujan sehingga jika musim kering akan kekurangan sumber air. Semua permasalahan-permasalahan tersebut pada akhirnya bermuara pada belum terumuskannya konsep pengembangan ekowisata kars Wediombo dan sekitarnya yang berkelanjutan.
Permasalahan yang dirumuskan di atas merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala bagi pengembangan Wediombo sebagai kawasan ekowisata kars. Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam membangun objek ekowisata
(33)
adalah: identifikasi potensi dan kelayakan, pengembangan, pengelolaan, pemeliharaan dan pemasaran. Sementara sukses tidaknya mengkomersialkan suatu objek ekowisata berkelanjutan tergantung pada kejelian mengidentifikasi aneka daya tarik sumber daya alam dan potensi untuk mengembangkan, mendidik SDM yang dibutuhkan secara terarah dan konseptual, pengembangan secara fisik sesuai konsep wisata berkelanjutan dengan menganalisa dampak yang akan terjadi (Robby, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi Kawasan Kars Wediombo ditinjau dari kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial ekonomi, dukungan hukum, dan tipologi wisatawan dalam hubungannya dengan pengembangan ekowisata kars Wediombo ? 2. Seberapa besar Supply dan Demand serta bagaimana prioritas manfaat
(Benefit) dan biaya (Cost)kawasan ekowisata kars Wediombo?
3. Bagaimana zonasi Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata sudah dilakukan sesuai kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan?
4. Bagaimana model pengembangan kawasan ekowisata kars yang harus diterapkan di Wediombo supaya dapat berkembang dalam konteks sebagai wilayah ekowisata kars berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat lokal ?
Perumusan masalah model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta secara skematis disajikan pada Gambar 4.
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan kondisi tersebut, maka tujuan penelitian adalah membangun model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah :
1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars.
(34)
2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya.
3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan
4. Menyusun model pengembangan ekowisata kars di Wediombo dan sekitarnya.
Gambar 4. Skema Perumusan Masalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars yang Berkelanjutan di Wediombo, Gunungkidul.
1.5. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian model pengembangan kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan di Kawasan Wediombo Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain :
Kawasan KARST Wediombo
Potensi Pengembangan Ekowisata Kars
Analisis Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo
Kabupaten Gunungkigdul
karakter biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan
kars
Fragil, Unik, dan Keanekaragaman
tinggi
PERMASALAHAN
Demand, supply, dan prioritas manfaat dan biaya
zonasi pengembangan
kawasan ekowisata kars
Model Pengembangan Kawasan Kars Wediombo yang
(35)
1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi dan bahan pustaka dalam pengembangan ekowisata khususnya terkait kawasan kars.
2. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat lokal dalam memahami peranan partisipasi mereka dalam pengembangan ekowisata kars dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan kars.
3. Manfaat bagi penyelenggara jasa wisata yaitu, memberikan gambaran mengenai peluang dan prospek dunia pariwisata di Kawasan Wediombo yang berwawasan ekowisata.
4. Manfaat bagi pemerintah yaitu, sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, distribusi kesejahteraan dan pelestarian lingkungan.
1.6. Novelty
1. Dihasilkan model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo berkelanjutan melalui keterpaduan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan pada semua zona wisata.
2. Dalam membangun model tersebut digunakan berbagai metode secara terintegrasi yang meliputi metode analisis statistik, analisis Supply dan Demand, analisis Eckenrode, analisis MPE, analisis Micro-ROS, dan analisis AWOT.
(36)
Kawasan Kars Wediombo mempunyai keunikan dan keanekaragaman kekayaan alami yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Untuk mengetahui pengertian mengenai ekowisata, maka beberapa definisi ekowisata diuraikan sebagai berikut.
Konsep ekowisata muncul pada pertengahan tahun 1980 oleh Ceballos-Lascurain (dalam Weaver, 2001) yang mengakui bahwa antara kegiatan wisata dengan lingkungan akan menimbulkan keuntungan dan menimbulkan kerugian. Beberapa definisi ekowisata berkembang antara lain: Ekowisata adalah perjalanan wisata pada kawasan alam yang relatif tidak terganggu dan terkontaminasi dengan spesifikasi objek pendidikan, kekaguman, dan keindahan dari tanaman liar, binatang, budaya yang ada (dulu dan sekarang) yang ditemui (Ceballos-Lascurain dalam Boo, 1990). Menurut Valentine (1992), ekowisata adalah wisata yang berbasis sumber daya alam, yaitu ekologi berkelanjutan dan dasarnya adalah kawasan alami yang relatif tidak ada gangguan, tidak ada kerusakan dan degradasi, berkonstribusi secara langsung melindungi dan mengelola kawasan lindung.
Perkembangan selanjutnya adalah menurut Goodwin (1996) yang menyatakan bahwa ekowisata adalah wisata alam yang menimbulkan dampak rendah dengan konstribusi terhadap pemeliharaan spesies dan habitat lainnya, secara langsung adalah berkonstribusi terhadap konservasi dan secara tidak langsung menciptakan pendapatan masyarakat lokal, oleh sebab itu perlindungan terhadap kawasan dunia kehidupan liar merupakan sumber pendapatan. Menurut Fennel (1999), ekowisata adalah bentuk keberlanjutan dari wisata berbasis sumber daya alam dengan fokus utama adalah mencari pengalaman dan pendidikan dan mengelola etika yang menyebabkan dampak rendah, tidak konsumtif, dan berorientasi lokal (kontrol, manfaat, dan skala), berkonstribusi terhadap konservasi dan preservasi pada kawasan. Berdasarkan Ecotourism Association of Australia (EAA, 2000), ekowisata adalah wisata berkelanjutan secara ekologi dengan fokus utama adalah mencari pengalaman kawasan alami, yang mengacu kepada lingkungan dan budaya, apresiasi dan konservasi.
(37)
Menurut Weaver (2001) ekowisata merupakan konsep wisata yang memelihara apresiasi dan pengalaman untuk belajar dari lingkungan alami atau beberapa komponen termasuk budaya di dalamnya. Tampak bahwa keberlanjutan lingkungan alam dan sosial budaya perlu dipromosikan sebagai kegiatan wisata, karena lebih diminati wisatawan dan diperkirakan akan berkembang.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekowisata menekankan tujuan untuk mencari pengalaman maupun bersifat pendidikan dengan memperhatikan faktor alam dengan cara konservasi dan proteksi. Dengan definisi demikian pengembangan ekowisata sangat tepat jika diterapkan pada kawasan kars seperti Kawasan Wediombo dengan melihat segi biofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
2.1. Potensi Biofisik, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
Kawasan kars merupakan kawasan yang mempunyai bentang lahan yang komplek dan mempunyai keanekaragaman habitat kars yang unik sehingga penting untuk dikonservasi (Infield, 2004). Keanekaragaman yang unik ini adalah sebagai akibat formasi geologinya yang tersusun terutama oleh batuan kapur atau limestone. Kawasan kars memiliki karakter hidrologi yang khas yang cenderung kering di permukaan, tetapi terdapat sumber air bawah tanah seperti sungai bawah tanah. Sifat inilah yang akan menghasilkan proses pembentukan suatu kawasan yang akan menghasilkan potensi-potensi tujuan wisata, yang dapat dikembangkan sesuai dengan sifat kerapuhannya. Struktur batuan yang mudah larut oleh air akan menghasilkan fenomena alam yang menarik, oleh karena itu potensi untuk wisata kawasan kars dapat diperkirakan sesuai dengan proses pembentukannya sebagaimana diuraikan berikut.
Kawasan Kars Wediombo membentang sepanjang pegunungan selatan Jawa dan secara morfologi dibagi menjadi dua yaitu Eksokars dan Endokars. Eksokars merupakan kenampakan yang dapat diamati dan ditemui secara langsung di permukaan. Sedangkan Endokars merupakan kenampakan yang dapat dijumpai di bawah permukaan yang berupa goa-goa ataupun luweng yang dapat dimasuki oleh manusia. Geomorfologi Kawasan Kars Gunung Sewu yang dikembangkan oleh Van Bemmelen (1970) disajikan pada Gambar 5.
(38)
Keterangan:
1.Perbukitan/Plateau Kars 5. Lembah Uvala 2.Bukit/Perbukitan/Kubah/Kerucut kars (Konikal, Sinoid,
Pepino)
6. Lembah Polje 3. Bukit/Perbukitan Menara Kars (Mogote) 7. Lembah Kering 4. Lembah Dolina 8. Dataran Kars
Gambar 5. Skema Geomorfologi Kars (Van Bemmelen, 1970)
Wilayah selatan Kabupaten Gunungkidul merupakan kawasan yang berada pada sistem kars dari geologi Pegunungan Selatan. Kelompok batuan yang tertua pada sistem kars ini berumur Oligo-Miocene (± 22,5 juta tahun) dan termuda berumur Pliosen (± 5 juta tahun) (Verstappen, 1997). Wilayah tersebut tersusun oleh batuan volkanik klastik asam, batuan sedimen klastik, dan batuan sedimen karbonat. Namun demikian, batuan sedimen karbonat (limestone) paling banyak ditemukan di permukaan.
Menurut Surono et al. (1992), wilayah pantai selatan dan sekitarnya, merupakan kawasan yang seluruhnya terbentuk oleh Formasi Wonosari. Penyusun utama batuan Formasi Wonosari adalah batu gamping yang kompak, keras, namun rapuh. Selain itu dijumpai batu gamping napalan, batu gamping konglomeratan, batu pasir dan batu lanau (Surono et al., 1992). Walaupun kawasan pantai selatan ini terbentuk dari Formasi Wonosari yang didominasi oleh batuan kapur, dijumpai anomali yaitu adanya bentuk lahan struktural denudasional di Pantai Wediombo (Surono et al., 1992). Anomali ini adalah adanya kenyataan
(39)
bahwa batuan penyusun Pantai Wediombo bukan batuan kapur, melainkan terdiri dari batuan beku andesit, dan termasuk bagian dari Formasi Nglanggran. Lebih spesifiknya, kawasan Pantai Wediombo sebelah barat tersusun oleh formasi semilir, sedangkan selain kawasan tersebut semua tersusun oleh formasi kepek (Surono et al., 1992). Verstappen (1977) mengelompokkan proses dan asal tenaga eksogen dalam proses pembentukan bentuk lahan (landform) menjadi sembilan, satu diantaranya adalah proses pelarutan. Proses pelarutan inilah yang menghasilkan bentuk lahan kars. Karakteristik bentuk lahan kars menurut King (1975) meliputi konfigurasi permukaan, struktur atau penyusun bentuk lahan, dan proses yang menyebabkan terjadinya bentuk lahan.
Bentuk lahan kars yang dapat dijumpai di Kabupaten Gunungkidul adalah dolin, uvala, ponor, kegel kars, turm kars, dan lembah kering. Kars di Gunungkidul dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan karakteristik dolin dan perkembangannya yaitu kars polygonal, kars labirin, dan kars tower yang tumbuh dan berkembang secara bersamaan (Lehman dalam Haryono dan Day, 2004). Sebagai akibat pelarutan oleh air, pada permukaan kawasan kars ditemukan lubang-lubang yang tidak teratur, permukaan kars yang terkikis air, dan hancurnya saluran dan jaringan yang mempunyai kompleksitas tinggi dan berlanjut hanya beberapa meter dari batuan permukaan. Gambar 6 menunjukkan proses terbentuknya goa dan proses pengikisan batuan gamping menurut beberapa teori, yaitu abandon flank margin cave, pit cave dan collapsed phreatic cave forms a banana hole.
Gambar 6. Proses Pengikisan Batuan Karbonat Membentuk Struktur Goa (Ford dan William, 1989)
ABANDONED PHREATIC
DEVELOPING PHREATIC DIFFUSE
VADOSE COLLAPSED PHRETIC
CAVE
FORMER SEA
CURRENT SEA
FRESHWATER DIFFUSE PHREATIC FLOW PIT PIT
PIT
BURIED PALEOSOL
ABANDONED FLANK MARGIN PALEOSOL WITH
(40)
Teori awal tentang perkembangan kars menjelaskan bahwa goa berkembang dalam zone vados oleh pergerakan air melalui rekahan batuan. Dalam hal ini, air bergerak atau mengalir pada rekahan (bidang perlapisan dan atau struktur) batu kapur sambil melarutkannya, kemudian sungai bawah tanah mulai terbentuk. Tahapan berikutnya sungai mengikis saluran hingga membentuk goa. Namun demikian, Davies (dalam Haryono, 2007) berpendapat bahwa tidak mungkin goa terbentuk dalam mintakat (zone) vados karena yang terjadi adalah pembentukan ornamen goa karena proses pengendapan. Dengan argumen tersebut maka Davies mengemukakan teori baru yang dikenal dengan deep phreatic theory yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di bawah muka air tanah oleh pergerakan hidraulik air. Teori ini diperkuat oleh Seinnerton (dalam Haryono, 2007) yang mengatakan bahwa air tanah tidak mungkin mampu melarutkan batu gamping, karena pada umumnya telah jenuh, sehingga muncul teori water table yang menjelaskan bahwa goa terbentuk di dekat muka air tanah (water table) dan teori ini didukung oleh teori baru karena sebagian goa berbentuk goa horizontal. Ford dan William (dalam Mylroie dan Carew, 2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian modern dan laboratorium, goa dapat terbentuk baik di mintakat vados, phreatik maupun dekat muka air tanah. Mereka menjelaskan terdapat empat tipe goa berdasarkan proses pembentukannya, yaitu bathyphreatic cave, phreatic cave with multiple loops, cave with mixture of phreatic and watertable level components, dan ideal water table cave.
Menurut Ford dan Wiliam (dalam Haryono, 2007) tahapan akhir perkembangan kars setelah kars poligonal adalah terjadinya proses perataan permukaan (planasi) yang dominan, sehingga cekungan-cekungan sudah tidak ditemukan lagi karena sudah berhubungan membentuk dataran dengan kubah-kubah tersebar acak di tengahnya. Beberapa kars berciri labirin ditemukan di sebelah barat dan tengah Wediombo yang bercirikan oleh lembah-lembah kering memanjang yang dibatasi oleh jajaran kubah kars di kanan kirinya dengan dinding yang terjal (canyon).
Kawasan kars mempunyai 3 ciri (Haryono dan Day, 2004). Pertama, mudah terjadi pelapukan yang sangat tinggi dan tingginya proses pelarutan di bawah permukaan yang membentuk goa-goa, sungai bawah tanah, dan bentuk
(41)
lahan dengan banyak patahan-patahan pada batuan sebaran pegunungan. Kedua, cadangan air yang sempat terjebak di permukaan akan mengakibatkan pelarutan bagian lebih tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah dengan membawa sedimen-sedimen halus dari hasil pelapukan. Ketiga, dapat diidentifikasi secara umum adanya bentuk pegunungan berupa persegi ketupat yang berpasangan karena adanya pengaruh tenaga endogen dari dalam bumi.
Karena sifatnya yang sangat fragile, mudah larut dalam air, maka topografi kars memiliki sistem air bawah permukaan yang dominan berupa lorong-lorong solusional dan sangat rentan terhadap degradasi, terutama disebabkan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini disebabkan karena cepatnya aliran air serta minimnya mekanisme filtrasi pada lorong-lorong sistem bawah tanah (Haryono, 2007).
Beberapa habitat kars hidup di bawah permukaan dan di atas permukaan. Biota bawah permukaan banyak dijumpai di goa, maka muncul biospeleologie yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehihupan bawah tanah. Berdasarkan sebaran biota goa dikenal beberapa istilah (Vermeullen dan Whitten, 1999), yaitu: Site endemic, local endemic dan regional endemic. Site endemic yaitu jenis yang sebarannya dapat mencapai 100 km2 tetapi ada yang dari kurang 1 km, biasanya terdapat dalam satu kawasan kars. Sebagai contoh Stenasellus javanicus, ditemukan di goa kars Cibinong (Magniez dan Rahmadi, 2006). Local endemic, jenis yang mempunyai sebaran luasan sekitar 10-100 km2, yang biasanya mencakup dua atau lebih kawasan kars yang terpisah secara geologis dan tergabung dalam satu deretan pegunungan. Contohnya kepiting goa, isopoda, ditemukan di Gunung Sewu dan bukit kapur selatan. Regional endemic, mempunyai sebaran 10.000 km2 sampai 1 juta km2 atau dalam satu pulau. Contohnya Xeniaria jacobsoni (Burr) merupakan jenis dermaptera yang melimpah di guano kelelawar.
Kondisi sosial ekonomi kawasan Wediombo sama dengan kawasan kars lain yang berada di kawasan Pegunungan Seribu. Sebagian besar kegiatan industri masih sangat terbatas pada industri kecil dan menengah sebanyak 96% (catatan desa), pola industri ini baik untuk pemerataan penghasilan bagi masyarakat, tetapi tidak strategis untuk pengembangan kegiatan perekonomian secara makro.
(42)
Pertanian lebih mengarah kepada pertanian lahan kering karena kawasannya merupakan kawasan marginal yang sulit air, maka pola penanaman sistem tanam pertanian dengan cara tumpang sari. Kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar merupakan sumber pendapatan petani dan tersedianya tenaga untuk menentukan penggarapan lahan. Petani dengan beberapa pilihan berusaha untuk menghasilkan panen untuk memenuhi kebutuhan pokok dari sedikit tanah yang tersedia, mengolah lahan di sekitar tempat tinggal banyak dilakukan di kawasan kars (Soemarwoto dan Conway, 1992).
Untuk bisa bertahan, masyarakat kawasan kars pada umumnya mengembangkan dasar bekerja secara sosial antar masyarakat, dengan filosofi menghindari konflik (rukun) dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain saling menghormati (hormat), serta sifat kegotongroyongan sangat tinggi. Kawasan Gunung Sewu yang bekerja di ladang sebagian besar orang tua, kondisi ini disebabkan oleh anaknya yang belajar di sekolah dan meninggalkan aktivitas pertanian, maupun kampung halaman (Collier et al., 1996).
2.2 Perbandingan Cara Pengelolaan Ekowisata
Analisis perbandingan cara pengelolaan ekowisata dapat dilakukan secara Limits of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM), Recreational Opportunity Spectrum (ROS), micro-ROS, Visitor Experience and Resource Protection (VERP) dan Visitor Activities (VARM) (Nielson dan Tayler, 1997). Secara ringkas berbagai cara pengelolaan ini ditunjukkan pada Tabel 1.
Dengan membandingkan cara-cara pengelolaan tersebut maka dapat ditentukan cara pengelolaan yang paling cocok dari segi visi misi pemda Gunungkidul maupun rencana pengembangan kawasan kars sebagai kawasan ekowisata.
(43)
Tabel 1. Perbandingan cara pengelolaan ekowisata Limit of Acceptable Change (LAC)
Dikembangkan oleh peneliti yang bekerja di kawasan hutan untuk merespon tentang dampak pengelolaan wisata. Proses ini mengidentifikasi sumber dan kondisi sosial dan langkah untuk melindungi. Proses ini untuk mempertimbangkan kawasan hutan mengenai kondisi sosial, sumber daya alam yang tersedia, pada pengembangan kawasan wisata.
Keunggulan: produk akhir berupa strategi taktik perencanaan berlandaskan perubahan yang dapat ditoleransi seminimal mungkin untuk masing-masing klas kesempatan dengan indikator perubahan yang dapat digunakan untuk memonitor keadaan ekologi dan sosial.
Kelemahan: prosesnya fokus dan menekankan pada petunjuk data dan analisa. Jika tidak ada permasalahan, maka strategi dan perencanaan belum dapat dibuat sebagai topik pengelolaan.
Visitor Experience Resource Protection (VERP)
Merupakan proses yang menitikberatkan kepada daya dukung kawasan dalam hal ini adalah kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang.
Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya dimasa yang akan datang. Mengutamakan strategi keputusan berkenaan dengan kemampuan daya dukung berdasarkan nilai kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan.
Keunggulan: Prosesnya menggambarkan kecakapan kelompok dan merupakan petunjuk kebijakan dari kawasan. Proses ini menitikberatkan terhadap hubungan dan sensitivitas dan kesempatan wisatawan yang merupakan hal yang penting bagi pengalaman wisatawan. Zoning merupakan fokus pengelolaan.
Kelemahan: Tambahan pekerjaannya adalah mempersyaratkan kegiatan percontohan pada pendekatan lingkungan yang berbeda. Kemampuan pengawasan tidak efisien dan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan tes terlebih dahulu.
Visitor Impact Mangement (VIM)
Tujuannya adalah mengendalikan ketiga dampak pokok yaitu: dampak secara fisik, dampak biologi dan dampak sosial. Standarnya dengan menentukan batasan dari ketiga indikator tersebut.
Keunggulan: Proses ini menciptakan keseimbangan keputusan secara ilmu pengetahuan dan secara hukum, terutama mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan strategi pengelolaan.
Kelemahan: Tidak menggunakan konsep ROS, menekankan terhadap dampak pada kondisi sekarang, dan tidak mengkaji potensial dampak.
(44)
Tabel 1. (lanjutan)
Management Process for Visitor Activities (VAMP)
Proses tersebut menciptakan petunjuk untuk perencanaan dan pengelolaan, pengembangan dan pendirian taman. Dasar dari konsep VAMP merupakan bagian dari prinsip ROS. Kerangka kerja akan memberikan manfaat kemudahan untuk VIM, LAC dan VERP. Fokusnya adalah mengkaji kesempatan ketika semua mempertanyakan dampak yang ditinggalkan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam.
Keunggulan: Proses pengambilan keputusan yang komprehensif berdasarkan hirarki. Bermanfaat berfikir secara terstruktur untuk menganalisa kesempatan dan dampak, yang dikombinasikan dengan prinsip ilmu sosial dan pemasarannya yang difokuskan terhadap kesempatan wisatawan.
Kelemahan: Definisi mengenai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belum dibangun di dalam rencana pengelolaan dan zoning.
Recreational Opportunity Spectrum (ROS)
Perencanaan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dan komprehensif, berperan untuk merespon peningkatan permintaan rekreasi, dan menanggulangi konflik akibat penggunaan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas. Pewilayahan menggunakan enam kelas lahan dai primitive samapai perkotaan (urban) dengan tujuan untuk mengenal kondisi biofisik, sosial dan hubungan pengelolaan untuk menyusun parameter dan petunjuk kesempatan rekreasi.
Kekuatan: merupakan proses yang praktis untuk mendorong pengelolaan secara rasional dengan tiga perpektif: melindungi sumberdaya, kesempatan untuk digunakan umum dan pengelola mempunyai kemampuan menyeimbangkan kondisi kawasan. Proses tersebut merupakan hubungan antara supply dan demand.
Kelemahan: Konsep ini didalam pembagian skala lahan membutuhkan kawasan yang luas dan tidak bisa digunakan pada kantong kawasan yang sempit. Semua pembagian pewilayahan harus diterima secara total oleh management sebelum keputusan dibuat, ketidak setujuan akan mempengaruhi program.
Micro-ROS
Micro-ROS merupakan pengembangan dari ROS yang membagi kawasan pengembangan kesempatan berekreasi kawasan menjadi sembilan kelas. Keunggulan dari Micro-ROS dibandingkan dengan ROS adalah, kalau ROS untuk menentukan zoning kawasan membutuhkan kawasan yang luas, sedangkan micro-ROS menentukan zoning pada kawasan yang tidak luas dan akan lebih mendalam untuk mengidentifikasi kantong-kantong potensi rekreasi kawasan rekreasi dan menilai kesempatan berekreasi seluas-luasnya untuk wisatawan.
(1)
Cooper, C. and Fletcher. J. 1993. Tourism, Principles & Practice. Essex: Longman Group Limited.
Day M. 1996. Conservation of Kars In Belize. J. Cave Karst Studies. 58(2):139-144
Duffus, D.A. and Dearden, P. (1990) Non-consumptive wildlife-oriented recreation: A Conceptual Framework. Biol. Conserve.53, 213-231. Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul, 2000. RIPPDA (Rencana
Induk Pengembangan Pariwisata Daerah) Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta.
Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul. 2008. Data Jumlah Pengunjung Obyek Wisata Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Laporan Tahunan
Diamantis, D. (1998) Consumer behaviour and ecotourism products. Ann. Tour.Res. 25, 515-518.
Ditjen Pariwisata 1995. “Proyek Pengembangan Pariwisata Sumatera Utara”. Medan: C.V. Miko Yova Consultan Engineering.
[EAA] Ecotourism Association of Australia. 2000. What is Ecotourism? http://www.ecotourism.org.au/About_ecotourism.htm. (11 Nop. 2007) Eagles, P.F.J (1992) The travel motivations of Canadian ecotourists. J. Travel
Res. 31(2): 3-7.
Eagle PFJ, MCool SF and Haynes CD. 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas. Guidelines for Planning and Management.UK: IUCN Publication.
Fennel. D. 1999. Ecotourism: An Introduction. London: Routledge.
Farrel, T.A and Marion, L.J. 2002. The Protected Area Visitor Impact Management (PAVIM) Framework. USA: A Simplified Process for Making Management Decisions. J. Sustain.Tour.
Goodwin, H. 1996. In Pursuit of Ecotourism. Biodiversity and Conservation. Gunn, C.A. 1972. Vacationscape: Designing Tourist Regions. Austin:
(2)
Haryono, E and Day, M. 2004. Landform differentiation within the Gunungkidul kegelkarst, Java, Indonesia. J. Cave Karst Studies, 66(2): 62-69
Haryono, E. 2007. Geomorfologi Karst. Workshop dan Field Training.Yogyakarta: Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM. Healy, RG. 1992. The Role of Tourism in Sustainable Development. Paper
presented at the IV th Worth Congress on National Park and Protected Areas, Caracas, Venezuela.
Hof M. and Lime DW. 1997. Visitor experience and resource protection framework in the national park system. Proceeding from a Workshop on Limits of Acceptable Change and Related Planning Processes. Missoula: University of Mantana’s Lubrecht Experimental Forest.
Hvenegaard, GT. 2002. Using Tourist Typologies for Ecotourism Research. J. Eco. 1(1):1-12
Ichiki S. 2002. Ecotourism in Ogasawara Island. Tokyo: Whale Watching Association and Bonin Ecotourism Commission
Infield, M. 2004. Building support for karst landscape conservation in Vietnam: Working with local communities and national value. Proceeding of the International Transdisciplinary Conference on Development and Conservation of Karst Region, Hanoi, Vietnam.
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. Newyork: Van Nostrand Reinhald
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2002. Kebijakan, Rencana Strategi, dan Program: Cetak Biru Pemasaran Pariwisata Indonesia. Dokumen 4. PT Wastumatra, Jakarta.
King, B. 1975. Social Impact of tourism: Host perception. Ann. Tour. Res. 20:650-665
Magniez, G.J., dan Rahmadi, C. 2006. A new species of the genus Stenasellus (Crustacea, Isopoda, Asellota, Stenasellidae). Bull. Mens. Soc. Linn. Lyon 75(4):173-177.
Mangkoesoebroto, G. 1998. Ekonomi publik, Yogyakarta: BPFE
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo.
(3)
Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB-Press.
Maarif dan Tanjung. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mason, P. 2003. Tourism Impacts, Planning and Management. Oxford: Elsevier Butterworth-Heinemann Linacre House, Jordan Hill.
Mitchell, L.S. 1991. A Conceptual Matrix for the Study of Tourism. Aix en Provence, France: Universite de Droit, d’Economie et des Sciences d’ Aix-Marseille.
Mitchell, L.S. 1994. Research on the Geography of Tourism. In Travel, Tourism, and Hospitality Research: A Handbook for Manager and Researchers, ed. J.R. Brent Ritchie and Charles R. Goeldner. New York: John Wiley and Sons: 197-242.
Murphy, P.E. 1985. Tourism: A Community Approach. London: Routledge. Musgrave, R.A. and P.B. Musgrave. 1989. Public Finance and Theory and
Practice. McGraw-Hill, Inc.
Mylroie, JE and Carew, JL. 2003. Kars development on carbonate island. Mississippi: Journal Speleogenesis and Evolution of Kars Aquifers. 1(2): 55-76
Naisbitt, J. 1994. Global Paradox. Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahaan Kecil. Jakarta: Binarupa Aksara.
Nibbering, J.W. 1991. Crisis and Resilience in Upland use in java in Hardjono J. (ed.) 1991, Indonesia: Resources, Ecology and Environment, Singapore: Oxford University Press
Nielsen, P and Tayler, G. 1997. A Comparative Analysis of Protected Area Planning and Management Framework. Missoula: Proceeding Limits of Acceptable Change and Related Planning Processes.
Parkin D, Batt D, Waring B, Smith E, Phillips H. 2000. Providing for a diverse range of outdoor recreation opportunities: a “micro-ROS” approach to planning and management. Australia Parks Leisure, 2(3):41-47.
(4)
Plog, S.C. 1972. Why destination areas rise and fall in popularity. Paper presented at Southern California Chapter of the Travel Research Association.
Pemda Kabupaten Gunungkidul. 2008. Kondisi Umum Kabupaten Gunungkidul. http://www.gunungkidulkab.go.id/home.php (21 Jan 2008)
Poon, A. 1993. Tourism, Technology and Competitive Strategies, Wallingford: CAB International.
[P4 UGM] Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gadjah Mada. 2000. Laporan akhir Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta.
Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21 (Edisi keenam). Jakarta: Gramedia Pustaka.
Richards, G.P. and Heywood, J.L. 1999. The Development of a Recreation Setting Inventory and Classification System. Australian Park Leisure, 1(3):42-47.
Robby, A. 2003. Membedah konsep pariwisata berkelanjutan. http:/www.sinarharapan.com/
Saaty, TL. 1980. The Analytic Hierarcy Process, Newyork: McGraw-Hill
Saaty, TL. 1990. Multicriteria Decision Making: The Analytic Hierarchy Process, Pittsburgh: RWS Publication
Saaty, TL. 1994. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with the Analytic Hierarchy Process, Pittsburg: RWS Publication.
Shiver, JS. and Hjelte, G. 1971. Planning Recreational Places. C ranbury, New Jersey: Associated Univ. Pr.
Slocomb, SD. 1993. Environmental Planning, Ecosystem Science, and Ecosystem Approaches for Integrating Environment and Development. Environ. Manage. 17:289-303.
Smith, S.L.J. 1990. A test of Plog’s allocentric/psychocentric model: evidence from seven nations. J. Travel Res. 28 (4):40-43.
(5)
Smith, S.L.J. and Smale, B. 1980. Classification of visitors to agreements for recreation and conservation sites, national parks and related sites. Contact: J. Urban Environ. Affairs 12(1):35-52.
Stecker, B. 1996. Potential for Conservation and Sustainable Use of Tropical Forests. Esborn: Report to GTZ.
Soemarwoto, O and Conway, G.R. 1992. The Javanese Homegarden. J. Farming Sys. Res. Extension 2(3):95-118
Sugijono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suhandi, A. 2001. Pengembangan Ekowisata berbasis masyarakat di Kep. Togean Sulawesi Tengah. Palu: Makalah dalam loka karya terbatas ”Pengembangan Kawasan Konservasi Terpadu kepulauan Togean”. Cari data primer
Sunarto. 2000. Kajian profil kawasan pantai di Daerah Istimewa Yogyakarta, Bapeda Propinsi DIY.
Sunkar, A. 2004. Sustainability of Gunung Sewu Karst System: The management of human behaviour and physical environment. Proceeding the International Transdisciplinary Conference on Development and Conservation of Karst Region, Hanoi, Vietnam.
Surono, B.T., Sudarno, I. and Wiryosujono, S. 1992. Geology of the Surakarta Giritontro Quadrangles, Java: Bandung, Geological Research and Development Center, Indonesia, scale 1:100,000, 2 sheets.
Susan M, Smith A and David N. 2003. Environmental Performance Reporting for Natural Area Tourism: Constributions by Visitor Impact Management Frameworks and Their Indicators. J. Sustain. Tour. 11(4): 348-375.
Taylor, G.D. 1986. Multi-dimensional segmentation of the Canadian pleasure travel market. Tourism Management 7 (3):146-153.
[UNEP] United Nation Environment Programe. 2002. About ecotourism. www.uneptie.org/pc/tourism/ecotourism/home.htm
[UNEP] United Nation Environment Programe. 2003. Tourism and local agenda 21. The role of local authorities in sustainable tourism. UNEP Publication, January 2003.
(6)
Valentine. 1992. Nature based Tourism. In Hall and Weiler. Special Interest Tourism. London: Belhaven Press.
Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology of Indonesia, Volume 1A, General Geology: The Hague: Martinus Nijhoff, 732 p.
Vander Zee, D. 1990. The Complex Relationship between Landscape and Recreation. Landscape Ecology. 4(4):225-236
Vermeullen, J. and Whitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the Management of Limestone Resources: Lesson from East Asia. Washington DC: The World Bank.
Verstappen, H. 1997. The effect of climatic change on South East Asian Geomorphology. J. quaternary Sci. 12(5):413-418.
Wall, G. 1993. Towards a tourism typology. In J.G. Nelson, R. Butler and G. Wall (eds) Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing (pp. 45-58).Waterloo, ON: Heritage Resources Centre, University of Waterloo.
Walker, S.L. 1997. Ecotourism Demand and Supply in El Cielo Biosphere Reserve, Tamaulipas, Mexico. Thesis. San Marcos, Texas.
Weaver, D. 2001. Ecotourism. Milton: John Wiley and Sons.
Woodley, A. 1993. Tourism and Sustainable Development: The Community Perspective. In Tourism and Sustainable Development: Monitoring, Planning, Managing, ed. J.G. Nelson, R. Butler, and G. Wall, Department of Geography Publication Series number 37. Waterloo: University of Waterloo:136-147.
Wolfe, Roy, I. 1964. Perspective on Outdoor Recreation: A Bibliographic Survey. Geographical Review 54:203-238.
[WTO] World Tourism Organization. 2006. Tourism Highlights 2005 edition. Madrid: World Tourism Organization.
[WTO] World Tourism Organization. 2000. Summary of International Tourist Arrival and Receipts for 2000. Madrid: Published primary.