Pandangan Islamis Haji Agus Salim terhadap konsep pendidikan

d. Pandangan Islamis Haji Agus Salim terhadap konsep pendidikan

Haji Agus Salim sudah terjun di dunia pendidikan dengan mendirikan Sekolah Dasar Swasta di kota Gedang pada tahun 1912 sebelum masuk pada dunia pergerakan nasional. Keadan yang mendorong Haji Agus Salim untuk terjun di bidang politik pergerakan, dengan bergabung dalam Sarekat Islam Suhatno, 1997:7, walaupun demikian Haji Agus Salim selalu terlihat konsisten dalam memegang idealisme pendidikan yang dimaknai secara luas. Pemahaman pendidikan tersebut diterapkan bukan hanya dalam dimensi formalitas saja namun juga dalam tataran aplikasif yang beragam. Bisa dipahami hal ini sebagai konsekuensi yang datang dari seorang cendikiawan yang berada di tengah-tengah nasib keawaman suatu bangsa. Haji Agus Salim seolah tergugah untuk merobah keawaman tersebut yang menjadi salah satu sumber keterjajahan ke arah masyarakat berpengetahuan agar dikemudian hari bisa melahirkan kemerdekaan hakiki. Konsistensi Haji Agus Salim memegang idealisme kependidikan terlihat dari gambaran kiprah yang hampir selalu menjadi salah satu orang terdepan untuk menganjurkan pendidikan politik kepada publik lewat media masa. Di antara media yang pernah dijadikan alat perjuangan tersebut antara lain adalah Neraca 1927–1930. Mustika 1931–1932 dan majalah Pergerakan yang terbit di Jakarta tahun 1936 Salam, 1984:109–110. Pernyataan Haji Agus Salim yang tegas dalam pendidikan politik ini bisa disimak sebagaimana penuturan Emil Salim 2004:83 yaitu bahwa partai politik jangan hanya berusaha memperbesar kuantitas pendukung saja namun harus pula berupaya meningkatkan kualitas pendukung tersebut. Haji Agus Salim kecewa karena tidak melihat pengurus partai mendidik ranting, apalagi mendidik rakyat secara luas. Sistem pendidikan dan aneka persoalan dalam dunia pendidikan di masa Haji Agus Salim dibesarkan, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab latar belakang di atas, dapat memberi masukan untuk lebih memahami hasil pikiran Haji Agus Salim di bidang pendidikan formal ini. Sebagaimana penuturan Mohammad Roem 1984:181, bahwa pengalaman Haji Agus Salim yang sangat pahit ketika masih sebagai pelajar sekolah kolonial Belanda dijadikan pelajaran yang berharga. Jalan berlumpur yang dilalui Haji Agus Salim akibat masuk dalam sistem pendidikan kolonial ini berupa diskriminasi dan de-Islamisasi, mungkin yang menjadi sebab kemunculan buah pikiran bahwa pengalaman pahit tersebut diharapkan tidak lagi menimpa kepada anak-anak Haji Agus Salim. “Kamu mesti banyak membaca dan belajar, sebab kalau nanti kita mendapat anak, kemungkinan tidak disekolahkan” Suhatno, 1995:34, demikian ucapan Haji Agus Salim kepada Zainatun Nahar setelah mereka berdua resmi menikah. Ternyata benar di kemudian hari semua putera Haji Agus Salim tidak dimasukkan ke sekolah manapun kecuali yang bungsu yakni Ciddiq. Ketika Muhammad Roem dalam Tanzil, 1984:185 mencari alasan tindakan tersebut, maka Haji Agus Salim menyatakan bahwa pada saat Ciddiq telah cukup usia sekolah, Belanda sudah pergi dari Indonesia, sekolah-sekolah Indonesia meskipun masih diawasi Jepang tetapi sudah tidak besifat kolonial lagi. Mengenai persoalan menyekolahkan anak ini, Haji Agus Salim menyampaikan pandangan sebagai berikut: Pelajaran di sekolah saja tidak cukup, kita harus belajar sendiri untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan, tetapi salah satu tempat pendidikan. Kalau sudah berhenti dari sekolah, pendidikan akan berjalan terus. Pendidikan itu dimulai sejak manusia lahir dan berakhir sampai bersangkutan meninggal. Pendidikan berlangsung sepanjang masa, selama manusia hidup di atas dunia ini Suhatno, 1995:35. Pernyataan di atas mengandung rujukan pada ajaran Islam, yakni sabda Nabi Muhammad SAW yang menyebut bahwa mencari ilmu itu harus dari lahir sampai meninggal dunia sebagaimana yang ririwayatkan oleh Bukhari–Muslim. Pemahaman Haji Agus Salim terhadap aspek pendidikan dalam dimensi agama terlihat dalam pernyataan: “...Pemuda-pemuda Islam harus mengajukan pengetahuannya dan hidup secara agama, kebangsaaan hendaknya dijiwai cita-cita keagamaan” Suhatno, 1995:36. Haji Agus Salim memaparkan bahwa konsep-konsep pendidikan secara mendasar berada dalam rukun Islam dan perintah serta larangan Allah yang lain. Paparan ini dimuat dalam majalah Dunia Islam No.8 tanggal 27 April 1923 hal:5– 7, yang berjudul “Pendidikan Budi KeIslaman”. Menurut Haji Agus Salim bahwa di dalam Islam terkandung berbagai pelajaran yang mendidik manusia agar selamat di dunia juga akhirat, pembahasan mengenai akhirat inilah yang tak ada dalam pendidikan sekuler terutama tentang ibadah. Haji Agus Salim mencontohkan bahwa salah satu hikmah melaksanakan sholat mengandung makna pendidikan bagi batin, untuk selalu taat melaksanakan perintah-perintah Allah 5 kali dalam setiap hari. Kemudian mengandung pendidikan lahir yakni membangun kebersamaan dalam jamaah dan taat pada pemimpin. Terlebih lagi dalam menjalankan puasa dan zakat terdapat pendidikan lahir-batin, antara lain menumbuhkan tenggang rasa dan peduli terhadap sesama mahluk. Haji Agus Salim lebih lanjut menyatakan bahwa penegasan Al-Quran supaya manusia mengambil pelajaran dari setiap keadaan, tertuang dengan sering muncul kalimat in kuntum ta’lamun jika saja kalian tahu dan kalimat lain yang sejenis Salim, 1923:5–7. Ada suatu hal menarik bahwa berdasarkan pernyataan Mohammad Roem dalam Tanzil, 1984:178 bahwa Haji Agus Salim adalah seorang pionir dalam penulisan khutbah Jum’at di media cetak dengan menggunakan bahasa IndonesiaMelayu, yang ketika itu khutbah di masjid-masjid cenderung masih dalam bahasa Arab saja. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa Haji Agus Salim menginginkan pemahaman Islam oleh masyarakat Indonesia secara luas dengan segera. Melalui khutbah Jum’at inilah salah satu sarana efektif untuk mendidik dan memberi pengertian Islam bagi masyarakat.

5. Dimensi Kebudayaan Islam dalam Pandangan Haji Agus Salim