Gambar 4.1 Dinamika Kasus Pertama BN
4.4.2 Kasus Kedua
KS merupakan salah satu remaja laki-laki tunagrahita berat. Kondisi KS tidak jauh berbeda dengan BN, dari lahir, alat kelamin subjek KS normal, ia tidak
mengalami kelainan apapun. Dari kecil hingga sekarang alat kelaminnya tumbuh normal. KS dikhitan pada saat usianya 16 tahun, karena pada saat itu ibunya
melihat anaknya sering memegang alat kelaminnya, dan mengira KS gatal-gatal, lalu ibunya membawanya ke dokter untuk dikhitan. Setelah dikhitan, perilaku
seksual subek KS mulai tampak. Subjek KS sering memegang-megang alat kelaminnya sampai menegang atau ereksi, itu membuktikan bahwa alat kelamin
subjek normal. BN Remaja
Tunagrahita
Mengalami perkembangan
seksual yang sama seperti
remaja normal IQ yang rendah
menyebabkan BN tidak mengerti tentang norma
Melampiaskan gairah seks pada
teman dekat Orangtua
membebaskan BN bergaul dengan
sembarang orang
Masa pubertas mengakibatkan
meningkatnya libido karena
perubahan hormon
1.Faktor Meningkatnya
libido 2.Faktor Ketunaan
3.Faktor Pola asuh 4.Faktor Kedekatan
teman sebaya
Subjek KS seperti anak normal lainnya yang alat kelaminnya tumbuh sesuai dengan pertumbuhan fisiknya, oleh karena itu ia dapat menunjukkan
perilaku seksualnya. Subjek KS mengalami pubertas pada saat usianya menginjak 16 tahun. Ia mulai memiliki dorongan seksual setelah dikhitan. Pertama ia hanya
merasa ingin memegang-megang alat kelaminnya, namun setelah dikhitan, ia menunjukkan perilaku seksualnya yaitu onani. Faktor meningkatnya libido karena
perubahan hormon yang dialami subjek KS sama seperti remaja normal pada umumnya. Mereka juga merasakan adanya dorongan seksual namun mereka
mengalami mimpi basah sedangkan subjek KS tidak. Dorongan libido seksualnya lebih kuat ketika ia sedang tidak dalam keadaan tidur. Sampai sekarang, faktor ini
masih sangat berpengaruh pada diri subjek KS. Faktor libido ini memengaruhi subjek ketika ia mendapat rangsangan stimulus dan ia selalu ingin melakukan
onani pada jam-jam yang tidak bisa ditentukan, oleh sebab itu ia bisa melakukan onani lebih dari lima kali sehari.
Dilihat secara psikologis, subjek KS sama seperti BN, ia yang terlahir sebagai laki-laki mampu menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual yaitu ia
juga dapat merasakan rangsangan ketika ada stimulus didekatnya. Ia merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya sehingga ia melakukannya berulang-
ulang. Subjek KS juga mampu menunjukkan perasaan seksualitasnya. Ketika ia melakukan perilaku seksualnya ia sering tertawa, dan ketika ia ditegur oleh
orangtua dan gurunya ia menunjukkan ekspresi tertawa senang kemudian diam. Dari perilakunya, dapat dilihat bahwa subjek KS mengetahui tentang
bentuk perilaku seksual, yaitu onani. Dari pertama ia mengalami pubertas, ia
selalu melakukan onani di sembarang tempat. Di sekolah pun ia juga menunjukkan perilaku seksualnya, yaitu ia menggesek-gesekkan alat kelaminnya
di matras, ia juga melampiaskan hasrat seksualnya terhadap guru-guru pendampingnya, ia sering menempelkan alat kelaminnya ke badan gurunya dari
arah belakang dan melakukan gerakan maju mundur. Subjek KS tidak pernah mengalami mimpi basah, ketika mulai pubertas ia
menunjukkannya dengan memegang-megang alat kelaminnya dan melakukan onani sampai terjadi ejakulasi. Ia juga pernah memegang payudara tetangganya
ketika membonceng di belakang. Subjek KS senang memegang-megang alat kelaminnya dan itu dilakukannya terus menerus. Intensitas ia melakukan perilaku
seksualnya juga tinggi, apabila tidak ada yang mengawasi ia bisa melakukan onani hingga ejakulasi sebanyak lebih dari lima kali sehari. Ia pun melakukannya
di sembarang tempat, oleh sebab itu ibunya selalu menguncinya di dalam kamar apabilas subjek memperlihatkan tanda-tanda ereksi.
Interaksi subjek KS dengan teman-temannya di sekolah jarang karena ia memang sulit diajak berkomunikasi, selain itu ia juga sering tidak masuk sekolah.
Ia lebih sering sibuk dengan dirinya sendiri. Dari awal penelitian hingga akhir, subjek KS terlihat lebih sering di rumah
daripada di sekolah. Di rumah, interaksi subjek KS dengan kakaknya terlihat kurang baik karena kakaknya sudah menikah dan tidak tinggal serumah
dengannya. Kakaknya juga kurang peduli dengan KS, ia jarang berkunjung kerumah, walaupun begitu kakaknya masih sedikit peduli masalah perilaku
seksual subjek KS. Di lingkungan masyarakat sendiri, KS cukup dikenal oleh
masyarakat sekitar rumahnya. Ketika ia pergi sendiri tanpa sepengetahuan ibu dan neneknya, ada tetangga yang mengantarkannya pulang. Subjek KS karena sulit
untuk berkomunikasi, ia tidak memiliki teman bermain di rumah. Waktu anaknya mulai mengalami pubertas, B yaitu ibu KS merasa aneh
dengan keadaan tersebut. B melihat anaknya tersebut melakukan onani sehingga terjadi ejakulasi, dan ia akhirnya mencubit anaknya sampai kulitnya gosong. B
merasa anaknya tersebut menjadi nakal karena melakukan onani berulang-ulang. Setelah kejadian tersebut ia dinasehati oleh tetangga sekitarnya agar ia lebih
perhatian pada KS. Akhirnya sekarang ia mengubah peraturan untuk menangani perilaku seksual KS. KS sekarang apabila ingin melampiaskan perilaku
seksualnya selalu dibawa ke kamar oleh B dan dikunci. Pertamanya B memperketat aturan di rumah, agar anaknya tersebut tidak melakukan hal-hal
yang tidak pantas. Ia mengunci KS lama di dalam kamar, namun KS mengompol di dalam kamar. Setelah itu B tidak berani mengunci anaknya terlalu lama. KS
cenderung melanggar dengan aturan di rumah dan juga di sekolah. Pada awal KS mengalami pubertas, ibunya mengetahui bahwa anaknya
mengalami pubertas, namun ia memandang bahwa perilaku seksual yang dilakukan oleh KS tidak wajar, oleh sebab itu ia selalu mencegah agar anaknya
tersebut tidak melakukannya terus menerus. B selalu melarang ketika KS sudah menunjukkan tanda-tanda akan melakukan aktivitas seksualnya, namun seiring
berjalannya waktu ia lalu melunak dengan membiarkan KS untuk melakukan aktivitas seksualnya di kamar. Faktor pandangan bahwa seks adalah hal yang tabu
berpengaruh pada perilaku seksual subjek KS karena ibunya masih sering
melarang KS untuk melakukan onani dan menghukum KS apabila ia masih melakukannya berulang kali.
KS sebagai remaja tunagrahita berat, tidak mengerti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Ia mengerti dan mampu menunjukkan perilaku
seksualnya karena ia belajar secara alamiah. KS juga tidak pernah melihat apapun yang berkaitan dengan perilaku seksual. Dari informasi yang diperoleh, orangtua
dari subjek KS jarang mengikuti seminar dan pelatihan mengenai masalah pendidikan seks di sekolah. Di sekolah juga masih jarang diadakan seminar
mengenai seksualitas. Hal itu membuat orangtua subjek tidak mengerti bagaimana cara menjelaskan masalah seksualitas kepada subjek KS sedangkan B tidak bisa
secara terbuka memberitahu KS mengenai masalah tersebut karena subjek KS sulit diajak berkomunikasi. Sama seperti subjek BN, faktor kurangnya informasi
seks berpengaruh pada perilaku seksual subjek KS, karena ia tidak mengerti dan tidak diajari orangtuanya mengenai pengetahuan dan pendidikan seks sehingga
perilaku seksualnya menjadi seperti sekarang ini. Keterbatasan ilmu dalam mendidik anak tunagrahita membuat orangtua subjek KS bingung dan hanya bisa
mengarahkan agar perilaku seksual subjek KS dapat dikendalikan. Faktor lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah ketunaan.
Ketunaan yang dialami subjek sejak kecil sangat berpengaruh pada perilaku seksualnya. Faktor ini membuat subjek mengulangi perbuatannya terus menerus,
walaupun ibu dan guru kelasnya sudah menegur dan menasehati berkali-kali, ia masih saja melakukannya. Subjek KS adalah remaja tunagrahita berat, ia
cenderung melanggar aturan karena ia memang mudah lupa, ingatannya lemah
dan kemampuan menalarnya kurang, oleh sebab itu ia tidak mengerti tentang masalah seksualitas. Selain itu, ia juga tidak mengerti tentang norma. Ia hanya
melakukan perilaku seksualnya karena ia ingin memuaskan hasrat seksualnya. Kontrol diri dibutuhkan seseorang untuk mengendalikan tindakan atau
tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari norma yang ada. Sejak awal mengalami pubertas, subjek KS tidak mampu mengontrol dirinya sendiri di
rumah, ia tidak memiliki rasa malu, dan melakukan aktivitas seksualnya yaitu onani di sembarang tempat. Di sekolah pun perilaku KS sama saja seperti di
rumah, ia lebih agresif apabila ia sedang ingin melakukan aktivitas seksualnya, ia menunjukkan perilaku seksualnya di kelas dengan menggesekkan alat kelaminnya
di matras atau apabila ia melihat guru perempuannya, ia akan mendekat dari arah belakang dan menempelkan alat kelaminnya ke badan gurunya. Hal ini
berpengaruh terhadap perilaku seksualnya. Apabila ia tidak diawasi dan dialihkan oleh orangtua dan gurunya, maka perilaku seksual subjek KS tidak dapat
dikendalikan. Pola asuh orangtua adalah faktor lain yang ditemukan dalam penelitian ini.
Dalam kasus subjek KS, dari ia kecil sampai ia mulai mengalami pubertas, orangtuanya selalu memperhatikannya, dan menerapkan pola asuh otoriter, yaitu
pola asuh yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orangtuanya. Orangtua cenderung menetapkan standar yang harus dituruti,
biasanya bersamaan dengan ancaman atau hukuman. Orangtua subjek KS tidak pernah membiarkan anaknya bermain sendiri tanpa pengawasan. Ibunya selalu
melarang KS pergi dari rumah. Apabila subjek KS melakukan aktivitas
seksualnya terus menerus, ibunya akan menghukumnya dengan menguncinya di dalam kamar. Faktor ini berpengaruh pada perilaku seksual KS, karena KS
tunagrahita berat maka memang harus selalu dalam pengawasan orangtua dan gurunya.
Gambar 4.2 Dinamika Kasus Kedua KS KS remaja
tunagrahita
Mengalami perkembangan
seksual yang sama dengan
remaja normal IQ yang rendah
menyebabkan KS tidak
mengerti norma
1.Faktor Meningkatnya
libido 2.Faktor
Ketunaan Masa pubertas
mengakibatkan meningkatnya
libido karena perubahan hormon
Perilaku seksual yang
menyimpang
4.5 Pengelompokan Temuan pada Narasumber