Kota Gedang, Kampung Asal Haji Agus Salim

B. Kota Gedang, Kampung Asal Haji Agus Salim

Di Indonesia banyak tempat yang indah dan menarik. Salah satu diantaranya ialah keindahan alam Minangkabau, di wilayah ini terdapat sebuah lembah yang terkenal dengan nama Ngarai Sianok, yaitu sebuah ngarai yang indah berhawa sejuk. Minangkabau yang tereletak di Sumatra Barat merupakan salah satu contoh keragaman daerah Indonesia yang memiliki adat istiadat kuat serta ciri-ciri kebudayaan tertentu. Keadaan yang demikian mempengaruhi alam fikiran serta tatanan hidup masyarakat tersebut. Salah satu nagari desa yang berada di lembah kaki gunung Singgalang itu adalah Kota Gedang yang termasuk kabupaten Agam yang beribu kota Bukittinggi Mukayat, 1985:20 Kustiniati Mochtar 1984:34 memastikan bahwa daerah Minangkabau ini sangat dikenal orang dari dulu sampai sekarang hidup dalam cengkraman adat yang ketat, sementara agama Islam juga mempunyai akar yang kuat. Kedua unsur ini senantiasa berjalan seiring di masyarakat Minangkabau, walau sejarah pernah pula mengenal saat-saat lain dimana adat dan agama pernah mengalami perbedaan pendapat. Ciri khas dari masyarakat Minangkabau yang membedakan dari masyarakat daerah lain di Indonesia adalah cara penganutan garis keturunan yang bersifat matrilineal garis keturunan dari pihak ibu. Dengan kata lain, di daerah ini orang mengakui ibu sebagai patokan keturunan dalam ikatan kekeluargaan. Kota Gedang asal kelahiran Haji Agus Salim ini merupakan salah satu kampung di wilayah Minangkabau. Berada tepat di kaki gunung Singgalang di sebrang Lembah Ngarai dari Bukittinggi. Secara fisik seluruh kampung kota Gedang ini terdiri dari kelompok-kelompok rumah di pinggir satu jalan besar berikut jalan-jalan samping, luas nagari ini tak lebih dari satu kilometer persegi. Dikelilingi oleh tanah sawah atau perladangan penduduk. Walau demikian kecil, namun kampung ini di kalangan orang Minang sendiri sering diperbincangkan sebagai tempat orang pandai atau sebagai gudang sarjana. Pada masa awal Politik Etis Belanda timbul beberapa unsur secara bertepatan yang telah mendorong pendidikan sekuler di seluruh dataran tinggi Minangkabau, tidak kurang halnya di kota Gedang. Disebabkan oleh keterdidikan ini maka mayoritas warga Kota Gedang paling banyak memasuki dinas pemerintah Mochtar, 1984:34. Kustiniyati Moctar 1984:33 menyebutkan, secara bergurau terkadang ada penduduk daerah lain di Minangkabau melemparkan tuduhan bahwa Kota Gedang adalah anak mas dari pemerintah Hindia Belanda. Apabila dikaji lebih lanjut, andai kata tuduhan seperti ini memang berdasar, sungguh hal ini tidak dapat memberikan penjelasan mengenai kemajuan kampung tersebut. Sebab banyak juga kampung lain yang telah diberi perlakuan khusus dan kesempatan pendidikan serta kedinasan yang luas, tetapi tidak pernah mencapai kemajuan sebagaimana dilakukan orang di Kota Gedang. Dengan demikian para pengamat menyatakan bahwa jawaban atas asumsi ini harus dicari pada sifat dan jiwa kampung itu sendiri. Salah satu jawaban dari soal ini dilontarakan oleh Taufik Abdulah 1984:205 yakni di Minangkabau yang dikenal sebagai nagari desa para engku- engku pegawai dan “dokter-dokter” itu mempunyai ungkapan yang terkenal yakni: “Biarlah sawah amai ibu tergadai asal anak-anak amai jadi doto orang terpandang”. Ungkapan ini memberikan petunjuk bahwa terdapat semangat yang demikian besar dari para orang tua masyarakat kota Gedang untuk menjadikan anak-anak mereka sebagai orang terpandang walau untuk meraih status tersebut harus dengan mengeluarkan biaya pendidikan yang banyak. Minat bersekolah di kampung ini memang tinggi dari masa ke masa. Padahal dulu muda-mudi Kota Gedang harus berjalan kaki ke Bukittinggi untuk mengikuti pelajaran sekolah nagari dan sekolah formal . Perjalanan setiap hari itu sungguh membutuhkan energi, tekad dan ketabahan hati. Betapa tidak? Walaupun rute jalan tersebut jika diukur lurus, hanya beberapa kilometer saja, namun karena orang harus turun naik lembah, ngarai curam dan menempuh jalan setapak yang berliku-liku, maka memerlukan hasrat dan niat yang besar bagi orang yang menjalani keadaan itu hari demi hari, tahun demi tahun Tanzil, 1984:34. Menurut laporan yang disampaikan oleh Kustiniyati Mochtar 1984:34 bahwa pada tahun 1915 tercatat ada sebanyak 165 orang Kota Gedang berkedudukan sebagai pegawai pemerintah sipil, 79 diantarannya bekerja di luar wilayah Minangkabau. Dari 165 orang itu, 72 orang fasih bahasa Belanda, tanda mereka sudah mengecap pendidikan cukup tinggi. Perlu juga di catat bahwa seorang pendidik dan wartawan wanita yang seangkatan dengan Haji Agus Salim, berasal dari Kota Gedang, yakni Rohana Kudus. Pada tahun 1912 Rohana Kudus adalah redaktur pada sebuah surat kabar Soenting Melajoe dan telah mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setiadi Kota Gedang. Dengan melihat laporan ini dapat disimpulkan bahwa Kota Gedang adalah daerah yang berhasil dalam menjawab tantangan kolonial. Nagari ini dapat dikatakan sangat tepat mengambil kesempatan positif yang dimungkinkan dari sistem kolonial. Kustiniyati Mochtar 1984:35 mengungkapkan bahwa pada abad ke-18 Kota Gedang merupakan pusat dari orang-orang perantau yang menjadi tukang emas. Kemudian jaman berganti terdapat banyak sekali penduduk yang menjabat sebagai birokrat dengan jabatan-jabatan yang paling terhormat sebagai jaksa, kepala gudang angku pakuih atau pegawai pemerintahan sipil yang lain sebagaimana dilaporkan di atas. Orang yang berasal dari Kota Gedang mampu menduduki posisi di seluruh Sumatra, Kalimantan, bahakan ada yang ditempatkan di Batavia jaman dulu, bersama dengan penduduk tetangga nagari ini yakni kampung Sianok, Guguk dan Tabek Surajo. Masyarakat Minangakabau memiliki tradisi adat yang kuat dan juga kuat dalam memegang teguh ajaran agama. Sebagaimana yang diungkapkan Taufik Abdullah 1984:205 bahwa bukankah Islam adalah dasar terakhir dari “ideologi ke-Minagkabau-an”, yang mengantarkan “adat bersendikan syarak hukum, syarak bersendikan Kitabullah?”. Itulah sebab yang menjadi dasar motivasi penduduk pria maupun wanita masyarakat Kota Gedang untuk lebih maju, yang secara moral sangat bermanfaat bagi kemajuan baik dalam dimensi keagamaan maupun non-keagamaan. Ini pula yang mungkin masih tertanam dalam diri Haji Agus Salim sehingga yang bersangkutan dikatakan oleh Amir mantan ketua Jong Islamiten Bond sebagai pejuang Islam.

C. Latar Belakang Pendidikan Haji Agus Salim