Pergaulan Haji Agus Salim dengan Syekh Ahmad Khatib

4. Pergaulan Haji Agus Salim dengan Syekh Ahmad Khatib

Belum ada informasi yang jelas sejauh pengalaman penulis tentang bagaimana awal pertemuan Haji Agus Salim dengan Syekh Ahmad Khatib yang kemudian hari menjadi mereka menjadi murid dan guru agama Islam Mukayat, 1985:8. Dari penuturan Deliar Noer delapan tahun sebelum kelahiran Haji Agus Salim, Ahmad Khatib sudah berangkat ke Makkah untuk naik haji dan memperdalam agama, di tahun 1876 Noer, 1996:39. Dari catatan riwayat Ahmad Khatib yang tidak pernah pulang lagi ke Minangkabau Ismail, 1937:764- 767 maka bisa dipastikan pertemuan awal mereka yaitu ketika Haji Agus Salim berdinas di Jeddah saja. Syekh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar pelopor pembaharuan di Minangkabau pada sekitar abad XX, kelahiran Bukittinggi Sumatera Barat tahun 1855 Noer, 1996:38. Dalam usia dua puluh satu tahun 1876 Ahmad Khatib pergi ke Makkah untuk ibadah haji dan mendalami ilmu agama pada Said Ahmad Zaini Dahlan seorang pemberi fatwa Makkah. Setelah studi agama Islam tersebut dianggap selesai, Amad Khatib dipercaya oleh orang sekitar kota Mekah untuk menjadi guru agama Islam, maka Amad Khatib mengajar agama Islam dalam suatu rumah di kota Mekah. Beberapa waktu kemudian Amad Khatib menikah dengan puteri Syaikh Saleh Kurdi, seorang saudagar ternama negeri Makkah. Semetara waktu kemudian Syekh Amad Khatib mendapat izin mengajar di Masjidil Haram Ismail, 1937:765. Menurut Muhammad Nur Ismail 1937:766 bahwa menjadi guru agama di Masjidil Haram waktu itu tidaklah mudah, terutama harus ada pengakuan dari Syarif penguasa Makkah. Penulis pun beranggapan bahwa orang yang bisa mendapat izin dari penguasa Mekah untuk mengajar di Masjidil Haram tentu juga harus benar-benar orang yang diakui memiliki berbagai kelebihan di antara sekian ahli agama yang terdapat di daerah pusat Islam tersebut. Di samping itu bisa dibayangkan mungkin tidaklah mudah menimbulkan sebuah kepercayaan bagi orang non-Arab dijadikan guru sekaligus Imam Masjidil Haram kalau bukan orang yang betul-betul punya kelebihan. Menilik dari kredibilitas seorang Syekh Ahmad Khatib seperti dikemukakan di atas, maka jelas Haji Agus Salim berguru pada orang yang sangat tepat. Di samping Syekh Amad Khatib adalah paman Haji Agus Salim sendiri, yang secara emosional bisa lebih mempererat hubungan batin di antara mereka. Syekh Amad Khatib sebagaimana diungkapkan Deliar Noer 1996:39 mempunyai beberapa kesamaan karakter dengan Agus Salim. Kesamaan mereka itu antara lain adalah sama-sama mempunyai kecerdasan yang baik, pribadi yang mandiri, berasal dari satu kebudayaan daerah, pernah merasakan pendidikan kolonial dan Syekh Ahmad Khatib adalah orang yang anti kolonial, sebagaimana pada waktu itu dalam diri Haji Agus Salim sudah memiliki benih prinsip yang sama. Menurut penuturan Haji Agus Salim di Universitas Cornell, Syaikh Ahmad Khatib tidak berhubungan baik dengan C. Snouck Hurgronje. Pada saat orientalis Belanda tersebut berada di Mekah tahun 1885 dan Haji Agus Salim menegaskan bahwa Amad Khatib itu memang benar-benar sangat anti Belanda Noer, 1996:38. Ada cerita tersendiri mengapa “Tuan Ahmad” ditambah “Khatib” di akhirnya. Kata Khatib sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Nur Ismail 1937:766 adalah kata panggilan yang diperoleh ketika Syaikh Ahmad Khatib ditetapkan oleh Syarif sebagai pembawa khutbah Jum’at, karena Khatib berarti pembawa khutbah. Penetapan seperti itu didasarkan pada kharisma Syaikh Ahmad Khatib sebagai seorang guru dan sekaligus pengarang kitab-kitab Islam. Pada kedudukan seperti itu, bagi orang lain biasa dicapai dengan menyuap kepada pegawai-pegawai Syarif. Sebagai Imam sekaligus khatib tetap Masjidil Haram, bagi Stekh Ahmad Khatib tidak menghalangi untuk mengarang kitab-kitab agama. Ini ditunjukan dengan sekitar 49 karangan mengenai berbagai macam cabang ilmu agama Islam, baik itu dalam bahasa Arab maupun Melayu yang ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib. Syaikh Ahmad Khatib pula yang menjadi guru sejumlah ulama-ulama yang berpengaruh dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib tersebut adalah Syaikh Muhammad Jamil Djambek seorang ulama pembaharu di Minangkabau, yang juga menjadi guru Muhammad Hatta, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli ulama yang memimpin dalam lingkungan tradisi Bukittinggi dan Kyai Haji Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai pendiri NU Noer, 1993:39.

5. Pergaulan Haji Agus Salim dengan kaum pergerakkan nasional