menambahkan bahwa anak tunagrahita mempunyai kebutuhan untuk berhubungan sosial seperti halnya anak normal, tetapi anak tunagrahita mengalami kesukaran,
dan sering mengalami kegagalan dalam penyesuaian sosial. dalam Suharmini 2009 : 158.
Dari penelitian Mc Iver menggunakan Children’s Personality Questionare
ternyata anak-anak tunagrahita memiliki banyak kekurangan seperti tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsif, lancang, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar
peraturan. Dalam hal lain, anak tunagrahita sama dengan anak normal. Anak tunagrahita yang masih muda memiliki keterikatan kepada orangtua dan orang
dewasa lainnya, namun dengan bertambahnya umur, keterikatan dialihkan kepada teman sebaya. Kekurangan-kekurangan yang ada dalam kepribadiannya, berakibat
pada proses penyesuaian diri. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi yang positif
adalah cinta, girang, dan simpatik. Jika lingkungan bersifat positif terhadapnya maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi-emosi yang positif. Emosi
yang negatif adalah perasaan takut, giris, marah dan benci. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang yang menjadi tempat bergantung,
kecenderungan ketergantungannya bertambah Somantri, 2007 : 116-117.
2.4 Kajian Pustaka
Penelitian dari Praptiningrum dalam Retnaningtias dan Setyaningsih hal 57-72 menyatakan bahwa melihat keterbatasan kemampuan remaja retardasi
mental, maka sulit untuk mengontrol dan mengendalikan diri untuk menyalurkan hasrat seksualnya yang muncul dari dalam dirinya. Dalam penelitian tersebut
dikatakan bahwa perilaku seksual remaja retardasi mental dipengaruhi keadaan fisiologisnya, yaitu adanya kelenjar-kelenjar hormon pendorong, meningkatnya
hasrat seksual remaja yang bersifat laten dan peningkatan hasrat seksual ini memerlukan penyaluran. Remaja retardasi mental juga mudah terpengaruh dan
meniru perbuatan orang lain yang tidak baik khususnya perilaku seksual. Selain itu dalam penelitiannya, Retnaningtias hal 70 menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara perilaku seksual remaja retardasi mental laki-laki dan remaja retardasi mental perempuan. Hal ini dikarenakan adanya dorongan seksual yang
berbeda antara kedua lawan jenis. Penelitian dari Katalinic dkk 2012 : 38-43 menemukan bahwa seseorang
dengan retardasi mental ,sama seperti orang normal lainnya, memiliki seksualitas bawaan, kebutuhan dan perilaku seksual.
Pada hasil penelitian dari Scotti,et al 1996 : 260 bahwa secara keseluruhan hasil menunjukkan bahwa mahasiswa memandang perilaku seksual
orang dengan keterbelakangan mental kurang diterima dibandingkan perilaku yang sama ketika yang terlibat didalamnya adalah mahasiswa seperti mereka.
Sedangkan penelitian dari Hosseinkhanzadeh dkk 2012 : 134-146 menyatakan bahwa penekanan pada pendidikan seks penting melalui olahraga dan
kegiatan fisik lainnya pada masa remaja, penekanan pada konsultasi genetik sebelum menikah, penekanan pada pelatihan keterampilan hidup, penekanan pada
kemampuan orang dengan keterbelakangan mental dalam memahami kebutuhan
seksual dan perasaan yang indah dan pemahaman hubungan dengan orang asing, dan kesemuanya itu menunjukkan hasil yang konsisten.
Penelitian lain dari Tarnai 2006 : 151-168 menunjukkan kurangnya intervensi pada penyandang cacat kognitif untuk mengontrol masturbasi yang
tidak pantas dilakukannya, makadari itu disusunlah pedoman untuk menangani perilaku tersebut seperti : 1 Memberikan informasi tentang pelatihan yang
sesuai keterampilan sosio-seksual, 2 Jangan memberikan toleransi pada perilaku tidak pantas, dan tidak terlalu melindungi individu dengan cacat kognitif,
melestarikan status anak di bawah umur terus menerus, 3 Jangan mengantisipasi, atau bereaksi berlebihan terhadap permasalahan perilaku autoerotic pada saat
pubertas, 4 Menyingkirkan penyebab organik atau medis untuk menyentuh daerah genital, dan efek dari obat yang mungkin mengganggu dorongan seksual
ketika mengevaluasi apa yang akan tampak pada perilaku masturbasi, 5 Memenuhi kebutuhan pribadi dan antarpribadi penyandang cacat kognitif, 6
Ajarkan sikap positif terhadap sendiri tubuh dan seksualitas, 7 Bertujuan untuk pengaturan-diri dan diferensiasi dalam mengendalikan perilaku masturbasi sosial
yang tidak pantas, 8 Cobalah untuk menggunakan metode yang lebih mendukung dengan penguatan positif dan atau unsur-unsur pendidikan seks
eksplisit. Program juga dengan kasus-kasus yang lebih keterbelakangan mental yang berat sebagai lawan stimulus kontrol, 9 Hindari intervensi mengganggu
seperti obat-obatan yang menekan dorongan seksual, atau orkidektomi bilateral operasi pengangkatan testis untuk alasan non-medis, 10 Mengatur kondisi
interaksi intim saat mengajar langkah-langkah pertahanan diri untuk menentukan etika, dan perlindungan bagi semua peserta terapi.
2.5 Kerangka Berpikir