b. Masalah Tabir
Jiwa Haji Agus Salim yang berprinsip bisa diamati di tahun 1925, ketika Haji Agus Salim dalam kedudukan sebagai penasihat JIB membuka tabir yang
memisahkan tempat duduk pria dengan tempat duduk wanita. Di waktu itu sudah merupakan kelumrahan bagi wanita dipisahkan dengan kelompok pria terutama
dalam forum-forum keIslaman oleh sebuah tabir. Sebagaimana dilukiskan oleh Mohammad Roem sebagai berikutr:
Pada Kongres JIB di Yogya dalam tahun 1925 para peserta laki-laki dan perempuan duduknya terpisah oleh tabir kain putih, peserta perempuan
tempatnya di bagian belakang dan hanya mendengar suara orang laki-laki atau sebaliknya. Pengaturan demikian ini mungkin dipengaruhi oleh kongres-
kongres perkumpulan Islam lain yang sering diadakan di Yogya. Oleh sebab itu, untuk selanjutnya mengucapkan pidatonya yang tersohor, berjudul “De
Slniering en afzondering der Vrouw” artinya ‘pencadaran dan pemisahan wanita’ Roem dalam Tanzil, 1984:189.
Inti pidato Haji Agus Salim dalam Tanzil, 1984:313 saat itu yang terpenting adalah bahwa tidaklah termasuk dalam peraturan Islam perempuan
harus dipisahkan afzondering, apalagi disendirikan aflniting. Menurut Haji Agus Salim pemisahan perempuan itu hanyalah adat kebiasaan Arab, maka
kenyataan itu tidak menyebabkan pemisahan perempuan menjadi perintah Islam. Adat kebiasaan itu mungkin termasuk kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen,
yang menurut kepercayaan mereka menganggap kedudukan wanita itu rendah, ini jelas tidak sesuai dengan ajaran dan semangat Islam, karena Al-Quran
mempelopori emansipasi wanita. Haji Agus Salim menganggap sebuah keironian bahwa tabir pemisah laki-laki dan perempuan yang notabene sebagai adat dan
kebiasaan bangsa Arab non muslim diadakan dalam kesempatan berkumpul umat Islam, namun dalam kesempatan lain seperti dalam kendaraan, perempuan
banyak yang serba bebas terbuka bahkan tanpa jilbab. Sedangkan pakai jilbab ini justru yang diwajibkan oleh ajaran Islam Salim dalam Tanzil, 1984:314. Contoh
lain ketika menonton sandiwara, permpuan sama sekali tidak duduk terpisah atau kerkucil dari laki-laki. Adapun hikmah perempuan diperintah menutup tubuh serta
keberadaan batas pergaulan lain jenis, merupakan syarat mutlak untuk menjaga kesopanan, kesusilaan dan keluhuran moral. Inilah sebagai bukti betapa Islam
sangat memperhatikan ketertiban dan aturan-aturan lahiriah untuk membina keteraturan batin.
Menurut Haji Agus Salim dalam Tanzil, 1984:314 bahwa dalam Al-Quran tidak terdapat aturan untuk mengucilkan wanita dari pergaulan. Ayat yang
berkenaan dengan persoalan tabir ini adalah Q.S. An-Nur ayat 30-31. Di dalam ayat tersebut sama sekali tidak disebutkan kewajiban untuk menutup muka
bercadar bagi wanita kecuali tidak menampakkan “perhiasan” atau “kecantikan kelamin wanita”. Juga tak terdapat pula disebut dalam QS. Al-Ahzab ayat 31 – 34.
c. Pergaulan Pria dan Wanita dalam sorotan Haji Agus Salim