Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

(1)

SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN

BANK GAGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM : 090200230

KING RICHTER SINAGA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN

BANK GAGAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

:

NIM : 090200230 KING RICHTER SINAGA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H

NIP: 195603291986011001 NIP: 197302202002121001 Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna atas berkat dan rahmat yang dilimpahkan-Nya dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan kewajiban tahap akhir studi yang disusun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul yang penulis bahas adalah “Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan”.

Penulis menyadari, sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan baik dalam pikiran maupun perbuatan. Berkat bimbingan Bapak Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mengasuh serta membimbing penulis sejak masuk bangku kuliah hingga akhir penulisan skripsi ini, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus buat kedua orang tuaku, Drs. D. Sinaga dan A.F. Saragi S.Pd yang telah memberikan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis, dan yang selalu mendoakan penulis, memberikan semangat, dana, dukungan dan perhatian kepada penulis selama ini.


(5)

Penulis juga menyadari bahwa banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini, baik melalui bimbingan, doa dan bantuan lainnya. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M,Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, S.H,. M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini, untuk segala nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, penulis sangat berterima kasih.


(6)

8. Bapak Syarifuddin Siba, S.H. seaku Dosen Wali penulis semasa perkuliahan

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 10.Saudara-saudaraku terkasih, kakakku Silvia Dewi Ita Sinaga, Lidya

Degrace Sinaga, dan adikku Dian Oktopin Sinaga, terima kasih atas doa dan semua dukungannya.

11.Teman-temanku yang selalu mendukungku, Bram Manalu, Priadi Hutapea, Evan Richardo Tambunan, Iksan Abdillah, Budi Bahrezy, Mhd. Subhi Solih, Fauzul Asyura, Andi Azlan, Zulfadli Syarbaini, Yunita Panjaitan, Ruth Paolin Marbun, Anita Veronika, Santi Hutauruk Dwi Hardi, Ahmad Husein, Agry Purba, Haposan, David Klery, dan semua teman-teman stambuk 2009 lainnya. Terima kasih atas semangat dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

12.Teman-teman diluar kegiatan kampus yang memberikan banyak inspirasi 13.Semua pihak yang membantu penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat

disebut satu-persatu

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan imbalan yang setimpal atas kasih, jerih payah, dan jasa-jasa mereka. Penulis mohon maaf kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata-kata yang tidak berkenaan selama penulisan skripsi ini.


(7)

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan segenap pembaca. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran mengenai topik yang diangkat dalam penulisan skripsi ini karena penulis juga menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaan penulis. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin. Terima Kasih.

Medan, Oktober 2013

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 24

2. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ... 25

3. Tujuan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan ... 29

4. Perbandingan dengan Berbagai Negara ... 34

B. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan Nasional 1. Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ... 40

2. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan ... 43

3. Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan Dalam Bidang Perbankan ... 45


(9)

C. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga yang Independen

1. Pengertian Independen dan Lembaga Independen ... 47 2. Independensi Otoritas Jasa Keuangan ... 51 3. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Lain ... 56

BAB III KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN

A. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan

1. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan ... 62 2. Latar Belakang Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan .. 64 3. Tujuan Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan ... 65

B. Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Sistem Perbankan Nasional

1. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Penjamin

Simpanan ... 67 2. Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam

Sistem Perbankan Nasional ... 70 3. Lembaga Penjamin Simpanan dan Perlindungan

Terhadap Nasabah Bank ... 74

C. Lembaga Penjamin Simpanan sebagai Lembaga yang Independen

1. Independensi Lembaga Penjamin Simpanan ... 77 2. Hubungan Lembaga Penjamin Simpanan dengan


(10)

BAB IV SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN BANK GAGAL

A. Sistem Pengawasan Perbankan yang Dilakukan Oleh

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan ... 82 B. Penetapan Bank Gagal Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa

Keuangan ... 93 C. Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga

Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal ... 100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 109 B. Saran ... 112


(11)

ABSTRAKSI

King Richter Sinaga *) Bismar Nasution **) Mahmul Siregar ***)

Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi pemerintah. Krisis tersebut berakibat semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang ada. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, maka pemerintah membentuk jaminan pemerintah yang disebut blanket guarantee. Seiring berkembangnya jaman, maka jaminan pemerintah tersebut sudah tidak efektif lagi, dan kemudian dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan. Tugas LPS adalah untuk melaksanakan penjaminan simpanan dan turut aktif menjaga stabilitas perbankan. selain itu, LPS juga bertugas untuk menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.

Penyempurnaan sistem perbankan atas dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 juga ingin membentuk lembaga pengawas sector jasa keuangan yang independen, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahu 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37 B ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempuyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan . keindependesian OJK akan sepenuhnya efektif apabila terdapat Good Corporate Governance didalam dunia keuangan dan perbankan. Karena penerapan sistem Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

LPS dan OJK melakukan kerjasama dalam penanganan bank gagal. Dalam hal melakukan penanganan bank gagal, Bank Indonesia juga tidak luput memegang peran dalam membantu LPS dan OJK. LPS akan melakukan penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya


(12)

segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama.

Kata Kunci: OJK, LPS, Bank Gagal

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I


(13)

ABSTRAKSI

King Richter Sinaga *) Bismar Nasution **) Mahmul Siregar ***)

Terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi pemerintah. Krisis tersebut berakibat semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang ada. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, maka pemerintah membentuk jaminan pemerintah yang disebut blanket guarantee. Seiring berkembangnya jaman, maka jaminan pemerintah tersebut sudah tidak efektif lagi, dan kemudian dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan. Tugas LPS adalah untuk melaksanakan penjaminan simpanan dan turut aktif menjaga stabilitas perbankan. selain itu, LPS juga bertugas untuk menangani bank gagal baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.

Penyempurnaan sistem perbankan atas dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 juga ingin membentuk lembaga pengawas sector jasa keuangan yang independen, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UU No. 23 Tahu 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37 B ayat 2 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempuyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan . keindependesian OJK akan sepenuhnya efektif apabila terdapat Good Corporate Governance didalam dunia keuangan dan perbankan. Karena penerapan sistem Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

LPS dan OJK melakukan kerjasama dalam penanganan bank gagal. Dalam hal melakukan penanganan bank gagal, Bank Indonesia juga tidak luput memegang peran dalam membantu LPS dan OJK. LPS akan melakukan penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya


(14)

segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama.

Kata Kunci: OJK, LPS, Bank Gagal

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah krisis moneter dan krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada pertengahan tahun 1997, banyak kejadian-kejadian penting yang menyangkut berbagai bank pemerintah maupun swasta nasional. Perkembangan yang dialami dalam sektor perbankan nasional akhir-akhir ini sangat pesat. Kejadian-kejadian pada sektor perbankan nasional tersebut ditandai dengan munculnya program penyehatan didalam perbankan yang dilakukan oleh pemerintah dan juga Bank Indonesia, seperti bank yang ikut program rekapitalisasi, beberapa bank yang melakukan merger, dan berbagai bank yang melakukan divestasi saham.

Selain tindakan-tindakan terhadap berbagai bank yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah juga melakukan penataan kembali terhadap ketentuan-ketentuan baru didalam sektor perbankan, yakni menyusun Undang-Undang Perbankan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Tidak hanya itu, ketentuan mengenai Bank Indonesia juga mengalami perubahan, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, yang memberi tanda akan dimulainya kemandirian didalam Bank Indonesia, dengan demikian


(16)

pemerintah tidak berhak lagi untuk ikut campur dalam pelaksanaan tugas-tugas yang dilakukan oleh Bank Indonesia1

Bank Indonesia sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 adalah bank sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang yang telah mengaturnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Bank Indonesia ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Disamping itu, Bank Indonesia juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan juga aman.

.

Dalam rangka melaksanakan tugas terhadap pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Disamping itu, krisis keuangan dan perbankan yang terjadi pada tahun 1997-1998 telah memberikan pelajaran yang sangat berharga atas pentingnya penciptaan suatu kerangka stabilitas sistem keuangan dimana stabilitas sistem keuangan ini merupakan suatu rangkaian dari proses dan kegiatan yang diawali

1

Lukman Dendawijaya, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004) , hal.1


(17)

dengan pemantauan, pengidentifikasian kemungkinan timbulnya suatu krisis, sampai dengan pencegahan terhadap krisis tersebut. Aspek pemantauan dan identifikasi krisis merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan karena langkah preventif dan antisipatif dipandang sebagai langkah yang lebih murah daripada penyelesaian krisis.2

Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk3

1. Penyempurnaan fungsi Bank Indoesia selaku lender of the last resort

(LOLR)

pada sektor keuangan khususnya sistem perbankan, maka sistem perbankan yang ada perlu untuk lebih disempunakan lagi. Penyempurnaan sistem perbankan dalam rangka kestabilan sistem keuangan yang sudah/sedang dilakukan pemerintah saat ini meliputi dua aspek besar, yaitu:

2. Penyempurnaan kelembagaan peran dan wewenang otoritas perbankan sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu: a. Pemisahan tugas pengawasan bank dari Bank Indonesia

b. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan

2

Anwar Nasution, “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan di Indonesia”

3

Systemic Risk adalah resiko pasar yang mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Dalam

konteks perbankan, dimana kegagalan sebuah bank akan menghasilkan kerugian atau kehancuran perekonomian nasional yang besar


(18)

c. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, serta penyempurnaan terhadap sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank, kepemilikan bank, sumber daya manusia perbankan, produk perbankan serta tegnologi perbankan. Keseluruhan aspek tersebut akan dirangkai dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas dan juga tegas.4

Oleh sebab itu industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional dalam menjaga kestabilan, kemajuan dan juga kesatuan terhadap ekonomi nasional. Dengan dilikuidasinya 16 bank yang diikuti dengan krisis moneter pada tahun 1998 telah mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menurun. Oleh sebab itu, tindak lanjut dari Pasal 37B UU Perbankan tersebut adalah dalam pembentukan suatu lembaga yang baru, yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang bertujuan untuk menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan.5

Pada dasarnya, pendirian LPS ini dilakukan hanya sebagai upaya dalam memberikan perlindungan terhadap dua resiko yaitu irrational run terhadap bank dan sistemic risk. Dalam menjalankan usahanya, biasanya bank hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila terjadi penarikan dana oleh nasabah. Sementara itu bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini akan menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan didalam jumlah yang besar dengan

4

Ibid.,hal. 12.

5

Tanya Jawab Seputar LPS Oktober 2013)


(19)

segera atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini dikarenakan bank tidak dapat menarik segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh nasabah, maka nasabah biasanya akan menjadi panik dan akan menutup rekeningnya pada bank yang dimaksud, sekalipun sebenarnya bank tersebut adalah sehat. Sedangkan resiko sistemik terjadi apabila kebangkrutan suatu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga menghancurkan segmen terbesar dari sistem perbankan tersebut.6

Oleh karena itu, LPS diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimalisir munculnya resiko yang akan membebani anggaran negara. Dalam rangka untuk terus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, LPS tidak hanya berperan sebagai lembaga yang akan menjamin simpanan nasabah dibank, namun LPS juga berperan penting dalam ikut menjaga stabilitas sistem keuangan yang ada di Indoensia.7

Tidak hanya LPS yang berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Jika dilihat amanat dari Pasal 34(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indoenesia disebutkan bahwa:

6

Zulkarnain Sitompul, Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam

Sistem Perbankan,

http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/makalah_seminar-borobudur-24-1-07.pdf hal.6. (diakses tanggal 7 Oktober 2013)

7

Rudjito dkk, “5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah dan Menjaga Stabilitas


(20)

“Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.”

Jika dilihat dari isi Pasal 34(1) diatas, dapat dikatakan bahwa Pasal tersebut menekankan kepada lembaga pengawasan itu untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dan dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dan berkoordinasi dengan Bank Indoensia. Pembentukan lembaga pengawas ini diamanatkan supaya dibentuk dengan Undang-undang paling lambat 30 Desember 2010. Oleh karena semakin banyaknya bank yang mulai bermunculan di Indonesia, ditambah lagi permasalahan-permasalahan di sektor keuangan, maka akan semakin dibutuhkan pula lembaga profesional yang lebih tinggi dan lebih baik dalam mendukung kinerja perbankan yang ada di Indonesia. Untuk mengawasi dan mengatur kinerja perbankan di Indonesia pastilah dibutuhkan suatu lembaga lain yang dapat melaksanakan fungsi pengaturan dan juga pengawasan disektor jasa keuangan, khususnya dibidang perbankan, maka dibentuklah Otoritas Jasa Keuangan.8

Dengan diundangkannya Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan (OJK) pada tanggal 22 November 2011, maka situasi perbankan di Indonesia telah memasuki babak baru. Pengaturan dan pengawasan didalam sektor perbankan tidak lagi berada pada Bank Indonesia namun dialihkan kepada OJK sebagai lembaga yang independen dengan fungsi, tugas dan wewenang untuk melakukan

8


(21)

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan di Indonesia.9

Didalam Pasal 6 UU OJK disebutkan salah satu tugas OJK adalah dalam pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan.10

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan didalam sektor Perbankan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:

1. pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akusisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1. likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan

modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

9

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1

10


(22)

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; d. pemeriksaan bank.11

Jika membahas mengenai kondisi dalam sektor perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga mempunyai peranan yang penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Pada dasarnya LPS mempunyai dua fungsi, yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan terhadap bank gagal sebagai bagian dari pemeliharaan stabilitas sistem perbankan Indonesia.12

Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta dalam LPS dan membayar premi pinjaman. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan usahanya, dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan LPS melakukan tindak penyelesaian atau penanganan bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien, dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor keuangan

11

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

12

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan,; Kebjakan Moneter dan Perbankan Edisi Kelima (Jakarta, LP FEUI, 2005), hal. 178.


(23)

Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN). LPS bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi sampai dengan terbentuknya LPP atau OJK sesuai dengan amanat UU No. 3 Tahun 2004, fungsi LPP tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia.13

Seperti penjelasan diatas bahwa tugas mengenai pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, dan pemeriksaan bank semuanya dilaksanakan oleh OJK. Namun disisi lain, LPS juga mempunyai tugas yang hampir sama seperti yang dimiliki oleh OJK, salah satunya adalah penyelesaian dan penanganan bank gagal.

Dari sini dapat dilihat bahwa adanya hubungan kerjasama antara OJK dengan LPS dalam hal perbankan, terutama mengenai bank bermasalah. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 41 Undang-Undang Nmor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan:

“OJK menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedangdalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan”.14

Pasal 42 juga mengatakan:

13

Ibid.,hal.. 178.

14


(24)

“Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK”15

Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan koordinasi antara OJK dengan LPS dalam hal penanganan bank bermasalah, sehingga penulis mengangkat judul “Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang diatas, maka selanjutnya dikemukakanlah beberapa permasalahan yang muncul, yaitu:

1. Apakah Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang Independen? 2. Bagaimanakah kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga

yang Independen?

3. Bagaimana sistem koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan dalam penanganan bank gagal?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut:

15


(25)

1. Untuk mengetahui independensi Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang OJK

2. Untuk mengetahui Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga yang independen.

3. Untuk mengetahui sistem koordinasi yang dilakukan antara OJK dengan LPS dalam hal penanganan bank gagal berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011

Disamping dari tujuan penulisan, adapaun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis. Dalam hal iniadalah manfaat teoritis dan juga manfaat praktis, yaitu:

1. Manfaat secara teoritis

Pembahasan terhadap permasalahan diatas diharapkan dapat menjadi pemahaman dan pengertian bagi pembaca mengenai penanganan bank gagal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan juga Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011

2. Manfaat secara praktis

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua orang, dan juga menjadi sumbangan pemikiran bagi hukum positif yang ada di Indonesia dan dapat menjadi bahan referensi bagi penulisan karya ilmiah selanjutnya yang berkaitan dengan penanganan bank gagal.


(26)

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang berjudul “Sistem Koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan” yang ditulis oleh Rebekka D Sinaga tahun 2013 yang didalamnya membahas kerjasama yang dilakukan antara Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas perbankan, yang mana masing-masing mempunyai tugas dalam pengawasan terhadap sistem perbankan setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Sedangkan didalam skripsi ini hal yang dibahas adalah mengenai hubungan kerjasama yang dilakukan antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan dalam pengawasan bank gagal berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga Penjamin Simpanan juga berfungsi dalam pengawasan bank, yang secara khusus melakukan pengawasan terhadap simpanan yang ada didalam bank itu sendiri. Otoritas Jasa Keuangan juga bertugas dalam pengawasan bank, dalam hal ini melakukan pengawasan terhadap kesehatan bank, yang mana memiliki hubungan yang sangat erat dengan simpanan yang ada didalam bank itu sendiri. Karena penilaian terhadap kesehatan bank juga tidak terlepas dari bagaimana keadaan simpanan yang ada didalam bank tersebut.


(27)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang ada di dalam skripsi ini adalah murni hasil karya si penulis sendiri dan bukan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini juga diperoleh dari hasil pemikiran para praktisi, refrensi buku-buku, makalah, hasil seminar, media cetak, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak yang berdasarkan pada asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Sehingga hasil dari penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sistem Koordinasi

Sistem koordinasi merupakan suatu aturan yang mengatur kerja sama setiap setiap lembaga agar dapat bekerja dengan baik sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga keuangan yang ada di Indonesia, dan untuk tetap menjaga stabilitas sistem perbankan, maka didalam UU OJK mengatur harus adanya hubungan kerjasama ataupun koordinasi dengan lembaga lain. Sistem koordinasi yang dapat dilakukan diantaranya koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan. Secara singkat, OJK melakukan koordinasi dengan LPS dalam penganganan bank bermasalah. OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana yang tercantum dala UU OJK Pasal 41. Disamping itu, Bank Indonesia juga ikut turut campur dalam menjaga stabilitas perbankan karena BI merupakan bank sentral. BI juga mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan kewenangannya dalam


(28)

menangani bank-bank yang bermasalah. OJK, BI, dan LPS waib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi (Pasal 42 UU OJK)

2. Otoritas Jasa Keuangan

Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan sejarah baru bagi perkembangan sistem perekonomian di Indonesia. Dengan keluarnya UU OJK, maka OJK itu sendiri sudah mempunyai dasar hukum yang kuat. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang ditur tegas didalam UU OJK. OJK berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan pembentukan OJK pada umumnya adalah agar terselenggaranya keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu untuk melindungi kepentingan konsumen dan juga masyarakat. Selain itu, OJK juga berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

3. Lembaga Penjamin Simpanan

Dasar hukum Lembaga Penjamin Simpanan adalah pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. LPS dibentuk dalam penyempurnaan sistem perbankan dan kestabilan sistem keuangan yang sudah diamanatkan pada saat terjadi krisis moneter tahun 1998. Penyempurnaan kelembagaan peran dan wewenang otoritas perbankan sebagaimanadiamanatkan


(29)

Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Pasal 37B ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaituPembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, serta penyempurnaan terhadap sistem perbankan yang meliputi kelembagaan bank, kepemilikan bank, sumber daya manusia perbankan, produk perbankan serta tegnologi perbankan. Keseluruhan aspek tersebut akan dirangkai dalam kesatuan perangkat hukum yang jelas dan juga tegas. LPS adalah lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. LPS juga ikut turut serta dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya dan berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah di bank.

4. Bank gagal

Bank gagal adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.16

Adapun yang disebut dengan bank gagal yang berdampak sistemik adalah apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan roda perekonomian. Sedangkan bank yang tidak berdampak sistemik adalah kegagalan bank yang tidak berdampak besar terhadap perekonomian yang ada.17

16

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan

Pasal 45 ayat 5

OJK, Bank Indonesia,

17


(30)

dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak. LPS sebagai lembaga yang pemeriksa kesehatan bank tentu akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Sehingga dapat disimpulkan apakah bank tersebut hanya bank bermasalah atau bank gagal. Koordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diatur dalam Pasal 41 UU OJK, mengatur bahwa OJK harus menginformasikan LPS tentang bank-bank bermasalah yang sedang dalam penyehatan. Selain itu, LPS dapat melakukan pemeriksaan bank dengan terlebih dahuu melakukan koordinasi dengan OJK.

Dalam rangka membangun sistem keuangan perbankan yang mampu menghadapi perkembangan ekonomi global yang cepat, maka UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 perlu untuk disempurnakan lagi. Pengaturan sistem perbankan nasional tidak bisa hanya dilakukan berdasarkan pendekatan domestik semata, tetapi perlu untuk memperhatikan standar-standar internasional yang telah berkembang, baik berupa standar yang dikeluarkan oleh lembaga multilateral, seperti Bank for International Settlements (BIS) maupun praktek-praktek perbankan internasional yang selama ini dilakukan sebagai international best practice,18

18

International best pactice adalah gagasan, tehnik, dan metode yang dilakukan oleh

negara luar yang mencapai keberhasilan luar biasa jika dibandingkan dengan gagasan, tehnik dan metode lainnya


(31)

pengaturan perbankan nasional dapat mendorong terciptanya individual bank yang handal dan sistem perbankan nasional yang sehat, efisien, dan kompetitif. 19

Penyempurnaan terhadap UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 antara lain akan meliputi struktur perbankan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, ketentuan kehati-hatian serta aspek pengawasan bank. Peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat sistem perbankan juga telah disusun. Lembaga-lembaga baru yang akan dibentuk adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Dalam rangka pengupayaan peningkatan efisien, keamanan dan kestabilan disektor jasa keuangan dibidang pengawasan bank, maka pola pengawasan bank perlu diubah. Pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional oleh UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia diubah menjadi pola pendekatan pengawasan funsional. Berkenaan dengan itu, maka Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlunya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran disatu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank disisi lainnya. Dengan demikian sesuai dengan amanat UU tersebut, pada waktunya Bank Indonesia sebagai bank sentral hanya akan menjalankan otoritasnya dibidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan pada bidang

19


(32)

pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh lembaga yang independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. 20

Dalam rangka menjaga integritas sistem perbankan nasional, otoritas moneter dan sistem pembayaran serta otoritas pengawasan dan pembinaan bank didukung oleh suatu skim asuransi deposito yang berfungsi sebagai penyedia jaring pengaman sosial apabila terjadi kegagalan pada suatu bank. Tujuannya adalah supaya nasabah kecil dapat terlindungi dan merasa aman, serta gagalnya suatu bank dalam mengembalikan simpanan nasabahnya tidak meluas menjadi krisis yang bersifat sistemik. Selain itu, dalam rangka menjaga kestabilan sistem perbankan, LPS juga berperan sebagai second line of defence21 sebelum bank sentral yang melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last resort.22

F. Metode Penulisan

Dalam membahas permasalahan yang ada didalam penulisan skripsi ini tentu harus disertai dengan informasi yang benar dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bobot keilmuan yang terdapat dalam skripsi ini dipengaruhi oleh keakuratan data yang diperoleh untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dalam melengkapi bahan-bahan bagi penelitian skripsi ini, maka diadakan penelitian dalam pengumpulan data.23

20

Ibid.,hal. 15.

21

Satuan kerja dalam pengertian memberikan dukungan metodologi, sistem informasi, kerangka kerja, dan proses agregasi risiko, pada 8 Oktober 2013)

22

Anwar Nasution, Op.cit.,hal. 18.

23


(33)

Adapun metode yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan dengan bertitik tolak pada analisis terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini difokuskan terhadap sistem koordinasi antara OJK dan LPS dengan bertitik tolak dari UU OJK itu sendiri. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan, atau studi kepustakaan. Penelitian ini juga tidak terlepas dari penelitian terhadap bahan media massa ataupun bahan dari internet. Selain itu, penulis juga menggunakan metode penelitian yuridis, dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada didalam masyarakat dan dampak ketentuan tersebut bagi masyarakat. 2. Bahan penelitian

a. Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Undang-Undang Perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengawasan dan penanganan bank. b. Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang berhubungan dengan


(34)

bahan hukum primer yang ada. Bahan hukum yang diperoleh dapat berasal dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta sumber-sumber lainnya yang berasal dari internet yang memiliki kaitan dengan pokok permasalahan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu: bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain24

3. Pengumpulan Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, hasil seminar dan sumber-sumber lain yang terkait dengan permasalahan yang ada.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Sedangkan kuantitatif yaitu metode analisis data dengan mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya, dan dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga didapatkan jawaban terhadap permasalahan yang ada.

24

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia, 2005, hal.. 338.


(35)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab.

Adapun urutan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah; perumusan masalah; tujuan dan manfaat penulisan; keaslian penulisan; tinjauan kepustakaan; metode penulisan; dan sistematika penulisan.

BAB II OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA

YANG INDEPENDEN

Dalam bab ini menguraikan tentang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang membahas tentang; pengertian Otoritas Jasa Keuangan, latar belakang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, tujuan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan, perbandingan berbagai negara; Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan Nasional yang membahas tentang fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam sistem perbankan, fungsi, tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan di bidang perbankan; Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Lembaga yang Independen yang membahas tentang pengertian independen dan lembaga independen,


(36)

independensi Otoritas Jasa Keuangan, hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain.

BAB III KEDUDUKAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

SEBAGAI LEMBAGA YANG INDEPENDEN

Dalam bab ini menguraikan tentang Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan yang membahas tentang pengertian Lembaga Penjamin Simpanan, latar belakang pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan, tujuan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan; Kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Sistem Perbankan Nasional yang membahas tentang fungsi, tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, kedudukan Lembaga Penjamin Simpanan dalam sistem perbankan nasional, Lembaga Penjamin Simpanan dan perlindungan terhadap nasabah bank; Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Lembaga yang Independen yang membahas tentang independensi Lembaga Penjamin Simpanan, hubungan Lembaga Penjamin Simpanan dengan lembaga lain.

BAB IV SISTEM KOORDINASI ANTARA OTORITAS JASA

KEUANGAN DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENANGANAN BANK GAGAL

Dalam bab ini menguraikan tentang Sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan;


(37)

Penetapan bank gagal yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan; Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Penjamin Simpanan dalam penanganan bank gagal.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan yang diambil oleh penulis atas bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut


(38)

BAB II

OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI LEMBAGA YANG

INDEPENDEN

A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.25

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 menyebutkan:26

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat dengan OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. “

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan

25

Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum

dan HAM RI, 2011, hal. 44

26


(39)

didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif didalam penanganan masalah-masalah yang timbul didalam sistem keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi.27

2. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. 28

Alasan pembentukan OJK ini antara lain makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan bahwa BI, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sekor perbankan.

27

Rebekka Dosma Sinaga, Sistem Koordinasi Antara Bank Indonesia Dan Otoritas Jasakeuangan Dalam Pengawasan Bank Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara,

2013, hlm 2

28

Afika Yumya, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan

Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas


(40)

Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat itu.29 Tujuan OJK dibentuk antara lain agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.30 Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor perekonomian.31

Jika dilihat sedikit kebelakang, sejarah pembentukan lembaga yang independen ini terbilang sulit dan penuh dengan tantangan. Bahkan untuk melahirkan pengawasan sistem keuangan inipun membutuhkan waktu hingga 12 tahun sampai lembaga ini lahir.32

Adapun kronologis lahirnya OJK dapat dijabarkan sebagai berikut:33

a. Tahun 1999

Pasca krisis ekonomi yang melumpuhkan industri perbankan pada tahun 1997-1998, pemerintah langsung berbenah. Gagasan pembentukan otoritas dimasukkan dan menjadi perintah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Didalam Pasal 34 disebutkan bahwa:

29 Ibid. 30

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 4

31

Afika Yumya, Op.cit,.hal. 29

32

Selamat datang wasit baru industri keuangan,

tanggal 19 Oktober 2013)

33 Ibid.


(41)

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002 b. Tahun 2004

Tenggat waktu yang diberikan sampai tahun 2002 dalam pembentukan OJK tak juga lahir di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah dan DPR hanya bisa merevisi UU BI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia telah lahir. Didalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 terdapat bahasan tentang OJK, yaitu:

(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, amandemen UU BI tersebut merupakan sebuah perselisihan pandangan antara BI dengan Departemen Keuangan (Kementrian Keuangan). Objek dari perselisihan ini berupa perebutan wewenang dalam mengontrol industri perbankan. Hal inilah yang mati-matian dilawan BI dan akhirnya berhasil. Dalam rumusan amandemen yang telah disepakati, pemindahan kekuasaan industri perbankan dari BI ke OJK masih dapat diulur selambat-lambatnya sampai akhir 2010.


(42)

c. Tahun 2010

Lagi-lagi amandemen UU itu meleset dari yang diharapkan. Batas waktu kembali terlewati. Sampai tutup buku tahun 2010, UU OJK masih belum juga selesai. RUU OJK yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada 17 Desember 2010 malah menemui jalan buntu, karena pemerintah dan DPR tak menemukan kata sepakat terhadap struktur dan tata cara pembentukan Dewan Komisioner OJK.

d. Tahun 2011

Tahun ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia, terutama bagi sistem keuangan di Indonesia. Pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso, akhirnya mengetuk palu tanda disetujuinya pengesahan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan (RUU OJK) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR, pada Kamis 27 Oktober 2011. Dalam keputusan tersebut disebutkan supaya panitia seleksi DK OJK harus terbentuk awal 2012.

e. Tahun 2012

Pada awal tahun 2012, Presiden telah membentuk Panitia Seleksi dalam pemilihan calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan yang secara keseluruhan terdiri dari 9 orang. Menteri Keuangan Agus Martowardojo terpilih menjadi ketua seleksi sekaligus anggota, sedangkan anggota lainnya adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin nasution, Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin, dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Kemudian Komisaris Bank Mandiri Gunarni Soeworo mewakili lembaga keuangan/perbankan, mantan


(43)

Direktur BEI Mas Achmad Daniri mewakili pasar modal, Komisaris Wana Arthalife Ariyanti Suliyano mewakili asuransi/lembaga jasa keuangan non bank, dan akademisi Muhammad Chatib Basri.

Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua DK OJK terpilih. Seluruhnya berjumlah 9 orang dan dengan melewati proses seleksi yang ketat. Pada bulan ini pula seluruhnya disahkan oleh Paripurna DPR.

f. Tahun 2013

Bapepam-LK akan melebur ke OJK dan sebagian besar pekerja dari lembaga ini juga akan berubah status kepegawaiannya. Pada tahun ini jugalah OJK akan mulai dalam penarikan iuran dari industri keuangan non bank.

g. Tahun 2014

Setelah masa transisi satu tahun Bapepam-LK melebur ke OJK, diharapkan tahun ini adalah serah terimanya pengawasan perbankan dari tangan bank sentral ke OJK

3. Tujuan Dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Sejak lama, pembentukan lembaga Otoritas Jasa Keuangan ini diamanatkan oleh Undang-Undang Bank Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, sudah menghadapi berbagai kontroversi mengenai


(44)

sudah tepatkah pemindahan fungsi pengawasan perbankan yang semula ditangani oleh Bank Indonesia.34

Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia telah dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan. Dalam penjelasan Undang-undang OJK disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.35

Dalam penjelasan tersebut di identifikasi beberapa permasalahan yang melatarbelakangi dibutuhkannya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam suatu lembaga. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan, pesatnya kemajuan di bidang tegnologi juga inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang begitu kompleks, dinamis dan saling terkait antar subjektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektoral keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan.

34

Ahmad Taqiyuddin, Undang-Undang OJK Dalam Kajian Hukum dan Pembangunan

Ekonomi, (Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2012) hal.

15

35

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan


(45)

Selain alasan tersebut Undang-undang OJK dibuat dengan semangat untuk mengurangi moral hazard36 dalam sektor jasa keuangan, kemudian mengoptimalkan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.37

OJK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.38

Pasal 4 UU OJK disebutkan bahwa:39

“OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Sesungguhnya tujuan OJK adalah untuk menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, yang mana mengingatkan pemikiran pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar (Good Corporate Governance) yang terdiri dari 5 prinsip yang disingkat dengan TARIF, yaitu:40

1. Transparency (keterbukaan informasi)

36

Moral hazard adalah suatu tindakan yang dilakukan bank untuk memanfaatkan celah

hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan pihak lain dari adanya keterbukaan kebijakan 37

Ahmad Taqiyuddin. Op.cit.,hal. 15

38

Ibid., Pasal 1 angka 1

39

Ibid., Pasal 4

40

Bisdan Sigalingging, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan

Dengan Bank Indonesia (Tesis Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013) hal..


(46)

Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu

2. Accuntability (akuntabilitas)

Yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, kejelasan akan hak dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada.

3. Responsibility ( pertanggungjawaban)

Yaitu kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pembayaran pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya

4. Independency (kemandirian)

Yaitu mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tekanan atau intervensi dari pihak manapun maupun yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan

5. Fairness (kesetaraan atau kewajaran)

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak

shareholders dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Tujuan lain dari pembentukan OJK ini adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Dalam konsep berkelanjutan dimaksud adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sebagaimana menurut The World Business Council of for Sustainable Development (WBSCSD) yang menggambarkan sebagai “business commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their, the local community, and society at large to improve their quality if life” yaitu suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.41

41


(47)

Adapun pernyataan Ketua Dewan Direksi Ford Motor, William Clay Ford, Jr., yang menyatakan bahwa adanya perbedaan antara perusahaan yang baik dengan perusahaan yang sangat baik. Didalam perusahaan yang baik menawarkan produk dan layanan yang memuaskan. Sedangkan perusahaan besar tidak hanya menawarkan produk dan layanan yang memuaskan, tetapi juga turut berusaha menciptakan dunia yang lebih baik.42

Berdasarkan pernyataan tersebut hendaknya menjadi pemikiran mendalam bagi DK OJK untuk mencapai tujuan terselenggaranya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. DK OJK juga harus menyadari pentingnya tujuan pembentukan OJK untuk melindungi kepentingan nasabah/konsumen dan masyarakat termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan. DK OJK juga diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional, mampu menjaga kepentingan nasional meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.43

Adapun maksud dari pembentukan Otoritas Jasa Keuangan menurut beberapa ahli/pakar perbankan adalah sebagai berikut:44

1. Menkeu Agus Matroardojo:

42 Ibid. 43

Ibid.,hal. 109

44


(48)

Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia

2. Fuad Rahmany:

OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab didalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah

3. Darmin Nasution

OJK adalah untuk mencari efesiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab suatu perekonomian yang kuat, stabil dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.

4. Deputi Gubernur BI Miliaman D Hadad:

Terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.

4. Perbandingan Dengan Berbagai Negara

Pembentukan OJK di Indonesia tidak terlepas dari akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 dan mengikuti trend Bank Sentral di beberapa negara antara lain Inggris (1997), Jerman (1949), Jepang (1998) yang menginginkan agar bank


(49)

sentral independen, bebas dari campur tangan pihak manapun. OJK mengadopsi beberapa sistem yang sudah digunakan oleh negara lain. Beberapa diantaranya adalah dari yang berhasil hingga yang gagal menjalankan fungsinya dan kembali ke wewenang semula. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mulaiman D Hadad mengatakan bahwa sistem pengawasan dan perlindungan konsumen diadopsi dari sejumlah negara, beberapa diantaranya antara Inggris, Australia dan Korea Selatan.45

Adapun perbandingan yang diteliti terhadap beberapa negara yang pernah menganut sistem yang sama seperti OJK yang ada di Indonesia, diantaranya:46

1. Inggris

Latar belakang dibentuknya sistem pengawasan tunggal di Inggris adalah kasus kegagalan beberapa bank di Inggris seperti Neural Banker dan Baring Bank. Kegagalan kedua bank ini juga disertai dengan penutupan 12 bank lainnya. Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA). FSA ini memiliki tugas yaitu melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, (termasuk perbankan), perlindungan konsumen dan juga pelaksanaan hukum. Hampir sama seperti yang terjadi di Indonesia, OJK didirikan karena dilatarbelakangi oleh ditutupnya berbagai bank yang ada di Indonesia dan

45

Belajar yang baik dan buruk dari negeri orang,

tanggal 10 Oktober 2013).

46

Stehpanie Rebecca Ester, , Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di

Indonesia,


(50)

tugas OJK juga sama-sama melakukan pengawasan terhadap sistem keuangan yang ada. Tetapi, ada juga hal yang dapat menjadi pembeda antara OJK di Indonesia dengan Financial Services Authority, yaitu:

a. Aspek pembiayaan,

Di Inggris, sumber dana untuk membiayai operasional FSA berasal dari pungutan terhadap lembaga-lembaga yang diawasi oleh FSA melalui mekanisme pungutan dan denda. Dalam mengenakan pungutan terhadap Lembaga Keuangan, FSA harus mempertimbangkan kondisi finansial dan intensitas kegiatan dari tiap-tiap Lembaga Keuangan dengan tujuan untuk memastikan bahwa pungutan yang dikenakan bisa dibayar oleh Lembaga Keuangan bersangkutan dan tidak memberatkan antara Lembaga Keuangan satu dengan lainnya bisa saja berbeda. Sedangkan di Indonesia, sumber dana untuk membiayai operasional OJK berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dari pungutan atas Lembaga Keuangan yang diawasi. Pungutan tersebut antara lain biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan ini digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan asset serta kegiatan pendukung lainnya dalam penyesuaian biaya-biaya yang dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan. Pembiayaan OJK tersebut diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun


(51)

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

b. Sifat Independen Sebagai Lembaga Negara

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan, OJK terlepas dari campur tangan pihak lain. Di dalam ayat (2) tahun 2011 tentang OJK disebutkan bahwa “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”.

Sedangkan di Inggris, FSA diberikan independensi dalam pelaksanaan tugasnya, namun dalam kondisi tertentu, Departemen Keuangan mempunyai kewenangan untuk memberikan perintah kepada FSA. Departemen keuangan mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan ketua dan anggota dewan komisioner. Departemen Keuangan juga diberikan kewenangan memerintahkan kepada FSA untuk merubah ketentuan-ketentuan dan pelaksanaan tugasnya, misalnya pada saat terjadi kerugian yang disebabkan oleh kegagalan FSA dalam mengawasi persaingan usaha atau ketika FSA gagal dalam penerapan ketentuan-ketentuan tata kelola lembaga yang baik. Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjalankan kewenangannya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan, FSA belum sepenuhnya independen.


(52)

2. Australia

APRA adalah otoritas pengawas sektor keuangan di Australia dan mengambil alih tugas Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Supernuation Committee (ISC). Lembaga ini dibentuk pada 1 Juli 1998 yang menjalankan fungsi pengawasan lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society, dan perusahaan asuransi. Disamping itu, APRA juga menjalankan pengawasan terhadap industridana pensiun (superannuation funds). APRA adalah lembaga yang pada awalnya dianggap pemerintah Australia dapat membantu dalam mengatasi kebangkrutan yang dulu dialami oleh konglomerat asuransi di Australia karena miss manajemen keuangan. Namun, yang diharapkan pemerintah Australia berbeda jauh dengan kenyataan, Pasalnya APRA mengakui kegagalanya dalam mendeteksi dan mencegah kebangkrutan tersebut yang tidak lepas dari minimnya waktu untuk menuntaskan transfer di atas, termasuk penyempurnaan sistem pengawasan. 3. Jepang

Didalam negara Jepang, Otoritas Jasa Keuangan lebih dikenal dengan namaThe Financial Supervision Agency (FSA). FSA dibentuk tanggal 22 Juni 1998 oleh pemerintah Jepang demi membantu Bank of Japan (BOJ) dalam melakukan fungsi pengawasan. BOJ yang awalnya memiliki kewenangan atas pengawasan kini hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter dan implementasinya.. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal menjaga stabilitas pembayaran (payment) dan sistem keuangan di


(53)

Jepang maupun dalam hal perumusan kebijakan moneter. Sehingga akan memperoleh kondisi perbankan secara akurat dan cepat. FSA yang awalnya dibentuk agar dapat membantu BOJ, dalam hal pengawasan belum memberikan kinerja yang efektif. Ini dibuktikan dengan masih adanya resiko sistemik yang tinggi dan penerapan prinsip prudensial yang belum ketat. Sehingga jika harus menjadi perbandingan dalam pembentukan OJK yang di Indonesia, tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan ini, tentunya dapat menarik kesimpulan bahwa FSA yang dipakai oleh Jepang, berbeda dengan OJK yang dibentuk pemerintah Indonesia. Sebab OJK yang dibentuk pemerintah Indonesia, tidak melakukan pengawasan dalam bidang moneter, namun dalam bidang pengawasan perbankan dan mengenai bidang moneter masih dalam genggaman Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan dan pengawasan.

4. Korea

Negara Korea juga salah satu negara yang memiliki lembaga jasa keuangan yang diberi nama Financial Supervisory Service (FSS). Lembaga yang didirikan oleh pemerintah Korea ini dipimpn oleh seorang Gubernur yang juga merangkap sebagai Gubernur Komisi Jasa Keuangan yang mempertanggung jawabkan tugasnya kepada pemerintah. Namun hal yang disayangkan adalah tatanan seperti ini menimbulkan persoalan independensi dan kerancuan koordinasi dengan otoritas moneter. Hal ini terjadi karena lembaga ini dipimpin oleh anggota pemerintahan, sehingga kekuasaan yang sangat besar ini tentunya menimbulkan ketimpangan dalam memberikan


(54)

keputusan. Keadaan FSS yang dimiliki oleh Korea ini cukup jauh berbeda dengan OJK yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. OJK yang didirikan oleh pemerintah Indonesia, memiliki independensi yang cukup baik, manakala para komisioner yang dikenal sebagai pemimpin OJK tidak berada dalam kedudukan pemerintahan. Namun pihak-pihak yang duduk didalam anggota komisioner di OJK adalah orang-orang yang mengetahui mengenai sistem perekonomian dunia dan berasal dari kalangan yang awalnya pemimpin dari lembaga keuangan, bukan dari anggota pemerintahan. Walaupun dalam pemilihan anggota komisioner OJK dipilih oleh lembaga legislatif (DPR), namun dalam mengambil keputusan tidak dipengaruhi oleh DPR, tetap pada kolektif kolegial dan berdiri sebagai lembaga independen.

B. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan Nasional

1. Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia didasari dari keinginan pemerintah dalam melakukan regulasi baru dalam hal pengawasan perbankan yang dianggap mulai mengalami kelemahan. Kedudukan OJK yang menjadi lembaga yang independen dan memiliki kewenangan yang cukup luas dan tegas dalam pengawasan perbankan diharapkan dapat memperbaiki permasalahan yang saat ini timbul di bidang pengawasan perbankan.

Dengan besarnya kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yang satu ini, tentunya harus ada suatu pengaturan yang jelas dan tertulis demi mewujudkan kepastian hukum. Lembaga OJK yang dulunya sudah terbentuk


(55)

masih belum memiliki suatu pengaturan yang jelas. Namun dengan dilahirkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan memberikan kepastian hukum, dan undang-undang tersebut menjadi dasar hukum dalam melaksanakan kewajiban dan kewenagan dari lembaga tersebut.

Mengenai fungsi OJK itu sendiri telah dijabarkan dalam UU No.21 Tahun 2011, dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa:47

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Selanjutnya di dalam Pasal 6 undang-undang teresebut juga menyebutkan mengenai tugas pengaturan dan pengawasannya, yaitu:48

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:49

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran

dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

47

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 5

48

Ibid., Pasal 6

49


(56)

1. Likudasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. Sistem informasi debitur:

4. Pengujian kredit (credit testing); dan 5. Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank meliputi: 1. Manajemen risiko;

2. Tata kelola bank;

3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan

4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan d. Pemeriksaan bank

Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:50

a. Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statute pada Lembaga Jasa Keuangan

h. Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Selanjutnya, untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:51

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan

Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,

50

Ibid., Pasal 8

51


(57)

dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statute; f. Menetapkan penggunaan pengelola statute;

g. Menetapkan sanksi administrative terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut; 1. Izin usaha;

2. Izin orang perseorangan;

3. Efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. Surat tanda terdaftar;

5. Persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. Pengesahan;

7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. Penetapan lain,

Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

2. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Perbankan

OJK merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam rangka mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan.52 Didalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK merupakan lembaga yang independen seperti yang telah dijelaskan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang OJK diatas bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. 53

52

Ibid., Pasal 5

53


(58)

Setiap pihak dilarang campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang OJK dengan maksud bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal dan mampu meningkatkan daya saing nasional, maka OJK harus dapat bekerja secara independen dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK bebas dari campur tangan pihak lain.

Sebagai pengamat ekonomi, Imam Sugema mengatakan bahwa OJK pada prinsipnya pengawasan regulasi untuk berbagai lembaga keuangan mulai bank, asuransi, multi finance, kemudian pasar modal, bursa berjangka, pengaturan dan supervisinya disatukan, OJK sebagai regulatornya.54

Dengan munculnya OJK, maka akan membantu Depkeu dengan sendirinya didalam memfokuskan tugasnya terhadap fungsi fiscal, yaitu mengurus masalah penerimaan serta pengeluaran negara dan mengelola kekayaan negara dan piutang negara.55

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK perlu melakukan koordinasi dengan beberapa lembaga seperti BI, Lembaga Penjamin Simpanan, serta Mentri Keuangan bahkan Presiden agar nanti kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan OJK dapat efektif dan efisien dalam memecahkan permasalahan di sektor keuangan.56

54

Afika Yumya,Op.cit.,hal. 35

55 Ibid. 56


(59)

3. Fungsi, Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Bidang Perbankan

Didalam Pasal 34 UU dikatakan bahwa tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.57

Berdasarkan ketentuan didalam Pasal 34 Undang-undang tentang BI beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa OJK akan bertugas mengawasi bank, lembaga-lembaga usaha pembiayaan, modal ventura, dan lembaga-lembaga lain yang mengelola dana masyarakat. Dengan demikian OJK akan mengambil alih sebagian tugas dan wewenang BI, Direktorat Jendral Lembaga Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, dan institusi-institusi pemerintah lain yang selama ini mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat.58

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan, OJK mempunyai wewenang, yaitu:59

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana

kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akusisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan 2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,

produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

57

Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34

58

Afika Yumya., Op.cit.,hal. 15

59


(60)

1. likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; d. pemeriksaan bank

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Otoritas Jasa Keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:60

1. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

3. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral

dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

60


(1)

argumen masyarakat yang kurang percaya terhadap kinerja OJK sampai saat ini.

3. Dalam mempetahankan dan memelihara kepercayaan masyarakat atas perlindungan dalam dan penyimpanan nasabah, LPS selaku lembaga penjamin simpanan harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. 4. Koordinasi yang dilakukan antara OJK, BI dan LPS diharapkan dapat terus

dilakukan dan berkesinambugan. Sehingga, keefektifitas masing-masing lembaga tersebut dapat terjaga dan dapat saling mendukung berdasrkan fungsi, tugas, dan wewenangnya masing-masing


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan; Kebjakan Moneter dan Perbankan Edisi Kelima, Jakarta, Lembaga Penerbit FEUI, 2005.

Dendawijaya, Lukman, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2005.

Nasir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003.

Sitompul, Zulkarnaen, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Bandung; Books Terrace & Library, 2005.

B. Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(3)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

C. Skripsi, artikel, makalah

Afika, Yumya, Skripsi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008

Resi, Anandara, Skripsi, Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Hubungannya Terhadap Nasabah Dan Bank, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011

Nining, Analita, Skripsi, Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Atas Simpanannya Yang Tidak Dijamin Oleh Lembaga Penjamin Simpanan, Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2012

Michel, Silaban, Skripsi, Lembaga Penjamin SImpanan Sebagai Salah Satu Sarana Untuk Meningkatkan Public Confidence Dalam Menggunakan Jasa Perbankan, Fakultas Hukum Prpgram Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2009

Ahmad, Taqiyuddin, Tesis, Undang-Undang OJK Dalam Kajian Hukum dan Pembangunan Ekonomi, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2012


(4)

Anwar Nasution, “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan di Indonesia, Jakarta, 2003

Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, (Selanjutnya disebut Bank Indonesia II), Bank Indonesia, Jakarta, 2010

Bambang Muradi, “Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pengawas Lembaga Keuangan Baru Yang Memiliki Kewenangan Penyidikan” Value Added, Vo.l.8 No.2 Maret 2012- Agustus 2012

Bisdan, Sigalingging, Tesis, Analisis Hubungan Kelembagaan Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Bank Indonesia, Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013

Bismar, Nasution, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010

Dhian Indah, Aspek Hukum Lembaga Penjaminan Simpanan Terhadap Perlindungan Nasabah, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2013

Dhian Indah, Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah, Humani, Vol 5 No.1, 2012 Hesty D.Lestari, “Otoritas Jasa Keuangan : Sistem Baru Dalam Pengaturan Dan

Pengawasan Sektor Jasa Keuangan” Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 3 September 2012


(5)

Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan”, Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Ham RI 2011

Nova Asmirawati, Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legisasi Indonesia Vol. 9 No.3, 2012

Rudjito, “Opening Remark”, IADI 6th Asia Regional Committee Meeting &International Conference, Maret, 2008

Siti Sundari, Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011

Wiwin Rahyani, Independensi Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legisasi Indonesia Vol. 9 No. 3, 2013

Zulkarnain Sitompul, Pentingnya Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Sistem Perbankan, Jakarta, 2007

D. Situs Internet

http://www.lps.go.id, Tanya jawab seputar LPS, diakses tanggal 7 Oktober 2013


(6)

tanggal 19 Oktober 2013

diakses tanggal 10 Oktober 2013

Sistem Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia”, diunggah pada tanggal 18 Oktober 2013

Ironisme OJK: Gagal di Negara Maju, namun Diminati di Indonesia, , diakses 10 Oktober 2013

http://id.wikipedia.org, Independen, diakses tanggal 11 Oktober 2013

Indikator Bank Berdampak Sistemik &

Kronologi Penanganan Bank Century diakses tanggal 18 Oktober 2013

Pengaturan dan

pengawasan jasa keuangan perlu di satu institusi diakses tanggal 20 Oktober 2013)

Krisna Wijaya, “Prospek Perbankan dan Keberadaan LPS: Berorientasi Kepada Penciptaan Stabilisasi”, diakses tanggal 19 Oktober 2013


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 4 71

DESKRIPSI KEDUDUKAN DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 14 44

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

3 32 52

PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SETELAH DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

4 28 71

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

KEWENANGAN BANK INDONESIA SETELAH DISAHKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 16

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA (BERDASARKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN).

0 0 13

SISTEM KOORDINASI ANTARA BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN BANK SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 0 8

Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 12

SISTEM PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN PADA JASA KEUANGAN SYARI’AH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) - Raden Intan Repository

0 0 95