sering menunjukkan perilaku impulsif, adanya gangguan emosi seperti agresif dan withdrawl.
2.3.7 Perkembangan Kepribadian Tunagrahita
Ada 2 teori yang digunakan untuk menerangkan kepribadian anak tunagrahita yaitu : 1 Teori Sifat : Pada teori sifat, kepribadian anak tunagrahita
yaitu neurotis. Anak menunjukkan kekhawatiran , perasaan tidak aman. Anak tunagrahita selalu ingin dekat dengan orang lain, cemas, selalu ingin dibantu,
tergantung orang lain, banyak dikontrol oleh lingkungan. 2 Teori Kepribadian Zigler‟s : Zigler dalam Suharmini 2009 : 166 mengemukakan bahwa struktur
kepribadian atau pola perilaku anak tunagrahita pada umumnya sama. Kesamaan pola perilaku itu sebagai konsekwensi dari pengalaman-pengalaman sosial yang
cenderung sama.
2.3.8 Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik tunagrahita menurut Mangunsong 2009 : 131 : 1 Anak cacat mental mild ringan adalah mereka yang termasuk mampu didik dilihat dari
segi pendidikan. Mereka juga tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok walaupun perkembangan fisiknya sedikit agak lambat daripada anak rata-rata. 2
Anak cacat mental severe adalah mereka yang memperlihatkan banyak masalah dan kesulitan, meskipun di sekolah khusus. Lyen 2002 : 50 dalam Mangunsong
2009 : 134. Mereka membutuhkan pelayanan dan pemeliharaan yang terus menerus. 3 Anak cacat mental profound mempunyai problem yang serius, baik
yang menyangkut kondisi fisik, inteligensi serta program pendidikan yang tepat
bagi mereka. Biasanya mereka menderita kerusakan pada otak serta kelainan fisik yang nyata seperti hydrocephalus, mongolism dan sebagainya.
Selain karakteristik diatas, masih ada karakteristik psikologis dan tingkahlaku anak tunagrahita. Namun tidak semua karakteristik psikologis dan
tingkah laku itu terdapat pada seorang penderita tunagrahita Hallahan Kauffman, 2006 : 146 dalam Mangunsong 2009 : 135.
2.3.9 Kebutuhan Biologis Remaja Tunagrahita
Kebutuhan biologis pada setiap manusia sebenarnya sama, salah satunya adalah kebutuhan seksual. Begitu juga pada remaja yang sedang mengalami masa
pubertas. Pada remaja yang normal, kebutuhan seksual mereka dapat dikontrol atau dikendalikan, berbeda dengan remaja tunagrahita yang tidak dapat
mengontrol keinginannya untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya. Selain itu, pada anak tunagrahita yang mengalami sindroma down, perubahan fisiknya terjadi
pada usia yang sama dengan remaja normal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan pubertas mereka terjadi pada usia yang rata-rata sama dengan
anak yang normal, perubahan pubertas juga mengikuti pola yang normal Selikowitz 2001 : 198.
Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita juga mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, meskipun begitu anak tunagrahita sering
mengalami kesukaran dalam berinteraksi sosial. Hal itu dikarenakan keterbatasan intelektual. Keterbatasan ini mengakibatkan anak tunagrahita sulit untuk belajar
norma-norma masyarakat yang mengakibatkan anak tunagrahita mempunyai masalah pada aspek penyesuaian sosial. Suharmini 2009 : 158. Reiss juga
menambahkan bahwa anak tunagrahita mempunyai kebutuhan untuk berhubungan sosial seperti halnya anak normal, tetapi anak tunagrahita mengalami kesukaran,
dan sering mengalami kegagalan dalam penyesuaian sosial. dalam Suharmini 2009 : 158.
Dari penelitian Mc Iver menggunakan Children’s Personality Questionare
ternyata anak-anak tunagrahita memiliki banyak kekurangan seperti tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsif, lancang, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar
peraturan. Dalam hal lain, anak tunagrahita sama dengan anak normal. Anak tunagrahita yang masih muda memiliki keterikatan kepada orangtua dan orang
dewasa lainnya, namun dengan bertambahnya umur, keterikatan dialihkan kepada teman sebaya. Kekurangan-kekurangan yang ada dalam kepribadiannya, berakibat
pada proses penyesuaian diri. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi yang positif
adalah cinta, girang, dan simpatik. Jika lingkungan bersifat positif terhadapnya maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi-emosi yang positif. Emosi
yang negatif adalah perasaan takut, giris, marah dan benci. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang yang menjadi tempat bergantung,
kecenderungan ketergantungannya bertambah Somantri, 2007 : 116-117.
2.4 Kajian Pustaka