Gambaran singkat tentang keadaan umat Islam Indonesia dalam

1. Gambaran singkat tentang keadaan umat Islam Indonesia dalam

dimensi sosial-budaya di belahan pertama abad XX Dua puluh tahun awal di abad XX, umat Islam Indonesia berada pada tahap awal kebangkitan jika dilihat dari dimensi semangat sosial keagamaan Noer, 1996:37. Ini bisa diceramti dari tahun 1905 berdiri sekolah Jami’at Khair di Jakarta, tahun 1909 dibangun sekolah Adabiyah di kota Padang, Sarekat Dagang Islam lahir tahun 1911 di Solo, kemudian di tahun yag sama terbit majalah Al Munir di Padang serta pada tahun 1912 berdiri Muhammadiyah Depag, 1998:5- 7. Walaupun tahun-tahun tersebut adalah tahun-tahun resmi organisasi, sekolah atau media masa yang bersangkutan berdiri, tetapi gagasan, gerakan permulaan baik berupa ajakan atau anjuran perorangan ataupun kelompok cenderung lebih dahulu dari tahun-tahun resmi tersebut Noer, 1982:11. Semangat kesadaran yang kentara dari periode ini adalah bersifat kolektif berskala nasional. Jadi, berbeda dengan suasana sebelum periode ini, yang cenderung bersifat lokal atau kedaerahan. Gagasan dan gerakkanorganisasi modern muncul dalam rangka upaya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, baik penjajahan lahir maupun batin Utomo, 1995:37. Gejala kesadaran umat yang bangkit sedemikian rupa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kesadaran umat adalah situasi yang lahir akibat penerapan politik kolonial Belanda, sedangkan yang mempengaruhi kesadaran umat dari faktor eksternal adalah peristiwa yang terjadi di luar Indonesia Depag, 1998:20. Demikian pula kesadaran Haji Agus Salim untuk berjuang melepaskan diri dari superioritas dan diskriminasi penjajah, dipengaruhi oleh pengalaman hidup yang bersangkutan setiap kali bersinggungan dengan tindakan kaum kolonial, baik itu yang berupa penindasan maupun kesewenang-wenangan terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam Mochtar, 1984:77. Dicermati pada faktor internal yang mempengaruhi kesadaran nasib umat Islam, terutama disebabkan banyak kalangan orang Islam yang telah cukup terdidik baik melalui sistem pendidikan Barat atau sistem pendidikan Islam yang cukup tinggi, Haji Agus Salim termasuk orang yang terdidik melalui kedua sistem ini Suradi, 1997:30-34. Keberadaan sistem pendidikan Barat di Indonesia ini adalah timbul dari akibat politik etis kolonial Belanda yang tertuang dalam tiga prinsip dasar Trilogi Van Deventer yakni pendidikan, perpindahan penduduk dan pengairan Utomo, 1995:41-43. Faktor internal lain, adalah pertama karena Belanda menjajah Indonesia dengan meluaskan administrasi dan birokrasi kolonial hampir di seluruh wilayah Nusantara yang secara tidak langsung mengakibatkan rasa ketertindasan yang sama, walaupun bahasa dan kebudayaan masyarakat Nusantara berbeda-beda. Kedua, terdapat dorongan walupun penulis menganggap bahwa dorongan ini tidak luas kesadaran sejarah, yakni ingatan kebesaran masa lampau di masa keemasan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang berkuasa di seluruh wilayah Nusantara Utomo, 1995:45. Ketiga, faktor yang sangat penting yakni persamaan agama, karena penduduk Indonesia 90 persen beragama Islam. Dalam hal ini semangat agama yang sama tidak hanya sebagai rantai pengikat patriotisme, melainkan juga sebagai lambang persudaraan dan kesatuan melawan penjajah dan penindas yang beragama asing Utomo, 1995:46. Penulis berasumsi berdasar penuturan Mukayat 1985:8 bahwa dari keberadaan Haji Agus Salim bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah dalam waktu lima tahun, kemungkinan besar dia telah meyadari semangat persamaan agama sebagai lambang persaudaraan di Nusantara ini, karena relatif sudah banyak berinteraksi dengan jemaah haji dari berbagai pelosok Nusantara. Faktor internal keempat, adalah penggunaan bahasa Melayu sebagai Lingua Franca bahasa pengantar oleh sebagian besar masyarakat di Nusantara Utomo, 1995:47. Di dalam hal inilah Haji Agus Salim ikut berperan dalam mengenalkan bahasa Melayu kepada bangsa Indonesia, ketika menjabat sebagai redaktur harian Fadjar Asia dan media lain yang berbahasa Melayu Mochtar, 1984:71-78. Kelima, adalah keberadaan Volksraad Dewan Rakyat menjadi wadah penyatuan orang Indonesia dari berbagai wilayah Nusantara Utomo, 1995:47. Haji Agus Salim dalam hal ini tercatat sebagai anggota Dewan Rakyat ini dan terkenal sebagai orang yang vokal menyuarakan nasib rakyat Mukayat, 1985:30. Keenam, adalah karena terdapat penyebaran gagasan lewat media pers di Nusantara yang marak di jaman pergerakan Indonesia 1900-an sampai 1930-an dan mobilitas penduduk Nusantara yang meningkat dikarenakan oleh kemudahan transportasi Utomo, 1995:47. Adapun posisi Haji Agus Salim dalam kaitan ini adalah sebagai redaktur di berbagai media masa, maka patutlah yang bersangkutan termasuk orang yang ikut terpengaruh untuk berperan serta dalam penyebaran informasigagasan pada masyarakat Indonesia, terutama gagasan yang berkenaan dengan konsep-konsep keIslaman Mochtar, 1984:71. Beberapa peristiwa yang terjadi di luar negeri menjadi faktor eksternal yang ikut mempengaruhi semangat kesadaran terhadap eksistensi diri bangsa Indonesia yang mayoritas Islam. Cahyo Budi Utomo 1995:48 menegaskan di antara peristiwa mancanegara yang cukup mengguncang dunia tersebut adalah Jepang berhasil mengalahkan Rusia dalam tahun 1905, yaitu pada saat pertempuran di Manchuria. Realita tersebut telah membuka mata bangsa-bangsa Asia serta menimbulkan kepercayaan diri mereka untuk menghadapi bangsa kolonial. Peristiwa yang lain adalah muncul gerakan kebangsaan Tiongkok pimpinan Dr. Sun Yat Sen, perjuangan Mahatma Gandhi di India, perjuangan Jose Rizal di Philipina dan lain-lain. Di awal kemerdekaan Indonesia ada kontribusi positif dari pendudukan Jepang bagi keadaan umat Islam Indonesia yakni adanya transfer kebudayaan positif antara lain kedisiplinan, keuletan, pengetahuan militer, diketahui susunan administratif pemerintahan dari pusat sampai RT Rukun Tetangga dan tempaan hidup yang serba sulit relatif membuat penduduk Indonesia “tahan banting” pada saat mengalami kembali situasi yang sukar. Periode inilah awal sejarah bangsa Indonesia mendapatkan doktrin pertahanan rakyat semesta yang sangat bermanfaat ketika negara Indonesia terbentuk Sumarmo, 2001:34–37, 66. Haji Agus Salim dalam Kompas, 2004:49 mengakui bahwa keadaan sulit yang menyebabkan penderitaan rakyat, harus dapat dihayati oleh para pemimpin supaya berani menderita pula dalam memperjuangkan rakyat, sebagaimana kepemimpinan Rosulullah SAW berani menderita demi keselamatan umat, barangkali ini makna ungkapan Haji Agus Salim leiden Is lijden pemimpin adalah menderita. Elit agama pada kurun waktu 1920-an sampai 1940-an terlihat semakin jelas memberikan peranan terhadap kondisi umat Islam melalui berbagai cara, sebagai contoh dengan menggunakan dakwah lisan dan tulisan. Menurut Mohammad Iskandar 2000:42 dakwah lisan secara umum dipakai oleh kalangan yang memiliki kharisma kuat, sedang dakwah tulisan dilakukan oleh kalangan yang mampu membuat tulisan di media massa, membuat selebaran, majalah atau koran dan membentuk lembaga pendidikan dan lain-lain. Sebagaimana yang dinyatakan Mohammad Iskandar 2000:44 bahwa di beberapa tempat berdiri organisasi bernuansa Islam seperti Al Islam wal Irsyad di Jakarta pada tahun 1923 dan Persatuan Islam didirikan di Bandung di tahun yang sama, seorang keturunan Hoofd Penghulu di Majalengka yaitu Haji Abdul Hakim mendirikan persatuan Islam di Majalengka dan K.H. M. Yasin mendirikan Madrasah Al Khairiyah dan Matlaul Anwar di Banten pada tahun 1925, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama di Surabaya tahun 1926, dan dalam tahun yang sama H. Abdul Rahman mendirikan Nasional Islam di Amuntai, kemudian juga di Minangkabau Syaikh Subiman Ar Rasul dan kawan-kawan mendirikan Perguruan Tarbiyah Islamiyah dan di Kalimantan tepatnya di kota Sambas, HMN Basyuni Imran mendirikan perguruan Islam As Sulthaniyah, pada tahun 1931 Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi mendirikan Ithadiyatul Islamiyyah di Sukabumi Jawa Barat, selanjutnya di tahun 1933, Madrasah Amiriyah Islamiyah didirikan oleh Syaikh H.M. As’ad Ibn Rusyid Iskandar, 2000:44-48. Adapun pengaruh bagi Haji Agus Salim dari keadaan yang memunculkan berbagai warna organisasi keIslaman ini, antara lain dengan berupaya untuk menghindari pernyataan yang bisa menimbulkan persengketaan di kalangan umat, dan pimpinan umat Islam dan ikut aktif membina masyarakat lewat dakwah lisan maupun tulisan dengan menulis khutbah jumat, artikel, selebaran, berita dan lain-lain Mochtar, 1984:106-107.

2. Gambaran singkat keadaan umat Islam Indonesia pada dimensi ritual