Penetapan Bank Gagal Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

Amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk bertindak sebagai dewan pengawas supervisory board, dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI. Namun ternyata setelah hadirnya undang-undang OJK, kewenangan yang dimiliki OJK tidak sesuai dengan amanat dalam Pasal 31 UU BI. Undang-undang OJK memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik.

B. Penetapan Bank Gagal Yang Dilakukan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan OJK yang dibentuk berdasarkan amanat Undang- Undang Dasar dan Undang-Undang BI ternyata memiliki sisi lain tersendiri mengenai alasan mengapa lembaga ini harus dibentuk, yaitu: 160 160 Anik Suprianti, “Peranan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan”, http:jtanzilco.com , diakses tanggal 18 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara 1. Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. 2. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan dibidang teknologi informasi serta inovasi financial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. 3. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan konglomerasi telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. 4. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan. Alasan-alasan tersebut menjadikan, pemerintah ingin mendirikan suatu lembaga pengawas keuangan yang independen dengan harapan agar adanya penataan sistem keuangan, yang dengan maksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Kemudian agar pengaturan dan pengawasan terhadap Universitas Sumatera Utara keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. 161 OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan baik bank dan non bank, juga dapat melakukan penetapan mengenai bank gagal. Sebelum lembaga ini ada, penetapan akan bank gagal dilakukan melalui proses rapat dewan gubernur di Bank Indonesia. Penetapan ini dilakukan agar tidak ada intervensi dari pihak manapun, melihat OJK adalah lembaga yang independen. Namun, proses penanganan bank gagal masih sama seperti yang ditangani BI saat ini. Dimana, setelah ditetapkannya sebuah bank sebagai bank gagal maka Lembaga Penjamin Simpanan LPS yang akan menanganinya. 162 Bank gagal, pada dasarnya dibagi atas dua jenis yaitu bank gagal yang berdampak sistemik dan bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Bank gagal yang berdampak sistemik apabila kegagalan bank akan berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana rush maupun terhadap kelancaran dan kelangsungan roda perekonomian secara nasional. Bank gagal berdampak sistemik berpotensi menimbulkan moral hazard. Moral hazard adalah suatu tindakan yang dilakukan bank untuk memanfaatkan celah hukum dan keadaan demi keuntungan pribadi dan pihak lain dari adanya keterbukaan kebijakan. Keterbukaan kebijakan yang dimaksud adalah keterbukaan kebijakan yang berlebihan yang menimbulkan bahaya jika bank-bank tahu. Jika semua bank tahu tentang kriteria berdampak sistemik, dikhawatirkan 161 Ibid. 162 Herdaru Purnomo, “Penetapan Bank Gagal Bukan Lagi Kewenangan BI,” http:newopenx.detik.com ., diakses tanggal 18 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara bank-bank itu akan dengan sengaja mengkondisikan diri masuk ke kriteria “berdampak sistemik” agar bisa minta bantuan pemerintah. Hal ini dapat mendorong manajemen bank tidak berhati-hati prudent dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. 163 Pengukuran dampak sistemik bersifat situasional. Dampak sistemik bisa diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal adalah masalah di dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun serangan teroris. Ini menyebabkan dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi berbeda. Perlu keputusan yang profesional untuk memutuskan hal tersebut. 164 Sedangkan bank gagal tidak berdampak sistemik adalah ketidakmampuan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada para deposannya atau karena tidak bisa membayar atau pemenuhan permintaan dana-dana lainnya yang masih merupakan bagian dari kewajibannya dan kegagalan bank tersebut tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional. Bank gagal bisa terjadi karenapemiliknya melarikan asetnya ke luar negeri dan kabur dari Indonesia 163 Arifin Asydhad , Indikator Bank Berdampak Sistemik Kronologi Penanganan Bank Century, http:news.detik.comread20100113100109127726810indikator-bank-berdampak- sistemik-kronologi-penanganan-bank-century?nd771104bcj diakses tanggal 18 Oktober 2013 164 Ibid. Universitas Sumatera Utara untuk mengeruk keuntungan dari tabungan nasabahnya, terjadi krisis ekonomi atau manajemennya kacau dan tidak bisa mengurusnya. 165 Dalam penetapan bank gagal, OJK membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan FKSSK dengan anggota terdiri atas: 166 a. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator; b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota; c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota. FKSSK menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Keputusan FSSK yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik mengikat LPS. Kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. 167 Berasarkan Pasal 44 UU OJK, FKSSK dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kemenkeu. Pengambilan keputusan dalam rapat FKSSK berdasarkan musyawarah untuk mufakat, jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak atau voting Pasal 44 UU OJK. Apabila dalam kondisi normal belum terjadi krisis pada sistim keuangan, maka FKSSK: 165 Ibid. 166 www.lps.go.id .,diakses tanggal 18 Oktober 2013 167 Ibid. Universitas Sumatera Utara 1. Wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan; 2. Melakukan rapat paling sedikit 1 satu kali dalam 3 tiga bulan; 3. Membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan danatau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan 4. Melakukan pertukaran informasi. Menurut Pasal 45 ayat 2 UU OJK, dalam kondisi tidak normal telah terjadi krisis pada sistem keuangan, maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisaris OJK, danatau Ketua Dewan Komisaris LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat 2 UU OJK diketahui bahwa diupayakannya penanganan bank melalui FKSSK jika telah terjadi krisis pada sistem keuangan yakni suatu kondisi dimana sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, danatau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Pasal 45 ayat 3 UU OJK menyatakan bahwa, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka Universitas Sumatera Utara pengambilan keputusan FKSSK. Melalui koordinasi dalam FKSSK ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing- masing, hal ini berdasarkan Pasal 45 ayat 4 UU OJK. Kemudian dalam mengambil keputusan FKSSK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yakni suatu kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan keputusan FKSSK ini mengikat LPS. Kebijakan FKSSK terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR tersebut wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 dua puluh empat jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterima oleh DPR Pasal 46 UU OJK. Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa dalam hubungannya dengan DPR, kebijakan penaganan oleh FKSSK terhadap bank yang bermasalah untuk pengucuran dana dari pemerintah wajib melalui keputusan DPR paling lama 1 x 24 jam. Oleh sebab itu, melalui koordinasi yang dibangun rezim OJK diharapkan dapat meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul melalui mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi, agar tujuan perbankan nasional baik secara individal maupun keseluruhan menjadi Universitas Sumatera Utara sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud. 168 Dalam ketentuan UU OJK menjelaskan bahwa FKSSK wajib melakukan kordinasi dengan lembaga lain. Koordinasi dalam hubungan kelembagaan merupakan kunci utama untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Melalui koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki. 169 Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI dalam mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, koordinasi juga dalam hal meminta penjelasan atau keterangan dari BI tentang data mikro dan makro yang diperlukan. Sedangkan BI tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU BI secara independen dalam koridor-koridor tertentu dan tidak bertentangan dengan UU OJK. 168 Bisdan Sigalingging., Op.Cit 169 Ibid. Universitas Sumatera Utara C. Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal. Lembaga Penjamin Simpanan LPS adalah salah satu lembaga yang independen yang berfungsi sebagai penjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Pengaturan mengenai LPS terdapat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. LPS dalam melakukan, tugasnya bertanggung jawab kepada presiden dan berdiri sebagai badan hukum yang independen, transparan dan akuntabel. Secara singkat LPS berfungsi sebagai: Menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya. Mengenai tugas lembaga ini terdiri dari: 170 1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan. 2. Melaksanakan penjaminan simpanan. 3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan. 4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Sebaliknya, wewenang Lembaga Penjamin Simpanan LPS : 1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan. 170 Dewi Niamah, “Makalah Perbankan”, https:plus.google.com ., diakses tanggal 18 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara 2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta. 3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS. 4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank. 5. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim. 6. Menunjuk, menguasakan, dan menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu. 7. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan. 8. Menjatuhkan sanksi administrasi Dalam mengantisipasi terjadinya suatu gangguan terhadap sistem keuangan negara, perlu diatur suatu mekanisme memadai yang memungkinkan dilakukan kerja sama antara OJK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan LPS, dan Depkeu. Kerja sama di antara institusi-institusi pilar penyangga sektor jasa keuangan tersebut sangat diperlukan dalam kondisi perekonomian Indonesia yang mulai kondusif seperti saat ini. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengantisipasi penanganan secara lebih terorganisasi dengan pola kebijakan yang lebih terstruktur dan konsisten apa bila terjadi kegagalan pada satu atau sekelompok industri jasa keuangan yang Universitas Sumatera Utara berpotensi menyebabkan guncangan atau gangguan pada sistem jasa keuangan secara keseluruhan. Mekanisme penyelamatan sektor jasa keuangan melalui forum koordinasi di antara empat pilar penting sektor jasa keuangan tersebut merupakan salah satu upaya implementasi dari konsep Jaring Pengaman Keuangan finansial safety net. 171 Secara garis besar, hubungan antara OJK dan lembaga-lembaga lain dalam Jaring Pengaman Keuangan financial safety net tercermin sebagai berikut: 172 a. OJK melakukan fungsi sebagai pengatur dan pengawas perbankan b. BI melakukan fungsi sebagai otoritas moneter, fungsi sistem pembayaran, termasuk di dalamnya melakukan fungsi lender of the last resort. c. LPS melakukan fungsi penjaminan simpanan nasabah bank d. Depkeu melakukan fungsi sebagai otoritas fiskal Secara umum, dalam mekanisme kerja tersebut OJK akan selalu memberikan informasi yang reliabel dan tepat waktu ke Bank Indonesia dan LPS. Bila dianggap di sektor jasa keuangan ada indikasi yang membahayakan, OJK harus segera melaporkannya ke Menkeu. Berdasar informasi OJK tersebut, Menkeu harus mengundang BI, LPS dan OJK untuk membahas langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan dalam rangka meminimalisasi bahaya tersebut. 171 Y. Bayu Widagdo , Pengaturan dan pengawasan jasa keuangan perlu di satu institusi http:perpustakaan.bappenas.go.idlontarfile?file=digitalblobF30564Pengaturan20dan20pe ngawasan.htm diakses tanggal 20 Oktober 2013 172 Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan sejumlah dokumen Depkeu, Jaring Pengaman Keuangan financial safety net diketahui merupakan organ dinamik yang sangat penting di dalam financial system stability yang pada hakekatnya di mulai dari level makro ekonomi yaitu pada cakupan kebijakan makro Menkeu dan BI sampai dengan tahap yang lebih operasional yaitu pada tataran mikro ekonomi pada kegiatan industri keuangan dan mekanisme pasar OJK dan LPS. Sebagai lembaga yang independen, OJK dan LPS harus berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Koordinasi dan kerjasama yang diperlihatkan OJK dan LPS terlihat dari dibentuknya Jaring Pengaman Sistem Keuangan JPSK. JPSK nantinya akan diatur melalui undang-undang yang didalamnya memuat mengenai tugas dan tanggung jawab lembaga terkait dalam perbankan yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpana LPS sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. 173 Berkaitan dengan tugas LPS yang tercantum dalam UU LPS yaitu merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik, dan melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik tentunya harus berkoordinasi dengan OJK. Pengaturan yang sisematik telah diterapkan dalam lembaga pengawas keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan yang 173 Laporan Kompendium Hukum Bidang Perbankan., Op.Cit.,hal..54 Universitas Sumatera Utara terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri, produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, dan data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. 174 Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, akan tetapi BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank dan laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada OJK paling lama 1 satu bulan sejak diterbitkannya hasil pemeriksaan. Jika OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas danatau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia Koordinasi yang terjadi dalam penanganan bank gagal antara LPS dan OJK diperlihatkan dengan adanya konfirmasi yang dilakukan OJK kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan. Kemudian Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK. 174 Dewi Niamaah., Op.Cit. Universitas Sumatera Utara OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak. LPS sebagai lembaga yang pemeriksa kesehatan bank tentu akan melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Sehingga dapat disimpulkan apakah bank tersebut hanya bank bermasalah atau bank gagal. Koordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan LPS diatur dalam Pasal 41 UU OJK, mengatur bahwa OJK harus menginformasikan LPS tentang bank-bank bermasalah yang sedang dalam penyehatan. Selain itu, LPS dapat melakukan pemeriksaan bank dengan koordinasi dengan OJK. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap bank, bank juga harus dapat bekerjasama dengan LPS dalam proses pemeriksaan yang dilakukan. Bank harus bersikap jujur dan terbuka. Kerjasama dan keterbukaan dapat mencegah aktivitas kejahatan berskala kecil yang kemudian berkembang menjadi kerugian yang parah, dan akan dapat berpotensi menjadi bank bermasalah ataupun bank gagal. 175 LPS tentu akan berusaha dalam penyelamatan bank, jika terindikasi bank tersebut berkategori sebagai bank gagal. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada dengan menglikuidasi, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan supaya ijin usahanya dicabut, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. 176 175 Zulkarnaen Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002, hlm. 48. 176 Krisna Wijaya, “Prospek Perbankan dan Keberadaan LPS : Berorientasi Kepada Penciptaan Stabilisasi”., www.lps.go.id ., a diakses tanggal 19 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama open bank assistance. Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20 dari total biaya penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS. 177 Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.242004 diberikan kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank lain. 178 Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka waktu 177 Ibid. 178 Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, www.lps.go.id , b, diakses tanggal 19 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3 tahun sejak penyelamatan dilakukan. 179 Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama. Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur. Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang handal. 180 Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur 179 Ibid. 180 Dedek Azhari Sitorus., Op.Cit., Universitas Sumatera Utara pengawasannya. Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. Sebagai langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih komprhensif dalam rangka menumbuh-kembangkan perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK Otoritas Jasa Keuangan fokus kepada pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 4 71

DESKRIPSI KEDUDUKAN DAN WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 14 44

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

3 32 52

PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SETELAH DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

4 28 71

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

KEWENANGAN BANK INDONESIA SETELAH DISAHKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN.

0 0 16

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA (BERDASARKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN).

0 0 13

SISTEM KOORDINASI ANTARA BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN BANK SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 0 8

Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 0 12

SISTEM PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN PADA JASA KEUANGAN SYARI’AH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) - Raden Intan Repository

0 0 95